Setelah bersiap-siap, aku menghampiri mereka, lalu tersenyum tipis. Mbak Kinan melihatku dan menyapaku dengan gestur tubuhnya. Di sana masih ada suster Nia yang menemani.
“Kita berangkat sekarang aja,” ucap Mas Samuel langsung berdiri dari duduknya.Tiba-tiba Mbak Kinan menatapku seolah ada yang salah dalam diriku. Tatapan aneh yang aku saja tak tahu artinya apa.“Kamu terlihat cantik Serena,” ucap Mbak Kinan.Aku tak meresponsnya. Baik itu lewat senyuman atau yang lain, aku tak memberikan reaksi apa-apa. Diam adalah jawabanku.“Gimana kabar kamu?” tanyanya.“Kita bisa telat ke sekolah Anin, Mas,” ucapku sengaja mengalihkan pembicaraan.Sontak Mas Samuel melirik arloji di tangannya. “Kinan, kamu mau bareng kami atau sama sopir?”Lalu suster Nia angkat suara. “Maaf, Pak. Bu Kinan tidak diizinkan bepergian lebih dari satu jam, mengingat sekarang kondisinya sedang masa pemulihan.”“Mau saya antar ke rumah sakit?” tanya Mas Samuel begitu peduli.“Kami bersama sopir, Pak,” jawab Suster Nia, lagi.Mas Samuel kembali mensejejerkan posisinya dengan Mbak Kinan. Kuhela napas lelah, astaga drama apalagi yang harus kutonton dari pasangan yang sudah berpisah ini?“Kinan, saya tau kondisi kamu seperti apa. Setelah ini, kamu jangan pergi ke mana-mana lagi, ya. Pulang dari rapat saya janji bawa Anin ketemu kamu.”“Janji?”Mas Samuel mengangguk. “Kamu harus nurut apa kata dokter, ya?”“Aku mau ketemu Anin. Aku mau ketemu Anin, Mas!”“Hei, tenang. Kinan kamu harus dengerin apa kata saya. Tarik napas, buang pelan-pelan.” Mbak Kinan menirukan apa yang Mas Samuel bilang. “Tenang. Kamu harus bisa kontrol emosi. Saya janji bawa Anin ketemu kamu. Kamu percaya sama saya, ‘kan?”Mbak Kinan mengangguk cepat.“Bagus.” Mas Samuel mengelus lembut rambut mantan istrinya.Aku yang melihat itu muak sendiri. Apa aku ini sedang cemburu?“Nia, tolong kamu bawa Kinan kembali ke rumah sakit. Kabari saya kalau udah sampai.”“Baik, Pak.”Setelah drama panjang yang membuat telinga panas, akhirnya kami memutuskan pergi ke sekolah Anin. Mbak Kinan? Perempuan itu kembali ke rumah sakit sebelum jam keluar habis. Sepanjang jalan, aku bersama Mas Samuel saling diam di dalam mobil.Sesampainya di sekolah. Dengan lumayan tergesa, Mas Samuel berjalan ke arah kelas Anin dan aku mengikutinya dari belakang. Melihat itu aku sedikit terenyuh, entah kenapa.“Aku di luar aja Mas, kamu yang masuk ke dalam.”Tanpa memedulikan ucapanku, Mas Samuel langsung membawaku masuk ke dalam kelas. Untung belum ada guru dan rapat pun belum dimulai. Aku melihat Anin di sana, anak itu tampak senang dan sontak berdiri.“Papa, Mama! Anin di sini!” teriak Anin.Kami pun memutuskan menghampiri Anin. Setelahnya rapat dimulai dan berakhir pada pukul sembilan lebih lima belas menit.“Papa, Anin mau jalan-jalan dulu boleh?” tanya Anin menatap wajah ayahnya.“Boleh dong, Princess-nya Papa mau jalan-jalan ke mana?”Aku melihatnya begitu iri. Tangan mungil Anin tak lepas dari jari-jemari Mas Samuel. Mereka tampak seperti anak dan ayah yang sosweet. Aku tersenyum tipis menyadarinya.“Mam—“ Anin menoleh ke samping dan berhenti menyadari aku berjalan di belakang mereka. “Mama kok di belakang si? Sini pegangan juga sama Anin.”Aku pun mengikuti apa yang Anin inginkan.“Memangnya Anin mau pergi ke mana?” tanyaku.“Em ... kalau Anin beli kucing ... boleh, Ma?” tanyanya memandang wajahku tulus.Aku menatap Mas Samuel sebentar, lalu mengeratkan genggaman dengan Anin. “Boleh, dong. Anin suka kucing apa?”“Anggora! Anin suka sama Kucing Anggora, bulunya lucu, bisa dipeluk.” Anin tampak murung sebentar. “Biar Anin punya teman di rumah, ” lanjutnya lirih.