“Tolong jawab aku, Mas,” lirihku menahan sesak di dalam sana.
Pria itu tampak menghela napas sebentar. “Atas dasar apa saya mengkhianati pernikahan kita? Saya memang ke rumah sakit jenguk Kinan, tapi gak seperti yang kamu bayangkan. Alasan kenapa saya gak jujur sama kamu karena saya tau itu akan menyakiti kamu, Serena. Saya tau ketakutan kamu sangat besar.”Aku menatapnya tak percaya. “Nyakitin aku? Justru kamu yang gak jujur kaya gini lebih nyakitin perasaan aku, Mas!”Mas Samuel memegang kedua tanganku. “Saya gak mungkin mengkhianati pernikahan kita, Serena. Kamu jauh lebih berharga dibanding Kinan.”Aku mengalihkan pandangan ke arah lain.“Selama ini, kesembuhan Kinan selalu jadi yang paling saya harapkan. Karena Anin. Saya melakukan ini semua demi Anin. Mau bagaimanapun, Anin butuh Kinan di hidupnya.”Tatapan kami bertemu. Ingin sekali kukatakan bahwa kebaikannya adalah sumber kesakitanku. Namun, aku tak berani mengatakan itu. Fakta yang kudengar barusan sudah menjawab semuanya.“Tolong jangan simpan aku di urutan paling belakang, Mas.”Dia memelukku tanpa permisi. “Maafkan saya, Serena. Maafkan saya.”Aku membalas pelukan itu sebagai tanda telah menerima permintaan maafnya. Sayangnya pelukan itu tak berlangsung lama. Mas Samuel lebih dulu menyudahi dan mengecup bibirku sekilas.“Besok saya ambil cuti.”“Cuti? Cuti untuk apa?” Aku sedikit menjauh darinya. “Aku gak mau denger kalau itu soal Mbak Kinan, ya, Mas.”“Besok rapat orang tua Anin.”Mas Samuel menatap dalam ke arahku seolah penjelasannya barusan adalah hal yang harus kupahami dengan tulus.“Kamu bisa temani saya ke sekolah?”Aku menyayangi Anin, tetapi entah kenapa sekarang rasanya begitu memuakkan. Apa pun yang berhubungan dengan Mbak Kinan, aku berubah jadi orang yang emosional.“Kamu terlalu ngegampangin aku, Mas.”Pria itu terlihat menghela napas. Dia mendekatiku, menatapku lama sebelum akhirnya berbicara. Omongan yang entah harus kutanggapi seperti apa.“Anin butuh sosok ibu. Dia gak dapetin itu dari Kinan, dan harapan satu-satunya saat ini cuma kamu.” Mas Samuel menatapku dengan tatapan serius. “Saya berharap banyak sama kamu Serena.”Aku menatap ke arah lain. Dia berharap banyak padaku? Lelucon apalagi kali ini, apa Mbak Kinan saja tak cukup membuat rumah tangga kami berantakan? Ah, rupanya tidak. Karena di sini hanya aku yang berperasaan. Hanya aku yang terlalu pemikir dan berharap Mas Samuel cukup fokus pada pernikahan kami, tetapi nyatanya tidak demikian.—Pukul tujuh pagi.Setelah percakapan tadi malam, aku memilih masuk kamar dan menghiraukan ajakannya. Namun, kulihat sekarang Mas Samuel sudah rapi dengan pakaian formalnya. Bukan salah lagi, pasti suamiku itu hendak menghadiri rapat orang tua Anin.“Mau ke mana?” tanyaku.Serena bodoh! Sudah tahu suamimu mau pergi ke sekolah Anin—anak mantan istrinya, masih saja bertanya. Ah, sialan. Memang ya, mulutku ini gatal kalau tak adu mulut dengan Mas Samuel.“Kamu lupa kalau hari ini kita sepakat ke sekolah Anin?”Dia mengikuti langkahku. “Serena saya lagi ngomong sama kamu.”Sontak langkahku langsung terhenti. Tak lama dari itu, kini posisi Mas Samuel sudah di depanku.“Sejak kapan aku sepakat ikut? Gak ada ya Mas. Kamu jangan ngarang cerita!”“Demi Anin.”Aku mundur satu langkah. “Aku gak bisa, Mas.”“Saya mohon, Serena.”Hening. Dingin pagi terasa begitu tak bersahabat. Badanku sedikit tak enak, sebab semalaman tak bisa tidur. Dan kini, apa yang harus kulakukan?