Beranda / Romansa / Mantan Simpanan Ayah Mertua / Bab 5. Tinggal Bersama Kenangan

Share

Bab 5. Tinggal Bersama Kenangan

Penulis: Rusmiko157
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Apakah semua lantas menjadi mudah, setelah Grady berjanji untuk melindungi Evita? Jawabannya adalah tidak!

Memang, Willy tidak pernah lagi melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. SP yang diterima, cukup untuk membuat lelaki itu jera. Akan tetapi, hal tersebut tidak serta merta membuat hari-hari Evita di perusahaan itu menjadi mudah. Beberapa dari para pegawai di sana justru terlihat semakin memandang rendah dirinya.

“Aku nggak tahu salahku sama mereka itu apa.” Evita menghela napas panjang.

Saat jam istirahat, dia dan dua temannya berkumpul di tangga darurat. Tempat yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul dan memakan bekal makan siang bersama-sama.

“Salahnya … kamu itu terlalu cantik,” balas Dewi.

“Dan terlalu seksi untuk ukuran seorang office girl! Jelas saja mereka iri sama kamu,” timpal Ranti.

Evita menoleh dengan tatapan malas.

“Seksi apanya? Lihat, aku nggak pernah pakai riasan yang macam-macam. Seragam aja aku pakai yang gedean gini.” Wanita itu menarik ujung seragam yang dia kenakan.

Ranti meletakkan botol minum lalu memutar badan ke arah temannya tersebut.

“Beb, kamu itu sadar nggak sih? Mukamu itu bukan muka office girl. Muka kamu itu muka-muka mahal. Kalau kita bertiga berdiri jejeran di depan cermin, yang ada aku sama Dewi itu kelihatan buluk banget, kayak dayang yang berdiri di samping Putri Mahkota—”

“Woy! Muka kamu aja tuh yang buluk. Aku kan rutin pake skincare,” potong Dewi.

“Skincare abal-abal!” sahut Ranti. “Hati-hati loh, bisa burik itu muka lama-lama,” lanjutnya menakut-nakuti.

“Ya mau gimana lagi? Duitnya cuma cukup buat beli itu.” Dewi tertawa renyah.

“Itu sih mau cantik tapi nggak ada modal!” sahut Ranti.

“Terus … apa aku harus cari modal dari sugar daddy?” canda Dewi.

Candaan itu membuat pikiran Evita berselancar ke masa lalu, pada kenangan tentang Arman—sugar daddy alias ayah kandung Grady. Wanita itu menyandarkan kepala pada tembok, tak mendengarkan lagi ocehan dua temannya yang masih saling mengejek. Pikiran Evita justru melanglang buana pada salah satu obrolannya dengan Arman.

“Hari ini anak bungsu saya akan datang ke Jakarta,” ujar Arman saat sedang bersama Evita.

“Anak bungsu? Bukannya anak Om cuma satu, ya?” Evita mengerutkan wajah.

Arman terkekeh lalu mengelus kepala Evita yang bersandar di dadanya.

“Anak saya dua. Memang yang bungsu ini dari kecil tidak tinggal bersama kami, tapi sama neneknya.” Lelaki paruh baya itu menjelaskan.

“Terus, kenapa tiba-tiba mau tinggal sama Om?” tanya Evita seraya menengadah, melihat pada Arman.

“Dia bilang, pengin lebih dekat dengan ibunya,” jawab Arman.

“Tapi kan ….” Evita tidak melanjutkan ucapannya karena takut akan membuat Arman tersinggung.

Lelaki itu tersenyum kecil. “Dia ingin tinggal bersama kenangan ibunya,” ujar Arman dengan nada lembut, seperti sedang memberi penjelasan pada putri kesayangannya.

Dari semua lelaki yang pernah menggunakan jasa Evita, Arman adalah orang yang bisa membuat wanita itu merasa nyaman. Kenyamanan yang dia rindukan dari figur seorang ayah. Terlebih lagi karena Arman tidak serta merta memperlakukan Evita seperti wanita murahan yang harus melayani kebutuhan biologisnya setiap kali bertemu. Mereka bahkan lebih sering menghabiskan waktu hanya untuk mengobrol dan berpelukan. Seperti sedang mengisi kekosongan di hati masing-masing.

