Bab 9
“Ini pasti ada kesalahan! Mana mungkin saya ditawarkan jadi cleaning service?!” sahut Nizam dengan setengah panik.Jeny yang ada di seberangnya juga tampak bingung."Ini sudah menjadi keputusan direktur Jaya Corp, tidak bisa diganggu gugat." Dari sisi telepon yang lain, terdengar perwakilan HRD Jaya Corp dengan suara yang tegas. "Jika Anda menolak, maka tawaran ini akan diberikan pada orang lain."Mulut Nizam menganga, tentu dia ingin protes dengan keputusan yang menurutnya sangat tidak benar itu. "Tapi, ini pasti ada kesalah–""Saya menunggu jawaban Anda, satu kali dua puluh empat jam. Terima kasih."Belum sempat membalas, panggilan tersebut telah terlebih dahulu diakhiri, membuat Nizam melongo di tempat.Jeny yang sejak tadi terus mengamati Nizam pun ikut mengerutkan keningnya. "Kenapa, Zam? Kok kamu sebut-sebut cleaning service?" tanyanya.Nizam langsung mengalihkan pandangan pada Jeny. "Kamu yakin ‘kan ketika kita bicara dengan Pak James tadi kita sudah jelas bilang aku mau jadi manager?”Jeny membalas, “Kamu ‘kan tadi bareng sama aku di ruangan. Kamu juga dengar Pak James janji berikan kamu posisi itu.”James adalah direktur HRD Jaya Corp. Pria yang Jeny sogok untuk membantu Nizam mendapatkan posisi tinggi di perusahaan tersebut. Kebetulan, pria itu juga bekas bawahan sang ayah, jadi jelas James tidak akan menentang permintaannya!“Ya kalau begitu, kenapa aku diterima di Jaya Corp untuk jadi cleaning service?! Apa-apaan ini?!" Nizam berucap dengan nada tinggi, tak bisa menyembunyikan perasaan marah dan kecewa.Mata Jeny terbelalak kaget. "Yakin kamu nggak salah dengar?" Jeny ikut melongo.Nizam memutar bola matanya malas dan kemudian kembali berkata, "Aku nggak tuli, Jen!" Diletakkan dengan kasar ponsel kesayangannya di atas meja cafe dengan kasar.Jeny kaget mendengar kalimat kasar yang diucapkan Nizam itu. "Ya santai aja dong jawabnya!? Aku ‘kan nanya! Kenapa kamu jadi marah sama aku?" Intonasi suara Jeny pun meninggi.Nizam mengusap wajahnya kasar, sadar karena baru saja berkata kasar pada Jeny, wanita yang seperti angsa bertelur emas miliknya. Kalau Jeny marah padanya dan memutuskannya, bisa-bisa Nizam kehilangan segalanya!Sia-sia dia menceraikan Rara. Sudah nggak ada pembantu, nggak dapat pekerjaan bagus juga!"Maaf, Jen. Aku tadi terbawa suasana." Nizam pun memeluk Jeny agar wanita itu tak lagi marah. "Jangan marah ya, Cantik. tadi aku kebawa emosi banget. Habis ketemu si Rara, eh malah sekarang dapat berita kayak gini."Jeny yang masih dongkol hanya diam saja dengan mengalihkan pandangan dari Nizam."Jangan marah lagi dong, aku nyesel banget. Suer! Nanti cantiknya ilang loh." Nizam kembali membujuk kali ini sambil mencubit kecil hidung Jeny.Diperlakukan seperti itu, Jeny pun akhirnya luluh. "Oke kali ini aku maafin! Tapi awas kalau gitu lagi. Aku nggak suka sama lelaki kasar."Nizam mengangguk dan merasa senang karena bisa kembali mengambil hati Jeny.Beruntung Nizam memiliki paras yang juga cukup tampan. Ditambah dengan mulutnya yang manis dan sikapnya yang perhatian, jelas saja Jeny mabuk cinta dibuatnya.Setelah suasana kembali normal, Jeny pun berkata. "Coba aku tanyain hal ini pada James."Tak perlu waktu