Pukul dua belas siang.
"Pak Samuel pergi lagi?" tanyaku saat melihat ruangan milik Mas Samuel, suamiku kosong.Reno selaku sekretaris suamiku langsung mengangguk lirih. "Betul, Bu. Pak Samuel pergi sebelum jam istirahat."Reno membuka Ipad-nya lalu menunjukkan sesuatu kepadaku. "Ini foto saat saya mengantarkan Pak Samuel mengunjungi Bu Kinan. Mereka makan siang bersama."Aku menatap miris ke tempat makan yang berada di atas meja kerja Mas Samuel. Ini ketiga kalinya masakanku seolah tak ada harga dirinya."Apa perlu saya telepon Pak Samuel bahwa Bu Serena menunggu di kantor?" tanya Reno seakan mengerti perasaanku.Aku menggeleng keras. "Enggak. Gak perlu, Reno. Tolong jangan bilang ke Pak Samuel kalau hari ini saya datang ke kantor.""Baik, Bu.""Oh, ya, kamu sudah makan? Kalau belum, bekal ini buat kamu." Aku menyodorkan rantang tersebut dan Reno menerimanya dengan baik."Terima kasih, Bu."Setelah tak ada yang bisa kulakukan lagi di kantor, aku memutuskan pergi dan pulang ke rumah. Untuk melampiaskan amarah, menyibukkan diri dengan mencoba berbagai hal adalah pelarianku. Kini, jam sudah menunjukkan pukul lima sore dan aku sudah beres membersihkan rumah, masak serta membuat brownis matcha kesukaanku.Kudengar suara mobil masuk ke dalam garasi, tak lama dari itu pintu rumah terbuka lebar. Mas Samuel masuk ke dalam rumah, seperti biasa dia langsung menghampiriku, mengecup kening dan melonggarkan dasinya."Hari ini kamu keliatan beda, kenapa?" tanyanya.Dia mengedarkan pandangan dan tertuju ke meja makan yang sudah terisi penuh. "Kamu masak?""Ada brownis juga. Kamu yang bikin?" Pergerakan Mas Samuel terhenti ketika pertanyaanku terlontar begitu saja.“Seharian ini kamu pergi ke mana, Mas?” Aku sengaja mengabaikan pertanyaannya. Biarkan saja, biarkan pertanyaan dibalas pertanyaan.Aku butuh penjelasan. Tentang foto tadi siang di mana Mas Samuel menyuapi makan buat Mbak Kinan atau kenapa selama ini dia menyembunyikan semuanya dariku? Aku melihat wajahnya, dia tampak ingin menjelaskan sesuatu, tetapi mulutnya kembali terkatup.“Stop curiga yang berlebihan Serena.”“Kenapa? Bukannya wajar kalau aku curiga kaya gini?” Aku menatapnya penuh arti. “Seharian ini kamu nemenin Mbak Kinan di rumah sakit ‘kan?”Diamnya adalah jawaban. Aku mengerti akan kondisi yang menimpa Mbak Kinan. Depresi adalah penyakit serius yang tak boleh diabaikan oleh siapa pun. Namun, mereka sudah lama berpisah. Perempuan itu bukan lagi tanggung jawab suamiku.Dan yang perlu kalian tahu, Mas Samuel dengan Mbak Kinan merupakan sahabat sedari kecil. Saat Mbak Kinan dinyatakan hamil, Mas Samuel lah orang pertama yang berani menikahi sahabatnya, kala itu pelaku yang menghamili Mbak Kinan tidak lain adalah pacarnya sendiri enggan bertanggung jawab.Namun, saat usia pernikahan kami menginjak satu tahun, suamiku kembali menjadi pahlawan ketika Mbak Kinan mengalami gangguan kecemasan hingga berujung depresi ringan karena tekanan dari mantan pacarnya yang ingin mengambil hak asuh anak mereka.“Saya di kantor. Saya gak ke mana-mana Serena.”Aku tertegun mendengar jawabannya. “Kali ini yang ke berapa, Mas?” tanyaku lagi.“Saya di kantor, Serena.” Mas Samuel kembali menegaskan.Aku mengambil napas sebentar. “Aku rasa kita perlu jarak, Mas.”Fakta Mbak Kinan adalah cinta pertama Mas Samuel membuatku makin terasa sakit. Cinta pria itu habis di masa lalu. Mungkin selamanya akan seperti itu. Denganku, Mas Samuel hanya melanjutkan hidupnya.“Maksud kamu?”