Hanya tangis yang menjadi teman Evita, saat lelaki yang dia cintai itu mencumbunya dengan kasar. Sama sekali tidak ada kelembutan, Grady menggagahinya dengan penuh amarah. Dalam keadaan tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya, Grady mengikat tangan Evita pada tiang ranjang dengan ikat pinggang. Sementara lelaki itu benar-benar memperlakukannya seperti wanita hina untuk memuaskan nafsunya.
"Eergh ...!" Grady menggeram dengan gerakan yang semakin cepat mengoyak raga Evita. Wajahnya merah padam, menjelang ledakan gairah di puncak kenikmatan. Hingga akhirnya lelaki itu melenguh panjang dengan tubuh yang mengejang. Napasnya terdengar berat, saat tekanan di pangkal paha Evita terasa semakin kuat.
Otak Evita terasa beku. Tubuhnya pun lunglai dan tak ada perlawanan lagi atas apa yang dilakukan Grady. Dia hanya bisa pasrah, ketika lelaki itu kembali mencumbunya. Mungkin Grady merasa tidak ada lagi perlawanan yang Evita lakukan, sehingga lelaki itu melepas ikatan tangannya. Sayang, tubuh Evita sudah tidak sanggup lagi melawan. Rasa sakit pada jiwa dan raganya, membuat Evita semakin tidak berdaya.
Di tengah-tengah permainan kasar Grady, tiba-tiba Evita merasa ada yang berbeda dari perlakuan si lelaki. Tidak seperti saat pertama melakukannya, kali ini Grady menciumnya dengan lembut. Entah apa yang lelaki itu pikirkan, Evita tak sanggup lagi menerka. Tubuhnya terlalu lemah menahan semua rasa sakit itu, hingga perlahan-lahan kesadarannya pun mulai terenggut. Akan tetapi, menjelang kesadarannya menghilang, Evita masih sempat mendengar samar-samar lelaki itu mendesahkan sebuah nama dari bibirnya.
"Evita ...."
Malam panjang yang dijanjikan Grady untuknya, benar-benar tidak akan Evita lupakan seumur hidup. Ini akan menjadi kenangan menyakitkan yang selalu membekas di dalam benak, persis seperti yang lelaki itu katakan.
Ketika membuka mata, Evita merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Wanita itu mendesis pelan sambil memegangi kepala yang terasa begitu berat. Lalu, dia menoleh ke kiri. Dilihatnya sosok di balik selimut dengan dengkuran halus dan napas teratur. Evita tidak amnesia. Dia tahu bahwa lelaki itu adalah Grady, lelaki yang telah memorakporandakan hati dan raganya semalam.
Mencoba untuk bangun, namun justru ruangan itu terasa berputar-putar. Evita menggigit bibir kuat-kuat sambil memejamkan mata, berharap sensasi menyakitkan itu segera hilang. Begitu merasa lebih baik, Evita turun dari tempat tidur dengan sangat hati-hati agar tidak membangunkan Grady. Dia butuh membersihkan diri, sebelum berpikir untuk lari.
"Kamu menang, Grad. Aku nggak akan pernah lupa dengan semua ini," lirih Evita sebelum wanita itu menyelinap keluar dari rumah tersebut.
Beberapa jam setelah Evita terbangun, Grady mulai menggeliat. Masih dalam posisi tengkurap, kelopak mata lelaki itu mengerjap.
"Aargh!" erangnya saat mencoba membuka mata lebih lebar.
Dia benamkan lagi wajahnya pada bantal sambil menjambak rambut. Lalu, sekelebat ingatan tentang apa yang dia lakukan semalam, tiba-tiba melintas. Sontak saja lelaki itu membuka mata dan bangkit dari tidurnya.
"Sial!" umpat Grady sambil memejamkan mata rapat-rapat, ketika sensasi dihantam balok kayu menyerang kepala.