Karena penasaran dengan anak bungsu Arman, Evita merengek untuk ikut menjemput anak itu di stasiun. Dia berjanji untuk tidak menampakkan diri di hadapan sang anak dan hanya ingin melihat dari kejauhan. Hingga akhirnya, Arman pun memperbolehkan Evita ikut bersamanya.

Semula, Evita mengira bahwa anak Arman masih remaja. Namun, ketika melihat sosok yang datang menghampiri dan memeluk lelaki tersebut, saat itulah badai dahsyat menghantam benak Evita. Dia tidak pernah menyangka, bahwa dia akan melihat lelaki yang namanya selalu tersimpan rapi di hatinya dalam kondisi seperti ini. Evita merasa hancur berkeping-keping saat tahu bahwa anak dari sugar daddy-nya adalah Grady, lelaki yang dia pikir tidak akan pernah dia temui lagi. Dan dari situlah nestapa itu bermula, yang membuat Evita akhirnya memutuskan untuk berhenti menjual diri.

Sudah satu minggu semenjak Grady memimpin Neo Creative, akan tetapi Evita belum bertemu dengan lelaki itu lagi. Sebenarnya ini bagus untuk menghindari “serangan jantung” yang sewaktu-waktu dapat menewaskannya. Namun, tak tahu mengapa, dia juga merasa gelisah. Terselip keinginan untuk melihat sosok itu lagi, meski dia tahu hal tersebut hanya akan membuat batinnya semakin tersiksa.

“Tuh kan bener, pada ngumpul di sini,” ucap seorang staf yang membuat ketiga office girl itu berpaling.

“Kan lagi istirahat, Mbak,” ucap Dewi.

“Aku nggak ngomong sama kamu.” Staf itu lantas berpaling pada Evita. “Eh, itu mejaku ketumpahan bubur ayam. Bersihin dulu gih! Cepet, ya! Mau dipakai kerja,” perintah staf itu dengan raut judes.

Setelah memberi perintah, staf itu langsung pergi begitu saja. Membuat tiga office girl di sana melongo, seperti baru saja melihat setan penghuni tangga yang melintas.

“Apa susahnya sih bilang ‘tolong’? Gitu amat jadi orang,” gerutu Ranti.

“Lagian siang-siang makan bubur ayam, kayak orang bengek aja,” sahut Dewi yang tak kalah kesal.

Evita sendiri hanya menanggapi dengan senyuman. Dia bereskan kotak makan miliknya lalu bangkit.

“Ev, sekali-sekali lawan dong kalau ada yang seenaknya begitu,” kata Dewi yang juga turut membereskan bekas makan siangnya.

“Buat apa? Buat nunjukin kalau aku sama buruknya sama dia? Lagian, bersih-bersih kan emang tugas kita,” sahut Evita.

“Ya tapi nggak seenaknya gitu juga kali. Kita ini juga manusia, punya hati. Biar kata derajat kita beda sama dia, tapi kita juga karyawan di sini. Merintah sih merintah, tapi bisa kan pakai bahasa yang lebih enak didengar,” timpal Ranti yang emosi dengan sikap staf tadi.

“Positive thinking saja. Barangkali dia dulu lulus kuliahnya nyogok,” balas Evita santai. “Udah, ah. Aku mau kerja dulu,” lanjutnya yang lantas meninggalkan tempat tersebut.

Bukannya Evita lemah, dia bisa saja melawan. Bahkan jika harus berkelahi dengan wanita itu, dia pun berani. Hanya saja … untuk apa? Jika dia melawan, yang ada malah dia akan mendapatkan semakin banyak musuh. Namun, ini juga tidak berarti bahwa dia akan diam saja, jika yang dilakukan terhadapnya sudah kelewat batas.

Dengan membawa peralatan yang dibutuhkan, Evita datang ke meja yang katanya ketumpahan bubur ayam. Dengan telaten, wanita itu membersihkan meja bahkan lantai di bawahnya. Entah apa yang terjadi di sana, hingga bubur ayamnya bisa berceceran seperti itu.

“Pintar juga ya dia cari muka sama si Bos.”

Sejenak gerakan tangan Evita berhenti ketika mendengar kalimat tersebut terucap dari salah satu staf.

“Berlagak lemah, tapi aslinya kayak siluman rubah,” timpal yang lainnya sambil tertawa menghina.

Beginilah yang dialami Evita selama satu minggu terakhir. Memang nama Evita tidak disebut. Dia pun ingin sekali mengelak bahwa yang dibicarakan orang-orang itu adalah dirinya. Namun, batin Evita tidak bisa berbohong.