lama sebelum panggilannya dengan James terhubung. “Halo, Nona Jeny.”"Pak James, apa benar Nizam hanya mendapatkan pekerjaan di Jaya Corp sebagai cleaning service? Kok jadi begini?" tanya Jeny membuka obrolan itu dengan sedikit menekan suaranya.Setelah terdiam sebentar, James langsung menjawab. "Ini ... sudah keputusan presiden direktur kami yang baru, Nona. Maaf, tapi selain sang presdir, tidak ada orang lain yang bisa mengubah keputusan ini."Kedua alis Jeny menyatu saat itu, dia begitu kaget mendengar jawaban yang diberikan oleh James itu. Biasanya lelaki itu akan menurut karena tahu Jeny adalah anak dari mantan bosnya, tapi kali ini kenapa berbeda?Lagi pula, sejak kapan Jaya Corp punya presdir khusus? Bukannya biasanya hanya diatur oleh para direktur di bawah persetujuan Satria Wijaya? Presdir Wijaya Group itu?"Memangnya siapa presiden direktur Jaya Corp yang baru?" tanya Jeny.Kalau memang Jaya Corp memiliki presdir baru, Jeny harus tahu orangnya dan mendekatinya. Hanya dengan membangun hubungan barulah wanita itu bisa membantu Nizam mendapatkan posisi yang lebih baik.Bagaimana pun caranya, Nizam harus jadi manager di perusahaan besar. Kalau tidak, bagaimana mungkin ayahnya Jeny setuju dia, putri Keluarga Sanjaya, menikah dengan orang biasa dengan pekerjaan rendah!?Samar-samar, Jeny mendengar seseorang sedang berbicara pada James. Akan tetapi, fokusnya langsung beralih saat pria itu membalas, "Jika memang Bu Jeny dan Pak Nizam mau bertemu dengan presiden direktur kami yang baru, saya bisa membuat janji ketemu sore ini dengan beliau. Bagaimana?"Mendengar itu, Jeny menjawab, "Oke. Atur saja!"Setelah panggilan itu diakhiri oleh Jeny, dia dan Nizam langsung ke kantor Jaya Corp sesuai perjanjian.Masuk ke ruangan presdir, tampak sosok James sudah menunggu di sana dengan wajah keruh, sepertinya baru saja ditegur mengenai suatu hal.“Pak James,” sapa Jeny dengan senyum penuh percaya diri, cenderung angkuh.James menganggukkan kepalanya sedikit dan tersenyum canggung. Di sebelahnya, berdiri seorang wanita muda yang Jeny kenali sebagai Linda, seseorang yang sering dia lihat dari dulu berada di sisi Satria Wijaya, presdir Wijaya Group, induk perusahaan Jaya Corp.‘Kenapa orang seperti itu ada di sini?’ batin Jeny.Namun, fokus Jeny beralih saat dirinya melihat Linda menoleh ke arah seorang wanita yang berdiri membelakangi mereka semua selagi menatap keluar jendela. Tubuh wanita itu langsing dan tegap, menguarkan aura anggun dan berkuasa. Wajahnya yang tidak terlihat memberikan kesan misterius dan agung.‘Loh, jadi presiden direktur Jaya Corp perempuan?’ batin Nizam, menjadi agak meremehkan karena atasannya di masa depan adalah seorang wanita.Sementara itu, Jeny langsung menyapa dengan sopan, "Selama siang Bu. Perkenalkan, saya Jeny Sanjaya, putri Keluarga Sanjaya yang merekomendasikan calon suami saya, Nizam Saputra."“Selamat siang, Bu.” Nizam ikut-ikutan tersenyum sopan, berharap parasnya bisa menjadi nilai plus bagi sang presdir wanita itu.Mendengar ucapan keduanya, wanita di depan jendela lantai puncak kantor Jaya Corp itu pun berbalik.Dan saat melihat wajah wanita tersebut, Nizam dan Jeny langsung shok.