“Tadi siang aku pergi ke kantor kamu Mas, tapi kamu gak ada di sana. Aku pikir kamu pergi karena ada urusan meeting di luar. Tapi tebakan aku salah. Kamu pergi ke rumah sakit dan nemuin Mbak Kinan di sana."Aku menghela napas dalam-dalam. “Dari awal harusnya kamu jujur, Mas. Aku gak pernah larang kamu ketemu sama Mbak Kinan, tapi bukan dengan cara kamu diam-diam nemuin dia di belakang aku. Aku butuh jawab itu dari kamu."“Segitu gak percayanya kamu sama saya?”“Aku bukan gak mau percaya, tapi kamu yang gak pernah mau jujur, Mas.”“Kejujuran aja gak akan buat kamu puas, Serena. Bahkan mau saya jelasin yang sebenarnya, belum tentu dapat kamu terima.”“Aku bisa terima kalau pernyataan kamu masuk akal.” Aku menatap pilu ke arahnya. “Aku istri kamu, Mas. Tolong berhenti buat aku berpikir kalau kamu memang punya hubungan lebih dengan Mbak Kinan.”Mas Samuel menegakkan tubuhnya. Mengikis jarak di antara kami. Belum saja menghindar, kedua tangannya sudah lebih dulu menahan pergerakanku.“Saya gak mungkin berpaling dari kamu, Serena.” Dia berbisik tepat di telingaku.Kalian ingin tahu? Aku dibuat tak berkutik olehnya. Sungguh, aku merinding sendiri. Dia malah mengendus bebas di area sana. Geli makin terasa.“Saya suka aroma tubuh kamu.”Gila, gila. Ini sungguh gila. Aku hampir mendesah! Pria itu bukan hanya mengendus, tetapi juga mengecup dan menggigit telingaku. Namun, tak berselang lama aku pun tersadar hingga mendorong tubuhnya, naasnya itu tak mudah.“Kenapa?” tanya Mas Samuel sebab aku berani menghindar dari serangannya.Aku melepaskan tangannya dari pinggangku. Mundur satu langkah. Kutatap wajahnya sebentar, lalu meninggalkannya dengan kebisuan yang pria itu ciptakan sendiri. Rasanya sakit, sesak. Aku tak sekuat itu. Pernikahan ini makin hari terlihat abu-abu. Aku bahkan sempat tak mengenali apa arti cinta di dalamnya.“Kamu bisa gak si sedikit aja peduli sama pernikahan kita?” tanyaku tiba-tiba berbalik dengan mata yang sudah memerah.“Gak bisa?” kataku lirih.Miris. Kamu terlihat miris Serena. Apa yang perlu dipertahankan dari pernikahan penuh kepura-puraan ini? Tidak ada. Kamu hanya menyiksa diri sendiri. Ya, apalagi yang kuharapkan? Semuanya, makin tak terlihat.“Apa yang gak aku punya dari Mbak Kinan?”Tidak ada jawaban. Lagi, ku lontarkan pertanyaan yang berbeda.“Kenapa kamu bisa sepeduli itu sama dia, Mas?”Kutatap matanya dalam-dalam. “Secinta itu kamu sama Mbak Kinan?”“Serena .... “Aku melangkah mundur, menjauh. “Gak ada yang perlu dipertahankan dari pernikahan ini, Mas.”Tanpa pikir panjang, Mas Samuel malah mendekat dan mencium bibirku dengan rakus. Aku dapat merasakan emosinya. Namun, itu bukan ciuman penuh cinta, tetapi ciuman penuh emosi yang menyakitkan.“Mmph—lepas!”Napas kami memburu setelah ciuman panas itu selesai. Aku yang lebih dulu mengakhiri ciuman tersebut.“Saya lebih suka kita memperbaikinya, daripada mengakhirinya, Serena.”Dia memandangku lekat. Mengusap lembut area pipiku yang sudah basah dan tangan berakhir di bibirku. “Saya hanya perlu meyakinkan kamu.”Aku menggeleng keras dengan sakit yang makin terasa jelas. Sengaja tubuhku sedikit menjauh darinya.“Kamu gak mungkin mengkhianati pernikahan kita ‘kan, Mas?” tanyaku pilu.Dia berusaha menggapai tanganku. “Serena .... ““Tolong jawab aku, Mas,” lirihku menahan sesak di dalam sana.“Tolong jawab aku, Mas,” lirihku menahan sesak di dalam sana. Pria itu tampak menghela napas sebentar. “Atas dasar apa saya mengkhianati pernikahan kita? Saya memang ke rumah sakit jenguk Kinan, tapi gak seperti yang kamu bayangkan. Alasan kenapa saya gak jujur sama kamu karena saya tau itu akan menyakiti kamu, Serena. Saya tau ketakutan kamu sangat besar.”Aku menatapnya tak percaya. “Nyakitin aku? Justru kamu yang gak jujur kaya gini lebih nyakitin perasaan aku, Mas!” Mas Samuel memegang kedua tanganku. “Saya gak mungkin mengkhianati pernikahan kita, Serena. Kamu jauh lebih berharga dibanding Kinan.”Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. “Selama ini, kesembuhan Kinan selalu jadi yang paling saya harapkan. Karena Anin. Saya melakukan ini semua demi Anin. Mau bagaimanapun, Anin butuh Kinan di hidupnya.” Tatapan kami bertemu. Ingin sekali kukatakan bahwa kebaikannya adalah sumber kesakitanku. Namun, aku tak berani mengatakan itu. Fakta yang kudengar barusan sudah menjawab s
Tarikan tangan itu terlepas. Tak hanya aku yang kebingungan, tetapi Mas Samuel juga. Aku melihat dengan jelas perempuan dengan kursi roda itu berjalan ke arah kami. Itu Mbak Kinan. Aku yakin betul. Namun, apa yang terjadi? Mengapa perempuan itu ada di sini? Belum sempat Mbak Kinan sampai di hadapan kami, Mas Samuel sudah lebih dulu menghampiri. Aku terdiam. Mereka seperti pasangan suami-istri, antara khawatir dan rindu dalam satu waktu. “Mas Samuel,” panggil Mbak Kinan. Mas Samuel berjongkok, pria itu terlihat khawatir. “Kondisi kamu belum pulih, kenapa ke sini?” “Aku udah sehat, Mas. Liat, aku udah bisa keluar. Kamu seneng nggk?” Aku tak bisa melihat betul ekspresi apa yang Mas Samuel tampilkan ketika pertanyaan penuh harapan itu terlontar dari mulut Mbak Kinan. Namun, aku menyadari satu hal bahwa Mbak Kinan terlalu sulit digantikan. “Lain kali kalau Kinan minta keluar, tolong kabarin saya, Nia.”Suster Nia pun mengangguk. “Baik, Pak.” “Aku mau ikut rapat, Mas.” Aku
Setelah bersiap-siap, aku menghampiri mereka, lalu tersenyum tipis. Mbak Kinan melihatku dan menyapaku dengan gestur tubuhnya. Di sana masih ada suster Nia yang menemani. “Kita berangkat sekarang aja,” ucap Mas Samuel langsung berdiri dari duduknya. Tiba-tiba Mbak Kinan menatapku seolah ada yang salah dalam diriku. Tatapan aneh yang aku saja tak tahu artinya apa. “Kamu terlihat cantik Serena,” ucap Mbak Kinan. Aku tak meresponsnya. Baik itu lewat senyuman atau yang lain, aku tak memberikan reaksi apa-apa. Diam adalah jawabanku. “Gimana kabar kamu?” tanyanya. “Kita bisa telat ke sekolah Anin, Mas,” ucapku sengaja mengalihkan pembicaraan. Sontak Mas Samuel melirik arloji di tangannya. “Kinan, kamu mau bareng kami atau sama sopir?” Lalu suster Nia angkat suara. “Maaf, Pak. Bu Kinan tidak diizinkan bepergian lebih dari satu jam, mengingat sekarang kondisinya sedang masa pemulihan.” “Mau saya antar ke rumah sakit?” tanya Mas Samuel begitu peduli. “Kami bersama sopir, Pa
“Mama Serena,” lirih Anin. Aku menoleh ke belakang. Di sana ada Anin sudah berdiri tegak bagai patung. Dengan kegugupan yang melanda, aku pun berjalan mendekat. Anin menatapku tanpa ekspresi. Bagaimana kalau Anin mendengar percakapanku dengan Mas Samuel? “Anin ngapain keluar?” tanyaku berusaha terlihat baik-baik saja. “Papa pergi ke mana, Ma?” Deg! Sontak pandanganku beralih ke arah gerbang yang masih terbuka lebar. Bohong kalau aku tak ingin menangis. Bahkan saat pria itu pergi tanpa memedulikanku saja rasanya seperti tertancap pisau, sakit. “P-papa, Papa ada kerjaan Sayang,” jawabku menahan sakit di dada. Aku tersenyum, meyakinkan bahwa yang kuucapkan barusan adalah fakta, bukan kebohongan. “Papa sibuk, ya, Ma?” Tanganku mengusap pelan rambut panjang milik Anin. Bernapas lega, sepertinya Anin tak mendengar ucapan kami. “Papa ‘kan kerja, pasti sibuk, Sayang. Sekarang Anin masuk lagi ya? Mama harus pergi, ada urusan di luar.” “Anin boleh ikut?” Kubalas senyum. “M