‘Abaikan saja, Ev! Cepat selesaikan pekerjaanmu lalu pergi dari ruangan ini,’ batin Evita seraya menggerakkan tangan lebih cepat untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Evita menulikan telinga, tidak ingin mendengar obrolan toxic tersebut. Begitu selesai, Evita buru-buru membereskan peralatan dan meninggalkan ruangan itu. Namun, alangkah terkejutnya dia ketika melihat Grady berdiri di depan pintu dengan raut wajah mengeras. Evita menahan napas, apakah Grady mendengar apa yang tadi mereka katakan?

Bab terkait

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 6. Kombinasi yang Mematikan

    Evita dapat melihat sorot tajam di mata lelaki yang berdiri dalam diam di depan pintu ruangan. Aura yang terpancar dari lelaki itu terasa sangat mengintimidasi, membuat jantung di dalam dadanya berdentum tak keruan.Tubuh wanita itu membeku, seolah dia lupa bagaimana caranya bergerak dan bernapas. Sampai akhirnya, dia melihat perubahan ekspresi Grady setelah lelaki itu melepas napas. Dengan wajah datar, Grady berjalan melewati dirinya tanpa mengucap sepatah kata.Tak tahu mengapa, ada rasa kecewa yang menelusup di dalam dada ketika lelaki itu tak tersenyum apalagi menyapa. Namun, Evita mencoba untuk berpikir positif, bahwa lelaki itu hanya ingin bersikap profesional. Karena masih jam kerja, Grady hanya sedang memosisikan diri sebagai Bos di perusahaan itu, bukan sebagai teman lama.Menyadari kebodohan dengan tetap berada di sana sementara seisi ruangan mendadak hening, Evita pun melanjutkan langkah untuk kembali bekerja. Namun, baru saja dia keluar dari ruangan, tubuhnya berjingkat ka

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 7. Masih Seperti yang Dulu

    Gelagat panik Evita terbaca oleh Grady. Sembari memperhatikan jalan di depan, lelaki itu menoleh sekilas pada si wanita.“Evita,” panggil Grady, meminta perhatian wanita itu.“Pak, kok saya … ini ….” Wanita itu menggulir bola mata dengan liar, bingung harus berkata apa dan mengapa bisa ada di mobil tersebut.“Hei,” panggil Grady dengan suara lebih lembut sambil meraih tangan Evita. “Tenang, oke? Aku cuma ajak kamu jalan. Janji, nanti aku bakal antar kamu pulang,” kata lelaki itu.“Ta-tapi, Pak ….” Sungguh, Evita seperti kehilangan kemampuan untuk menyusun kalimat yang tepat. Apa yang ada dalam pikirannya, tidak mampu dia ungkapkan dengan kata-kata.“Aku sudah pernah bilang, kan? Jangan panggil aku ‘Pak’.” Grady melirik malas pada wanita di sampingnya. “Kamu boleh panggil ‘Pak’ kalau lagi kerja. Kalau lagi di luar begini, panggil nama saja,” pinta lelaki itu.Kendati Grady sendiri yang meminta, tetap saja rasanya tidak enak jika harus memanggil nama. Tidak hanya soal panggilan, sekaran

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 8. Manisnya Bikin Overdosis

    Tidak tahu mengapa, sorot yang Evita lihat dalam kedua netra Grady itu membuatnya bergidik. Oke, wajah lelaki di hadapannya ini memang terlihat tidak jauh berbeda dengan saat mereka masih sekolah dulu. Selain tampilan yang lebih matang dan … semakin memesona, Grady tidak banyak berubah. Namun, Evita seperti melihat sosok lain dalam sorot mata lelaki tersebut.“Permisi, Mas. Ini martabaknya.”Grady mengerjap cepat lalu mengalihkan perhatian. Lelaki itu berpaling ke belakang, pada seorang laki-laki yang berdiri di dekat pintu mobil sambil menyodorkan kresek putih berisi satu kotak martabak.“Oh, makasih, Mang.” Grady menerima kresek tersebut lalu mengeluarkan dompet dan membayarnya. Setelah itu, Grady memutar badan ke arah Evita dengan senyum lebar di bibirnya. Kobaran api dalam netra yang semula Evita lihat, telah berubah menjadi binar indah yang mendamaikan hati.“Martabak di sini isinya penuh banget. Lihat, sampai meluber gini,” ujar Grady seraya membuka kotak martabak tersebut dan m