“R-Rara!?”Dengan senyuman termanisnya, Rara berkata, “Pak Nizam, Bu Jeny, kita bertemu lagi.”“Pak Nizam, Bu Jeny, kita bertemu lagi.”Saat melihat mantan istri yang telah dibuangnya itu tiba-tiba kini berdiri tepat di hadapannya, di ruang presdir Jaya Corp, Nizam spontan mundur satu langkah dengan mulut terbuka. “Rara?!” seru Nizam dengan suara keras, membuat Linda mengerutkan keningnya dengan tidak nyaman, tidak suka nama sang atasan dipanggil langsung oleh pria itu.Tak jauh beda dengan ekspresi yang ditunjukan oleh Nizam, Jeny pun teramat kaget dan sampai membelalakkan matanya. 'Rara lagi?!' batinnya.Hanya saja, berbeda dari Nizam, wanita licik itu lebih mampu mengontrol perasaannya. Dengan agak ragu dia pun bertanya, "Kamu … presiden direktur Jaya Corp?"Otak dua orang itu–Nizam dan Jeny–berputar. Kalau jawaban pertanyaan itu adalah ‘ya’, maka lupakan saja bekerja di perusahaan ini, menginjakkan kaki lagi saja mungkin tidak akan bisa!Akan tetapi, bagaimana mungkin wanita seperti itu bisa menjadi presdir Jaya Corp? Memangnya dia itu putri hilang keluarga kaya!? Nggak m
Suara teh yang dituangkan ke dalam gelas terdengar dalam ruang kantor presdir Jaya Corp yang hening.Jeny dan Nizam tengah duduk berseberangan dengan Rara. Di dekat mereka, sosok Linda tengah menyuguhkan minuman untuk tiga orang tersebut.“Terima kasih, Linda,” ucap Rara setelah minumannya selesai dituang.Di seberang Rara, tampak wajah Jeny dan Nizam agak gelap. Berhadapan dengan Rara dalam posisi seperti ini, membuat Nizam ingin berkata kasar dan mengejek Rara seperti tadi pagi. Hanya saja lelaki itu terfokus pada inti masalah.“Jangan banyak mengulur waktu, Rara. Aku tidak punya waktu untuk dibuang karena harus kembali ke kantor!” celetuk Nizam dengan tidak sabar. “Apa pesan presiden direktur?!”Rara tersenyum tipis, lalu dia pun berkata, "Pesan sang presdir adalah … jika Pak Nizam ingin menjadi manager, maka harus menunjukkan kemampuan terlebih dulu." Dia sudah tidak sudi memanggil mantan suaminya itu dengan panggilan ‘mas’."Main curang dengan rekomendasi buta dan kolusi orang d
"Sial! Kenapa bisa seperti ini sih?!" Di dalam mobil, Nizam memukul setir dengan penuh amarah. "Kenapa wanita itu bisa jadi asisten presiden direktur?! Atas dasar apa?!"Sepanjang perjalanan pulang, Nizam terus menggerutu mengenai sikap Rara dan juga tawaran yang diberikan oleh presdir Jaya Corp. Sementara pria tersebut melakukan tersebut, di sebelahnya, Jeny terlihat melipat tangan dengan wajah serius. Ucapan Rara di ruang sang presdir tadi terus terngiang di otaknya. “Apa Nizam sungguh mencintaimu … atau hanya menginginkan harta dan mendapatkan keuntungan dari dirimu?”Dari detik pertanyaan itu terlontar, jujur saja hati Jeny diselimuti ketidaknyamanan. Bukan hanya karena sosok Rara yang dia kenal dari cerita Nizam jauh berbeda dari aslinya, tapi juga karena ucapan wanita itu menghantui ketenangannya.Diam-diam, Jeny melirik Nizam. Ada sejuta pertanyaan dalam hatinya.Dahulu, Nizam berkata bahwa Rara adalah wanita bodoh dan dekil yang bahkan tidak becus mengurus rumah. Tidak hanya
