"Kamu nggak mungkin hamil kan Serena?" tanyanya Mas Samuel tiba-tiba. Deg!Kenapa pertanyaan mustahil itu bisa terlontar dari mulut Mas Samuel? Melihat tatapannya yang penuh curiga membuatku was-was sendiri. Betulkah yang aku dengar barusan? Pria itu mendekatiku. Mengikis jarak di antara kami. Aku yang tadinya sempat berdiri langsung terduduk kembali di bangku meja makan karena dorongan Mas Samuel yang makin maju ke arahku. Pria yang amat kucintai itu menatapku tajam seolah diriku adalah buronan. Bagaimana jika pria itu mengetahui keadaanku dan tetap tidak memilihku? Aku yakin, aku tidak akan baik-baik saja setelah ini. "Tempo lalu, kamu dan Bella datang ke rumah sakit. Di sana kalian konsultasi dengan Dokter kandungan," telak Mas Samuel. Napasku makin tercekat. Dari mana pria itu tahu? Ah, jangan bilang mata-matanya masih mengikuti diriku? "Siapa di antara kalian yang hamil. Jawab saya Serena!" sentak Mas Samuel. Aku menutup mata dan mengigit bibir bagian dalam saking takutnya
Dan kini, meski aku sudah memutuskan urat malu di depan Mas Samuel dengan cara menciumnya lebih dulu, tetap saja hal itu tidak berpengaruh apa pun. Mas Samuel tetap kekeh membawaku ke dalam rumah sakit. Ya, ini lah akhirnya. Aku sudah berada di depan dokter kandungan yang tempo lalu sempat memeriksa keadaanku. Entah apa yang terjadi. Aku berharap ini bukan akhir dari awal yang aku semoga kan. "Silakan Ibu berbaring terlebih dahulu," perintah Dokter. Dengan ragu, aku pun merebahkan tubuhku di atas ranjang rumah sakit dengan monitor di sampingnya. Dokter mulai membuka setengah baju yang aku pakai, tentu saja itu atas dasar persetujuanku. Dilanjut dengan ia mengoleskan gel di area perutku. Napasku tercekat. Aku benar-benar takut. Mas Samuel ada di sini sebagai saksi. Aku memejamkan mata kala alat itu hendak menyentuh area perutku. Suara dering ponsel. Sontak aku membuka mata dengan lebar. Dokter pun menghentikan pergerakannya karena terkejut dengan reaksiku. Aku mengambil ponsel di
Setelah kepergian Mas Samuel. Aku berdiri di luar ruang rawat Ibu. Beberapa kali memikirkan bagaimana caranya agar Mas Samuel berhenti mencurigai diriku. Aku bingung sekaligus takut. Bukan bermaksud jahat, hanya saja aku tidak ingin terlibat lagi masalah dengan keluarga Wijaya (keluarga Mas Samuel). Aku terus mondar-mandir tidak jelas. Memegang ponsel seraya berpikir jalan keluarnya. Tiba-tiba aku teringat Reno. Iya, Reno sekretarisnya Mas Samuel. Untung aku masih menyimpan nomornya, dengan ragu ku tekan nama Reno dan memanggilnya. Panggilan berhasil tersambung. Aku bernapas lega. Meski di waktu kerja, ternyata Reno tidak menolak panggilan telepon dariku. "Selamat siang, Bu Serena. Apakah ada yang bisa saya bantu?" ujar Reno dari seberang sana. "Reno kamu lagi sama Pak Samuel?" tanyaku buru-buru. "Kami habis selesai meeting. Pak Samuel ada di ruangannya, Bu."Lagi, lagi aku bernapas lega. "Siang ini kamu sibuk? Ada yang mau saya bicarakan sama kamu.""Tidak, Bu. Siang ini kami f
—POV Samuel"Bianca, Reno ke mana? Kenapa nggak ada di ruang kerjanya?" tanyaku kepada sekretaris keduaku. Bianca pun terlihat langsung berdiri kala menyadari aku datang menghampirinya. Ia berhenti makan. Dan menatapku seolah gugup. "I-itu Pak... Mas Reno tadi keluar. Beliau izin ke saya katanya mau makan siang di luar," jelas Bianca. Aku menatap nyalang ke arah Bianca. Melihat gelagat perempuan itu, aku sedikit tidak yakin padanya. Yang aku tahu, jika Reno makan siang di luar, Bianca selalu ikut. Namun, kenapa Bianca malah makan siang di kantor? Di depan komputer pula. "Makan siang? Kamu nggak ikut?" tanyaku sedikit curiga. "Tidak, Pak. Tadi ada kerjaan yang belum selesai, jadi saya makan siang di kantor." Aneh. Ngapain Reno pergi makan siang sendiri dan meninggalkan Bianca sang pujaan hatinya? Haduh. Kenapa jadi mikirin mereka berdua si. "Ya sudah, kalau Reno sudah kembali suruh ke ruangan saya." "Baik, Pak."Lantas aku pergi menuju ruanganku. Aku tidak langsung duduk di kur