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 9. Setan Tampan

    “Lah, itu motor kamu, kan?” Dewi yang baru keluar dari kamar untuk menjemur handuk, juga terkejut melihat sepeda motor Evita yang sudah ada di depan kamar.Evita memutar kepala. Bingung harus menjawab bagaimana, diam adalah solusi yang paling aman.“Eh, iya. Udah parkir aja di situ. Katanya mogok, terus yang bawa ke sini siapa?” Ranti yang sudah rapi pun ikut berkomentar.“Oh … ini … tadi malam aku coba cari bengkel online. Daripada nebeng sama kamu, kan,” jawab Evita sambil tersenyum bodoh.“Bengkel online?” Dewi dan Ranti sama-sama mengerutkan wajah.“I-iya. Ada kok yang pasang iklan di internet,” kata Evita lagi.“Terus kamu suruh bawa ke sini gitu?” telisik Ranti.Mau tidak mau, Evita megangguk untuk menguatkan kebohongannya.‘Ampuni aku, Tuhan. Aku banyak sekali berbohong akhir-akhir ini,’ batin wanita itu.“Ya udah, yuk, berangkat. Telat absen potong gaji lho,” ajak Evita.“Eh, bentar-bentar. Aku ambil tas dulu,” kata Dewi yang langsung berlari masuk ke kamar.Ketiga office girl

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 10. Separuh Nyawa yang Kembali

    Brak!Pintu ruangan itu terbuka dengan kasar. Pelakunya bahkan sampai berjingkat dengan mulut menganga, saking terkejut dengan hasil perbuatannya. Kalau sampai pintu itu rusak, bisa habis gajinya dipotong untuk biaya perbaikan. Ruangan itu dilengkapi dengan CCTV, jadi tidak akan sulit untuk mencari tahu siapa pelaku perusakannya. Meskipun dia tidak sengaja, perusahaan tidak akan mau tahu.“Ah, sial!” rutuk Evita.Setelah keluar dari keterkejutan, wanita itu menggulir pandangannya menyapu seiri ruangan. Ekspresi di wajahnya pun langsung berubah, dengan alis yang berkerut dalam.“Kok kosong?” gumamnya.Tidak ada satu manusia pun yang dia lihat di ruangan itu. Hening, bersih, dan rapi. Aroma parfum Grady yang tertinggal di sana, membuat Evita yakin jika lelaki itu belum lama meninggalkan ruangan.“Yah … telat,” ujarnya kecewa.Dengan berat hati, Evita menutup kembali ruangan tersebut lalu memutar badan. Berjalan malas menyusuri koridor yang sepi dengan rasa kecewa yang membuatnya semakin

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 11. Kutukan Snow White

    “Grady! Turunin aku!” Evita menahan suaranya karena khawatir akan menarik perhatian orang-orang.“Diam dan jangan berontak. Kamu mau, nanti warga pada bangun terus mengira aku sedang menculik kamu?” Grady mengangkat kedua alis. “Ini sudah hampir tengah malam, Ev. Orang-orang sudah pada tidur.”Wanita itu mengedar pandangan ke sekitar, dan benar saja gang ini sudah sepi. Ada beberapa orang yang masih tampak duduk di depan kamar kos, tapi sebagian besar sudah mematikan lampu dan mengunci pintu. Evita memutar kepala, menyembunyikan wajah di dada Grady, yang sialnya aroma parfum lelaki itu membuat dia semakin betah berlama-lama dalam posisi begitu.“Tapi aku bisa jalan sendiri,” kata Evita, seraya memandang wajah Grady.“Dan aku mau menggendongmu sampai ke kosan,” balas lelaki itu. “Lagian … coba lihat pakaian kamu. Celana kamu penjang sebelah, baret-baret lagi, jalannya pincang. Aku mana tega biarin kamu jalan sendiri?” imbuhnya.Evita mendengkus pelan dengan raut gusar. Orang-orang bisa

