—Back to POV SerenaDengan keraguan, aku bangkit dari duduk, menatap Baskara sebentar lalu meninggalkan pria itu di belakang sana. Hatiku terasa dicabik-cabik. Perkataan Baskara membuatku tak bisa berpikir jernih. "Serena!" Baskara mencekal tanganku saat sampai di parkiran. Aku menepisnya dengan kasar. "Saya nggak mau dengar omong kosong kamu Baskara!" "Saya serius Serena. Lambat laun Samuel akan menceraikan kamu dan kembali bersama Kinan!"Plak! Tamparan keras itu kuberikan tepat di pipi kanan milik Baskara. Wajah pria itu menoleh ke samping dengan tangan mengepal di bawah sana. Napasku memburu. Aku menatap Baskara dengan sorot mata yang sudah memerah. Mulutku kembali dibungkam saat Baskara memberikan bukti yang membuatku tak bisa berkutik di tempat. "Dia mengunjungi pengadilan agama dan mendaftarkan perceraian kalian di sana," ujar Baskara. Aku menutup mulut tak percaya. Lututku tiba-tiba lemas. Ponsel berlogo apple itu menunjukkan Mas Samuel sedang berada di Pengadilan Agama
Pagi hari pun tiba. Sekarang aku sudah siap-siap pulang dari rumah sakit. Jam 6 pagi, dokter mengatakan bahwa keadaanku sudah membaik dan diperbolehkan untuk pulang. Sebab kejadian tadi malam hanya kecelakaan ringan saja. Tidak ada luka serius, hanya kening saja yang harus diperban. Juga lemasnya sudah tidak terasa. Pagi ini, aku benar-benar terasa sudah sehat. "Aku bisa sendiri, Mas." Aku menolak kala Mas Samuel hendak memapah jalanku. "Kamu belum sepenuhnya sehat Serena," ujarnya kekeh. Aku menatapnya tak suka. Lalu membiarkan Mas Samuel memapah sampai luar, sungguh malas berdebat di pagi hari. "Kita beli sarapan dulu," kata Mas Samuel setelah kami memasuki mobil. Mobil pun melaju meninggalkan gedung serba putih itu yang baunya sama sekali tidak suka. Ya, aku memang tidak suka dengan bau rumah sakit. Bahkan, saat sakit pun lebih baik dokter memeriksaku di rumah daripada harus pergi berobat ke luar. Jalanan pagi di kota Jakarta ternyata lumayan menyejukkan. Tidak ada polusi ud
Ting! Bella :[Di mana, Ser? Masih lama nggak? Anin nanya kalian mulu, nih. Udah gue jawab lagi di jalan, tetep aja anaknya ngerengek.]Pesan itu masuk kala tanganku ingin sekali menampar wajah tampan Mas Samuel. Dengan kekesalan yang mendarah daging, kugenggam ponsel seerat-eratnya dan membalikkan badan berjalan terlebih dahulu ke dalam gedung apartemen. "Serena!" panggil Mas Samuel mengejarku. Aku terus berjalan cepat menuju lift. Menekan tombol di sana dan ikut panik kala Mas Samuel lebih dekat dengan lift yang aku naiki. Namun, akhirnya aku bisa bernapas lega karena lift tersebut lebih dulu tertutup sesampainya Mas Samuel. Aku memegang pembatas besi di sebelah kiri, mengusap air mata yang sialnya terus mengalir. Sekarang, apa yang harus aku lakukan Tuhan? Bagaimana aku berjuang sedangkan Mas Samuel saja lebih memilih melepaskanku. Apakah takdir memang sekejam ini? Suara pintu lift terbuka. Aku bergegas keluar dan menuju unit apartemen Bella. Berusaha menormalkan deru napas da
—Kembali ke RumahSelama di perjalan menuju rumah yang dulu sempat kami tempati sebelum pindah ke apartemen, selama itu tidak ada perbincangan di dalam mobil. Aku, Mas Samuel maupun Anin seolah membisu. Sampai akhirnya kami sampai di rumah, dingin masih terasa. Mas Samuel beberapa kali menoleh ke arahku namun aku menghiraukan tatapannya. "Bi Siti?" panggil Mas Samuel. "Tolong bawa Anin ke dalam kamar, biarkan Anin main di sana."Bi Siti selaku asisten rumah tangga di rumah kami pun mengangguk lirih dan mengajak Anin keluar dari rumah. Kini, yang tersisanya hanya aku dan Mas Samuel. Pria itu menghadap ke arahku, bersiap ingin menjelaskan pertengkaran di antara kami. "Tolong beri Mas waktu untuk menjelaskan semuanya," ujar pria itu. Aku menatapnya, memberikan kesempatan setidaknya aku harus mendengarkan penjelasan dari mulutnya sendiri. Entah itu kebohongan atau kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Mas Samuel tampak mengambil napas dulu sebagai ancang-ancang. Ia makin memperda