Mendengar teriakan itu, Rara cukup kaget. Dia sedikit ragu untuk masuk, tapi pada akhirnya tetap memutuskan untuk masuk. Saat itu nampak Satria yang sedang bertengkar dengan sejumlah wanita dan pria paruh baya. Dalam satu kali lirikan, Rara langsung mengenali setiap wajah itu. Mereka semua adalah paman dan bibi dari pihak ibunya!Salah satu wanita paruh baya itu tampak pusing dan memijit pelipisnya, tapi begitu melihat Rara, matanya langsung berbinar. “Rara!?” panggilnya seraya berlari menghampiri Rara dengan mata berkaca-kaca. "Rara, ini kamu, Nak?" Wanita itu nampak meneliti Rara dengan wajah rindu.“Bibi Siska,” sapa Rara dengan senyuman canggung, masih mempelajari mengenai apa yang terjadi.Siska adalah kakak dari mendiang ibu Rara, seorang wanita lembut dan bijak. Rara ingat jelas bagaimana wanita itu satu-satunya orang yang dengan tulus menjaga dirinya saat keluarga ibunya yang lain berperang ingin merebut warisan yang ditinggalkan."Bagaimana kabarmu, Nak?" Rara segera mencium
"Siapa yang berani menyiramku!?!" Erika sontak berteriak sambil mengibaskan rok dressnya. “Kurang ajar!" Dres berwarna merah berbahan sutra itu tampak basah di bagian bawahnya. Kentara juga air panas tersebut menembus roknya dan sedikit membakar kulit Erika, membuat wanita itu semakin naik pitam.Mata wanita itu menyusuri ruangan mencari siapa yang menumpahkan air tersebut. “Siapa yang siram?!” teriaknya sebelum akhirnya menunduk dan mendapati sosok Bella kecil dengan gelas kosong di tangan. Tampak bocah kecil itu menengadah dengan pandangan kosong pada Erika.Sepertinya Bella mendengar semua perkataan buruk Erika pada Rara dan memutuskan menyiram wanita tersebut untuk membela sang ibu."Jadi kamu pelakunya!?" Mata Erika bak elang yang sedang mengawasi mangsanya. "Dasar anak bodoh!" Emosi yang menggebu membuat Erika tidak berpikir panjang dan langsung berniat memukul Bella, tidak peduli apakah gadis itu masih kecil atau tidak.Rara dan Satria langsung terbelalak. “Bella!” Namun, kedu
"Sebelum mendidik anak orang lain atau anak sendiri, aku rasa kamu harus mendidik mulutmu terlebih dahulu!"Segala hal yang berkaitan dengan anak, benar-benar tak bisa diganggu gugat oleh Rara. Karena baginya seorang anak tak ubah seperti selembar kertas kosong, apa yang kita lakukan akan selalu membekas di hati mereka selamanya."Rara! Jangan lancang kamu!" Sebuah suara berat malam terdengar saat itu. "Apa hak kamu terus menjelekkan Erika? Kamu sudah pintar? Jangan sok suci!"Suara itu ternyata milik Herman, adik mendiang ibunda Rara. Lelaki bertubuh agak tambun itu terlihat emosi sambil menunjuk-nunjuk pada Rara. "Kamu itu sudah nggak diterima lagi di keluarga Wijaya! Jangan lupa bahwa dulu kamu yang memutus hubungan keluarga." Herman kembali berucap dengan tatapan tajam.Selama ini lelaki itu begitu menyayangi Erika, apa pun yang anak semata wayangnya itu minta selalu diberikan tanpa terkecuali. Hal itulah yang kemudian malah membuat Erika tumbuh menjadi pribadi yang sombong dan a