“Kalau belajarnya udah selesai, Anin bisa main ke rumah Papa. Di rumah juga ada Mama Serena, Anin bisa kerjain PR di sana,” kata Mas Samuel mengusap puncak kepala Anin.“Bener, Pa?” Hal itu diangguki Mas Samuel. “Mama Serena bisa ngerjain PR Anin?” tanyanya begitu antusias.“Mama bisa bantu Anin,” ucapku membenarkan.“Yey!! Anin seneng, deh. Makasih, Mama Serena!”“Sekarang masuk mobil dulu, kita beli kucing yang Anin mau, ya.”“Let’s go, Papa!” teriak Anin terlalu semangat.Setelah perjalanan menuju tempat kucing yang Anin inginkan, akhirnya kami pun sampai. Di sana banyak berbagai kucing yang tentunya menggemaskan. Aku melihat kebahagiaan di raut wajah Anin. Sampai anak itu memilih dan meminta persetujuanku ingin kucing berwarna putih, itu terlihat bahwa Anin hanya gadis kecil yang seharusnya tumbuh di dampingi kedua orang tuanya.Seusai itu, kami memutuskan pulang. Apakah pulang yang Mas Samuel maksud adalah ke rumah sakit menjenguk Mbak Kinan? Sebab, pria itu sudah janji.“Anin kangen Bunda enggak?” tanya Mas Samuel tiba-tiba.Anin yang berada di pangkuanku pun sontak menoleh ke arah Papanya. “Bunda Kinan?”“Iya, Bunda Kinan mau ketemu Anin. Kalau kita jenguk Bunda, Anin mau ikut?”Kuakui tutur kata Mas Samuel begitu lembut dan terkesan hati-hati. Terakhir kali ketemu dengan Mbak Kinan, Anin sampai ketakutan karena perempuan itu mendorong anaknya sendiri sampai jatuh. Mungkin itu sebabnya Mas Samuel tak ambil keputusan langsung pergi ke sana.“Papa ... Bunda udah sembuh?”Pertanyaan itu berhasil menggetarkan hatiku. Anin sebaik itu, sebab yang aku tahu anak itu beberapa kali menolak ke rumah sakit karena dia takut Bundanya marah. Namun, jauh di dalam sana, pasti Anin ingin Mbak Kinan cepat sembuh.“Makanya kita harus jenguk Bunda biar Bunda cepat sembuh. Bunda pasti kangen Anin,” ucap Mas Samuel meyakinkan.“Anin mau pulang ke rumah nenek,” tuturnya.“Anin—““Mas.” Aku menegurnya, lalu menatap Anin prihatin. “Kita pulang ke rumah nenek, ya? Kasih tau nenek kalau Anin punya kucing bagus, oke?”Anin mengangguk lirih dan obrolan kami menjadi hening hingga sesampainya kami di kediaman rumah orang tua Mbak Kinan.“Anin masuk ke dalam duluan ya, kucingnya biar dibawa sama Pak Damar. Papa sama Mama nanti nyusul,” ucap Mas Samuel seraya mengecup kening Anin.Anin mengangguk dan bergegas masuk ke dalam rumah ditemani Pak Damar yang membawa kucing Anggora milik nona kecilnya.Ting!Bunyi pesan masuk dari ponsel Mas Samuel.“Siapa, Mas?” tanyaku.“Suster Nia, dia bilang Kinan gak sabar ketemu Anin sampai diberi obat penenang karena hampir melukai dirinya sendiri.”Mas Samuel menatapnya seolah ada sesuatu yang salah dalam diriku. “Kamu kenapa tadi nahan saya waktu bujuk Anin?”“Anin keliatan belum siap, Mas.”“Saya gak mau Anin terus-terusan menghindar dari Kinan. Mau gimanapun Kinan—““Ibu kandungnya? Iya, aku tau, Mas. Mbak Kinan memang ibu kandung Anin, tapi apa kamu gak liat ketakutan di mata Anin? Kita gak perlu buru-buru bawa Anin ketemu sama Mbak Kinan, mau gimanapun Anin masih kecil, Mas. Aku takut dia trauma.”Tiba-tiba bunyi pesan kembali masuk.“Kenapa, Mas?”Seolah pertanyaanku hanya angin lalu, Mas Samuel pergi menuju ke arah mobil. Aku yang melihat itu langsung mengejarnya. Entah kenapa, perasaanku menjadi cemas sendiri.“Mas, kamu mau ke mana?”“Mas Samuel!”“Ke rumah sakit, Serena!”“Tapi Mbak Kinan udah dikasih obat penenang, Mas!”Dia masuk ke mobil dan kembali meninggalkanku.