Setelah cek proyek aku memutuskan pergi ke hotel untuk beristirahat. Besok sudah harus kembali ke Jakarta lagi karena masih banyak kerjaan di sana. "Soal Serena, kamu sudah dapat kabar?"Reno menggeleng. "Untuk saat ini belum, Pak. Kami masih mencarinya."Sebenarnya, saat di resto tadi aku sempat melihat Serena. Entah penglihatan aku yang salah atau bukan. Meski tidak melihat wajahnya secara langsung, postur tubuhnya cukup mirip. "Reno, waktu di resto tadi, perempuan yang semula sedang bicara dengan Pak Jamal lalu pergi. Kamu merasa tidak perempuan itu mirip dengan Serena?" tanyaku karena gusar sendiri. "Perempuan yang katanya pelamar yang mau interview itu? Saya rasa nggak, Pak. Karena Bu Serena tidak mungkin melamar pekerjaan di restoran," balas Reno. Aku setuju pada Reno. Jika mau, Serena bisa kerja di tempat yang sesuai dengan latar pendidikan terakhirnya. Juga, ia tidak mungkin tinggal di Bali. Aku menepis pikiran tersebut, sebab tidak mungkin Serena ada di sini. Mungkin yang
SEKARANG, aku sedang duduk bersama ayah. Iya, ayah. Ayah kandungku sendiri. Sosok yang selama bertahun-tahun ini baru bisa kulihat lagi. Sosok yang amat kurindukan. Aku menatap matanya. Pancaran penuh kerinduan aku pancarkan padanya. Aku rindu, tapi aku tidak mengerti atas apa yang saat ini sedang terjadi. Aku ingin memeluknya, tapi aku butuh penjelasan. "Ayah dan ibunya Elmar sudah menjadi keluarga sejak dulu. Saat ayah memutuskan pindah ke Bali."Itu artinya setelah bercerai dengan ibu, tidak lama dari itu Ayah menikah dengan tante Luna? Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya jadi ibu. Kupikir, Ayah menikah lagi itu dua atau tiga tahun setelah berpisah dengan ibu. Ternyata persepsi ku selama ini salah. "Ayah menikah dengan Luna—ibunya Elmar, 5 bulan setelah ayah dan ibu kamu resmi bercerai." Ayah memandangku dengan seksama."Ayah minta maaf karena telah meninggalkan kamu dan ibumu dengan luka yang begitu hebat. Ayah minta maaf Serena," ucap Ayah begitu tulus. Aku m
Lampu mobil yang menyoroti Villa ku langsung redup kala kami telah sampai di kediamanku. Aku membuka seatbelt, lalu mengucapkan terima kasih kepada Elmar dan keluar dari mobil tersebut. "Serena!" panggil Elmar ikut keluar. Aku menatapnya cukup canggung. Tadi, saat di dalam mobil pun sama. Hanya keheningan yang menemani perjalanan pulang. Kini, pria itu sudah berdiri tepat di hadapanku. "Kenapa, Mas?" tanyaku lebih dulu. Ia tampak menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. "Sebenarnya saya sudah tau kalau kamu anaknya Papi." Aku mengerutkan kening. Maksudnya? "Saya dan Rifki yang merencanakan ini semua." Aku makin tidak mengerti. Maksudnya apa? Aku tampak seperti orang bodoh di sini. Mereka berniat membohongiku? "Mas Elmar dan Mas Rifki saling kenal?" tanyaku bingung. Ia mengangguk setuju. "Saya lupa kapan tepatnya, tapi waktu itu Rifki datang ke rumah orang tua saya bersama Papi—ayah kamu sendiri.""Sebelum menikah, ayah kamu pernah bilang bahwa dia punya 2 anak, dan saat
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Kini, lima tahun sudah aku menghabiskan hidup di sini. Tidak dapat dipungkiri bahwa membesarkan anak seorang diri itu tidak mudah. Namun, sejauh ini aku bahagia. Menyadari bahwa bahagia tidak melulu harus bersama dengan pasangan. Di lima tahun ini, banyak hal yang membuat aku belajar tentang hidup. Karena bagaimanapun, baik dan buruknya diriku, aku sendiri yang menerimanya. Tidak masalah apa kata orang, aku bahagia. Aku menemukan kebahagiaan yang sebelumnya belum pernah aku dapatkan. Sakti. Dialah awal kebahagiaanku. Sakti sosok yang membuat diriku kuat dan bisa bertahan sejauh ini. Ia mirip sekali dengan ayahnya. Setiap melihat Sakti, wajah Mas Samuel selalu terbang di benakku. Namun, itu tidak masalah buatku. Aku memang tidak memiliki Mas Samuel, tapi aku punya Sakti yang berhasil membuat jiwaku hidup kembali. "Mom, you're here!" teriak Sakti. [Mama, kamu di sini!]Aku tersenyum dan menghampiri Sakti. "Mau pulang sama Mama?""Where is u