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 12. Jurang Pemisah

    “Evita! Evita!” panggilan itu sejurus dengan gedoran pintu yang begitu keras.Kaget dengan suara berisik itu, Evita yang masih terlelap pun langsung membuka mata. Dan, seketika itu rasa nyeri menyerang kepala.“Ssh ... aduh,” desisnya sambil memegang kepala. “Apaan sih itu anak,” ujarnya sambil menahan rasa sakit yang menusuk.“Ev, buka pintunya! Aku tahu kamu masih hidup!” teriak Ranti sambil menggedor pintu.Netra Evita menyipit, menoleh ke arah jendela yang manampakkan siluet seseorang tengah mengintip ke dalam. Evita yakin orang itu adalah Dewi. Dia lantas menyingkap selimut, berniat untuk membukakan pintu. Akan tetapi, ketika kakinya menekuk, wanita itu kembali terduduk sambil mengaduh kesakitan. Lututnya terasa kaku, dan terasa lebih nyeri dibandingkan tadi malam.“Sakit banget, sih,” keluhnya.Mengantisipasi Ranti yang mungkin akan menjebol pintu kamarnya, Evita memaksakan diri untuk bangkit. Pelan-pelan, dia angkat badan tanpa menekuk kakinya yang terluka. Setelah berdiri, bar

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 13. Ironi

    Selama beberapa waktu, Evita mematung. Pandangannya tak lepas dari sosok lelaki yang kini berdiri di depan pintu kamarnya. Sampai dia tersadar bahwa lelaki ini adalah lelaki yang sama dengan yang dia tampar semalam. Evita mundur satu langkah, lalu menarik daun pintu untuk menutupnya.“Tunggu!” cegah Grady seraya menahan papan kayu tersebut. “Jangan tutup pintunya,” ujar lelaki itu.Evita memalingkan wajah sambil membasahi bibir. “Mau apa lagi kamu ke sini?” tanyanya.Kejadian semalam membuat dada Evita terasa sesak. Wanita itu enggan melihat pada Grady karena dia tidak ingin lelaki itu melihat kelemahannya. Mati-matian Evita menahan air mata agar tidak tumpah, karena dia tidak ingin terlihat lemah.“Aku cuma ingin memastikan kalau kamu sudah minum obat. Aku juga harus memastikan kalau sebelum minum obat, kamu sudah makan,” jawab lelaki itu seraya mengangkat kantong kresek di tangannya.“Aku bisa mengurus diriku sendiri. Kamu nggak perlu repot-repot seperti ini,” balas Evita.Grady mel

Bab terbaru

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 98. Pelangi usai Badai

    Lika-liku kehidupan yang dilalui Evita, membuat wanita itu merasa seperti naik roller coaster. Meski terlalu banyak kisah pahit yang dia rasakan, namun tak sedikit pula air mata haru yang tumpah oleh kebahagiaan."Sudah siap?" tanya Yuliati seraya tersenyum hangat.Evita menarik napas dalam lalu mengangguk kecil. Rasa gugup yang memenuhi benak, membuat sekujur tubuhnya terasa kaku. Dia lantas menyambut uluran tangan Yuliati dengan telapak tangannya yang sedingin es."Sudah dua kali kok masih gugup," komentar Yuliati seraya terkekeh renyah."Aku takut, Bulik," kata Evita.Yuliati memutar badan, menatap pada Evita dengan ails berkerut samar."Takut kenapa?" tanyanya peduli.Evita meneguk ludah lalu menundukkan kepala, tidak tahu harus menjawab apa.Dengan lembut, Yuliati mengusap lengan keponakannya. Dia pun tersenyum hangat sebelum kembali berujar, "Bulik ngerti, apa yang telah terjadi di masa lalu kalian itu sangat menyakitkan. Bulik juga ndak akan bisa memaksa kamu untuk menjalani se

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 97. Kesedihan yang Tidak Berkesudahan

    “Kamu di sini? Ini benar kamu, kan?” Grady mengurai pelukan lalu menangkup wajah Evita. Matanya menatap tak percaya pada si wanita. Dia lantas meneliti wajah mantan istrinya dengan seksama, khawatir salah melihat dan berakhir dengan kekecewaan.Evita menganggukkan kepala. Di sela-sela tangis, terselip senyum haru untuk sang mantan suami. Dia lantas menyentuh tangan Grady yang mendarat di pipinya.“Ini aku, Grad. Aku sudah maafin kamu, tapi kamu jangan pergi. Aku nggak mau kamu pergi,” ujar wanita itu dengan suara parau.Kedua netra Grady pun tampak berkaca-kaca. Terharu, bahagia yang teramat sangat. Apa yang dia pikir akan menjadi sesuatu yang tidak mungkin untuk digapai, ternyata Tuhan menggariskan takdir yang sebaliknya.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih,” ucap lelaki itu seraya menarik tubuh Evita dalam dekapan.Mereka berpelukan erat dengan jiwa yang melebur dalam bermacam-macam emosi positif yang memenuhi benak. Sampai-sampai mereka menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 96. Takut Kehilangan