“Kenapa harus aku?”Lama tak menjawab, lalu Mas Samuel memegang tanganku seolah meyakinkan. “Kamu ibunya Serena.”Ibu sambung, itu yang benar. Namun, aku malah mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku harusnya tak bersikap seperti ini terhadap Anin, tetapi rasanya untuk menerima gadis itu layaknya anakku sendiri bukanlah hal yang mudah.“Maaf, aku tetap gak bisa, Mas.” Aku menatapnya datar. “Aku tau ini semua demi kebaikan, Anin. Aku paham semuanya, Mas. Semua yang kamu lakuin supaya Anin gak merasa kekurangan kasih sayang dari orang tuanya ‘kan? Tapi kamu bisa nolak, Mas. Anin bukan anak kandung kamu. Tolong jangan buat semuanya makin rumit.”“Anin sudah saya anggap sebagai anak sendiri. Tolong perlakukan Anin sebagai anak kamu juga. Saya mohon, Serena. Anin masih kecil. Saya gak mungkin nolak permintaannya. Anin anak kecil yang gak tau apa-apa. Tolong untuk kali ini jangan egois. Jangan buat Anin merasa kamu gak pernah menginginkan dia.”Aku menghela napas lelah. Percuma. Mau dijelaskan dari Sabang-Merauke pun Mas Samuel tetap pada pendiriannya. Pria itu akan terus berada di samping Anin, dia tak mungkin mau mendengarkan ucapanku.“Aku tetap gak bisa, Mas. Tolong jangan paksa aku kaya gini.”“Serena—““Berhenti bahas Anin ataupun Mbak Kinan, aku muak, Mas.” Kalimatku terjeda, “aku benci mereka. Aku benci mereka, Mas.” Dan kalimatku mengecil di akhir kalimat.Aku meninggalkannya. Namun, baru beberapa langkah pergi, suara dengan isi kalimat menyakitkan keluar dari mulutnya. Kakiku berubah kaku. Atmosfer aneh mulai menyeruak masuk ke dalam sana. Bahkan untuk berbalik badan saja rasanya tak sanggup.“Kamu keterlaluan, Serena.”Perasaanku hancur. Baru kemarin pria itu meyakinkanku, tetapi sekarang apa? Mas Samuel kembali membuatku ragu.“Kamu tanya apa hebatnya Kinan? Dia gak pernah melawan ucapan saya. Dia selalu patuh sama saya. Dia—““Apa? Apalagi, Mas? Apalagi hebatnya Mbak Kinan?” tanyaku menggebu-gebu.Ya, aku memberanikan diri menatap wajahnya. Ini yang paling aku tak suka jika pembicaraan kami isinya tentang Anin. Mas Samuel bisa berubah jadi monster dalam hitungan detik.“Apalagi hebatnya mantan kamu yang gak waras itu? Keluarin semuanya, Mas!” Aku terkekeh pelan. “Oh, jangan bilang perasaan kamu buat dia belum selesai, iya?”“Jaga ucapan kamu Serena!”Aku tidak kalah emosinya dengan Mas Samuel. Panas. Tak ada yang kalah ataupun mengalah. Kami sama-sama sedang membara.“Aku benci kamu, Mas.”Dengan rasa kekecewaan yang mendalam, aku berbalik arah menuju luar rumah. Burung yang sedang berkicau di pagi hari seolah menertawakan nasib rumah tangga majikannya. Aku terus berjalan. Mas Samuel ikut mengejar sampai keluar rumah.“Berhenti, Serena!”“Saya bilang berhenti Serena!”Aku mengikuti perintahnya. Membalikkan badan dan menatap nyalang ke arahnya.“Kamu yang berhenti, Mas!” ucapku tak mau kalah. “Berhenti buat aku jadi orang paling bodoh di sini!”“Kamu mau ke sekolah Anin, ‘kan? Sana pergi! Aku gak peduli, Mas.”“Masuk!” Dia menarik tanganku secara kasar.Namun, tiba-tiba seseorang menghentikan aktivitas kami yang sedang bertengkar. Seseorang itu tampak syok, tetapi tak lama langsung tersenyum lebar. Aku melihat kebahagiaan di matanya.