"Mom, kita sudah sampai di Jakarta?" tanya Sakti mendongak ke arahku. Aku tersenyum simpul, lalu mengangguk sebagai jawaban. Jakarta, aku kembali. Kembali dengan seseorang yang telah membuatku menjalani hidup dengan baik. Sakti. Aku membawa anakku ke sini Jakarta. Tolong kerja samanya. "Kita cari hotel dulu untuk istirahat," ujar Elmar memboyong kami ke dalam Taxi. Kami memutuskan pergi ke hotel. Sepanjang perjalanan, Sakti tidak berhenti bicara tentang Jakarta, kota kelahiranku. Anak itu terus bertanya setiap kali melihat hal aneh yang tidak ia jumpai di Bali. "Mom, apakah Jakarta sepanas ini?" Itu salah satu pertanyaan Sakti. Jakarta memang terkenal dengan suhunya yang panas, tapi kali ini memang panas sekali. Mataharinya cukup terik, seolah berada tepat di atas kepala. "Mom, Sakti pusing. Kenapa kita lama sekali sampai di hotel?" tanyanya lagi. Aku menoleh ke arah Sakti. "Jalanan macet. Taxi-nya nggk bisa nyalip ke sana-sini, bahaya."Anak itu mendekat ke arahku dan naik k
DI rumah Ibu. "Ya ampun, ini Sakti? Cucu Nenek yang paling ganteng," ujar Ibu seraya merengkuh Sakti dalam pelukannya. Sakti menoleh padaku seolah meminta jawaban. "Ini Ibu Mama, Neneknya Sakti yang pernah Mama ceritakan.""Nenek—grandma?" tanyanya langsung mendapat anggukan dari Ibu. "Iya, ini Nenek." Ibu menatapku sebentar. "Panggil Nenek atau Omah aja, ya? Jangan grandma-grandma."Sakti mengangguk lirih. Lantas tanganku mengusap puncak kepalanya. Bangga karena Sakti tidak terlalu banyak bicara. Anak itu cukup penurut. "Serena," panggil Mbak Yuni dari seberang sana. Perempuan itu datang bersama Mas Rifki. Namun, yang menarik perhatianku adalah anak mereka. Kenzo sudah besar, jika dihitung mungkin umurnya 12 tahun. Dan satu lagi, gadis cantik yang bersama mereka. Itu anak kedua Mbak Yuni dan Mas Rifki, namanya Kenzie. "Halo Sakti?" sapa Mbak Yuni. Sakti tidak menjawab, anak itu masih bingung dengan semuanya. Aku memakluminya, juga mereka. "Ternyata Sakti lebih tampan dari dug
CAFE. "Astaga, Serena!" pekik Bella langsung memelukku. "Gue kangen banget sama lo. Gila."Perempuan itu melepas pelukan tersebut. "Kena angin Bali muka lo makin kinclong aja, Ser.""Bisa aja kamu, Bel." Kami langsung duduk saling berhadapan. Tidak lupa Bella langsung memanggil pelayan dan memesan minum serta camilan untuk menemani obrolan malam ini. "Kabar lo gimana? Ponakan gue kenapa nggak dibawa? Padahal gue pengen ketemu sama Sakti. Anak lo di foto aja cakep apalagi aslinya," cerocos Bella. "Kabar aku baik. Sakti perlu istirahat, Bel, kasian dia belum istirahat cukup semenjak sampai di sini.""Iya, juga, si. Kasian anak lo masih kecil. Umur lima tahun kalau nggak salah, bukan?" Aku pun mengangguk. "Lama juga lo ninggalin Jakarta, ya.""Iya, apalagi sama cafe ini. Kangen banget nongkrong sama kamu, Bel. Di sana aku nggak punya temen banyak, ketemunya sama Mas Elmar terus, bosen.""Ah, bener! Mas Elmar. Itu cowok ikut ke Jakarta juga?" tanya Bella. Aku mengangguk, rada bingung