Para anggota keluarga yang datang pun langsung menutup mulut mereka rapat. Mereka tahu dengan kemampuan berbisnisnya, Satria tentu bisa menjatuhkan semua orang dalam ruangan tersebut kalau dia sungguh menginginkannya.Melihat keadaan kembali kondusif, akhirnya Siska yang sempat datang untuk membantu Satria dan Rara angkat bicara, “Satria saat ini adalah kepala keluarga Wijaya, apa pun yang dia putuskan, tak bisa diganggu gugat. Kalau kalian semua sudah mengerti, lebih baik kalian semua segera pulang." Walaupun sikapnya lembut, tapi nada bicara Siska sangatlah tegas. Tidak heran, dia adalah anak tertua dari lima bersaudara keluarga ibu Satria dan Rara. Hal itu juga yang membuat adik-adiknya yang lain menurut dan tidak lagi protes. Mereka pulang meski dalam hati masih menyimpan rasa tidak senang.Rara memerhatikan sosok Siska yang menatap kepergian adik-adiknya. ‘Sungguh wanita yang luar biasa,’ batinnya.Kalaupun Siska anak tertua, tapi dia menolak meneruskan usaha ekspor-impor orang t
Ucapan Daffa membuat Siska tertawa, sedangkan Rara hanya bisa tersenyum canggung selagi mengusap kepala bocah tersebut. "Bagaimana Tante, apa mau menikah dengan Papaku?" Daffa dengan polosnya malah masih menanyakan tentang tawarannya tadi. "Yakin deh nanti Tante Rara nggak bakal nyesel kalau nikah sama Papaku. Sudah ganteng, kaya, setia, juga bisa melindungi Tante di saat ada nenek sihir jahat seperti yang itu tadi."Daffa terus merekomendasikan Arjuna dengan getolnya, seperti seorang sales yang sedang menawarkan barang jualan. "Mau ‘kan Tante?" Daffa kembali bertanya sambil menaik turunkan alisnya.Tentu saja apa yang dilakukan oleh Daffa itu sontak membuat Rara tertawa. "Sayang, masalah seperti itu nggak bisa diputuskan sendiri. Harus ada persetujuan dari Papanya Daffa dulu."Dalam hati Rara pun berucap, 'Ini hanya omongan anak kecil saja. Sepertinya Daffa terlalu merindukan almarhum mamanya.'Seperti yang Rara dengar dari ucapan Daffa kemarin, ibunya sudah tidak ada. Jelas dari u
"Selamat menempuh hidup baru ya, Raja, Stella. Doa kami semua yang terbaik untuk kamu. Semoga segera memiliki momongan."Rara kembali memberikan selamat pada sahabatnya ini, kali ini saat Raja dan Stella baru saja tadi mengungkapkan janji suci pernikahan. Setelah dua bulan yang lalu mereka juga menggelar acara pertunangan yang mewah."Terima kasih banyak ya. Tanpa kalian,mungkin kali ini kami pun belum bisa bersatu." Stella terus mengenggam tangan Rara. Sahabat yang memang menjadi support utama hubungannya dengan Raja. "Sepetinya para baby gemoy ini nunggu Tante dan Om nya resmi dulu, baru mau launching nih."Stella mengelus perut Rara yang begitu buncit. Rara dan Arjuna yang berada di sampingnya pun terkekeh. "Bisa jadi seperti itu. Karena harusnya HPL kemarin."Ya, memang meski telah terlewat HPL sehari, tetapi Rara belum merasakan tanda tanda kehamilan yang datang. Itu Lah kenapa hari ini dia kekeh untuk datang ke pesta pernikahan itu. "Ah iya, kak Satria juga akan segera melamar
