Belum sempat Nindy bicara, pintu ruangan Billy tiba-tiba diketuk dari luar dan tidak lama setelahnya, pintu terbuka dan muncul sosok wanita dari sana."Permisi, Pak.""Ya. Masuk."Wanita itu baru berani melangkah masuk setelah mendapatkan izin dari Billy, sementara Nindy yang tadi duduk di dekat Billy segera menjauh dan tersenyum ke arah wanita itu dengan kaku. Wanita yang baru masuk ke ruangan Billy adalah Manager HRD. Nindy sempat bertemu dengan wanita itu kemarin ketika Billy membawanya ke ruangan HRD."Ini berkas yang Bapak minta. Sudah saya tanda tangani."Billy mengangguk, kemudian mengambil berkas itu. "Kamu boleh keluar."Wanita berumur 38 tahun itu menganggukkan kepala, kemudian keluar dari sana."Itu berkas apa?" tanya Nindy saat melihat Billy sedang membaca kertas putih yang berada di tangannya."Berkas untuk mengikat kamu," jawab Billy dengan senyuman menggoda."Bill, aku serius," ucap Nindy sambil memukul bahu Billy dengan pelan. Dia merasa kesal karena Billy terlihat se
"Soal apa, Ma?""Kamu mandi aja dulu, nanti kita baru bicara."Nindy mengangguk, kemudian naik ke kamarnya. Setengah jam kemudian dia turun ke bawah untuk menemui ibunya di ruangan keluarga, tapi ternyata ibunya tidak ada di sana. Ketika dia akan mencarinya ke kamar, tiba-tiba ibunya muncul dari ruangan samping dengan keadaan rapi."Mama mau ke mana?"Bukannya menjawab, ibunya justru memintanya untuk berganti pakaian yang rapi dan sopan."Memangnya kita mau ke mana, Ma?""Nanti kamu juga tahu," jawab Gauri. "Udah cepet sana ganti baju. Jangan lupa dandan yang cantik.""Kenapa harus dandan?""Udah, jangan banyak tanya. Lakuin aja apa yang mama bilang. Cepetan ganti, nanti kita telat.""Ma, tapi aku mau bicara dulu, ini penting.""Nanti aja bicaranya. Udah nggak ada waktu. Papa udah nunggu di mobil. Buruan gantian baju. Mama tunggu di luar."Tanpa menunggu jawaban anaknya, Gauri berjalan menuju pintu. Nindy menghela napas panjang, kemudian melangkah menuju tangga dan kembali naik ke kam
"Aku mohon restui hubungan aku dan Billy, Ma. Kasih kesempatan untuk Billy menunjukkan keseriusannya sama aku."Gauri terdiam dengan pandangan ke bawah, tampak seperti sedang menimang sesuatu. "Mama nggak bisa membatalkan ini, Nin. Kami sudah sepakat untuk menikahkan kalian."Raut wajah Nindy seketika berubah menjadi kecewa. "Tapi, aku nggak mau menikah sama orang yang nggak aku kenal, Ma. Apalagi, aku cuma cinta sama Billy.""Nindy, dibandingkan dengan Billy, Mama lebih yakin sama laki-laki ini."Meskipun dia sudah pernah bertemu dengan Billy dua kali, tapi dia belum begitu mengenal pria itu dan juga tidak tahu mengenai keluarganya."Dari mana Mama seyakin itu? Memangnya, seberapa kenal Mama saya laki-laki itu?""Mama dan Papa memang nggak seberapa kenal sama dia, tapi Dimas sama orang tuanya kenal baik sama dia dan keluarganya"Dimas? Kira-kira siapa yang dimaksud oleh ibunya?"Ma, tapi Nindy ..."Baru saja Nindy akan memprotes ibunya, tiba-tiba saja ayahnya menyela, "Kita sudah sam
Justru yang terkejut sekarang adalah Nindy. "Kamu tahu dari mana soal itu?" tanyanya dengan mata membola."Ada seseorang yang kasih tau aku, tapi aku nggak bisa kasih tau kamu siapa orangnya."Nindy seketika termenung dengan ekspresi wajah heran, dia masih mencoba menerka-neka, kira-kira siapa sebenarnya yang sudah memberitahu Denis tentang aibnya itu. Selain Billy dan teman-temannya, ada 1 orang lagi yang mengetahui itu. Mungkin, dialah orangnya."Semenjak kapan kamu tahu?""Sudah beberapa minggu yang lalu.""Terus, kalau kamu udah tahu soal itu, kenapa kamu masih mau dijodohin sama aku?""Memangnya kenapa?"Memangnya kenapa?Dalam hati Nindy semakin heran. Biasanya, pria baik seperti Denis, pasti akan mencari wanita yang masih bersih dan belum tersentuh. Mereka akan memilih wanita baik-baik yang bisa menjaga dirinya untuk dijadikan istri dan ibu dari anak-anak mereka.Rata-rata pria tidak akan mau menikah dengan wanita yang sudah rusak sebelum menikah, meskipun mereka sendiri sebena