KEESOKAN harinya. Aku sudah berdiri di depan gedung Sky Group, menarik napas berkali-kali lalu memutuskan untuk masuk ke dalam. Gedung ini lumayan lunas meski dari luar terlihat kecil. Aku duduk di bangku kosong yang sudah tersedia untuk pelamar yang hendak interview. Sesekali menebar senyum kepada calon karyawan di samping juga depanku. Kurang lebih di sini ada 5 orang yang hendak interview. "Selamat pagi. Kami akan memanggil satu per satu para calon karyawan. Lima menit lagi interview akan dimulai, untuk berkas yang diminta, dicek kembali takut ada yang tertinggal. Silakan persiapkan diri kalian," ucap seorang perempuan dengan rok pendeknya. Aku dan yang lain kompak menjawab. "Siap, Bu."Untuk peserta urutan pertama sudah masuk ruangan. Jelas aku deg-degan sendiri. Aku tidak henti-hentinya merapalkan doa. Memegang berkas di tangan dengan kuat. Saat ini, diriku betul-betul gugup. Beberapa menit berlalu "Gimana, lancar?" tanya sesama pelamar. Sepertinya mereka berteman. Sayangn
Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok
—HOTELAku sudah kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Suaminya tidak sesuai yang aku harapkan. Harusnya aku lebih berhati-hati karena ketika hal buruk menimpa hidupku dengan Sakti, aku punya cara untuk menghindarinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan, Tuhan? "Terima kasih, Mas. Aku sama Sakti ke dalam dulu," ujarku tersenyum tipis kepada Elmar. Elmar memegang tanganku kala pintu hotel hendak ditutup. Pria itu memberi kode kepada Sakti agar anak itu pergi lebih dulu ke dalam. Ia menarik tanganku sehingga kini aku berada di luar pintu. "Ada yang mau saya tanyakan sama kamu," ujar Elmar melepas cekalan tadi. Aku menekuk kedua alis. Apakah pria itu akan bertanya soal Mas Samuel? "Sejak kapan kamu dekat lagi dengan Samuel?" tanyanya. Dugaanku benar. Elmar menanyakan soal Mas Samuel. Namun, kenapa tiba-tiba begini? Ini bahkan terasa seperti interogasi, bukan tanya bertanya."Aku rasa kita nggak perlu bahas itu, Mas. Lagipula, dekat lagi atau nggak, itu hak
"Papa senang, akhirnya kita bertemu, Sakti."Bella langsung memegang pundakku. Perempuan itu juga membawa Sakti pergi menjauh dari kami. Kini, tinggal aku dan Mas Samuel yang saling berhadapan satu sama lain. Aku tidak tahu kenapa keadaan saat ini cukup mencekam. Mas Samuel terus menatapku seolah tidak ada objek lain di sekitarnya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa pun. Ini membuatku mati kutu. "Saya sudah melakukan tes DNA," ucap Mas Samuel makin mengejutkanku. "Ibu bilang bahwa Sakti begitu mirip dengan saya sewaktu kecil. Awalnya saya nggak berpikir demikian. Tapi, saat saya mencoba mendekat pada Sakti, saya merasa memang benar ada kemiripan antara saya dan Sakti. Itu sebabnya saya melakukan tes DNA," jelas pria itu. Mas Samuel menatapku sangat dalam. "Serena, jika Sakti memang anak kita berdua, kenapa kamu menyembunyikan hal ini dari saya?" Aku membuang wajah ke arah lain. Menarik napas di sana. Lalu menatap Mas Samuel dengan napas sedikit tercekat. "Sakti bukan anak ka
"Sakti?" panggilku langsung menghampirinya. "Kamu habis ngobrol sama siapa?" "Tadi ada uncle Samuel, Mom."Aku menatap arah pandangan Sakti. Yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Pria itu sudah menjauh. Ia berada di seberang jalan, lalu membuka pintu mobil dan pergi dari sana. "Mobilnya uncle Sakti bagus, ya, Mom." Aku mengangguk mengiyakan ucapan Sakti. "Lihat, uncle Samuel juga kasih mainan buat Sakti. Katanya ini mobil Tamia keluaran terbaru. Kalau besar nanti, Sakti mau jadi pembalap mobil, ya, Mom. Bolehkan?" Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Apa pun untuk Sakti aku pasti akan perjuangkan. Cita-cita juga keinginannya sebisa mungkin akan kuberikan yang terbaik untuknya. Aku tidak ingin Sakti kekurangan apa pun. Untuk itu, aku harus berjuang lebih keras lagi. Tin! Tin! Tin! Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kami. Kaca mobil tersebut pun terbuka menampilkan sosok teman yang masih setia bersamaku hingga detik ini. "Aunty Bella!" pekik Sakti. Bella pun turun d