“Hey, apa kau sedang hidup di zaman megalodon? Apakah sekarang privasi masih berlaku pada sebagian orang, terutama pada orang seperti Kai?” tanya pria itu sambil mengusap sudut matanya yang berair.
“Kau memanggil namanya seolah kau dekat dengannya." Pandangan Nathalie menelisik pada Jordi.
Seketika, pria itu terbatuk-batuk seraya melotot tajam. “Aku hanya tidak suka memanggil seseorang secara formal.”
Nathalie mengendikkan kedua bahunya tidak peduli.
“Jordi benar, tidak ada privasi bagi orang seperti dia. Kau akan mudah mendapat informasi,” timpal Ariska.
Sementara Nathalie hanya diam, mencerna apa yang diucapkan oleh kedua temannya. Memang benar, seharusnya ini akan berjalan dengan mudah. Ia seharusnya bisa menyelesaikannya dengan cepat.
Selain itu, ia sendiri tidak mengerti dengan apa yang ada di pikiran atasannya, kenapa mereka bisa-bisanya membiarkan dirinya meliput berita yang tidak masuk akal seperti ini. Cih, agak menyebalkan memang. Namun, ia menyukai pekerjaannya.
.
.
.
“Terima kasih,” ujar Nathalie pada sopir taksi yang baru saja mengantarkannya. Tak lupa ia memberikan beberapa lembar uang kepada pria setengah baya tersebut sebagai ongkos.
Ia memalingkan pandangannya ke arah di mana gedung pencakar langit Perusahaan Hyden menjulang. Nathalie mengambil napas dalam-dalam. Kemudian, kaki jenjangnya yang terbalut sneakers putih melangkah menuju gedung tersebut. Pada akhirnya, ia tetap harus melakukan pekerjaannya dengan baik. Terlepas dari semua hal yang tidak ia sukai.
Sampai pada pintu masuk dirinya dihadang oleh dua orang security berbadan tinggi besar. Wajahnya hampir mirip dengan security yang biasa ia lihat di drama-drama Korea. Tidak mengerikan dan membuat dirinya enggan mengalihkan pandangan. Diam-diam ia memuji perusahaan ini karena pintar dalam memilih pegawai.
“Nona, bisa tunjukkan kartu namamu?”
Bahkan suaranya pun terdengar indah. Berat khas pria sejati.
“Aku seorang wartawan, dan hari ini ada sesi wawancara dengan CEO perusahaan kalian.”
Nathalie memperlihatkan tanda pengenalnya yang menggantung di leher, akan lebih baik jika dua security ini tidak percaya dan mengusirnya dengan hormat.
“Oh ... Nona Nathalie, silakan masuk, CEO kami sudah menunggumu,” ujar salah satu dari mereka. Membuka akses jalan dan membiarkan Nathalie masuk lebih dalam.
Sesaat ia mengangkat salah satu alisnya.
Seorang CEO yang terkenal sibuk … menunggunya?
Tidak masuk akal. Nathalie membuang jauh pikiran aneh yang tiba-tiba menyeruak masuk. Ia mengangguk singkat pada kedua security itu dan melanjutkan langkah kakinya yang sempat tertunda. Jemari indah lentik miliknya memencet tombol naik pada lift yang akan mengantarkan ke ruangan CEO. Resepsionis yang tadi ia temui mengatakan jika ia harus naik ke lantai paling atas untuk bertemu dengan atasan mereka.
Terbesit tanda tanya di dalam hatinya kala wawancara kali ini akan berlangsung di ruangan kerja CEO. Dirinya biasa melakukan wawancara di tempat terbuka yang telah disediakan, dengan beberapa orang dan kamera yang mengelilinginya. Mungkin, memang benar perihal rumor yang mengatakan jika CEO Perusahaan Hyden adalah orang yang tertutup dan tidak menyukai keramaian.
Untuk yang kesekian kalinya, Nathalie menghela napas pelan. Lantas berjalan keluar dari lift dan membenarkan tataan bajunya yang sedikit berubah. Sebelum kemudian mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu yang ada di hadapannya.
Tok! Tok! Tok!
Sama sekali tidak ada sahutan dari dalam sana selama beberapa saat. Diangkat kembali tangannya dan berniat mengetuk pintu untuk yang kedua kali. Namun, belum sampai tangannya menyentuh pintu kayu berbahan mahal di depannya, terdengar suara dari dalam yang mempersilahkan dirinya untuk masuk.
Sesosok pria dengan kemeja putih terlihat sedang berdiri menghadap dinding kaca dengan kedua tangan terlipat. Melihat pemandangan kota pada ketinggian gedung ini.