"Gimana keadaan Mama, Pa?"Ayah Nindy yang sejak tadi duduk di sofa ruangan istrinya menoleh pada putrinya yang baru saja datang. Selain Ayahnya, ada adik Nindy juga di sana."Mama lagi tidur," jawab Ayah Nindy. "Kita bicara sebentar di luar." Sebelum keluar dari sana, Ayah Nindy meminta putri bungsunya untuk menjaga sementara istrinya."Pa, ada apa sebenarnya? Kenapa Mama tiba-tiba masuk rumah sakit?" tanya Nindy dengan heran setelah berada di luar ruangan ibunya.Bagaimana tidak heran, pagi tadi saat dia akan berpamitan berangkat kerja, ibunya tampak sehat-sehat saja. Dia bahkan mengingatkan dirinya untuk segera pulang setelah selesai bekerja agar mereka bisa berbicara."Papa juga nggak tau. Papa belum sempat tanya sama Mama. Tadi papa cuma dihubungi pihak rumah sakit dan diminta untuk segera datang ke sini," jawab Ayah Nindy setelah menghela napas. "Kalau bisa, kamu jangan singgung dulu soal Billy dan perjodohan itu," nasehat Ayah Nindy. "Kamu tahu sendiri, jantung Mama kamu lema
"Baik, Dok. Terima kasih."Setelah dokter itu keluar dari ruangan, Nindy beralih pada ibunya yang sedang berbaring di ranjang pasien. Baru saja dokter melakukan kunjungan dan pemeriksaan pada ibunya."Ma, dengar kata dokter, Mama nggak boleh banyak pikiran, makannya harus dijaga, dan nggak boleh kecapean. Harus banyak istirahat."Bukannya menanggapi ucapan putrinya, Gauri justru membahas hal lain. "Kamu udah mikirkan permintaan mama yang semalam? Kamu setuju menikah sama Denis, kan?"Rasanya, Nindy ingin sekali menolak dengan tegas permintaan ibunya itu, tapi dia takut mengganggu kesehatan ibunya. "Ma, kasih aku waktu untuk berpikir. Aku—""Apa sebegitu berat kami mengabulkan permintaan mama?" potong Gauri dengan suara lemah. Ada pancaran kekecewaan yang sempat Nindy tangkap dari sorot mata ibunya ketika keduanya beradu pandang."Ma, kita bahas itu nanti setelah kondisi mama membaik. Kata Dokter mama nggak boleh stres dan banyak pikiran.""Kalau kamu tetap menjalin hubungan sama Billy
Nindy berusaha untuk menahan air mata yang kembali mendesak keluar setelah dirinya menatap wajah Billy. "Aku minta maaf karena nggak bisa lanjutin hubungan kita lagi. Aku mau kita putus."Tubuh Billy menjadi kaku selama beberapa detik sebelum akhirnya dia tersadar kembali dan menatap Nindy dengan senyuman dipaksakan. "Jangan bercanda, Sayang. Aku nggak suka dengan candaanmu itu.""Aku serius, Bill. Aku ingin mengakhiri hubungan kita."Rasa kecewa dan marah seketika berkumpul di dalam dada Billy. "Kenapa?" tanyanya dengan suara yang terdengar pelan. Namun, seperti ditekan, seolah-olah saat ini Billy sedang menahan sesuatu dalam dirinya. "Kenapa kamu tiba-tiba minta putus?"Air mata Nindy kembali merembes di pipinya melihat Billy tampak kecewa dengan keputusannya. "Orang tuaku nggak setuju dengan hubungan kita. Mereka sudah menjodohkan aku dengan laki-laki lain. Mereka mau aku mau menikah sama laki-laki itu.""Jadi, kamu setuju menikah sama laki-laki itu?" Suara Billy terdengar bergetar
"Hei, ada apa dengan tanganmu?" Angga menoleh pada Billy yang sedang mengepulkan asap rokok dari mulutnya ke udara. Jemari telunjuk dan tengahnya tampak mengapit sebatang rokok, ada luka robek di telapak bawahnya serta punggung tangannya, meninggalkan jejak darah yang sudah mulai mengering di sana. "Apa kau habis berlatih tinju dan menjadikan tembok sebagai sasarannya?" Saat ini, keduanya sedang berada di lounge bar hotel berbintang yang terkenal di Jakarta Selatan. Billy tiba-tiba saja menghubunginya dan meminta untuk menemaninya minum ketika dia baru saja tiba di apartemen. "Aku butuh bantuanmu." "Apa?" "Bantu aku cara informasi seseorang," jawab Billy setelah mengepulkan asap kembali ke udara. "Namanya, akan kukirimkan lewat pesan." "Beritahu aku dulu, ada apa denganmu?" Sejak Billy datangan, raut wajahnya tampak begitu muram, dia pun datang dalam keadaan berantakan. Dua kancing kemeja teratasnya sudah terbuka dan lengan kemejanya digulung asal sampai batas siku. "Nindy mem