“Grady! Turunin aku!” Evita menahan suaranya karena khawatir akan menarik perhatian orang-orang.“Diam dan jangan berontak. Kamu mau, nanti warga pada bangun terus mengira aku sedang menculik kamu?” Grady mengangkat kedua alis. “Ini sudah hampir tengah malam, Ev. Orang-orang sudah pada tidur.”Wanita itu mengedar pandangan ke sekitar, dan benar saja gang ini sudah sepi. Ada beberapa orang yang masih tampak duduk di depan kamar kos, tapi sebagian besar sudah mematikan lampu dan mengunci pintu. Evita memutar kepala, menyembunyikan wajah di dada Grady, yang sialnya aroma parfum lelaki itu membuat dia semakin betah berlama-lama dalam posisi begitu.“Tapi aku bisa jalan sendiri,” kata Evita, seraya memandang wajah Grady.“Dan aku mau menggendongmu sampai ke kosan,” balas lelaki itu. “Lagian … coba lihat pakaian kamu. Celana kamu penjang sebelah, baret-baret lagi, jalannya pincang. Aku mana tega biarin kamu jalan sendiri?” imbuhnya.Evita mendengkus pelan dengan raut gusar. Orang-orang bisa
“Evita! Evita!” panggilan itu sejurus dengan gedoran pintu yang begitu keras.Kaget dengan suara berisik itu, Evita yang masih terlelap pun langsung membuka mata. Dan, seketika itu rasa nyeri menyerang kepala.“Ssh ... aduh,” desisnya sambil memegang kepala. “Apaan sih itu anak,” ujarnya sambil menahan rasa sakit yang menusuk.“Ev, buka pintunya! Aku tahu kamu masih hidup!” teriak Ranti sambil menggedor pintu.Netra Evita menyipit, menoleh ke arah jendela yang manampakkan siluet seseorang tengah mengintip ke dalam. Evita yakin orang itu adalah Dewi. Dia lantas menyingkap selimut, berniat untuk membukakan pintu. Akan tetapi, ketika kakinya menekuk, wanita itu kembali terduduk sambil mengaduh kesakitan. Lututnya terasa kaku, dan terasa lebih nyeri dibandingkan tadi malam.“Sakit banget, sih,” keluhnya.Mengantisipasi Ranti yang mungkin akan menjebol pintu kamarnya, Evita memaksakan diri untuk bangkit. Pelan-pelan, dia angkat badan tanpa menekuk kakinya yang terluka. Setelah berdiri, bar
Selama beberapa waktu, Evita mematung. Pandangannya tak lepas dari sosok lelaki yang kini berdiri di depan pintu kamarnya. Sampai dia tersadar bahwa lelaki ini adalah lelaki yang sama dengan yang dia tampar semalam. Evita mundur satu langkah, lalu menarik daun pintu untuk menutupnya.“Tunggu!” cegah Grady seraya menahan papan kayu tersebut. “Jangan tutup pintunya,” ujar lelaki itu.Evita memalingkan wajah sambil membasahi bibir. “Mau apa lagi kamu ke sini?” tanyanya.Kejadian semalam membuat dada Evita terasa sesak. Wanita itu enggan melihat pada Grady karena dia tidak ingin lelaki itu melihat kelemahannya. Mati-matian Evita menahan air mata agar tidak tumpah, karena dia tidak ingin terlihat lemah.“Aku cuma ingin memastikan kalau kamu sudah minum obat. Aku juga harus memastikan kalau sebelum minum obat, kamu sudah makan,” jawab lelaki itu seraya mengangkat kantong kresek di tangannya.“Aku bisa mengurus diriku sendiri. Kamu nggak perlu repot-repot seperti ini,” balas Evita.Grady mel