Tiga hari berlalu. Setelah kejadian di rumah sakit. Mas Samuel tak pernah pulang ke rumah. Dia meninggalkanku tanpa kata. Membiarkan aku menanggung rasa sakit ini sendirian. Selama tiga hari ini, aku hanya berdiam diri di rumah. Pikiranku penuh. Aku selalu menatap pintu luar, berharap Mas Samuel pulang. Namun, siang sudah berganti malam, batang hidungnya sampai saat ini belum kelihatan. Aku yang terluka.Ya, aku terluka karena harapan itu tak kunjung jadi kenyataan. Aku khawatir. Tak ada telepon ataupun pesan darinya. Ah, di mana Mas Samuel berada? Apakah hari ini sudah makan? Di luar sedang hujan, siapa yang buatkan dia kopi? Pertanyaan itu selalu berputar di kepala. Aku kesal, juga khawatir. Ting! Bella :Barusan gue liat laki lo keluar dari apartemenAku yang menerima pesan itu sedikit lega. Namun, apakah selama tiga hari ini Mas Samuel menginap di sana? Ah, memikirkannya saja membuat kepalaku hampir meledak. Me :Apartemen mana, Bel?Bella :Satu unit sama apart gu
Pagi pun tiba. Aku sudah lebih dulu bangun, setelah panggilan telepon di jam satu dini hari selesai, aku memutuskan tidur kembali. Kini jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Niatku hari ini pergi ke rumah ibu dan menginap di sana untuk beberapa hari ke depan. Tidak ada persiapan, bahkan tak ada satu pun pakaian yang kubawa. Kulihat seisi kamar, rasanya berat. Di sini, banyak kenanganku dengan Mas Samuel. Pria dengan segala ambisinya selalu saja duduk di pojok kanan ruangan di mana itu adalah tempatnya bekerja. Aku termenung di tempat. Tuhan, apakah keputusanku kali ini benar? Napasku terasa sesak. Ini menjadi keputusan terbesar yang pernah aku ambil. Aku belum pernah memutuskan pulang ke rumah ibu setelah menikah, apalagi pulang sendiri tanpa suami. Ya, paling ketika ke rumah ibu aku dan Mas Samuel hanya berkunjung saja, sebab pekerjaan Mas Suami tak bisa ditinggalkan begitu saja. Sayangnya, itu semua tak berlaku. Pulangku bukan hanya berkunjung, tetapi untuk menenangkan diri. Se
"Seberapa besar luka itu sampai kamu memutuskan ingin pulang ke rumah ibu, Serena?" tanyanya begitu pelan dan terdengar menyakitkan. Aku menggeleng kuat. Menghindar dari hadapannya. Tak dapat dipungkiri bahwa pertanyaan tersebut terdengar begitu memilukan. Menyadari satu hal bahwa selama ini, Mas Samuel tak pernah mengerti sedalam apa luka yang istrinya miliki. "Maaf, Mas."Setelah mengatakan itu, aku memutuskan pergi dari rumah. Mas Samuel tampak tak bergeming dari tempatnya. Mungkin bagi Mas Samuel, perhatian serta kepedulian yang dia berikan kepada Mbak Kinan tak membuat hatiku terluka. Itu kenapa pertanyaan ketidaktahuannya justru malah menyakitiku. Saat membuka pintu, aku dikejutkan dengan kedatangan Anin dan Neneknya yang merupakan orang tua Mbak Kinan. Aku sempat memandang keduanya dalam hitungan detik, lalu melanjutkan perjalanan keluar rumah. "Mama Serena mau ke mana?" tanya Anin. Tak peduli bagaimana reaksi Anin dan Neneknya melihat aku pergi begitu saja tanpa mengucap
—POV SerenaAku menatap rumah yang hampir dua tahun ini ku tinggali bersama Mas Samuel. Tadi, saat hendak pergi ke rumah ibu, Anin justru datang bersama neneknya. Membuatku merasa bersalah meninggalkannya begitu saja tanpa menyapa terlebih dahulu. Sekarang, di tanganku sudah ada hadiah untuk Anin. Besok ulang tahunnya. Entah apa yang kupikirkan, sampai seniat ini membeli hadiah dan kembali ke rumah demi seorang Anin. "Mang Ujang," panggilku. "Loh, Bu Serena?" Buru-buru Mang Ujang membuka gerbang rumah. Aku menatap sebentar hadiah yang hendak kuberi kepada Anin. Aku tak berharap banyak, tetapi semoga anak itu suka. "Ini, saya titip hadiah buat Anin. Dia ada di dalam. Mang Ujang kasih aja ini ke Bi Siti," ucapku seraya menyodorkan hadiah itu. "Loh, Bu Serena mau pergi lagi?" "Tolong kasih dulu, Pak."Mang Ujang mengangguk lirih dan membawa hadiah itu ke dalam rumah. Aku tak langsung pergi. Entah apa yang kutunggu, tetapi kaki ini masih setia di tempat. Tak berselang lama Mang Uja
Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok
—HOTELAku sudah kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Suaminya tidak sesuai yang aku harapkan. Harusnya aku lebih berhati-hati karena ketika hal buruk menimpa hidupku dengan Sakti, aku punya cara untuk menghindarinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan, Tuhan? "Terima kasih, Mas. Aku sama Sakti ke dalam dulu," ujarku tersenyum tipis kepada Elmar. Elmar memegang tanganku kala pintu hotel hendak ditutup. Pria itu memberi kode kepada Sakti agar anak itu pergi lebih dulu ke dalam. Ia menarik tanganku sehingga kini aku berada di luar pintu. "Ada yang mau saya tanyakan sama kamu," ujar Elmar melepas cekalan tadi. Aku menekuk kedua alis. Apakah pria itu akan bertanya soal Mas Samuel? "Sejak kapan kamu dekat lagi dengan Samuel?" tanyanya. Dugaanku benar. Elmar menanyakan soal Mas Samuel. Namun, kenapa tiba-tiba begini? Ini bahkan terasa seperti interogasi, bukan tanya bertanya."Aku rasa kita nggak perlu bahas itu, Mas. Lagipula, dekat lagi atau nggak, itu hak
"Papa senang, akhirnya kita bertemu, Sakti."Bella langsung memegang pundakku. Perempuan itu juga membawa Sakti pergi menjauh dari kami. Kini, tinggal aku dan Mas Samuel yang saling berhadapan satu sama lain. Aku tidak tahu kenapa keadaan saat ini cukup mencekam. Mas Samuel terus menatapku seolah tidak ada objek lain di sekitarnya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa pun. Ini membuatku mati kutu. "Saya sudah melakukan tes DNA," ucap Mas Samuel makin mengejutkanku. "Ibu bilang bahwa Sakti begitu mirip dengan saya sewaktu kecil. Awalnya saya nggak berpikir demikian. Tapi, saat saya mencoba mendekat pada Sakti, saya merasa memang benar ada kemiripan antara saya dan Sakti. Itu sebabnya saya melakukan tes DNA," jelas pria itu. Mas Samuel menatapku sangat dalam. "Serena, jika Sakti memang anak kita berdua, kenapa kamu menyembunyikan hal ini dari saya?" Aku membuang wajah ke arah lain. Menarik napas di sana. Lalu menatap Mas Samuel dengan napas sedikit tercekat. "Sakti bukan anak ka
"Sakti?" panggilku langsung menghampirinya. "Kamu habis ngobrol sama siapa?" "Tadi ada uncle Samuel, Mom."Aku menatap arah pandangan Sakti. Yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Pria itu sudah menjauh. Ia berada di seberang jalan, lalu membuka pintu mobil dan pergi dari sana. "Mobilnya uncle Sakti bagus, ya, Mom." Aku mengangguk mengiyakan ucapan Sakti. "Lihat, uncle Samuel juga kasih mainan buat Sakti. Katanya ini mobil Tamia keluaran terbaru. Kalau besar nanti, Sakti mau jadi pembalap mobil, ya, Mom. Bolehkan?" Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Apa pun untuk Sakti aku pasti akan perjuangkan. Cita-cita juga keinginannya sebisa mungkin akan kuberikan yang terbaik untuknya. Aku tidak ingin Sakti kekurangan apa pun. Untuk itu, aku harus berjuang lebih keras lagi. Tin! Tin! Tin! Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kami. Kaca mobil tersebut pun terbuka menampilkan sosok teman yang masih setia bersamaku hingga detik ini. "Aunty Bella!" pekik Sakti. Bella pun turun d