Kelopak mata Evita memejam rapat. Wanita itu menundukkan kepala lalu menarik napas dalam-dalam. Lalu, perlahan-lahan dia buka mata seraya mengangkat wajah. Dia pandangi pantulan diri di dalam cermin, dan entah sejak kapan air mata itu sudah membasahi pipi.“Jangan lemah, Evita. Ingat apa yang pernah dilakukannya padamu,” bisik Evita pada bayangan diri.Sebenarnya, Evita tidak ingin mendengar apa pun lagi tentang Grady. Dia tidak mau tahu apa-apa lagi tentang semua hal yang berhubungan dengan lelaki tersebut, selain putusan bahwa mereka sudah resmi bercerai. Namun, cerita yang disampaikan Gracy terasa begitu mendistraksi.“Dia hampir gila, Ev. Setiap malam Bagas mengantarnya pulang dalam keadaan mabuk berat. Aku sampai bingung gimana mau nasihatin dia,” kata Gracy waktu itu.Evita menyentuh dada di mana sudut hatinya terasa begitu nyeri.“Itu bukan urusanku. Lagipula, dia marah bukan karena apa-apa. Dia marah karena aku kabur dari rumah dan dia tidak bisa lagi menyiksaku,” sanggah Evit
Menjelang sidang putusan, Grady semakin tidak bisa mengendalikan emosinya. Masalah ini membuat lelaki itu seperti kehilangan arah. Pekerjaannya menjadi kacau, bahkan Bagas sekalipun kesulitan mengatasinya.“Perusahaan membutuhkan Pak Grady,” ujar Bagas saat berkunjung ke kediaman keluarga Ferdinata.Sudah berhari-hari Grady tidak datang ke perusahaan dan beberapa pekerjaan pun menjadi terbengkalai. Lebih parahnya lagi, perusahaan harus menanggung kerugian yang cukup besar karena pembatalan kesepakatan oleh beberapa klien yang bekerja sama dengan mereka. Masalah ini akan semakin besar dan melebar ke mana-mana, jika Grady tidak segera kembali beraktivitas di perusahaan.“Gimana, ya, Gas? Grady sama sekali nggak mau keluar dari kamar. Cuma aku suruh makan aja dia bisa ngamuk-ngamuk,” ujar Gracy.“Tapi, masalah ini sangat mendesak. Saya khawatir perusahaan akan pailit jika sampai Pak Grady tidak segera mengambil tindakan,” kata Bagas.Gracy membasahi bibir sambil mengarahkan pandangan ke
Setelah mengantongi akta cerai, Evita tidak menunggu lama lagi. Wanita itu sudah merencanakan ini sejak jauh hari. Dia pun segera membeli tiket kereta menuju Surabaya. Namun, sebelum berangkat, Evita menyempatkan diri untuk berpamitan pada orang-orang yang telah banyak membantunya.Evita pergi ke tempat kos Ranti dan Dewi. Suasana haru dan sedih seketika meliputi. Tangis dan doa, adalah dua hal yang tak pernah tertinggal dalam momen seperti ini.“Jangan lupain kita, ya, Ev. Baik-baik kamu di sana,” pesan Dewi sambil menyeka air mata.“Mana mungkin aku melupakan kalian yang sudah kayak saudara ini,” balas Evita.“Semoga nanti di sana kamu ketemu jodoh yang baik. Laki-laki yang bisa bikin kamu bahagia,” timpal Ranti.Evita tersenyum kecut.“Aku nggak mau mikirin soal itu dulu, Ran,” tuturnya.Masih tersisa trauma di dalam benak Evita untuk menjalin hubungan dengan lelaki lain. Untuk saat ini, Evita hanya ingin hidup damai sambil memulihkan hati. Kegagalan pernikahannya dengan Grady tela