    Evita tidak mengira kalau dia akan bertemu lagi dengan Arman, Gracy, bahkan Tania. Orang-orang yang berasal dari masa lalunya itu kini tengah duduk di teras rumah Yuliati.“Sini sama Mama, Sayang,” bujuk Gracy pada Tania yang tidak mau turun dari pangkuan Evita.Tania menggeleng dan malah memeluk leher Evita semakin erat.“Aku mau sama Tante saja,” kata gadis kecil itu.Evita memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi wanita itu membalas pelukan Tania tak kalah erat. Seolah ingin menunjukkan bahwa dia juga sangat menyayangi anak itu, bahwa dia sangat merindukan gadis kecilnya yang kini sudah terlihat lebih besar.“Untuk apa kalian datang kemari?” tanya Evita dengan suara sedikit serak.Setelah Yuliati meninggalkan Evita bersama keluarga Ferdinata, hanya celotehan Tania yang menjadi penengah di antara mereka. Evita pun menjawab sekadarnya. Meski sudah berusaha terlihat ramah, namun tetap saja gurat kesedihan yang tergambar di wajah wanita itu tidak dapat ditutupi.“Maaf kalau kami datang

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 95. Keluarga dari Jakarta

    Sebuah mobil yang memasuki halaman rumah Yuliati mengundang perhatian. Yuliati dan beberapa pegawainya yang tengah mengemas snack pun langsung melihat ke luar rumah, ketika mereka mendengar deru halus mesin kendaraan roda empat tersebut.“Siapa yang datang?” gumam Yuliati.Wanita paruh baya itu mengelap tangan pada celemek lalu bangkit. Netranya masih mengarah pada mobil di luar yang baru saja berhenti. Tampak asing, Yuliati tidak pernah melihat mobil tersebut sebelumnya. Sempat berpikir bahwa mungkin saja itu adalah Grady, namun saat melihat seorang gadis kecil yang turun dari kendaraan tersebut, Yuliati semakin penasaran.“Anak siapa, ya? Ndak pernah lihat,” gumamnya lagi.Penasaran dengan tamunya, Yuliati pun keluar dari rumah. Kening wanita itu berkerut, menunggu sambil memperhatikan baik-baik penumpang mobil yang mulai menjejakkan kaki di halaman rumahnya satu persatu.“Ma, Tante ada di sini, ya?” Gadis kecil yang turun paling pertama dari mobil itu, terlihat bertanya pada seseor

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 94. Ketulusan

    Memang tidak salah jika ada yang bilang bahwa ikhlas adalah ilmu yang sangat tinggi. Bukan hal yang mustahil, tetapi tidak banyak orang yang mampu menakhlukkan ikhlas pada level tertinggi.Tak berbeda dengan Grady. Meski dia sudah berusaha merelakan Evita untuk mencari kebahagiannya sendiri, akan tetapi masih saja ada rasa sakit yang menyentil hati. Tidak hanya sekali dua kali, keinginan untuk mengingkari ucapan itu menggoda iman si lelaki. Namun, saat ingat bahwa hal tersebut hanya akan semakin memperkeruh hubungannya dengan Evita, lelaki itu pun berusaha keras untuk melawan keinginan hati. Apa pun yang terjadi, dia harus bisa bertahan agar Evita tidak semakin membencinya.Atensi Grady teralih pada dering ponsel yang terselip di saku celananya. Dia berhenti melangkah lalu mengambil ponsel tersebut untuk melihat siapa yang menghubungi. Setelahnya, dia angkat pandangan dan berkata pada orang yang sedang bersamanya.“Duluan saja. Nanti saya nyusul,” ujar lelaki itu.Dia lantas menepi ke

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 93. Mencintai adalah tentang Kebahagiaan