Kalimat itu memang terucap dari mulut Evita sendiri, namun rasanya sungguh menyayat hati. Dia merasa seperti baru saja menelan pecahan kaca yang menggores setiap tempat yang dilewatinya.“Aku tidak mencintaimu.”Itu adalah kebohongan besar yang untuk melakukannya saja membutuhkan energi luar biasa banyak. Setelah berhasil melontarkan kalimat itu dan mengusir Grady dari kamar kosnya, Evita merasa tubuhnya begitu lemas. Wanita itu menangis sejadinya, meluapkan rasa sakit yang menggerogoti jiwa.Evita pikir, setelah dia mengusir Grady, lelaki itu akan berhenti melakukan hal yang semakin membuatnya terluka. Setelah dua hari tidak masuk kerja, akhirnya Evita mulai beraktivitas seperti biasa. Meski tak memungkiri bahwa kakinya masih terasa nyeri. Namun, Evita yakin dia dapat melakukan pekerjaannya dengan baik.“Kakimu masih sakit, lho, Ev. Yakin nggak mau istirahat sehari lagi?” tanya Ranti dengan raut khawatir.Evita tersenyum lalu membonceng motor Ranti.“Bosan diam saja di kosan. Nggak a
Kamar berukuran 3x4 meter itu hanya tersisa ruang kosong yang dapat dia gunakan untuk memarkir motor ketika malam. Memang lebih rapi dan bersih, tetapi juga terkesan penuh jika harus digunakan untuk memarkir motor miliknya. Dan kini, Dewi dan Ranti yang sedang menempati ruang kosong itu, semakin terlihat mirip seperti dua tugu lilin yang berdiri kokoh dengan simbol api di atas kepala mereka.“Jangan bilang kalau yang ngasih semua ini adalah Pak Grady, bos kita,” kata Dewi dengan mata menyipit curiga.Duduk di hadapan Ranti dan Dewi, Evita tampak seperti seorang pesakitan yang sedang diinterogasi. Lihat saja dua wanita yang berdiri di hadapannya sambil bersedekap itu! Tatapan mereka mengandung tuduhan tentang affair antara Evita dan Grady.“Jangan-jangan yang ngantarin kamu pulang pas habis kecelakaan kemarin juga Pak Grady,” terka Dewi kemudian.“Ada apa antara kamu sama Pak Grady?” tanya Ranti to the point.Evita mengembuskan napas keras kemudian menutup wajah dengan telapak tangan.
“Ev, kemarin kamu apain sih Pak Grady? Sudah tiga hari lho doi nggak datang ke kantor,” tanya Dewi yang sedang menumpang nonton televisi di kamar Evita.Sejak kejadian waktu itu, tidak ada yang berani bertanya pada Evita tentang apa saja yang mereka bicarakan di dalam ruangan. Karena Evita menjadi lebih tertutup dan seperti tidak tertarik untuk membagi cerita. Wanita itu lebih sering menyendiri, dan tidak ada malam yang dia lewati tanpa air mata.“Aku tampar,” jawab Evita seraya memasukkan benang pada lubang jarum, untuk menjahit seragamnya yang sobek.“Hah?!” Dewi memutar kepala cepat dengan kedua mata melotot. “Serius kamu tampar bos kita?” tanyanya tak percaya.“Ya kali aku bohong,” seloroh Evita dengan pandangan terfokus pada lubang jarum.“Wah … ini kalau Ranti dengar, aku yakin dia langsung salto kanan, kiri, depan, belakang.” Dewi menggeleng kepala. “Parah kamu mah,” ujar wanita itu yang tak dipedulikan oleh Evita.Setelah tiga hari, suasana hati Evita sudah terasa lebih baik.
