Rehan yang hendak memprotes mendadak terdiam saat Amora menunjukkan cincin pernikahannya dulu, bersamaan dengan cincin yang saat ini dikenakan Olivia.“Asal kalian tahu aja, cincin ini emang terlihat serupa. Tapi, harganya sangat bertolak belakang. Rehan memberiku cincin murahan yang bisa dibeli dipasar mingguan! Sementara cincin yang dipakai Olivia? Itu adalah model asli dan harganya puluhan juta!” Amora tidak peduli dengan tatapan bengis Rehan dan keluarganya.“Itu artinya, Rehan emang sejak awal nggak menghargai pernikahan kami yang dulu!”Suasana jadi semakin ramai. Beberapa orang di sana bahkan sampai menggumamkan kalimat kasar dan hinaan terhadap keluarga Rehan.Keributan itu sampai di telinga Sofia. Dia berniat untuk maju dan menyeret Amora pergi, tetapi tatapan orang-orang membuatnya mengurungkan niata itu. Saat ini posisinya serba salah. Dia juga malu karena menjadi bahan gosip, padahal hari ini seharusnya berjalan dengan manis.“Mereka nggak pernah bisa menghargai menantu
Semua orang terkejut akibat sikap Amora yang diluar dugaan.Suasana menjadi ricuh dan hampir tak terkendali. Emosi Rehan sudah memuncak, dia bahkan berniat untuk mengejar mantan istrinya yang berjalan pergi dengan tenang seolah tidak pernah terjadi apa pun. Namun, beruntung Olivia bisa mencegahnya.“Dia benar-benar kurang ajar!” umpat Rehan yang tangannya ditahan sang istri. "Rehan, tenangkan dirimu. Masih banyak tamu di sini. Nggak enak dilihat sama mereka, 'kan?" Olivia sedikit berbisik untuk menenangkan suaminya.Rehan ingin memprotes. Lagi pula, dirinya sudah lebih dulu dipermalukan oleh Amora. Entah harus ditaruh di mana wajahnya ini.Semua orang mencemoohnya, belum lagi membawa nama besar keluarga. Jangan lupa juga keluarga Olivia yang mungkin akan memakinya setelah ini.Dia mengedarkan pandangan, menatap tamu yang berada di meja masing-masing dan beberapa yang masih mengantre untuk sesi bersalaman.Semua mata itu menatapnya seolah dia adalah makhluk paling memalukan, belum l
"Apa?! Udah gila, ya?! Berani-beraninya kamu bilang begitu sama anak saya!"Keributan itu tidak bisa terelakkan.Sofia yang memang pada dasarnya mudah terbawa emosi, tidak bisa menahan gejolak dalam dirinya untuk terus membalas ucapan para tamu yang dianggapnya sangat tidak masuk akal.Dia merasa terhina karena ucapan tamu yang kesannya mudah sekali mengambil kesimpulan. Apa lagi hanya karena sebuah cincin yang Amora perlihatkan.Keluarga Kusuma, Fajar dan Aulia melihat insiden itu. Percekcokan antara besan mereka dan para tamu.Tidak hanya itu, Rehan dan istrinya pun tampak terkejut. Terlebih Rehan yang tidak menyangka kalau ibunya ikut andil untuk mengacaukan pesta pernikahan ini."Rehan, bagaimana sama ibumu? Apa yang terjadi?!" Olivia panik. Wanita yang memakai gaun pengantin berwarna silver itu bahkan menutup mulutnya saat melihat sang ibu mertua mendorong tamu hingga korbannya jatuh tersungkur di lantai.Amora berhasil melancarkan aksinya. Ini jauh lebih dari yang dia pikirkan s
“Aku—” Amora terlihat canggung ingin memperkenalkan dirinya pada orang yang sudah menjadi mantan kakak iparnya.“Aku hanya kebetulan tahu tentang Anda.”Raut wajah pria itu acuh tak acuh kembali pada bukunya.“Yeah tidak heran kamu mengenalku. Bagaimana pun kamu adalah mantan istri Rehan “Amora langsung menatapnya dengan wajah cemberut.Ucapan mantan kakak iparnya tidak bisa berbasi-basi langsung menusuk titik sakitnya.“Apa Anda datang untuk mengunjungi keluarga Anda?”Amora tidak pernah bertemu Giandra secara langsung. Tapi dia tahu bahwa mantan kakak iparnya tidak pernah pulang selama 10 tahun di keluarga Dwipangga.Lelaki itu tidak menjawab. Dia mengambil buku catatannya dari Amora, kemudian menuliskan sesuatu yang entah apa.Amora masih sibuk menerka.Hari ini adalah hari pernikahan Rehan dan Olivia.Apakah Giandra datang le pernikahan adiknya? Setelah bertahun-tahun?Tapi, tunggu. Kenapa lelaki ini justru naik pesawat di hari yang sama? Amora yakin pesta pernikahan tadi belum s