“Mas Samuel,” panggil seseorang itu dari depan pekarangan rumah.Tarikan tangan itu terlepas. Tak hanya aku yang kebingungan, tetapi Mas Samuel juga. Aku melihat dengan jelas perempuan dengan kursi roda itu berjalan ke arah kami. Itu Mbak Kinan. Aku yakin betul. Namun, apa yang terjadi? Mengapa perempuan itu ada di sini? Belum sempat Mbak Kinan sampai di hadapan kami, Mas Samuel sudah lebih dulu menghampiri. Aku terdiam. Mereka seperti pasangan suami-istri, antara khawatir dan rindu dalam satu waktu. “Mas Samuel,” panggil Mbak Kinan. Mas Samuel berjongkok, pria itu terlihat khawatir. “Kondisi kamu belum pulih, kenapa ke sini?” “Aku udah sehat, Mas. Liat, aku udah bisa keluar. Kamu seneng nggk?” Aku tak bisa melihat betul ekspresi apa yang Mas Samuel tampilkan ketika pertanyaan penuh harapan itu terlontar dari mulut Mbak Kinan. Namun, aku menyadari satu hal bahwa Mbak Kinan terlalu sulit digantikan. “Lain kali kalau Kinan minta keluar, tolong kabarin saya, Nia.”Suster Nia pun mengangguk. “Baik, Pak.” “Aku mau ikut rapat, Mas.” Aku
Setelah bersiap-siap, aku menghampiri mereka, lalu tersenyum tipis. Mbak Kinan melihatku dan menyapaku dengan gestur tubuhnya. Di sana masih ada suster Nia yang menemani. “Kita berangkat sekarang aja,” ucap Mas Samuel langsung berdiri dari duduknya. Tiba-tiba Mbak Kinan menatapku seolah ada yang salah dalam diriku. Tatapan aneh yang aku saja tak tahu artinya apa. “Kamu terlihat cantik Serena,” ucap Mbak Kinan. Aku tak meresponsnya. Baik itu lewat senyuman atau yang lain, aku tak memberikan reaksi apa-apa. Diam adalah jawabanku. “Gimana kabar kamu?” tanyanya. “Kita bisa telat ke sekolah Anin, Mas,” ucapku sengaja mengalihkan pembicaraan. Sontak Mas Samuel melirik arloji di tangannya. “Kinan, kamu mau bareng kami atau sama sopir?” Lalu suster Nia angkat suara. “Maaf, Pak. Bu Kinan tidak diizinkan bepergian lebih dari satu jam, mengingat sekarang kondisinya sedang masa pemulihan.” “Mau saya antar ke rumah sakit?” tanya Mas Samuel begitu peduli. “Kami bersama sopir, Pa
“Mama Serena,” lirih Anin. Aku menoleh ke belakang. Di sana ada Anin sudah berdiri tegak bagai patung. Dengan kegugupan yang melanda, aku pun berjalan mendekat. Anin menatapku tanpa ekspresi. Bagaimana kalau Anin mendengar percakapanku dengan Mas Samuel? “Anin ngapain keluar?” tanyaku berusaha terlihat baik-baik saja. “Papa pergi ke mana, Ma?” Deg! Sontak pandanganku beralih ke arah gerbang yang masih terbuka lebar. Bohong kalau aku tak ingin menangis. Bahkan saat pria itu pergi tanpa memedulikanku saja rasanya seperti tertancap pisau, sakit. “P-papa, Papa ada kerjaan Sayang,” jawabku menahan sakit di dada. Aku tersenyum, meyakinkan bahwa yang kuucapkan barusan adalah fakta, bukan kebohongan. “Papa sibuk, ya, Ma?” Tanganku mengusap pelan rambut panjang milik Anin. Bernapas lega, sepertinya Anin tak mendengar ucapan kami. “Papa ‘kan kerja, pasti sibuk, Sayang. Sekarang Anin masuk lagi ya? Mama harus pergi, ada urusan di luar.” “Anin boleh ikut?” Kubalas senyum. “M
Tiga hari berlalu. Setelah kejadian di rumah sakit. Mas Samuel tak pernah pulang ke rumah. Dia meninggalkanku tanpa kata. Membiarkan aku menanggung rasa sakit ini sendirian. Selama tiga hari ini, aku hanya berdiam diri di rumah. Pikiranku penuh. Aku selalu menatap pintu luar, berharap Mas Samuel pulang. Namun, siang sudah berganti malam, batang hidungnya sampai saat ini belum kelihatan. Aku yang terluka.Ya, aku terluka karena harapan itu tak kunjung jadi kenyataan. Aku khawatir. Tak ada telepon ataupun pesan darinya. Ah, di mana Mas Samuel berada? Apakah hari ini sudah makan? Di luar sedang hujan, siapa yang buatkan dia kopi? Pertanyaan itu selalu berputar di kepala. Aku kesal, juga khawatir. Ting! Bella :Barusan gue liat laki lo keluar dari apartemenAku yang menerima pesan itu sedikit lega. Namun, apakah selama tiga hari ini Mas Samuel menginap di sana? Ah, memikirkannya saja membuat kepalaku hampir meledak. Me :Apartemen mana, Bel?Bella :Satu unit sama apart gu