—POV Samuel"Pak Samuel?" Bella tampak berdiri. "Silakan duduk, Pak."Aku mengangguk lalu duduk di bangku seberang. "Ini kopi saya?" tanyaku karena terdapat satu gelas kopi di depanku. "Ah, iya. Itu kopi Bapak, tadi saya yang pesankan."Aku menatap kopi tersebut dan menyesapnya sedikit, menghargai Bella. Dilihat dari raut wajahnya, perempuan itu tampak gelisah? Ah, apa hanya perasaanku saja. "Kamu nggak ada urusan kan? Takutnya saya ganggu waktu kamu," kataku takut-takut Bella terpaksa. "Nggak. Saya nggak ada urusan apa pun. Free, Pak," katanya seraya memegang area wajah, terkesan gugup. Aku pun mengangguk. Dia bilang free, itu artinya tidak masalah dengan pertemuan ini. Tapi melihat reaksinya, membuatku berpikir panjang untuk bertanya lebih lanjut. "Serena tau?" Bella langsung mengerjap. "Eh? Ah, Serena, ya? Em... nggak tau. Serena nggak tau soal pertemuan kita. Eh, maksud saya pertemuan ini, Pak.""Santai aja Bella. Saya nggak akan nanya yang macam-macam, cuma satu pertanyaan
"Halo, Papa di mana? Katanya mau ke sini," ujar Anin lewat telepon. "Papa masih di jalan, sebentar lagi sampai Princess." "Papa hati-hati di jalan, ya."Aku membalasnya lalu melepaskan earphone dari telinga. Panggilan sudah terputus. Kembali fokus menyetir. Beberapa menit kemudian akhirnya sampai di alamat tujuan. Aku memasukan mobil ke dalam pekarangan rumah Kinan, tapi ada yang aneh. Mobil mewah dengan edisi terbatas terlihat parkiran di sana. Tidak mungkin kan itu mobil Bayu? "Papa!" kata Anin di sofa ruang tamu. Namun, pandanganku berubah dalam hitungan detik. Baskara. Di sana ada Baskara. Yang mengejutkannya adalah di samping depan pria itu ada Kinan dan Anin. "Mas Samuel," lirih Kinan. "Aku ambil minum dulu."Aku tidak menjawab. Terus berdiri bak patung pancoran. Baskara menatapku dengan senyum smirk. Kenapa pria itu ada di sini? Dan, kenapa reaksi Kinan biasa saja? "Papa sini, liat lutut Anin."Aku pun menghampiri Anin dan duduk di sebelahnya. "Masih sakit?" "Kalau kena
—POV Author Bella menunggu di sebuah taman. Perempuan itu berdiri dengan kaki yang tidak bisa diam, seolah sedang menunggu kedatangan seseorang. Beberapa kali melirik pergelangan tangan. Jam menunjukkan pukul 07.10 yang artinya Hendra sudah telat 10 menit dari waktu yang dijanjikan. Ia kalian tidak salah, Bella menyetujui pertemuan dengan Hendra. Dan kini perempuan itu seperti orang bodoh sendirian di tengah gelap dan sunyi nya malam. 5 menit pun berlalu. Terhitung sudah 15 menit Bella menunggu, tetapi tidak ada kemunculan Hendra akan datang. Pesan terakhir yang ia kirim kepada pria itu tak kunjung dibalas. Mas Hendra :[Mas masih di mana?]Lagi, Bella melirik ponselnya. Nihil. Masih tidak ada balasan. Tak peduli dengan gengsinya, ia mengetik sesuatu di dalam sana dan mengirimkannya kembali ke Hendra meski pesan yang tadi pun berujung tidak ada balasan. [Kita jadi ketemu nggak, Mas?] /sendSayangnya, pesan barusan yang ia kirim berubah menjadi centang satu. Yang artinya Hendra t