“Evita Maharani, maukah kamu menikah denganku?”Itu adalah kalimat yang ditunggu-tunggu oleh setiap wanita dari lelaki yang dipujanya. Akan tetapi, tak begitu dengan yang dirasakan Evita saat ini. Kalimat tersebut justru terasa seperti belati yang ditikamkan ke dadanya. Menusuk, merobek, mengoyak, dan mencabik-cabik hingga menyisakan rasa sakit yang tidak terkira. Kalimat yang seharusnya terdengar sangat indah itu, nyatanya menjadi kata-kata paling menyakitkan bagi Evita.“Terima! Terima! Terima!”Seruan itu terdengar bersamaan dengan tepuk tangan para pegawai Neo Creative. Entah karena tulus melakukannya atau semua ini sekadar dukungan untuk pimpinan mereka.Di sini, Evita tidak hanya mendapat pengakuan bahwa dia dan Grady adalah “teman lama” yang bertemu kembali. Evita juga mendapat pengakuan sebagai wanita yang lelaki itu cintai sejak lama. Sayangnya, semua itu tak lantas membuat hati Evita merasa bahagia. Tangis wanita itu semakin menjadi, kala seruan dari orang-orang di sekitar t
Evita tidak yakin. Akan tetapi, ketika dia melihat ke arah wanita itu, pandangan mereka sempat bertemu meski hanya sepersekian detik. Evita segera membalik badan, mengabaikan tangan Lody yang menggantung di udara.“Maaf, saya permisi,” pamit Evita seraya berjalan cepat meninggalkan Lody dan Tania yang menatapnya kebingungan.Kesedihan yang beberapa waktu lalu dirasakannya, mendadak lenyap dan berganti dengan ketakutan yang menyelimuti batin. Evita berlari menuju tempat parkir motor dan ingin segera pergi dari tempat itu sebelum terlambat.“Sial!” umpat Evita saat lagi-lagi tangannya gemetar dan tidak bisa memasukkan kunci motor dengan benar.Beberapa kali fokusnya terbagi dengan arah yang dia tinggalkan. Wanita itu takut akan ada orang yang mengejar.Setelah berhasil memasukkan kunci, Evita langsung memutar gas meninggalkan tempat tersebut. Dia kendarai sepeda motornya dengan kecepatan semaksimal yang dia mampu untuk membelah jalanan ibukota. Inginnya dia langsung kembali ke tempat ko
Lika-liku kehidupan yang dilalui Evita, membuat wanita itu merasa seperti naik roller coaster. Meski terlalu banyak kisah pahit yang dia rasakan, namun tak sedikit pula air mata haru yang tumpah oleh kebahagiaan."Sudah siap?" tanya Yuliati seraya tersenyum hangat.Evita menarik napas dalam lalu mengangguk kecil. Rasa gugup yang memenuhi benak, membuat sekujur tubuhnya terasa kaku. Dia lantas menyambut uluran tangan Yuliati dengan telapak tangannya yang sedingin es."Sudah dua kali kok masih gugup," komentar Yuliati seraya terkekeh renyah."Aku takut, Bulik," kata Evita.Yuliati memutar badan, menatap pada Evita dengan ails berkerut samar."Takut kenapa?" tanyanya peduli.Evita meneguk ludah lalu menundukkan kepala, tidak tahu harus menjawab apa.Dengan lembut, Yuliati mengusap lengan keponakannya. Dia pun tersenyum hangat sebelum kembali berujar, "Bulik ngerti, apa yang telah terjadi di masa lalu kalian itu sangat menyakitkan. Bulik juga ndak akan bisa memaksa kamu untuk menjalani se
“Kamu di sini? Ini benar kamu, kan?” Grady mengurai pelukan lalu menangkup wajah Evita. Matanya menatap tak percaya pada si wanita. Dia lantas meneliti wajah mantan istrinya dengan seksama, khawatir salah melihat dan berakhir dengan kekecewaan.Evita menganggukkan kepala. Di sela-sela tangis, terselip senyum haru untuk sang mantan suami. Dia lantas menyentuh tangan Grady yang mendarat di pipinya.“Ini aku, Grad. Aku sudah maafin kamu, tapi kamu jangan pergi. Aku nggak mau kamu pergi,” ujar wanita itu dengan suara parau.Kedua netra Grady pun tampak berkaca-kaca. Terharu, bahagia yang teramat sangat. Apa yang dia pikir akan menjadi sesuatu yang tidak mungkin untuk digapai, ternyata Tuhan menggariskan takdir yang sebaliknya.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih,” ucap lelaki itu seraya menarik tubuh Evita dalam dekapan.Mereka berpelukan erat dengan jiwa yang melebur dalam bermacam-macam emosi positif yang memenuhi benak. Sampai-sampai mereka menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang
Evita tidak mengira kalau dia akan bertemu lagi dengan Arman, Gracy, bahkan Tania. Orang-orang yang berasal dari masa lalunya itu kini tengah duduk di teras rumah Yuliati.“Sini sama Mama, Sayang,” bujuk Gracy pada Tania yang tidak mau turun dari pangkuan Evita.Tania menggeleng dan malah memeluk leher Evita semakin erat.“Aku mau sama Tante saja,” kata gadis kecil itu.Evita memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi wanita itu membalas pelukan Tania tak kalah erat. Seolah ingin menunjukkan bahwa dia juga sangat menyayangi anak itu, bahwa dia sangat merindukan gadis kecilnya yang kini sudah terlihat lebih besar.“Untuk apa kalian datang kemari?” tanya Evita dengan suara sedikit serak.Setelah Yuliati meninggalkan Evita bersama keluarga Ferdinata, hanya celotehan Tania yang menjadi penengah di antara mereka. Evita pun menjawab sekadarnya. Meski sudah berusaha terlihat ramah, namun tetap saja gurat kesedihan yang tergambar di wajah wanita itu tidak dapat ditutupi.“Maaf kalau kami datang
Sebuah mobil yang memasuki halaman rumah Yuliati mengundang perhatian. Yuliati dan beberapa pegawainya yang tengah mengemas snack pun langsung melihat ke luar rumah, ketika mereka mendengar deru halus mesin kendaraan roda empat tersebut.“Siapa yang datang?” gumam Yuliati.Wanita paruh baya itu mengelap tangan pada celemek lalu bangkit. Netranya masih mengarah pada mobil di luar yang baru saja berhenti. Tampak asing, Yuliati tidak pernah melihat mobil tersebut sebelumnya. Sempat berpikir bahwa mungkin saja itu adalah Grady, namun saat melihat seorang gadis kecil yang turun dari kendaraan tersebut, Yuliati semakin penasaran.“Anak siapa, ya? Ndak pernah lihat,” gumamnya lagi.Penasaran dengan tamunya, Yuliati pun keluar dari rumah. Kening wanita itu berkerut, menunggu sambil memperhatikan baik-baik penumpang mobil yang mulai menjejakkan kaki di halaman rumahnya satu persatu.“Ma, Tante ada di sini, ya?” Gadis kecil yang turun paling pertama dari mobil itu, terlihat bertanya pada seseor
Memang tidak salah jika ada yang bilang bahwa ikhlas adalah ilmu yang sangat tinggi. Bukan hal yang mustahil, tetapi tidak banyak orang yang mampu menakhlukkan ikhlas pada level tertinggi.Tak berbeda dengan Grady. Meski dia sudah berusaha merelakan Evita untuk mencari kebahagiannya sendiri, akan tetapi masih saja ada rasa sakit yang menyentil hati. Tidak hanya sekali dua kali, keinginan untuk mengingkari ucapan itu menggoda iman si lelaki. Namun, saat ingat bahwa hal tersebut hanya akan semakin memperkeruh hubungannya dengan Evita, lelaki itu pun berusaha keras untuk melawan keinginan hati. Apa pun yang terjadi, dia harus bisa bertahan agar Evita tidak semakin membencinya.Atensi Grady teralih pada dering ponsel yang terselip di saku celananya. Dia berhenti melangkah lalu mengambil ponsel tersebut untuk melihat siapa yang menghubungi. Setelahnya, dia angkat pandangan dan berkata pada orang yang sedang bersamanya.“Duluan saja. Nanti saya nyusul,” ujar lelaki itu.Dia lantas menepi ke