Pagi pun tiba. Aku sudah lebih dulu bangun, setelah panggilan telepon di jam satu dini hari selesai, aku memutuskan tidur kembali. Kini jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Niatku hari ini pergi ke rumah ibu dan menginap di sana untuk beberapa hari ke depan. Tidak ada persiapan, bahkan tak ada satu pun pakaian yang kubawa. Kulihat seisi kamar, rasanya berat. Di sini, banyak kenanganku dengan Mas Samuel. Pria dengan segala ambisinya selalu saja duduk di pojok kanan ruangan di mana itu adalah tempatnya bekerja. Aku termenung di tempat. Tuhan, apakah keputusanku kali ini benar? Napasku terasa sesak. Ini menjadi keputusan terbesar yang pernah aku ambil. Aku belum pernah memutuskan pulang ke rumah ibu setelah menikah, apalagi pulang sendiri tanpa suami. Ya, paling ketika ke rumah ibu aku dan Mas Samuel hanya berkunjung saja, sebab pekerjaan Mas Suami tak bisa ditinggalkan begitu saja. Sayangnya, itu semua tak berlaku. Pulangku bukan hanya berkunjung, tetapi untuk menenangkan diri. Se
"Seberapa besar luka itu sampai kamu memutuskan ingin pulang ke rumah ibu, Serena?" tanyanya begitu pelan dan terdengar menyakitkan. Aku menggeleng kuat. Menghindar dari hadapannya. Tak dapat dipungkiri bahwa pertanyaan tersebut terdengar begitu memilukan. Menyadari satu hal bahwa selama ini, Mas Samuel tak pernah mengerti sedalam apa luka yang istrinya miliki. "Maaf, Mas."Setelah mengatakan itu, aku memutuskan pergi dari rumah. Mas Samuel tampak tak bergeming dari tempatnya. Mungkin bagi Mas Samuel, perhatian serta kepedulian yang dia berikan kepada Mbak Kinan tak membuat hatiku terluka. Itu kenapa pertanyaan ketidaktahuannya justru malah menyakitiku. Saat membuka pintu, aku dikejutkan dengan kedatangan Anin dan Neneknya yang merupakan orang tua Mbak Kinan. Aku sempat memandang keduanya dalam hitungan detik, lalu melanjutkan perjalanan keluar rumah. "Mama Serena mau ke mana?" tanya Anin. Tak peduli bagaimana reaksi Anin dan Neneknya melihat aku pergi begitu saja tanpa mengucap
—POV SerenaAku menatap rumah yang hampir dua tahun ini ku tinggali bersama Mas Samuel. Tadi, saat hendak pergi ke rumah ibu, Anin justru datang bersama neneknya. Membuatku merasa bersalah meninggalkannya begitu saja tanpa menyapa terlebih dahulu. Sekarang, di tanganku sudah ada hadiah untuk Anin. Besok ulang tahunnya. Entah apa yang kupikirkan, sampai seniat ini membeli hadiah dan kembali ke rumah demi seorang Anin. "Mang Ujang," panggilku. "Loh, Bu Serena?" Buru-buru Mang Ujang membuka gerbang rumah. Aku menatap sebentar hadiah yang hendak kuberi kepada Anin. Aku tak berharap banyak, tetapi semoga anak itu suka. "Ini, saya titip hadiah buat Anin. Dia ada di dalam. Mang Ujang kasih aja ini ke Bi Siti," ucapku seraya menyodorkan hadiah itu. "Loh, Bu Serena mau pergi lagi?" "Tolong kasih dulu, Pak."Mang Ujang mengangguk lirih dan membawa hadiah itu ke dalam rumah. Aku tak langsung pergi. Entah apa yang kutunggu, tetapi kaki ini masih setia di tempat. Tak berselang lama Mang Uja
Usai percakapanku dengan Bella di apartemen tadi. Aku memutuskan pulang ke rumah ibu. Perasaanku campur aduk. Aku memang pernah berpikir sama seperti yang Bella ucapkan, tetapi sebisa mungkin pikiran itu kubuang jauh-jauh. Selingkuh. Satu kata, tetapi beribu luka di dalamnya. Hal itu membuatku teringat kembali bagaimana hubungan mereka tanpa sepengetahuanku. Dari pelukan, menyuapi makan, jalan-jalan, hingga kecupan ringan di pipi. Aku ingat semuanya. Apakah itu bisa dikatakan perselingkuhan? "Udah sampai, Mbak. Sesusai alamat tujuan," kata sopir Taxi membuyarkan lamunanku. "Ah, iya. Terima kasih, Pak." Aku langsung turun usai membayar ongkos Taxi. Aku menghirup udara di sekitar rumah ibu. Menyejukkan. Mendung membuat suasana terasa sendu sekaligus damai. Rumah ibu memang tak seluas rumah kami. Namun, ini cukup menenangkan. Aku bahkan dapat merasakan kehangatan dari sana, padahal belum sama sekali masuk ke dalam. "Neng Serena? Ya ampun, Ibu kira siapa. Sudah menikah jadi jarang
Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok
—HOTELAku sudah kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Suaminya tidak sesuai yang aku harapkan. Harusnya aku lebih berhati-hati karena ketika hal buruk menimpa hidupku dengan Sakti, aku punya cara untuk menghindarinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan, Tuhan? "Terima kasih, Mas. Aku sama Sakti ke dalam dulu," ujarku tersenyum tipis kepada Elmar. Elmar memegang tanganku kala pintu hotel hendak ditutup. Pria itu memberi kode kepada Sakti agar anak itu pergi lebih dulu ke dalam. Ia menarik tanganku sehingga kini aku berada di luar pintu. "Ada yang mau saya tanyakan sama kamu," ujar Elmar melepas cekalan tadi. Aku menekuk kedua alis. Apakah pria itu akan bertanya soal Mas Samuel? "Sejak kapan kamu dekat lagi dengan Samuel?" tanyanya. Dugaanku benar. Elmar menanyakan soal Mas Samuel. Namun, kenapa tiba-tiba begini? Ini bahkan terasa seperti interogasi, bukan tanya bertanya."Aku rasa kita nggak perlu bahas itu, Mas. Lagipula, dekat lagi atau nggak, itu hak
"Papa senang, akhirnya kita bertemu, Sakti."Bella langsung memegang pundakku. Perempuan itu juga membawa Sakti pergi menjauh dari kami. Kini, tinggal aku dan Mas Samuel yang saling berhadapan satu sama lain. Aku tidak tahu kenapa keadaan saat ini cukup mencekam. Mas Samuel terus menatapku seolah tidak ada objek lain di sekitarnya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa pun. Ini membuatku mati kutu. "Saya sudah melakukan tes DNA," ucap Mas Samuel makin mengejutkanku. "Ibu bilang bahwa Sakti begitu mirip dengan saya sewaktu kecil. Awalnya saya nggak berpikir demikian. Tapi, saat saya mencoba mendekat pada Sakti, saya merasa memang benar ada kemiripan antara saya dan Sakti. Itu sebabnya saya melakukan tes DNA," jelas pria itu. Mas Samuel menatapku sangat dalam. "Serena, jika Sakti memang anak kita berdua, kenapa kamu menyembunyikan hal ini dari saya?" Aku membuang wajah ke arah lain. Menarik napas di sana. Lalu menatap Mas Samuel dengan napas sedikit tercekat. "Sakti bukan anak ka
"Sakti?" panggilku langsung menghampirinya. "Kamu habis ngobrol sama siapa?" "Tadi ada uncle Samuel, Mom."Aku menatap arah pandangan Sakti. Yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Pria itu sudah menjauh. Ia berada di seberang jalan, lalu membuka pintu mobil dan pergi dari sana. "Mobilnya uncle Sakti bagus, ya, Mom." Aku mengangguk mengiyakan ucapan Sakti. "Lihat, uncle Samuel juga kasih mainan buat Sakti. Katanya ini mobil Tamia keluaran terbaru. Kalau besar nanti, Sakti mau jadi pembalap mobil, ya, Mom. Bolehkan?" Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Apa pun untuk Sakti aku pasti akan perjuangkan. Cita-cita juga keinginannya sebisa mungkin akan kuberikan yang terbaik untuknya. Aku tidak ingin Sakti kekurangan apa pun. Untuk itu, aku harus berjuang lebih keras lagi. Tin! Tin! Tin! Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kami. Kaca mobil tersebut pun terbuka menampilkan sosok teman yang masih setia bersamaku hingga detik ini. "Aunty Bella!" pekik Sakti. Bella pun turun d