“Mama Serena,” lirih Anin. Aku menoleh ke belakang. Di sana ada Anin sudah berdiri tegak bagai patung. Dengan kegugupan yang melanda, aku pun berjalan mendekat. Anin menatapku tanpa ekspresi. Bagaimana kalau Anin mendengar percakapanku dengan Mas Samuel? “Anin ngapain keluar?” tanyaku berusaha terlihat baik-baik saja. “Papa pergi ke mana, Ma?” Deg! Sontak pandanganku beralih ke arah gerbang yang masih terbuka lebar. Bohong kalau aku tak ingin menangis. Bahkan saat pria itu pergi tanpa memedulikanku saja rasanya seperti tertancap pisau, sakit. “P-papa, Papa ada kerjaan Sayang,” jawabku menahan sakit di dada. Aku tersenyum, meyakinkan bahwa yang kuucapkan barusan adalah fakta, bukan kebohongan. “Papa sibuk, ya, Ma?” Tanganku mengusap pelan rambut panjang milik Anin. Bernapas lega, sepertinya Anin tak mendengar ucapan kami. “Papa ‘kan kerja, pasti sibuk, Sayang. Sekarang Anin masuk lagi ya? Mama harus pergi, ada urusan di luar.” “Anin boleh ikut?” Kubalas senyum. “M
Tiga hari berlalu. Setelah kejadian di rumah sakit. Mas Samuel tak pernah pulang ke rumah. Dia meninggalkanku tanpa kata. Membiarkan aku menanggung rasa sakit ini sendirian. Selama tiga hari ini, aku hanya berdiam diri di rumah. Pikiranku penuh. Aku selalu menatap pintu luar, berharap Mas Samuel pulang. Namun, siang sudah berganti malam, batang hidungnya sampai saat ini belum kelihatan. Aku yang terluka.Ya, aku terluka karena harapan itu tak kunjung jadi kenyataan. Aku khawatir. Tak ada telepon ataupun pesan darinya. Ah, di mana Mas Samuel berada? Apakah hari ini sudah makan? Di luar sedang hujan, siapa yang buatkan dia kopi? Pertanyaan itu selalu berputar di kepala. Aku kesal, juga khawatir. Ting! Bella :Barusan gue liat laki lo keluar dari apartemenAku yang menerima pesan itu sedikit lega. Namun, apakah selama tiga hari ini Mas Samuel menginap di sana? Ah, memikirkannya saja membuat kepalaku hampir meledak. Me :Apartemen mana, Bel?Bella :Satu unit sama apart gu
Pagi pun tiba. Aku sudah lebih dulu bangun, setelah panggilan telepon di jam satu dini hari selesai, aku memutuskan tidur kembali. Kini jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Niatku hari ini pergi ke rumah ibu dan menginap di sana untuk beberapa hari ke depan. Tidak ada persiapan, bahkan tak ada satu pun pakaian yang kubawa. Kulihat seisi kamar, rasanya berat. Di sini, banyak kenanganku dengan Mas Samuel. Pria dengan segala ambisinya selalu saja duduk di pojok kanan ruangan di mana itu adalah tempatnya bekerja. Aku termenung di tempat. Tuhan, apakah keputusanku kali ini benar? Napasku terasa sesak. Ini menjadi keputusan terbesar yang pernah aku ambil. Aku belum pernah memutuskan pulang ke rumah ibu setelah menikah, apalagi pulang sendiri tanpa suami. Ya, paling ketika ke rumah ibu aku dan Mas Samuel hanya berkunjung saja, sebab pekerjaan Mas Suami tak bisa ditinggalkan begitu saja. Sayangnya, itu semua tak berlaku. Pulangku bukan hanya berkunjung, tetapi untuk menenangkan diri. Se
"Seberapa besar luka itu sampai kamu memutuskan ingin pulang ke rumah ibu, Serena?" tanyanya begitu pelan dan terdengar menyakitkan. Aku menggeleng kuat. Menghindar dari hadapannya. Tak dapat dipungkiri bahwa pertanyaan tersebut terdengar begitu memilukan. Menyadari satu hal bahwa selama ini, Mas Samuel tak pernah mengerti sedalam apa luka yang istrinya miliki. "Maaf, Mas."Setelah mengatakan itu, aku memutuskan pergi dari rumah. Mas Samuel tampak tak bergeming dari tempatnya. Mungkin bagi Mas Samuel, perhatian serta kepedulian yang dia berikan kepada Mbak Kinan tak membuat hatiku terluka. Itu kenapa pertanyaan ketidaktahuannya justru malah menyakitiku. Saat membuka pintu, aku dikejutkan dengan kedatangan Anin dan Neneknya yang merupakan orang tua Mbak Kinan. Aku sempat memandang keduanya dalam hitungan detik, lalu melanjutkan perjalanan keluar rumah. "Mama Serena mau ke mana?" tanya Anin. Tak peduli bagaimana reaksi Anin dan Neneknya melihat aku pergi begitu saja tanpa mengucap