Beberapa detik berikutnya, lelaki itu mengedarkan pandangan. Tidak ada siapa pun di kamar itu selain dirinya dengan tubuh polos di balik selimut.
"Berengsek!" murka Grady saat tak mendapati wanita yang dia cari.
Lelaki itu murka. Grady bangkit dari kasur, kemudian mengamuk dan berteriak dengan segala sumpah serapah yang keluar dari mulutnya.
"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" makinya pada diri sendiri.
Harusnya, dia datang ke rumah tersebut untuk membuat Amora membayar kematian sang ibu dengan nyawa wanita itu. Namun, lihat apa yang sudah dia lakukan! Bukannya menghabisi nyawa Amora, dia justru menyetubuhi si wanita. Meski ingatan itu samar-samar, tetapi dengan kondisinya saat ini, dia sangat yakin telah menghabiskan malam panas bersama wanita itu. Susah payah dia mencari keberadaan Amora, tapi begitu ketemu, Grady justru melepaskannya begitu saja. Sungguh bodoh!
Waktu terus bergulir, dan perlahan Grady mulai bisa mengubur dendam itu. Lagipula, pencarian yang dia lakukan atas Lady Amora juga tidak membuahkan hasil. Hingga Grady pun memutuskan untuk berdamai dengan takdir.
Selama satu tahun terakhir, lelaki itu menyibukkan diri dengan pekerjaan. Sebisa mungkin dia alihkan pikiran pada hal lain, selain meratapi kematian ibunya. Hingga tawaran itu datang.
"Prospek perusahaan ini bagus, Grad. Apalagi di era serba digital seperti sekarang ini. Akan banyak orang yang menggunakan jasa perusahaan periklanan untuk memasarkan produk mereka," kata salah satu teman Grady.
"Apa tadi nama perusahaannya?" tanya Grady.
"Neo Creative," jawab si teman. "Kalau kamu tertarik, aku bisa bantu atur jadwal pertemuan dengan pemiliknya," ujarnya.
Grady diam sambil berpikir. Tidak ada salahnya melebarkan sayap. Jika selama ini dia bermain aman dengan menjalankan bisnis keluarga, sekarang lelaki itu merasa tertantang untuk menjalankan bisnisnya sendiri. Tawaran sang teman memang sangat menggiurkan. Setelah mempelajari perusahaan tersebut, Neo Creative berpotensi sekali untuk berkembang. Dan Grady yakin bahwa dia mampu mengibarkan panjinya sendiri di atas perusahaan itu.
"Oke, deal! Atur saja pertemuannya," putus Grady.
Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya kepemilikan Neo Creative resmi berpindah tangan. Hari ini adalah untuk pertama kalinya Grady akan memperkenalkan diri pada karyawan Neo Creative, sekaligus mengukuhkan posisinya di perusahaan tersebut. Dengan didampingi asisten, Grady menyambangi perusahaan barunya.
"Pak Hasan sudah menunggu Anda, Pak." Asisten Grady memberitahu.
"Kamu temui dia, dan katakan padanya untuk menunggu sebentar lagi. Ada yang ingin aku lakukan lebih dulu," balas Grady.
Menginjakkan kaki di perusahaan itu, Grady tidak langsung menemui Hasan--si Pemilik perusahaan yang lama. Lelaki itu sengaja ingin berkeliling lebih dulu untuk mengetahui bagaimana karyawan Neo Creative bekerja.
Semua terlihat meyakinkan pada awalnya. Grady cukup senang melihat para karyawan yang tampak serius bekerja. Kesan pertama yang cukup memuaskan. Akan tetapi, ada sesuatu yang memaksa langkahnya untuk berhenti ketika lelaki itu pergi ke pantry.
"Saya bisa mengadukan Bapak pada Pak Rudi!" Terdengar suara seorang wanita yang sepertinya dalam keadaan terancam.
Grady masih bergeming, tak ingin buru-buru menyimpulkan.
"Mau mengadukan untuk apa? Aku bahkan nggak nyentuh kamu sama sekali." Suara seorang lelaki di dalam pantry.