Posisi Amora saat ini tepat di samping lelaki itu, jadi dia kebagian terhalang hujan karena payung Giandra."Ini taksiku," kata pria bermantel kelabu itu."Eh?""Makanya perhatikan baik-baik."Amora baru saja akan menjawab, tetapi lelaki itu lebih mengabaikannya dengan menarik pintu taksi. Refleks dia memundurkan langkah karena pintunya hampir mengenai tubuhnya. Karena hal itu juga pakaiannya basah.Kesialannya tidak sampai di sana saja, tubuh Amora hilang keseimbangan karena pijakannya yang licin akibat hujan.Amora pikir dirinya akan jatuh dan bermandikan hujan, tetapi pria berpayung itu dengan sigap menahan pinggangnya.Tidak ada yang membuka suara untuk beberapa saat. Akal Amora mendadak melompong, sedangkan Giandra tidak bereaksi apa pun.Sampai suara guntur menyadarkan mereka. Amora mengambil posisi normal seperti biasa. Doa berdehem canggung. "Maaf. Te-terima kasih juga karena sudah menahanku agar tidak jatuh.""Taksimu belum datang juga?" tanyanya tak memedulikan ucapan Amora
5 tahun kemudian ....Hari ini adalah hari pertama bagi Amora memulai masa magangnya.Dia mendapat tempat yang bagus untuk memulai karirnya sebagai dokter. Lima tahun berjalan dengan baik, tentu tidak semuanya berjalan dengan lancar. Ada berbagai rintangan untuk sampai pada titik ini, terutama untuk sampai pada fase dirinya benar-benar menjadikan masa lalu, Rehan, sebagai satu hal yang tidak menghalanginya agar terus melangkah.Sesuai dengan bidang yang dipilihnya, dia berada di departemen ahli syaraf. Bersama dua rekannya yang satu angkatan, ketiga mendatangi ruangan yang akan menjadi tempat mereka."Aku dengar Dokter pembimbing kita ini sangat galak," kata wanita seusia Amora, wajahnya kecil dan berambut pendek sebahu."Hm. Aku dengar juga begitu," sambung perempuan lain. Dia memiliki ciri khas dengan warna kulit pucat, seperti orang china. Namun, dia berasal dari negara yang sama dengan kedua rekannya.Karena persamaan itu juga mereka bisa berkomunikasi dengan nyaman satu sama la
Giandra Dwipangga, mantan kakak iparnya, adalah dokter pembimbing yang kata temannya sangat terkenal. Persetan, tampan? Lupakan saja. Saat ini Amora merasakan kecemasan dan gelisah yang entah mengapa bisa hadir dalam hatinya."Hari pertama magang udah telat?" Tanpa menjawab sapaan magang bimbingannya, dia lebih memilih melempar sarkasme dan tatapan tajam.Amora mengernyit bingung. Apa mungkin Giandra tidak mengenalinya? Kenapa lelaki itu terkesan seperti tidak melihat keberadaannya? Fokus mata Giandra hanya tertuju paada dua rekan kerjanya."Telat? Saya rasa tidak, Dok." Wanita berkulit pucat itu melirik jam tangan. "Tepat pukul delapan lebih tiga puluh ... dua menit," jelasnya.Dia meringis saat melihat jarum jam yang panjang sedikit melewati angka enam."Terlambat untuk memberi kesan bahwa kalian membutuhkan perkejaan ini!" Giandra meninggikan suaranya di kata terakhir.Hal itu sukses membuat tiga perempuan di depannya berjengit kaget.Amora sendiri mengusap dadanya yang mendadak
Amora berusaha untuk mengabaikan tatapan dari Giandra. Dia mengambil posisi bersama teman-temannya untuk mengantre makanan."Menurutmu, apakah kita bisa bertahan dengan dokter Giandra?"Amora yang mendadak mendapat pertanyaan itu jadi terkejut."Eh? Maksudmu kita?"Temannya kembali membuang nafas."Wajahnya bisa mengalihkan duniaku, tetapi sikap dan cara bicaranya itu--""Orangnya sedang melihat ke kita." Amora yakin kalau teman-temannya itu tidak sadar atau dengan kehadiran orang yang sejak tadi mereka bicarakan."Dokter Giandra?""Sudah. Lupakan saja. Jangan biarkan nasib kita di sini hanya ditentukan oleh satu orang saja. Dia juga Dokter di sini, hanya dapat tambahan tugas untuk membimbing kita." Sebenarnya itu kalimat yang dia tujukan pada diri sendiri.Jujur saja, Amora merasa tidak nyaman. Dia pikir pertemuannya dengan Giandra saat di pesawat adalah kali pertama dan terakhir mereka. Sudah 5 tahun lamanya dia tinggal di Singapura, tetapi sekalipun tidak pernah melihat sosok itu l