—POV SerenaAku menatap rumah yang hampir dua tahun ini ku tinggali bersama Mas Samuel. Tadi, saat hendak pergi ke rumah ibu, Anin justru datang bersama neneknya. Membuatku merasa bersalah meninggalkannya begitu saja tanpa menyapa terlebih dahulu. Sekarang, di tanganku sudah ada hadiah untuk Anin. Besok ulang tahunnya. Entah apa yang kupikirkan, sampai seniat ini membeli hadiah dan kembali ke rumah demi seorang Anin. "Mang Ujang," panggilku. "Loh, Bu Serena?" Buru-buru Mang Ujang membuka gerbang rumah. Aku menatap sebentar hadiah yang hendak kuberi kepada Anin. Aku tak berharap banyak, tetapi semoga anak itu suka. "Ini, saya titip hadiah buat Anin. Dia ada di dalam. Mang Ujang kasih aja ini ke Bi Siti," ucapku seraya menyodorkan hadiah itu. "Loh, Bu Serena mau pergi lagi?" "Tolong kasih dulu, Pak."Mang Ujang mengangguk lirih dan membawa hadiah itu ke dalam rumah. Aku tak langsung pergi. Entah apa yang kutunggu, tetapi kaki ini masih setia di tempat. Tak berselang lama Mang Uja
Usai percakapanku dengan Bella di apartemen tadi. Aku memutuskan pulang ke rumah ibu. Perasaanku campur aduk. Aku memang pernah berpikir sama seperti yang Bella ucapkan, tetapi sebisa mungkin pikiran itu kubuang jauh-jauh. Selingkuh. Satu kata, tetapi beribu luka di dalamnya. Hal itu membuatku teringat kembali bagaimana hubungan mereka tanpa sepengetahuanku. Dari pelukan, menyuapi makan, jalan-jalan, hingga kecupan ringan di pipi. Aku ingat semuanya. Apakah itu bisa dikatakan perselingkuhan? "Udah sampai, Mbak. Sesusai alamat tujuan," kata sopir Taxi membuyarkan lamunanku. "Ah, iya. Terima kasih, Pak." Aku langsung turun usai membayar ongkos Taxi. Aku menghirup udara di sekitar rumah ibu. Menyejukkan. Mendung membuat suasana terasa sendu sekaligus damai. Rumah ibu memang tak seluas rumah kami. Namun, ini cukup menenangkan. Aku bahkan dapat merasakan kehangatan dari sana, padahal belum sama sekali masuk ke dalam. "Neng Serena? Ya ampun, Ibu kira siapa. Sudah menikah jadi jarang
Malam pun tiba. Setelah percakapanku dengan Mas Rifki di taman belakang, aku tak menanggapinya, pergi begitu saja. Sepanjang hari aku menghabiskan waktu di kamar, tidur sampai lupa waktu. Kini, waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Aku membuka pintu kamar, lalu berjalan ke dapur hendak memasak sesuatu di sana, ya, syukur-syukur ada sisa makanan yang bisa mengisi perutku yang sudah keroncongan ini. "Mbak Yuni?" ucapku terheran-heran."Mbak kenapa ada di sini? Gak salah lagi pasti nginep, ya?""Iya, tadi sore mau pulang, tapi Kenzo merengek pengen nginep di rumah neneknya. Ya udah nginep aja, toh besok hari libur kan." "Baru Mbak mau ke kamar kamu sehabis minum susu. Kamu pasti lapar ya?"Aku menatap susu yang Mbak Yuni buat, itu pasti susu ibu hamil. Setelahnya, aku pun berjalan mengambil air minum dan meletakan ponsel di sana. "Kenzo ke mana, Mbak? Udah tidur?""Belum, tadi si Mbak liat lagi main sama ayahnya di kamar."Aku mengangguk-anggukan kepala. Menatap sebentar ke arah Mb