"Hei, kamu mau tahu sebuah rahasia? Ada sebuah situs kencan buta yang ternyata ngasih layanan plus-plus. Mau tahu apa namanya? Oh, atau kamu mau memberitahuku?" Suara lelaki itu lebih rendah dari sebelumnya, namun Grady masih bisa menangkap dengan jelas apa yang lelaki itu katakan.
"Akh!" Terdengar lagi suara wanita yang memekik.
Saat itu, Grady menggerakkan kaki. Lelaki itu masuk ke pantry dan mendapati seorang pegawai laki-laki yang sedang berusaha melecehkan seorang office girl.
"Tidak heran jika Neo Creative bangkrut dalam waktu kurang dari dua tahun sejak beroperasi. Ternyata kelakuan pegawainya seperti ini," seloroh Grady seraya berjalan mendekat pada dua orang itu.
Pegawai laki-laki itu melepaskan si wanita lalu mundur, memberi jarak di antara mereka.
"Siapa kamu?" tanya pegawai tersebut.
Grady mengukir senyum tipis di bibirnya lalu memasukkan kedua tangan di saku celana.
"Saya Grady, dan saya adalah orang yang bisa melakukan apa saja, termasuk menendangmu keluar dari Neo Creative karena tindak pelecehan yang kamu lakukan terhadap office girl ini," tandas Grady.
Si Karyawan tampak meneguk ludah. Wajahnya pucat seketika kala mengetahui nama lelaki itu.
"Willy, hm?" Grady membaca ID Card yang menggantung di leher pegawai laki-laki itu. "Pergi ke ruang HRD sekarang juga, dan katakan bahwa Grady Ferdinata yang menyuruhmu!" titah lelaki itu.
Ketakutan, lelaki bernama Willy itu pun langsung melesat meninggalkan pantry. Hingga hanya ada Grady dan office girl itu di sana.
Lelaki itu mengerutkan dahi, merasa aneh saat melihat office girl yang baru dia selamatkan itu diam saja dengan kepala menunduk dalam.
"Siapa nama kamu?" tanya Grady pada wanita itu.
Bukannya langsung menjawab pertanyaannya, office girl itu justru mencengkeram lap di tangannya semakin kuat. Penasaran, Grady pun bergerak mendekat. Sungguh, dia tidak ingin melakukan apa-apa selain membaca nama yang tertera pada ID Card wanita itu. Namun, tindakan itu diartikan lain oleh si wanita yang lantas beringsut mundur sambil mengerutkan badan, seperti orang yang ketakutan.
"Saya tidak akan menyakiti kamu," kata Grady agar wanita berseragam office girl itu tidak takut padanya. "Lihat saya!" titah lelaki itu kemudian.
Grady mulai kesal karena office girl itu tidak melakukan apa yang dia perintahkan. Lelaki itu menghela napas lelah. Tanpa aba-aba, Grady menarik tangan wanita itu hingga spontan wajahnya terangkat, bersamaan dengan suaranya yang memekik tertahan.
Kelopak mata Grady langsung melebar saat melihat wajah si Office girl. Terlihat pucat, namun tak membuat Grady melupakan wajah itu dari ingatannya.
"Kamu?"