—POV Samuel, Kejadian sebelum perceraian diputuskan. Di sela-sela kesibukanku, aku sempat menyempat waktu bertemu dengan Baskara di sebuah restoran bintang lima yang tidak jauh dari pusat perbelanjaan terbesar di kota Jakarta. Waktu itu, aku yang lebih dulu meminta bertemu. Menanyakan apa maksud pria itu mengusik proyek yang sedang kami kerjakan di Singapore. "Maaf saya telat, saya pikir anda bercanda soal pertemuan ini." Baskara menatap ke seluruh restoran. "Bagus juga tempatnya. Ternyata selera Anda cukup baik Pak Samuel."Aku tahu setiap perkataannya itu mengandung sindiran di dalamnya. Bagaimana liciknya Baskara, bahkan aku hampir tahu semua gelagat pria di depanku ini.Aku berdecih pelan. Mengeluarkan ponsel dari dalam jas, lalu membukanya dan menunjukkan sesuatu kepada Baskara tepat di depan matanya. "Bisa Anda jelaskan ke saya apa maksud semua ini?" tanyaku sengaja menantangnya. Baskara tampak mengangkat sudut bibirnya kemudian menatapku remeh. Pria itu sedikit mencondong
—POV Serena, in House Mas Samuel :[Aku setuju kita cerai, Mas.]Aku memandang pesan yang baru saja kukirim pada Mas Samuel. Pesan itu terkirim dengan status centang dua abu, belum dibaca. Aku pun mematikan ponsel. Memegang erat benda pipih tersebut. "Lo serius mau pisah sama laki lo?" tanya Bella.Kupandang Bella dengan satu hembusan napas. Ya, aku mengundang Bella ke rumah karena hanya Bella yang aku punya saat ini. Hanya perempuan itu yang dengan sukarela meminjamkan telinganya demi mendengarkan ceritaku. Kami sudah lewati banyak hal bersama. Dan aku percaya bahwa Bella adalah sahabat sekaligus penasihat yang baik. "Dia sendiri yang gugat cerai aku, Bel," kataku sekian lama terdiam. Bella mengerutkan keningnya, menatapku aneh. "Kenapa? Maksud gue, kok bisa laki lo gugat cerai kaya gini. Kalian sebelumnya baik-baik aja, loh, Ser."Tidak. Kamu salah Bella. Bahkan jika semuanya baik-baik saja, perceraian tidak mungkin terjadi. Pernikahan yang dulukudambakan akan bahagia sampai akh
Setelah selesai mengganti perban di kening dengan bantuan suster. Mungkin hanya beberapa menit saja, setelahnya aku kembali ke ruangan di mana Anin sedang diperiksa di sana. Namun, saat aku kembali di depan ruang ICU sudah banyak orang. Tadi saat aku meninggalkan ruangan itu, hanya ada Bella. Tapi kenapa sekarang jadi banyak orang yang menunggu di sana? Ada Mas Samuel, orang tua Mbak Kinan, Bayu dan juga... Papa Wijaya. Kenapa semuanya jadi kumpul di sini? Lalu, saat aku sampai di hadapan mereka. Bayu terlihat ingin menyerangku. Sayangnya hal itu ia urungkan kembali sebab dokter muncul dari dalam sana. "Keluarganya pasien?" panggil Dokter menatap kami semua. Mas Samuel langsung mengajukan diri. "Saya Papa-nya, Dok.""Kami keluarganya," koreksi neneknya Anin dan diangguki oleh Mas Samuel dan Bayu.Dokter tampak menghela napas sebentar sebelum menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan Anin. "Begini, Pak, Bu. Saat ini pasien harus dirawat untuk beberapa hari ke depan karena gej