Perjalanan yang tidak sebentar untuk sampai di Surabaya itu sebagian besar Evita habsikan dengan melamun. Evita sudah berusaha untuk mengenyahkan Grady dari pikiran, namun ternyata ucapan Arman membuatnya semakin kepikiran. Dia ingin abai dan tidak peduli, tetapi hati tetap tidak dapat dibohongi. Evita masih memiliki empati terhadap si lelaki.Sudah lama sekali sejak terakhir kali Evita menginjakkan kaki di Surabaya. Jika tidak salah mengingat, terakhir Evita ke sana saat sang ibu masih hidup. Waktu itu, Evita masih duduk di bangku kelas 5 SD. Dan dalam kurun waktu selama itu, Surabaya telah bertransformasi banyak sekali. Membuat Evita hampir tidak mengenali kota ini.“Semoga saja mereka bisa menerimaku,” gumam Evita saat sedang berada di dalam taksi menuju kampung tempat dirinya dilahirkan.Komunikasi di antara Evita dan kerabatnya di Surabaya memang seolah sudah terputus, beberapa tahun sejak ibunya meninggal. Sang ayah yang sibuk bekerja dan dia yang seolah dipaksa dewasa sebelum w
Suasana di rumah Yuliati memang tidak pernah sepi. UMKM yang dikelola Yuliati memang terbilang ramai. Di sana, Evita membantu pekerjaan apa saja yang dia bisa. Salah satunya adalah mengepak makanan ringan yang diproduksi sendiri oleh Yuliati.“Taruh di sana saja, Ev. Tolong sekalian dirapikan, ya,” kata Yuliati sambil menunjuk sudut ruangan, di mana kemasan makanan ringan yang telah di-packing tertata dengan rapi.Saat Evita sedang menata tumpukan snack, sebuah sepeda motor tampak memasuki halaman. Cahaya lampu dari sepeda motor itu menyambar netra Evita, hingga membuat wanita itu seketika memalingkan muka. Laju sepeda motor tersebut tidak berhenti di teras, tetapi langsung masuk ke bagian dalam rumah, dan berhenti di bagian belakang ruangan luas tersebut.“Yonik!” tegur Yuliati dengan suara gemas. “Sembrono! Kalau sampai dagangan Ibu hancur, tak bikin kripik kupingmu nanti!”“Yonik?” cicit Evita.Wanita itu menyelesaikan pekerjaannya menata dagangan sambil memperhatikan lelaki dengan
Siapa yang tidak tahu Gang Dolly? Nama itu bahkan sudah terkenal seantero negeri. Lalu, ketika Yonik menyebut nama tempat tersebut, Evita langsung membeku. Berbagai pikiran buruk pun langsung menyergap kepala, hingga wanita itu kehilangan kata-kata.‘Apa Yonik tahu tentang masa laluku?’ batin wanita itu.Sungguh, Evita begitu cemas akan hal ini. Dia sampai tidak bisa membalas ucapan Yonik. Khawatir jika lelaki itu tahu tentang pekerjaannya dahulu.“Bwahahaha!” Tetiba saja Yonik tertawa terbahak-bahak.Evita bingung, tetapi masih tidak berani untuk melakukan sesuatu.“Tegang banget mukanya,” seloroh Yonik seraya menghidupkan mesin mobil lalu melajukan kendaraan roda empat itu dengan perlahan.Tidak salah ucapan Yonik. Evita memang merasa begitu tegang. Apa jadinya jika keluarga sampai tahu tentang pekerjaannya di Jakarta? Yuliati bisa mengusirnya ke jalanan dan dia akan berakhir mengenaskan. Kendati demikian, Evita tetap berusaha bersikap biasa saja.“Kamu biasa ke sana, ya?” tanya Evi
Genap sebulan Evita tinggal di Surabaya, wanita itu akhirnya mendapatkan pekerjaan. Dengan bantuan Yonik, dia berhasil bekerja di salah satu stasiun televisi daerah sebagai make up artist. Dia memang sangat baru dalam bidang tersebut. Namun, Evita sudah banyak belajar tentang trik-trik make up dari buku-buku yang dia baca selama tinggal di apartemen Arman. Ternyata, apa yang dia baca sangat berguna dalam pekerjaannya. Dan sekarang, sudah hampir dua tahun wanita itu bekerja di sana. Bisa dikatakan bahwa Evita berhasil melanjutkan hidupnya dengan baik, meski tak memungkiri bahwa bayang masa lalu terkadang masih datang menghampiri.“Sudah mau berangkat, Ev?” tanya Yuliati ketika Evita baru saja keluar dari kamar dengan dandanan rapi.“Iya, Bulik,” jawab Evita seraya berjalan mendekat pada Yuliati untuk sekalian berpamitan.Yuliati menengok ke halaman rumah. Lalu dia kembali melihat pada Evita sambil bertanya, “Ojek langganan kamu belum datang kayaknya.”“Oh, memang nggak datang kok. Tadi