Perlakuan tidak menyenangkan yang diterima Evita selama bekerja di Neo Creative memang sudah menjadi makanan sehari-hari. Hinaan, cibiran, dan tatapan merendahkan, sudah sering Evita dapatkan. Entah apa yang membuat mereka begitu tidak menyukai Evita, karena wanita itu merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang neko-neko. Namun, baru kali ini ada pegawai yang berani melakukan tindakan di luar batas. Lalu, tiba-tiba saja seseorang muncul menyelamatkan dirinya. Evita merasa begitu lega, namun saat melihat sosok itu, mendadak wajah Evita menjadi pucat. 'Grady?' Evita hanya dapat menyebut nama lelaki itu di dalam hati.Sekujur tubuh Evita terasa membeku. Jantung di dalam dadanya mengentak dengan kuat, hingga rasanya seperti akan melompat. Evita mendengar semuanya, ketika lelaki itu menegaskan siapa dia dan apa saja yang dapat dilakukannya terhadap Willy. Buru-buru wanita itu menundukkan kepala, setengah memutar badan agar Grady tidak melihat wajahnya.Sudah satu tahun, dan Evita pun tel
Ibarat kanebo yang direndam air, Evita merasa seluruh tubuhnya lunglai bagai tak bertulang. Sendi-sendi di sekujur tubuhnya terasa begitu lemas, hingga untuk memegang gagang kemoceng saja dia tidak memiliki kekuatan.Suara benda jatuh yang tak begitu keras, membuat Evita tersadar bahwa dia masih berada di bumi. Kakinya masih berpijak di lantai granit yang setiap hari dia bersihkan.Wanita itu buru-buru menundukkan kepala, untuk menyembunyikan wajah dari lelaki itu."Maaf, Pak. Tapi itu bukan saya," ucap Evita seraya memungut kemoceng yang dia jatuhkan. Wanita itu lantas memutar badan, melanjutkan pekerjaannya dengan gugup dan masih berpura-pura tidak mengenali Grady."Berhenti meminta maaf, Ev. Apa begini cara kamu membalas sapaan teman lama?" tanya Grady untuk kembali menarik perhatian Evita.Gerakan tangan Evita yang sedang membersihkan meja pun terhenti. Meski tak melihat ke arah Grady, namun dia tahu bahwa lelaki itu sedang berjalan mendekat padanya.'Apa yang harus kulakukan? Tuh
Apakah semua lantas menjadi mudah, setelah Grady berjanji untuk melindungi Evita? Jawabannya adalah tidak!Memang, Willy tidak pernah lagi melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. SP yang diterima, cukup untuk membuat lelaki itu jera. Akan tetapi, hal tersebut tidak serta merta membuat hari-hari Evita di perusahaan itu menjadi mudah. Beberapa dari para pegawai di sana justru terlihat semakin memandang rendah dirinya.“Aku nggak tahu salahku sama mereka itu apa.” Evita menghela napas panjang.Saat jam istirahat, dia dan dua temannya berkumpul di tangga darurat. Tempat yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul dan memakan bekal makan siang bersama-sama.“Salahnya … kamu itu terlalu cantik,” balas Dewi.“Dan terlalu seksi untuk ukuran seorang office girl! Jelas saja mereka iri sama kamu,” timpal Ranti.Evita menoleh dengan tatapan malas.“Seksi apanya? Lihat, aku nggak pernah pakai riasan yang macam-macam. Seragam aja aku pakai yang gedean gini.” Wanita itu menarik ujung seragam yang