“Permisi? Saya Nathalie dari NDN Press .…”
Ia tidak melanjutkan perkataannya lagi kala pria yang membelakangi dirinya perlahan mulai berbalik. Memperlihatkan betapa sempurna wajahnya yang sanggup membuat kaum hawa menjerit. Namun, hal itu sama sekali tidak berlaku bagi Nathalie. Wajahnya berubah datar seiring dengan senyuman tidak biasa yang diberikan oleh pria yang adalah CEO perusahaan ini.
“Thalia ....”
“Thalia ....”Nathalie mengerutkan dahi. Helaian rambutnya yang tidak ikut terkucir bergoyang pelan kala ia memiringkan sedikit kepalanya.“Maaf?”Sekilas, ia dapat melihat jika pria yang ada di hadapannya itu tercenung dalam beberapa saat.“Ah, tidak.”Wanita itu mengangguk pelan. “Kalau begitu ... apakah bisa kita mulai?”Ia bertanya tanpa rasa canggung. Dirinya sudah menjalani profesinya selama empat tahun terakhir, rasa percaya dirinya terbentuk dengan sangat baik. Di hadapan CEO yang pernah menjadi mantan tunangannya, tidak akan membuat dirinya kehilangan fokus, semuanya akan baik-baik saja. Meski tatapan mengintimidasi yang sedari tadi dilemparkan padanya sedikit mengganggu.“Tentu saja.”Kai melangkah duduk di kursi kebesarannya. Setelah itu barulah Nathalie mendudukkan diri. Sengaja tidak membawa laptop, ia mengeluarkan bolpoin dan note yang ada dalam tas. Menc
“Apa maumu?”Ia berucap sarkas, yang sayangnya malah mengundang kekehan kecil sehingga membuat dirinya mendengkus.“Kau memang tidak pernah berubah … Thalia,” ujar pria itu nyaris terdengar seperti bisikan.“Tidak ada Thalia di sini. Kau mengenali orang yang salah.”Nathalie mempertahankan wajah datarnya. Sekilas, ia sempat melihat jika Kai yang kini beranjak dari tempat duduk itu menaikkan salah satu alis.“Siapa pun namanya, aku tidak peduli. Karena kalian adalah orang yang sama.”Seringai yang ditampilkan oleh pria yang berjarak beberapa langkah darinya itu sama sekali tidak berubah. Tiga tahun tidak bertemu, ia masih tetap sama, baik sifat maupun tindakannya.Dan sialnya lagi, dirinya terjebak di sini dan tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Tanpa sadar, kedua tangannya telah mengepal erat.“Aku bisa melaporkanmu atas tindakan kurang ajar ini,” an
Kai memarkirkan mobil tepat pukul satu dini hari. Ia berjalan cepat masuk ke dalam rumahnya yang besarnya berkali-kali lipat dari rumah biasa pada umumnya. Bau keringat yang menguar dari badannya membuat ia ingin segera menuju kamar mandi, membersihkan diri dan tidur. Malam yang sedikit berbeda dari biasanya. Kali ini ia tampak begitu bersemangat mengeluarkan seluruh tenaganya untuk memberikan pukulan terbaik pada samsak tinju, melampiaskan semua yang mengganggu pikirannya pada benda tak bersalah tersebut. Hingga tak sadar, hari mulai merambat naik.“Are you okay?” Suara lembut yang menyapa indra pendengarnya membuat Kai menoleh. Ia mengernyit, menatap wanita yang duduk di atas kasur dan tersenyum menyambut kepulangannya, kedua matanya terlihat sayu.“Kenapa belum tidur?”Pria itu mengurungkan niat awal, beralih mendekat pada wanita yang memiliki manik mata sebiru laut dasar.“Aku menunggumu,” balasn
“Ruangan CEO … tidak terlalu buruk.”Kai semakin merapatkan diri. Sementara Nathalie semakin mengeratkan cengkramannya pada kedua bahu lebar di hadapannya. Matanya awas memandang pria itu, berjaga-jaga jika ia melakukan hal di luar pemikirannya. Dilihat dari tatapan buas yang kini sedang mengintimidasi dirinya, Nathalie yakin Kai tidak akan tidak melakukan sesuatu. Terlebih ia adalah tipikal orang yang akan melakukan segala cara untuk mendapat apa yang diinginkannya.“Lepaskan. Jika aku berteriak sekarang, kau akan tamat.”Tidak ada yang tidak Kai sukai selain melihat gurat keberanian yang kini memancar jelas dari wanita yang ada di dalam dekapannya. Yang sejak tadi terus berusaha untuk melarikan diri. Namun naas, kelinci kecil tidak akan pernah bisa kabur dari incaran serigala berwajah tampan satu ini.Kai mendengus, menahan tawa.“Teriaklah, dan kau tahu apa yang akan terjadi setelah ini.” Ia mendekatkan