"Bu, Mas Ardi tumben banget sih jam segini belum keluar kamar ya?" Dita yang baru duduk di meja makan, bertanya pada sang ibu sambil menoleh pada kamar sang kakak, yang sejak kemarin sore tak terbuka sama sekali."Iya, dari pulang kerja sudah nggak keluar. Nggak makan malam juga kan?"Ketika Bu Mira masih terdiam, Dewi malah menimpali ucapan adiknya itu. "Halah ... Paling dia itu masih meratapi si Sarah itu," ucap Bu Mira ketus. "Dasar Cemen!"Bu Mira sebenarnya juga sedikit merasa khawatir dengan Ardi. Karena memang setelah Sarah pergi dari rumah ini, putranya itu bahkan tak pernah mau makan. Ardi yang biasanya begitu hangat dengan keluarga, berubah menjadi Ardi yang tertutup dan begitu muram.Padahal ini bukanlah untuk pertama kalinya Ardi menalak istrinya, Sarah adalah yang ketiga, tetapi sungguh saat ini berbeda.Biasanya Ardi biasa saja dan seperti tak lagi memikirkan tentang mantan mantan istrinya itu."Aku kok khawatir ya Bu sama Ardi. Dia itu kayaknya patah hati banget deh keh
"Selamat ya Stella, aku benar benar ikut bahagia. Kalian memang pasangan yang sangat serasi loh." Rara mencium pipi kanan kiri sahabatnya yang malam ini terlihat begitu cantik dalam balutan dres warna putih itu. "Ini semua nggak akan pernah terjadi tanpa bantuan kamu Ra. Pokoknya terima kasih banget loh." Stella memeluk Rara. "Kamu memang sahabat terbaikku."Air mata telah menumpuk di pelupuk mata, tetapi tangis bahagia itu memang sengaja ditekan oleh Stella, karena takut merusak riasan. Malam ini adalah malam pertunangan Stella dengan Raja Sanjaya. Hanya satu hari berselang dari acara jumpa pers yang berakhir menyenangkan itu, keluarga Sanjaya menggelar pesta pertunangan keduanya dengan begitu mewah."Nggak juga. Lebih tepatnya aku hanya perantara sih, yang berperan penting tentu masih tetap Tuhan. Gimana, enak rasanya lebih wow kan, jika cinta di dapat setelah begitu banyak rintangan?" Rara kembali berucap.Kali ini tidak hanya Stella yang tertawa, tetapi Raja juga. Raja pun ter
"Raja?!" Stella langsung memekik, saat melihat sosok yang saat ini paling ingin dia hindari berjalan masuk dari pintu keluar. Raja tidak sendiri, tetapi saat ini pria tampan itu bersama dengan Sinta dan juga Jeni."Hei mau apa dia ke sini? Apa kamu bilang juga sama si Raja jika saat ini kamu mengadakan konversi press?" Romi pun langsung bertanya sembari berbisik. Pria kemayu itu benar-benar tak menyangka sama sekali, jika Raja datang. Bukan apa-apa, tetapi setelah tadi Stella mengambil keputusan bahwa akan menjauhi Raja, dan sekarang Raja datang kembali, itu berarti Romi harus kembali menghadapi Stella yang banyak masalah dan banyak pikiran. Dan, itu berarti juga Stella pun akan menunda beberapa jadwal shooting, karena tak bisa fokus untuk melakonkan perannya. Semua itu tentu saja berimbas pada Romi yang merupakan manajernya."Entahlah, Rom. Aku tak tahu." Stella menjawab sembari menggelengkan kepalanya.Stella yang memang menghindari Raja, ingin segera pergi dari ruangan itu. Teta
"Duh kenapa aku jadi grogi banget gini sih ROM?" tanya Stella, yang sebentar lagi akan melakukan jumpa pers, pada manajernya yang kemayu itu. Romi menepuk-nepuk pundak sang artis. "Ih kamu ini kayak apa aja sih Stella? Kamu ini kan artis besar, masa sih gini aja Kamu demam panggung? Nggak level banget sih."Apa yang dikatakan oleh Romi itu tadi, sebenarnya bukanlah sebuah ejekan. Tetapi Romi melakukan hal itu untuk memantik semangat Stella yang sepertinya memang telah mulai mengendur."Romi, ini kan bukan sandiwara atau film-film yang sering aku bintangi. Ini nyata Romi, ini hal yang benar-benar terjadi dalam hidupku. Jadi rasanya wajar dong jika aku grogi banget seperti ini." Stella mengelak. Romi memutar bola matanya dengan malas. Dia tahu jika memang konferensi pers yang akan diadakan oleh Stella ini, seperti suatu hal yang tidak diinginkan oleh hatinya Stella. Tetapi artis cantik itu memaksakan kehendak."Makanya dong Stella, Aku kan udah bilang sama kamu, jangan bohongin hati