Evita dapat melihat sorot tajam di mata lelaki yang berdiri dalam diam di depan pintu ruangan. Aura yang terpancar dari lelaki itu terasa sangat mengintimidasi, membuat jantung di dalam dadanya berdentum tak keruan.Tubuh wanita itu membeku, seolah dia lupa bagaimana caranya bergerak dan bernapas. Sampai akhirnya, dia melihat perubahan ekspresi Grady setelah lelaki itu melepas napas. Dengan wajah datar, Grady berjalan melewati dirinya tanpa mengucap sepatah kata.Tak tahu mengapa, ada rasa kecewa yang menelusup di dalam dada ketika lelaki itu tak tersenyum apalagi menyapa. Namun, Evita mencoba untuk berpikir positif, bahwa lelaki itu hanya ingin bersikap profesional. Karena masih jam kerja, Grady hanya sedang memosisikan diri sebagai Bos di perusahaan itu, bukan sebagai teman lama.Menyadari kebodohan dengan tetap berada di sana sementara seisi ruangan mendadak hening, Evita pun melanjutkan langkah untuk kembali bekerja. Namun, baru saja dia keluar dari ruangan, tubuhnya berjingkat ka
Gelagat panik Evita terbaca oleh Grady. Sembari memperhatikan jalan di depan, lelaki itu menoleh sekilas pada si wanita.“Evita,” panggil Grady, meminta perhatian wanita itu.“Pak, kok saya … ini ….” Wanita itu menggulir bola mata dengan liar, bingung harus berkata apa dan mengapa bisa ada di mobil tersebut.“Hei,” panggil Grady dengan suara lebih lembut sambil meraih tangan Evita. “Tenang, oke? Aku cuma ajak kamu jalan. Janji, nanti aku bakal antar kamu pulang,” kata lelaki itu.“Ta-tapi, Pak ….” Sungguh, Evita seperti kehilangan kemampuan untuk menyusun kalimat yang tepat. Apa yang ada dalam pikirannya, tidak mampu dia ungkapkan dengan kata-kata.“Aku sudah pernah bilang, kan? Jangan panggil aku ‘Pak’.” Grady melirik malas pada wanita di sampingnya. “Kamu boleh panggil ‘Pak’ kalau lagi kerja. Kalau lagi di luar begini, panggil nama saja,” pinta lelaki itu.Kendati Grady sendiri yang meminta, tetap saja rasanya tidak enak jika harus memanggil nama. Tidak hanya soal panggilan, sekaran
Tidak tahu mengapa, sorot yang Evita lihat dalam kedua netra Grady itu membuatnya bergidik. Oke, wajah lelaki di hadapannya ini memang terlihat tidak jauh berbeda dengan saat mereka masih sekolah dulu. Selain tampilan yang lebih matang dan … semakin memesona, Grady tidak banyak berubah. Namun, Evita seperti melihat sosok lain dalam sorot mata lelaki tersebut.“Permisi, Mas. Ini martabaknya.”Grady mengerjap cepat lalu mengalihkan perhatian. Lelaki itu berpaling ke belakang, pada seorang laki-laki yang berdiri di dekat pintu mobil sambil menyodorkan kresek putih berisi satu kotak martabak.“Oh, makasih, Mang.” Grady menerima kresek tersebut lalu mengeluarkan dompet dan membayarnya. Setelah itu, Grady memutar badan ke arah Evita dengan senyum lebar di bibirnya. Kobaran api dalam netra yang semula Evita lihat, telah berubah menjadi binar indah yang mendamaikan hati.“Martabak di sini isinya penuh banget. Lihat, sampai meluber gini,” ujar Grady seraya membuka kotak martabak tersebut dan m
“Lah, itu motor kamu, kan?” Dewi yang baru keluar dari kamar untuk menjemur handuk, juga terkejut melihat sepeda motor Evita yang sudah ada di depan kamar.Evita memutar kepala. Bingung harus menjawab bagaimana, diam adalah solusi yang paling aman.“Eh, iya. Udah parkir aja di situ. Katanya mogok, terus yang bawa ke sini siapa?” Ranti yang sudah rapi pun ikut berkomentar.“Oh … ini … tadi malam aku coba cari bengkel online. Daripada nebeng sama kamu, kan,” jawab Evita sambil tersenyum bodoh.“Bengkel online?” Dewi dan Ranti sama-sama mengerutkan wajah.“I-iya. Ada kok yang pasang iklan di internet,” kata Evita lagi.“Terus kamu suruh bawa ke sini gitu?” telisik Ranti.Mau tidak mau, Evita megangguk untuk menguatkan kebohongannya.‘Ampuni aku, Tuhan. Aku banyak sekali berbohong akhir-akhir ini,’ batin wanita itu.“Ya udah, yuk, berangkat. Telat absen potong gaji lho,” ajak Evita.“Eh, bentar-bentar. Aku ambil tas dulu,” kata Dewi yang langsung berlari masuk ke kamar.Ketiga office girl