"Serena, bisa kita bicara sebentar?" tanya Mas Samuel setibanya di hadapanku."Kamu nangis?" Mas Samuel hendak memegang wajahku namun dengan cepat aku menghindar. "Kenapa?" tanyanya. "Aku mau pulang, Mas." Mas Samuel menahanku. Bingung dengan sikapku yang mungkin terlihat aneh. Selama beberapa menit, hanya keheningan yang terjadi. Aku melepas cekalan itu hingga Mas Samuel membuka suara. "Mas yang antar," putus Mas Samuel. Kutatap wajahnya. "Aku pulang sama Bella."Setelah kuputuskan, Mas Samuel tak mengejarku. Pria itu malah terdiam menyaksikan aku yang hanyut dalam pandangan. Meski terasa sakit, aku terus melanjutkan perjalanan menuju titik kumpul semua orang, termasuk ada Bella di sana. Setibanya aku di sana, ternyata hanya ada Bella yang berdiri tegak seolah sedang menunggu seseorang. Aku menghampirinya dengan raut wajah bingung. "Yang lain ke mana, Bel?" tanyaku karena semua orang sudah tidak ada di sini. "Anin udah di pindahin ke ruang rawat inap," jelas Bella. "Mereka perg
Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok
—HOTELAku sudah kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Suaminya tidak sesuai yang aku harapkan. Harusnya aku lebih berhati-hati karena ketika hal buruk menimpa hidupku dengan Sakti, aku punya cara untuk menghindarinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan, Tuhan? "Terima kasih, Mas. Aku sama Sakti ke dalam dulu," ujarku tersenyum tipis kepada Elmar. Elmar memegang tanganku kala pintu hotel hendak ditutup. Pria itu memberi kode kepada Sakti agar anak itu pergi lebih dulu ke dalam. Ia menarik tanganku sehingga kini aku berada di luar pintu. "Ada yang mau saya tanyakan sama kamu," ujar Elmar melepas cekalan tadi. Aku menekuk kedua alis. Apakah pria itu akan bertanya soal Mas Samuel? "Sejak kapan kamu dekat lagi dengan Samuel?" tanyanya. Dugaanku benar. Elmar menanyakan soal Mas Samuel. Namun, kenapa tiba-tiba begini? Ini bahkan terasa seperti interogasi, bukan tanya bertanya."Aku rasa kita nggak perlu bahas itu, Mas. Lagipula, dekat lagi atau nggak, itu hak
"Papa senang, akhirnya kita bertemu, Sakti."Bella langsung memegang pundakku. Perempuan itu juga membawa Sakti pergi menjauh dari kami. Kini, tinggal aku dan Mas Samuel yang saling berhadapan satu sama lain. Aku tidak tahu kenapa keadaan saat ini cukup mencekam. Mas Samuel terus menatapku seolah tidak ada objek lain di sekitarnya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa pun. Ini membuatku mati kutu. "Saya sudah melakukan tes DNA," ucap Mas Samuel makin mengejutkanku. "Ibu bilang bahwa Sakti begitu mirip dengan saya sewaktu kecil. Awalnya saya nggak berpikir demikian. Tapi, saat saya mencoba mendekat pada Sakti, saya merasa memang benar ada kemiripan antara saya dan Sakti. Itu sebabnya saya melakukan tes DNA," jelas pria itu. Mas Samuel menatapku sangat dalam. "Serena, jika Sakti memang anak kita berdua, kenapa kamu menyembunyikan hal ini dari saya?" Aku membuang wajah ke arah lain. Menarik napas di sana. Lalu menatap Mas Samuel dengan napas sedikit tercekat. "Sakti bukan anak ka
"Sakti?" panggilku langsung menghampirinya. "Kamu habis ngobrol sama siapa?" "Tadi ada uncle Samuel, Mom."Aku menatap arah pandangan Sakti. Yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Pria itu sudah menjauh. Ia berada di seberang jalan, lalu membuka pintu mobil dan pergi dari sana. "Mobilnya uncle Sakti bagus, ya, Mom." Aku mengangguk mengiyakan ucapan Sakti. "Lihat, uncle Samuel juga kasih mainan buat Sakti. Katanya ini mobil Tamia keluaran terbaru. Kalau besar nanti, Sakti mau jadi pembalap mobil, ya, Mom. Bolehkan?" Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Apa pun untuk Sakti aku pasti akan perjuangkan. Cita-cita juga keinginannya sebisa mungkin akan kuberikan yang terbaik untuknya. Aku tidak ingin Sakti kekurangan apa pun. Untuk itu, aku harus berjuang lebih keras lagi. Tin! Tin! Tin! Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kami. Kaca mobil tersebut pun terbuka menampilkan sosok teman yang masih setia bersamaku hingga detik ini. "Aunty Bella!" pekik Sakti. Bella pun turun d