“Evita!” panggil sebuah suara yang familiar dari kejauhan.Wanita itu menengok ke arah sumber suara dan melihat Yonik setengah berlari menghampirinya.“Yonik? Kamu masih di sini?” tanya Evita dengan alis berkerut samar.“Titah Baginda Ratu,” jawab lelaki itu merujuk pada ibunya, saat sudah tiba di samping Evita.“Nggak apa-apa, lho, padahal kalau kamu mau pulang. Dari sini mah enak mau cari taksi juga gampang,” kata Evita.“Nggak masalah, kok. Lagian tadi aku nggak sengaja ketemu teman di angkringan depan situ. Keasyikan ngobrol sampai lupa waktu. Untung pas kamu keluar, aku lihat,” ujar Yonik.“Ya udah, kita pulang sekarang kalau gitu,” ajak Evita karena sudah larut malam.“Tunggu di sini. Aku ambil motor dulu,” pinta Yonik.Tak menunggu balasan Evita, lelaki itu lantas memutar badan dan berlalu menuju tempat dirinya memarkir kendaraan. Sebentar kemudian, dia sudah kembali dengan kendaraan roda duanya. Sebelah tangan lelaki itu menenteng helm yang langsung dia serahkan pada Evita. Ta
Lika-liku kehidupan yang dilalui Evita, membuat wanita itu merasa seperti naik roller coaster. Meski terlalu banyak kisah pahit yang dia rasakan, namun tak sedikit pula air mata haru yang tumpah oleh kebahagiaan."Sudah siap?" tanya Yuliati seraya tersenyum hangat.Evita menarik napas dalam lalu mengangguk kecil. Rasa gugup yang memenuhi benak, membuat sekujur tubuhnya terasa kaku. Dia lantas menyambut uluran tangan Yuliati dengan telapak tangannya yang sedingin es."Sudah dua kali kok masih gugup," komentar Yuliati seraya terkekeh renyah."Aku takut, Bulik," kata Evita.Yuliati memutar badan, menatap pada Evita dengan ails berkerut samar."Takut kenapa?" tanyanya peduli.Evita meneguk ludah lalu menundukkan kepala, tidak tahu harus menjawab apa.Dengan lembut, Yuliati mengusap lengan keponakannya. Dia pun tersenyum hangat sebelum kembali berujar, "Bulik ngerti, apa yang telah terjadi di masa lalu kalian itu sangat menyakitkan. Bulik juga ndak akan bisa memaksa kamu untuk menjalani se
“Kamu di sini? Ini benar kamu, kan?” Grady mengurai pelukan lalu menangkup wajah Evita. Matanya menatap tak percaya pada si wanita. Dia lantas meneliti wajah mantan istrinya dengan seksama, khawatir salah melihat dan berakhir dengan kekecewaan.Evita menganggukkan kepala. Di sela-sela tangis, terselip senyum haru untuk sang mantan suami. Dia lantas menyentuh tangan Grady yang mendarat di pipinya.“Ini aku, Grad. Aku sudah maafin kamu, tapi kamu jangan pergi. Aku nggak mau kamu pergi,” ujar wanita itu dengan suara parau.Kedua netra Grady pun tampak berkaca-kaca. Terharu, bahagia yang teramat sangat. Apa yang dia pikir akan menjadi sesuatu yang tidak mungkin untuk digapai, ternyata Tuhan menggariskan takdir yang sebaliknya.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih,” ucap lelaki itu seraya menarik tubuh Evita dalam dekapan.Mereka berpelukan erat dengan jiwa yang melebur dalam bermacam-macam emosi positif yang memenuhi benak. Sampai-sampai mereka menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang
Evita tidak mengira kalau dia akan bertemu lagi dengan Arman, Gracy, bahkan Tania. Orang-orang yang berasal dari masa lalunya itu kini tengah duduk di teras rumah Yuliati.“Sini sama Mama, Sayang,” bujuk Gracy pada Tania yang tidak mau turun dari pangkuan Evita.Tania menggeleng dan malah memeluk leher Evita semakin erat.“Aku mau sama Tante saja,” kata gadis kecil itu.Evita memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi wanita itu membalas pelukan Tania tak kalah erat. Seolah ingin menunjukkan bahwa dia juga sangat menyayangi anak itu, bahwa dia sangat merindukan gadis kecilnya yang kini sudah terlihat lebih besar.“Untuk apa kalian datang kemari?” tanya Evita dengan suara sedikit serak.Setelah Yuliati meninggalkan Evita bersama keluarga Ferdinata, hanya celotehan Tania yang menjadi penengah di antara mereka. Evita pun menjawab sekadarnya. Meski sudah berusaha terlihat ramah, namun tetap saja gurat kesedihan yang tergambar di wajah wanita itu tidak dapat ditutupi.“Maaf kalau kami datang
Sebuah mobil yang memasuki halaman rumah Yuliati mengundang perhatian. Yuliati dan beberapa pegawainya yang tengah mengemas snack pun langsung melihat ke luar rumah, ketika mereka mendengar deru halus mesin kendaraan roda empat tersebut.“Siapa yang datang?” gumam Yuliati.Wanita paruh baya itu mengelap tangan pada celemek lalu bangkit. Netranya masih mengarah pada mobil di luar yang baru saja berhenti. Tampak asing, Yuliati tidak pernah melihat mobil tersebut sebelumnya. Sempat berpikir bahwa mungkin saja itu adalah Grady, namun saat melihat seorang gadis kecil yang turun dari kendaraan tersebut, Yuliati semakin penasaran.“Anak siapa, ya? Ndak pernah lihat,” gumamnya lagi.Penasaran dengan tamunya, Yuliati pun keluar dari rumah. Kening wanita itu berkerut, menunggu sambil memperhatikan baik-baik penumpang mobil yang mulai menjejakkan kaki di halaman rumahnya satu persatu.“Ma, Tante ada di sini, ya?” Gadis kecil yang turun paling pertama dari mobil itu, terlihat bertanya pada seseor
Memang tidak salah jika ada yang bilang bahwa ikhlas adalah ilmu yang sangat tinggi. Bukan hal yang mustahil, tetapi tidak banyak orang yang mampu menakhlukkan ikhlas pada level tertinggi.Tak berbeda dengan Grady. Meski dia sudah berusaha merelakan Evita untuk mencari kebahagiannya sendiri, akan tetapi masih saja ada rasa sakit yang menyentil hati. Tidak hanya sekali dua kali, keinginan untuk mengingkari ucapan itu menggoda iman si lelaki. Namun, saat ingat bahwa hal tersebut hanya akan semakin memperkeruh hubungannya dengan Evita, lelaki itu pun berusaha keras untuk melawan keinginan hati. Apa pun yang terjadi, dia harus bisa bertahan agar Evita tidak semakin membencinya.Atensi Grady teralih pada dering ponsel yang terselip di saku celananya. Dia berhenti melangkah lalu mengambil ponsel tersebut untuk melihat siapa yang menghubungi. Setelahnya, dia angkat pandangan dan berkata pada orang yang sedang bersamanya.“Duluan saja. Nanti saya nyusul,” ujar lelaki itu.Dia lantas menepi ke
Semua mata terpusat pada arah sumber suara, pada seorang lelaki yang baru saja muncul dengan langkah yang semakin dekat dengan mereka. Wajah yang tidak asing, tampak tersenyum ramah pada keluarga tersebut.“Maaf, aku datang sepagi ini,” ucap Grady saat berhenti melangkah beberapa meter di hadapan Evita dan keluarganya. Lelaki itu berpaling sejenak pada dua pegawai toko bunga yang mengantar pesanannya, lalu berkata, “Tolong turunin bunganya.”Setelah itu, Grady kembali melihat pada Evita yang tengah mengetatkan rahang, tampak begitu murka terhadap dirinya. Wanita itu berjalan cepat dengan tangan mengepal, menghampiri Grady. Kemudian, sebuah tamparan mendarat di wajah si lelaki dengan begitu keras dan tiba-tiba.Plak!Wajah Grady turut berpaling mengikuti arah tamparan tersebut. Dia sentuh sisi wajah yang terasa panas dengan tenang. Dia tidak akan marah, meski Evita menghajar dirinya. Grady merasa itu masih belum sebanding dengan apa yang pernah dia lakukan pada wanita tersebut.“Pergi