    Semua mata terpusat pada arah sumber suara, pada seorang lelaki yang baru saja muncul dengan langkah yang semakin dekat dengan mereka. Wajah yang tidak asing, tampak tersenyum ramah pada keluarga tersebut.“Maaf, aku datang sepagi ini,” ucap Grady saat berhenti melangkah beberapa meter di hadapan Evita dan keluarganya. Lelaki itu berpaling sejenak pada dua pegawai toko bunga yang mengantar pesanannya, lalu berkata, “Tolong turunin bunganya.”Setelah itu, Grady kembali melihat pada Evita yang tengah mengetatkan rahang, tampak begitu murka terhadap dirinya. Wanita itu berjalan cepat dengan tangan mengepal, menghampiri Grady. Kemudian, sebuah tamparan mendarat di wajah si lelaki dengan begitu keras dan tiba-tiba.Plak!Wajah Grady turut berpaling mengikuti arah tamparan tersebut. Dia sentuh sisi wajah yang terasa panas dengan tenang. Dia tidak akan marah, meski Evita menghajar dirinya. Grady merasa itu masih belum sebanding dengan apa yang pernah dia lakukan pada wanita tersebut.“Pergi

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 92. Tidak Bisa Menjaga Rahasia

    Evita meneguk ludah, melihat Yuliati menatap penuh emosi kepadanya.“Bulik,” cicit Evita.“Ya Tuhan, Nduk,” ujar wanita paruh baya itu.Yuliati langsung menghampiri Evita dan memeluk keponakannya itu dengan erat.“Kenapa kamu ndak pernah bilang sama Bulik, Nduk? Kenapa kamu merahasiakan ini dari Bulik?” Yuliati mengurai pelukan lalu menangkup kedua sisi wajah Evita. Kedua pipi wanita paruh baya itu sudah basah oleh air mata yang membanjir.Sepintas, Evita melirik pada Yonik yang masih berdiri di ambang pintu sambil menundukkan kepala. Dugaannya, Yonik telah menceritakan semuanya kepada Yuliati. Tadinya, Evita ingin marah. Namun, saat ingat bahwa permintaan maaf Grady ditayangkan langsung, wanita itu meredam kembali kemarahannya. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa Yuliati melihat tayangan itu dan bertanya pada Yonik.“Maaf, Bulik,” ucap Evita lirih. Wanita itu menundukkan kepala dalam-dalam, tak berani memandang wajah buliknya.Yuliati membersit ingus lalu merangkul Evita. Berusaha

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 91. Dejavu

    Dejavu. Grady pernah membuat acara semacam ini untuknya saat dia masih bekerja di Neo Creative. Bedanya, sekarang mereka menjadi tontonan seluruh masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Evita malu. Alih-alih menjawab sapaan lelaki itu, Evita justru menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajah dari sorotan kamera, meski hal itu sudah sangat terlambat. Sungguh, dia ingin lari dari sana secepat mungkin. Namun, kakinya seolah sudah menyatu dengan lantai. Sendi-sendi di tubuhnya terasa kaku. Otaknya pun serasa membeku, hingga dia tak memiliki kendali untuk menggerakkan tubuhnya sendiri.Grady menoleh ke sekitar lalu tersenyum pada orang-orang yang ada di sana sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu dirinya melakukan semua ini.“Terima kasih untuk bantuannya. Maaf merepotkan kalian pagi-pagi begini,” ucap Grady pada semua orang yang terlibat dalam acara tersebut.Setelah itu, Grady kembali mengarahkan pandangan pada Evita yang tampak salah tingkah dan mati gaya di hadapannya. Lelaki

  • Mantan Simpanan Ayah Mertua   Bab 90. Resign

    Apakah Evita masih cinta pada Grady?Pertanyaan itu terdengar mudah, namun sangat sulit untuk Evita jawab. Yonik baru saja melempar pertanyaan yang sangat sensitif, hingga wanita itu lebih memilih diam tak mengatakan apa-apa.Evita bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Lisannya bisa saja berkata tidak, tetapi mengapa jika mengingat lelaki itu batinnya masih saja terasan sesak? Kalaupun dia jawab masih cinta, keinginan untuk bersama lagi rasanya sudah sirna dari dalam dada.Tak berbeda dengan Evita yang merasakan dilema, Yonik pun mencicipi hal serupa. Pembicaraannya dengan Evita mengenai masalah tersebut berakhir ketika wanita itu enggan untuk menjawab pertanyaannya. Di samping itu, Yuliati pun keburu pulang dari belanja dan ikut nimbrung mengobrol dengan mereka.Berkali-kali Evita memberi isyarat pada Yonik, memperingatkan lelaki itu untuk tidak menceritakan apa yang baru saja dia katakan tentang Grady kepada Yuliati. Melihat Yuliati yang begitu baik terhadap dirinya, Ev

DMCA.com Protection Status