Brak!Pintu ruangan itu terbuka dengan kasar. Pelakunya bahkan sampai berjingkat dengan mulut menganga, saking terkejut dengan hasil perbuatannya. Kalau sampai pintu itu rusak, bisa habis gajinya dipotong untuk biaya perbaikan. Ruangan itu dilengkapi dengan CCTV, jadi tidak akan sulit untuk mencari tahu siapa pelaku perusakannya. Meskipun dia tidak sengaja, perusahaan tidak akan mau tahu.“Ah, sial!” rutuk Evita.Setelah keluar dari keterkejutan, wanita itu menggulir pandangannya menyapu seiri ruangan. Ekspresi di wajahnya pun langsung berubah, dengan alis yang berkerut dalam.“Kok kosong?” gumamnya.Tidak ada satu manusia pun yang dia lihat di ruangan itu. Hening, bersih, dan rapi. Aroma parfum Grady yang tertinggal di sana, membuat Evita yakin jika lelaki itu belum lama meninggalkan ruangan.“Yah … telat,” ujarnya kecewa.Dengan berat hati, Evita menutup kembali ruangan tersebut lalu memutar badan. Berjalan malas menyusuri koridor yang sepi dengan rasa kecewa yang membuatnya semakin
Lika-liku kehidupan yang dilalui Evita, membuat wanita itu merasa seperti naik roller coaster. Meski terlalu banyak kisah pahit yang dia rasakan, namun tak sedikit pula air mata haru yang tumpah oleh kebahagiaan."Sudah siap?" tanya Yuliati seraya tersenyum hangat.Evita menarik napas dalam lalu mengangguk kecil. Rasa gugup yang memenuhi benak, membuat sekujur tubuhnya terasa kaku. Dia lantas menyambut uluran tangan Yuliati dengan telapak tangannya yang sedingin es."Sudah dua kali kok masih gugup," komentar Yuliati seraya terkekeh renyah."Aku takut, Bulik," kata Evita.Yuliati memutar badan, menatap pada Evita dengan ails berkerut samar."Takut kenapa?" tanyanya peduli.Evita meneguk ludah lalu menundukkan kepala, tidak tahu harus menjawab apa.Dengan lembut, Yuliati mengusap lengan keponakannya. Dia pun tersenyum hangat sebelum kembali berujar, "Bulik ngerti, apa yang telah terjadi di masa lalu kalian itu sangat menyakitkan. Bulik juga ndak akan bisa memaksa kamu untuk menjalani se
“Kamu di sini? Ini benar kamu, kan?” Grady mengurai pelukan lalu menangkup wajah Evita. Matanya menatap tak percaya pada si wanita. Dia lantas meneliti wajah mantan istrinya dengan seksama, khawatir salah melihat dan berakhir dengan kekecewaan.Evita menganggukkan kepala. Di sela-sela tangis, terselip senyum haru untuk sang mantan suami. Dia lantas menyentuh tangan Grady yang mendarat di pipinya.“Ini aku, Grad. Aku sudah maafin kamu, tapi kamu jangan pergi. Aku nggak mau kamu pergi,” ujar wanita itu dengan suara parau.Kedua netra Grady pun tampak berkaca-kaca. Terharu, bahagia yang teramat sangat. Apa yang dia pikir akan menjadi sesuatu yang tidak mungkin untuk digapai, ternyata Tuhan menggariskan takdir yang sebaliknya.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih,” ucap lelaki itu seraya menarik tubuh Evita dalam dekapan.Mereka berpelukan erat dengan jiwa yang melebur dalam bermacam-macam emosi positif yang memenuhi benak. Sampai-sampai mereka menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang
Evita tidak mengira kalau dia akan bertemu lagi dengan Arman, Gracy, bahkan Tania. Orang-orang yang berasal dari masa lalunya itu kini tengah duduk di teras rumah Yuliati.“Sini sama Mama, Sayang,” bujuk Gracy pada Tania yang tidak mau turun dari pangkuan Evita.Tania menggeleng dan malah memeluk leher Evita semakin erat.“Aku mau sama Tante saja,” kata gadis kecil itu.Evita memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi wanita itu membalas pelukan Tania tak kalah erat. Seolah ingin menunjukkan bahwa dia juga sangat menyayangi anak itu, bahwa dia sangat merindukan gadis kecilnya yang kini sudah terlihat lebih besar.“Untuk apa kalian datang kemari?” tanya Evita dengan suara sedikit serak.Setelah Yuliati meninggalkan Evita bersama keluarga Ferdinata, hanya celotehan Tania yang menjadi penengah di antara mereka. Evita pun menjawab sekadarnya. Meski sudah berusaha terlihat ramah, namun tetap saja gurat kesedihan yang tergambar di wajah wanita itu tidak dapat ditutupi.“Maaf kalau kami datang
Sebuah mobil yang memasuki halaman rumah Yuliati mengundang perhatian. Yuliati dan beberapa pegawainya yang tengah mengemas snack pun langsung melihat ke luar rumah, ketika mereka mendengar deru halus mesin kendaraan roda empat tersebut.“Siapa yang datang?” gumam Yuliati.Wanita paruh baya itu mengelap tangan pada celemek lalu bangkit. Netranya masih mengarah pada mobil di luar yang baru saja berhenti. Tampak asing, Yuliati tidak pernah melihat mobil tersebut sebelumnya. Sempat berpikir bahwa mungkin saja itu adalah Grady, namun saat melihat seorang gadis kecil yang turun dari kendaraan tersebut, Yuliati semakin penasaran.“Anak siapa, ya? Ndak pernah lihat,” gumamnya lagi.Penasaran dengan tamunya, Yuliati pun keluar dari rumah. Kening wanita itu berkerut, menunggu sambil memperhatikan baik-baik penumpang mobil yang mulai menjejakkan kaki di halaman rumahnya satu persatu.“Ma, Tante ada di sini, ya?” Gadis kecil yang turun paling pertama dari mobil itu, terlihat bertanya pada seseor
Memang tidak salah jika ada yang bilang bahwa ikhlas adalah ilmu yang sangat tinggi. Bukan hal yang mustahil, tetapi tidak banyak orang yang mampu menakhlukkan ikhlas pada level tertinggi.Tak berbeda dengan Grady. Meski dia sudah berusaha merelakan Evita untuk mencari kebahagiannya sendiri, akan tetapi masih saja ada rasa sakit yang menyentil hati. Tidak hanya sekali dua kali, keinginan untuk mengingkari ucapan itu menggoda iman si lelaki. Namun, saat ingat bahwa hal tersebut hanya akan semakin memperkeruh hubungannya dengan Evita, lelaki itu pun berusaha keras untuk melawan keinginan hati. Apa pun yang terjadi, dia harus bisa bertahan agar Evita tidak semakin membencinya.Atensi Grady teralih pada dering ponsel yang terselip di saku celananya. Dia berhenti melangkah lalu mengambil ponsel tersebut untuk melihat siapa yang menghubungi. Setelahnya, dia angkat pandangan dan berkata pada orang yang sedang bersamanya.“Duluan saja. Nanti saya nyusul,” ujar lelaki itu.Dia lantas menepi ke
Semua mata terpusat pada arah sumber suara, pada seorang lelaki yang baru saja muncul dengan langkah yang semakin dekat dengan mereka. Wajah yang tidak asing, tampak tersenyum ramah pada keluarga tersebut.“Maaf, aku datang sepagi ini,” ucap Grady saat berhenti melangkah beberapa meter di hadapan Evita dan keluarganya. Lelaki itu berpaling sejenak pada dua pegawai toko bunga yang mengantar pesanannya, lalu berkata, “Tolong turunin bunganya.”Setelah itu, Grady kembali melihat pada Evita yang tengah mengetatkan rahang, tampak begitu murka terhadap dirinya. Wanita itu berjalan cepat dengan tangan mengepal, menghampiri Grady. Kemudian, sebuah tamparan mendarat di wajah si lelaki dengan begitu keras dan tiba-tiba.Plak!Wajah Grady turut berpaling mengikuti arah tamparan tersebut. Dia sentuh sisi wajah yang terasa panas dengan tenang. Dia tidak akan marah, meski Evita menghajar dirinya. Grady merasa itu masih belum sebanding dengan apa yang pernah dia lakukan pada wanita tersebut.“Pergi