Evita meneguk ludah, melihat Yuliati menatap penuh emosi kepadanya.“Bulik,” cicit Evita.“Ya Tuhan, Nduk,” ujar wanita paruh baya itu.Yuliati langsung menghampiri Evita dan memeluk keponakannya itu dengan erat.“Kenapa kamu ndak pernah bilang sama Bulik, Nduk? Kenapa kamu merahasiakan ini dari Bulik?” Yuliati mengurai pelukan lalu menangkup kedua sisi wajah Evita. Kedua pipi wanita paruh baya itu sudah basah oleh air mata yang membanjir.Sepintas, Evita melirik pada Yonik yang masih berdiri di ambang pintu sambil menundukkan kepala. Dugaannya, Yonik telah menceritakan semuanya kepada Yuliati. Tadinya, Evita ingin marah. Namun, saat ingat bahwa permintaan maaf Grady ditayangkan langsung, wanita itu meredam kembali kemarahannya. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa Yuliati melihat tayangan itu dan bertanya pada Yonik.“Maaf, Bulik,” ucap Evita lirih. Wanita itu menundukkan kepala dalam-dalam, tak berani memandang wajah buliknya.Yuliati membersit ingus lalu merangkul Evita. Berusaha
Dejavu. Grady pernah membuat acara semacam ini untuknya saat dia masih bekerja di Neo Creative. Bedanya, sekarang mereka menjadi tontonan seluruh masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Evita malu. Alih-alih menjawab sapaan lelaki itu, Evita justru menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajah dari sorotan kamera, meski hal itu sudah sangat terlambat. Sungguh, dia ingin lari dari sana secepat mungkin. Namun, kakinya seolah sudah menyatu dengan lantai. Sendi-sendi di tubuhnya terasa kaku. Otaknya pun serasa membeku, hingga dia tak memiliki kendali untuk menggerakkan tubuhnya sendiri.Grady menoleh ke sekitar lalu tersenyum pada orang-orang yang ada di sana sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu dirinya melakukan semua ini.“Terima kasih untuk bantuannya. Maaf merepotkan kalian pagi-pagi begini,” ucap Grady pada semua orang yang terlibat dalam acara tersebut.Setelah itu, Grady kembali mengarahkan pandangan pada Evita yang tampak salah tingkah dan mati gaya di hadapannya. Lelaki
Apakah Evita masih cinta pada Grady?Pertanyaan itu terdengar mudah, namun sangat sulit untuk Evita jawab. Yonik baru saja melempar pertanyaan yang sangat sensitif, hingga wanita itu lebih memilih diam tak mengatakan apa-apa.Evita bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Lisannya bisa saja berkata tidak, tetapi mengapa jika mengingat lelaki itu batinnya masih saja terasan sesak? Kalaupun dia jawab masih cinta, keinginan untuk bersama lagi rasanya sudah sirna dari dalam dada.Tak berbeda dengan Evita yang merasakan dilema, Yonik pun mencicipi hal serupa. Pembicaraannya dengan Evita mengenai masalah tersebut berakhir ketika wanita itu enggan untuk menjawab pertanyaannya. Di samping itu, Yuliati pun keburu pulang dari belanja dan ikut nimbrung mengobrol dengan mereka.Berkali-kali Evita memberi isyarat pada Yonik, memperingatkan lelaki itu untuk tidak menceritakan apa yang baru saja dia katakan tentang Grady kepada Yuliati. Melihat Yuliati yang begitu baik terhadap dirinya, Ev