"Masmu belum datang juga?" tanya Ibu. Aku menggeleng. "Paling nanti jam 9 atau 10, Bu.""Kamu cari makan sana. Atau cari udara segar di luar. Mumpung belum malam banget. Kamu juga lagi hamil, harus banyak aktivitas. Anak kamu nggak rewel kan di dalam sana?" tanya Ibu. Aku menunduk melihat ke arah perutku. "Rewel nggak rewel, Bu. Tapi Serena belum lapar. Ibu mau makan sesuatu? Biar Serena beliin.""Nggak usah. Ibu masih kenyang, kan tadi baru makan. Kamu belum makan Serena. Sana cari makan di luar, kasian anak kamu. Jangan keseringan nunda makan, nggak baik buat kesehatan kamu sama kesehatan cucu Ibu.""Serena mager keluar, Bu. Nanti kalau Serena lapar baru makan," balasku. Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Aku dan Ibu kompak menoleh. "Itu pasti Masmu," ujar Ibu. Nyatanya saat sosok itu muncul dari bilik pintu. Bukan Mas Rifki, melainkan Mas Samuel. Aku mengerutkan kening. Untuk apa pria itu datang ke sini? "Loh, Nak Samuel?" lirih Ibu. Sedangkan aku membisu. Aku masih terd
Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok
—HOTELAku sudah kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Suaminya tidak sesuai yang aku harapkan. Harusnya aku lebih berhati-hati karena ketika hal buruk menimpa hidupku dengan Sakti, aku punya cara untuk menghindarinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan, Tuhan? "Terima kasih, Mas. Aku sama Sakti ke dalam dulu," ujarku tersenyum tipis kepada Elmar. Elmar memegang tanganku kala pintu hotel hendak ditutup. Pria itu memberi kode kepada Sakti agar anak itu pergi lebih dulu ke dalam. Ia menarik tanganku sehingga kini aku berada di luar pintu. "Ada yang mau saya tanyakan sama kamu," ujar Elmar melepas cekalan tadi. Aku menekuk kedua alis. Apakah pria itu akan bertanya soal Mas Samuel? "Sejak kapan kamu dekat lagi dengan Samuel?" tanyanya. Dugaanku benar. Elmar menanyakan soal Mas Samuel. Namun, kenapa tiba-tiba begini? Ini bahkan terasa seperti interogasi, bukan tanya bertanya."Aku rasa kita nggak perlu bahas itu, Mas. Lagipula, dekat lagi atau nggak, itu hak
"Papa senang, akhirnya kita bertemu, Sakti."Bella langsung memegang pundakku. Perempuan itu juga membawa Sakti pergi menjauh dari kami. Kini, tinggal aku dan Mas Samuel yang saling berhadapan satu sama lain. Aku tidak tahu kenapa keadaan saat ini cukup mencekam. Mas Samuel terus menatapku seolah tidak ada objek lain di sekitarnya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa pun. Ini membuatku mati kutu. "Saya sudah melakukan tes DNA," ucap Mas Samuel makin mengejutkanku. "Ibu bilang bahwa Sakti begitu mirip dengan saya sewaktu kecil. Awalnya saya nggak berpikir demikian. Tapi, saat saya mencoba mendekat pada Sakti, saya merasa memang benar ada kemiripan antara saya dan Sakti. Itu sebabnya saya melakukan tes DNA," jelas pria itu. Mas Samuel menatapku sangat dalam. "Serena, jika Sakti memang anak kita berdua, kenapa kamu menyembunyikan hal ini dari saya?" Aku membuang wajah ke arah lain. Menarik napas di sana. Lalu menatap Mas Samuel dengan napas sedikit tercekat. "Sakti bukan anak ka
"Sakti?" panggilku langsung menghampirinya. "Kamu habis ngobrol sama siapa?" "Tadi ada uncle Samuel, Mom."Aku menatap arah pandangan Sakti. Yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Pria itu sudah menjauh. Ia berada di seberang jalan, lalu membuka pintu mobil dan pergi dari sana. "Mobilnya uncle Sakti bagus, ya, Mom." Aku mengangguk mengiyakan ucapan Sakti. "Lihat, uncle Samuel juga kasih mainan buat Sakti. Katanya ini mobil Tamia keluaran terbaru. Kalau besar nanti, Sakti mau jadi pembalap mobil, ya, Mom. Bolehkan?" Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Apa pun untuk Sakti aku pasti akan perjuangkan. Cita-cita juga keinginannya sebisa mungkin akan kuberikan yang terbaik untuknya. Aku tidak ingin Sakti kekurangan apa pun. Untuk itu, aku harus berjuang lebih keras lagi. Tin! Tin! Tin! Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kami. Kaca mobil tersebut pun terbuka menampilkan sosok teman yang masih setia bersamaku hingga detik ini. "Aunty Bella!" pekik Sakti. Bella pun turun d