Evita meneguk ludah, melihat Yuliati menatap penuh emosi kepadanya.“Bulik,” cicit Evita.“Ya Tuhan, Nduk,” ujar wanita paruh baya itu.Yuliati langsung menghampiri Evita dan memeluk keponakannya itu dengan erat.“Kenapa kamu ndak pernah bilang sama Bulik, Nduk? Kenapa kamu merahasiakan ini dari Bulik?” Yuliati mengurai pelukan lalu menangkup kedua sisi wajah Evita. Kedua pipi wanita paruh baya itu sudah basah oleh air mata yang membanjir.Sepintas, Evita melirik pada Yonik yang masih berdiri di ambang pintu sambil menundukkan kepala. Dugaannya, Yonik telah menceritakan semuanya kepada Yuliati. Tadinya, Evita ingin marah. Namun, saat ingat bahwa permintaan maaf Grady ditayangkan langsung, wanita itu meredam kembali kemarahannya. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa Yuliati melihat tayangan itu dan bertanya pada Yonik.“Maaf, Bulik,” ucap Evita lirih. Wanita itu menundukkan kepala dalam-dalam, tak berani memandang wajah buliknya.Yuliati membersit ingus lalu merangkul Evita. Berusaha
Dejavu. Grady pernah membuat acara semacam ini untuknya saat dia masih bekerja di Neo Creative. Bedanya, sekarang mereka menjadi tontonan seluruh masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Evita malu. Alih-alih menjawab sapaan lelaki itu, Evita justru menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajah dari sorotan kamera, meski hal itu sudah sangat terlambat. Sungguh, dia ingin lari dari sana secepat mungkin. Namun, kakinya seolah sudah menyatu dengan lantai. Sendi-sendi di tubuhnya terasa kaku. Otaknya pun serasa membeku, hingga dia tak memiliki kendali untuk menggerakkan tubuhnya sendiri.Grady menoleh ke sekitar lalu tersenyum pada orang-orang yang ada di sana sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu dirinya melakukan semua ini.“Terima kasih untuk bantuannya. Maaf merepotkan kalian pagi-pagi begini,” ucap Grady pada semua orang yang terlibat dalam acara tersebut.Setelah itu, Grady kembali mengarahkan pandangan pada Evita yang tampak salah tingkah dan mati gaya di hadapannya. Lelaki
Apakah Evita masih cinta pada Grady?Pertanyaan itu terdengar mudah, namun sangat sulit untuk Evita jawab. Yonik baru saja melempar pertanyaan yang sangat sensitif, hingga wanita itu lebih memilih diam tak mengatakan apa-apa.Evita bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Lisannya bisa saja berkata tidak, tetapi mengapa jika mengingat lelaki itu batinnya masih saja terasan sesak? Kalaupun dia jawab masih cinta, keinginan untuk bersama lagi rasanya sudah sirna dari dalam dada.Tak berbeda dengan Evita yang merasakan dilema, Yonik pun mencicipi hal serupa. Pembicaraannya dengan Evita mengenai masalah tersebut berakhir ketika wanita itu enggan untuk menjawab pertanyaannya. Di samping itu, Yuliati pun keburu pulang dari belanja dan ikut nimbrung mengobrol dengan mereka.Berkali-kali Evita memberi isyarat pada Yonik, memperingatkan lelaki itu untuk tidak menceritakan apa yang baru saja dia katakan tentang Grady kepada Yuliati. Melihat Yuliati yang begitu baik terhadap dirinya, Ev