“Kai?” Nathalie mengulang pertanyaan dari lawan bicaranya. Heran saja jika seseorang yang baru pertama kali bertemu dengannya tiba-tiba menanyakan hal tersebut. Ia tidak pernah berpikir jika Kai yang akan menceritakan sesuatu pada orang lain, apa lagi tentang masa lalunya. Pria itu memiliki kepribadian yang tertutup, sangat tertutup hingga siapa pun tidak akan dapat menggali tentangnya lebih dalam. Hanya pada orang-orang kepercayaannya saja ia akan menceritakan masalahnya. Diamnya Nathalie selama beberapa saat itu mengundang tanda tanya Angelista. “Sudah kuduga, kau pasti mengenalnya.” Si pirang itu menyipitkan matanya. Dan Nathalie paling tidak suka jika seseorang menatap dirinya penuh penasaran. “Tidak. Aku tidak mengenalnya,” balasnya datar. Mengabaikan wanita itu, ia kembali melanjutkan langkah kakinya. “Tunggu.” Angelista menahan lengan Nathalie. Pandangan Nathalie kini turun, memperhatikan tangan putih yan
“Kai!” Angelista berlari kecil menuju pria itu. Wajah cantiknya kian berbinar kala ia sudah berada di depan Kai yang kini masih terdiam tanpa kata. “Kau sudah lama menungguku?” tanyanya antusias sembari menggenggam kedua tangan besar Kai. Yang dibalas dengan gelengan kepala pelan dari pria itu. “Tidak. Aku baru saja sampai,” balasnya. “Ingin pergi sekarang?” Wanita bersurai pirang itu mengangguk. Sesaat, ia tersadar jika ia melupakan satu orang lagi yang ada di sini. Seseorang yang sedari tadi menjadi teman bicaranya sebelum Kai datang. Angelista lantas menoleh, memandang Nathalie yang masih berdiri di belakangnya. “Nathalie!” seru Angelista. Dan seseorang yang dipanggil hanya menghela napas pelan. “Ya?” “Aku harus pergi sekarang, sampai jumpa!” Nathalie mengangguk, tersenyum tipis. Memperhatikan pasangan yang ada di depan matanya. Bagaimana Kai yang membukakan pintu mobil untuk Angelista, yang kemudian diikuti ol
Irine meletakkan cangkir yang ada di tangannya dengan perlahan ke meja bundar di depannya. Di hadapannya kini, duduk seorang pria yang tidak mengeluarkan sepatah kata pun setelah bertemu dengannya. “Kau kembali lagi,” ujar wanita itu pelan. Pandangannya jatuh terfokus pada Kai yang juga memandangnya dengan ekspresi seperti biasa, datar. Detik selanjutnya, Kai menarik napas, mengeluarkannya perlahan. Ia menatap sekeliling, mengamati ruangan kerja Irine yang tampak mewah. Ruangan bernuansa putih dengan beberapa hiasan bunga tulip itu terkesan tenang, sangat cocok untuk Irine yang sejak dulu menyukai situasi kondusif. “Butikmu semakin besar saja,” kata pria itu. Mengabaikan perkataan Irine yang ditujukan padanya. Irine menarik salah satu sudut bibirnya ke atas, melirik ke arah toilet yang masih belum juga menampakkan tanda-tanda Angelista akan keluar dari tempat tersebut. Wajar saja, baru lima menit berlalu. Mungkin wanita berkebangsaan Inggris itu tenga
Suara dentuman musik yang memekakkan telinga dan kerlap-kerlip lampu diskotik sama sekali tidak membuat Kai tergerak sedikit pun dari tempatnya. Ia mendengkus, mengabaikan bisik-bisik dan jeritan yang berasal dari sekumpulan wanita yang berada tidak jauh darinya. “Lama sekali kau tidak berkunjung ke sini. Sekali datang, pesonamu langsung menarik pusat perhatian semua wanita. Kau bangga dengan itu?” Bartender yang sedang mengelap gelas bening di tangannya itu tertawa kecil. Memperhatikan raut wajah Kai yang sepertinya terganggu. “Apa kau cemburu?” Ia mendecih pelan. Mengulurkan gelasnya pada bartender itu untuk memintanya kembali menuang minum. “Oh, aku tidak cemburu. Istriku di rumah akan marah jika mengatahui hal ini.” Bartender itu terkekeh pelan. Tak lama kemudian ia kembali menurunkan bibir, sadar akan apa yang baru saja ia ucapkan mungkin saja bisa menyinggung Kai. “Apakah berumah tangga sangat menyenangkan?” Pertanyaan konyol ter