Semua mata terpusat pada arah sumber suara, pada seorang lelaki yang baru saja muncul dengan langkah yang semakin dekat dengan mereka. Wajah yang tidak asing, tampak tersenyum ramah pada keluarga tersebut.“Maaf, aku datang sepagi ini,” ucap Grady saat berhenti melangkah beberapa meter di hadapan Evita dan keluarganya. Lelaki itu berpaling sejenak pada dua pegawai toko bunga yang mengantar pesanannya, lalu berkata, “Tolong turunin bunganya.”Setelah itu, Grady kembali melihat pada Evita yang tengah mengetatkan rahang, tampak begitu murka terhadap dirinya. Wanita itu berjalan cepat dengan tangan mengepal, menghampiri Grady. Kemudian, sebuah tamparan mendarat di wajah si lelaki dengan begitu keras dan tiba-tiba.Plak!Wajah Grady turut berpaling mengikuti arah tamparan tersebut. Dia sentuh sisi wajah yang terasa panas dengan tenang. Dia tidak akan marah, meski Evita menghajar dirinya. Grady merasa itu masih belum sebanding dengan apa yang pernah dia lakukan pada wanita tersebut.“Pergi
Evita meneguk ludah, melihat Yuliati menatap penuh emosi kepadanya.“Bulik,” cicit Evita.“Ya Tuhan, Nduk,” ujar wanita paruh baya itu.Yuliati langsung menghampiri Evita dan memeluk keponakannya itu dengan erat.“Kenapa kamu ndak pernah bilang sama Bulik, Nduk? Kenapa kamu merahasiakan ini dari Bulik?” Yuliati mengurai pelukan lalu menangkup kedua sisi wajah Evita. Kedua pipi wanita paruh baya itu sudah basah oleh air mata yang membanjir.Sepintas, Evita melirik pada Yonik yang masih berdiri di ambang pintu sambil menundukkan kepala. Dugaannya, Yonik telah menceritakan semuanya kepada Yuliati. Tadinya, Evita ingin marah. Namun, saat ingat bahwa permintaan maaf Grady ditayangkan langsung, wanita itu meredam kembali kemarahannya. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa Yuliati melihat tayangan itu dan bertanya pada Yonik.“Maaf, Bulik,” ucap Evita lirih. Wanita itu menundukkan kepala dalam-dalam, tak berani memandang wajah buliknya.Yuliati membersit ingus lalu merangkul Evita. Berusaha
Dejavu. Grady pernah membuat acara semacam ini untuknya saat dia masih bekerja di Neo Creative. Bedanya, sekarang mereka menjadi tontonan seluruh masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Evita malu. Alih-alih menjawab sapaan lelaki itu, Evita justru menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajah dari sorotan kamera, meski hal itu sudah sangat terlambat. Sungguh, dia ingin lari dari sana secepat mungkin. Namun, kakinya seolah sudah menyatu dengan lantai. Sendi-sendi di tubuhnya terasa kaku. Otaknya pun serasa membeku, hingga dia tak memiliki kendali untuk menggerakkan tubuhnya sendiri.Grady menoleh ke sekitar lalu tersenyum pada orang-orang yang ada di sana sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu dirinya melakukan semua ini.“Terima kasih untuk bantuannya. Maaf merepotkan kalian pagi-pagi begini,” ucap Grady pada semua orang yang terlibat dalam acara tersebut.Setelah itu, Grady kembali mengarahkan pandangan pada Evita yang tampak salah tingkah dan mati gaya di hadapannya. Lelaki
Apakah Evita masih cinta pada Grady?Pertanyaan itu terdengar mudah, namun sangat sulit untuk Evita jawab. Yonik baru saja melempar pertanyaan yang sangat sensitif, hingga wanita itu lebih memilih diam tak mengatakan apa-apa.Evita bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Lisannya bisa saja berkata tidak, tetapi mengapa jika mengingat lelaki itu batinnya masih saja terasan sesak? Kalaupun dia jawab masih cinta, keinginan untuk bersama lagi rasanya sudah sirna dari dalam dada.Tak berbeda dengan Evita yang merasakan dilema, Yonik pun mencicipi hal serupa. Pembicaraannya dengan Evita mengenai masalah tersebut berakhir ketika wanita itu enggan untuk menjawab pertanyaannya. Di samping itu, Yuliati pun keburu pulang dari belanja dan ikut nimbrung mengobrol dengan mereka.Berkali-kali Evita memberi isyarat pada Yonik, memperingatkan lelaki itu untuk tidak menceritakan apa yang baru saja dia katakan tentang Grady kepada Yuliati. Melihat Yuliati yang begitu baik terhadap dirinya, Ev