"Happy birthday Anin!" teriak semua orang. MC acara ulang tahun langsung memberi arahan supaya Anin segera meniup lilinnya dengan diiringi musik. Lilin yang semula nyala kini kian meredup kala tiupan itu menyeluruh sampai lilin berangka lima ikut padam. Semua orang serempak tepuk tangan kala lilin tersebut sudah mati semua. Aku yang semula tak ingin datang, dipaksa ikut oleh Mbak Yuni. Bukannya hanya aku dan Mbak Yuni saja, melainkan Ibu dan Mas Rifki juga ikut sebagai perwakilan pihak dari keluarga kami. FYI, acara ini diselenggarakan di rumah orang tua Mbak Kinan. Kini, sesi potong kue dimulai. Di sana sudah ada Mas Samuel, Anin, Mbak Kinan dan keluarga dekat mereka. Aku menatap dari kejauhan. Menyaksikan kebahagiaan itu sendiri. Senyumku terasa sakit. Mereka tampak seperti keluarga yang harmonis. Mereka tak menyadari keberadaanku, sebab aku memang tak ikut absen muka di hadapan Anin maupun keluarganya. Mas Samuel juga tampak tak peduli, pria itu tak mengabari atau sekadar basa-
Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok
—HOTELAku sudah kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Suaminya tidak sesuai yang aku harapkan. Harusnya aku lebih berhati-hati karena ketika hal buruk menimpa hidupku dengan Sakti, aku punya cara untuk menghindarinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan, Tuhan? "Terima kasih, Mas. Aku sama Sakti ke dalam dulu," ujarku tersenyum tipis kepada Elmar. Elmar memegang tanganku kala pintu hotel hendak ditutup. Pria itu memberi kode kepada Sakti agar anak itu pergi lebih dulu ke dalam. Ia menarik tanganku sehingga kini aku berada di luar pintu. "Ada yang mau saya tanyakan sama kamu," ujar Elmar melepas cekalan tadi. Aku menekuk kedua alis. Apakah pria itu akan bertanya soal Mas Samuel? "Sejak kapan kamu dekat lagi dengan Samuel?" tanyanya. Dugaanku benar. Elmar menanyakan soal Mas Samuel. Namun, kenapa tiba-tiba begini? Ini bahkan terasa seperti interogasi, bukan tanya bertanya."Aku rasa kita nggak perlu bahas itu, Mas. Lagipula, dekat lagi atau nggak, itu hak
"Papa senang, akhirnya kita bertemu, Sakti."Bella langsung memegang pundakku. Perempuan itu juga membawa Sakti pergi menjauh dari kami. Kini, tinggal aku dan Mas Samuel yang saling berhadapan satu sama lain. Aku tidak tahu kenapa keadaan saat ini cukup mencekam. Mas Samuel terus menatapku seolah tidak ada objek lain di sekitarnya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa pun. Ini membuatku mati kutu. "Saya sudah melakukan tes DNA," ucap Mas Samuel makin mengejutkanku. "Ibu bilang bahwa Sakti begitu mirip dengan saya sewaktu kecil. Awalnya saya nggak berpikir demikian. Tapi, saat saya mencoba mendekat pada Sakti, saya merasa memang benar ada kemiripan antara saya dan Sakti. Itu sebabnya saya melakukan tes DNA," jelas pria itu. Mas Samuel menatapku sangat dalam. "Serena, jika Sakti memang anak kita berdua, kenapa kamu menyembunyikan hal ini dari saya?" Aku membuang wajah ke arah lain. Menarik napas di sana. Lalu menatap Mas Samuel dengan napas sedikit tercekat. "Sakti bukan anak ka
"Sakti?" panggilku langsung menghampirinya. "Kamu habis ngobrol sama siapa?" "Tadi ada uncle Samuel, Mom."Aku menatap arah pandangan Sakti. Yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Pria itu sudah menjauh. Ia berada di seberang jalan, lalu membuka pintu mobil dan pergi dari sana. "Mobilnya uncle Sakti bagus, ya, Mom." Aku mengangguk mengiyakan ucapan Sakti. "Lihat, uncle Samuel juga kasih mainan buat Sakti. Katanya ini mobil Tamia keluaran terbaru. Kalau besar nanti, Sakti mau jadi pembalap mobil, ya, Mom. Bolehkan?" Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Apa pun untuk Sakti aku pasti akan perjuangkan. Cita-cita juga keinginannya sebisa mungkin akan kuberikan yang terbaik untuknya. Aku tidak ingin Sakti kekurangan apa pun. Untuk itu, aku harus berjuang lebih keras lagi. Tin! Tin! Tin! Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kami. Kaca mobil tersebut pun terbuka menampilkan sosok teman yang masih setia bersamaku hingga detik ini. "Aunty Bella!" pekik Sakti. Bella pun turun d