Brak brak brak"Dewi bangun!" Pagi buta itu, Bu Mira sudah menggedor pintu kamar Dewi. Setelahnya, wanita itu ganti menggedor kamar Dita, yang terletak tepat di samping kamar Dewi.Brak BrakBrak"Dita bangun kamu. Ini sudah siang! Kamu itu anak gadis, jadi jangan bangun siang-siang!" eriak bu Mira dengan penuh emosi.Merasa tak mendapatkan respon sama sekali dari kedua putrinya, bu Mira pun kembali menggedor dengan keras pintu kamar itu, dengan teriakan yang sangat melengking di pagi hari."Duh ternyata repot banget kalau nggak ada Sarah. Ngapain sih Ardi kemarin itu sampai menalak Sarah? Coba saja ada Sarah, pasti aku sekarang masih tidur dan mainan hp di kamar." Bu Mira begitu emosi dengan dirinya sendiri saat ini.Sejak kemarin malam setelah kepergian Sarah, wanita paruh baya itu tak dapat memejamkan matanya sama sekali. sSepertinya dia merasakan apa yang sedang dirasakan oleh Ardi saat ini. Rasa penyesalan karena telah mengusir Sarah dari rumah ini."Seharusnya Ardi juga menge
"Dasar perempuan jalang! Cepat pergi kamu dari rumah ini!" Bu Mira kembali berteriak, saat itu Ardi pun sedikit kaget. "Cepat pergi atau kuse-ret kamu!!"Bu Mira sudah akan maju untuk menyeret Stella, sedangkan Dewi dan Dita mengikuti di belakangnya."Hentikan Bu!" Yang berteriak ternyata bukan Sarah, tetapi Ardi. "Jangan lagi menghina Sarah."Raut wajah para anggota keluarga itu nampak terkejut dengan ucapan pria itu. Kemudian Ardi menoleh pada Sarah. "Pergilah Sarah. Semoga kamu bisa mendapatkan ganti yang lebih baik dariku. Maafkan aku ya."Sarah sedikit kaget juga dengan perubahan sikap Ardi yang begitu drastis setelah mengucapkan kata talak tadi. Dia sempat berpikir jika mungkin mantan suaminya itu menyesal karena telah mengakhiri hubungan itu. Tetapi sejurus kemudian seperti ada yang kembali mengingatkan pada Sarah. Seperti apa sikap Ardi, yang selama mereka menikah malah sama sekali tak pernah memperlakukan dia seperti layaknya seorang istri."Tentu Mas. Tuhan tak pernah tidur.
"Terima kasih telah terus bersama dengan Sarah, Bu. Jika tak ada ibu, mungkin Sarah sudah semakin hilang arah." Sarah kemudian memeluk ibunya .Tak terkira rasa terima kasih Sarah pada sang ibu. Karena memang tak ada lagi tempat kita kembali selain pada ibu. Wanita yang benar benar menyayangi kita apa adanya tanpa balas jasa.Terhitung sudah dua hari Sarah kembali pulang ke rumah kontrakan Bu Endang. Setelah kemarin ditalak Ardi dan diusir dari rumah mantan suaminya itu. Untung saja pernikahan mereka hanya pernikahan siri alias secara agama, jadi tak perlu repot repot menuju ke pengadilan agama. Tak butuh proses lama untuk menjadikan Sarah berstatus menjadi janda.Kadang memang banyak hal rasanya seperti membuat kita kecewa, seakan Tuhan tak menuruti segala keinginan kita. Padahal sebenarnya semua itu adalah berkah, karena Tuhan nyatanya tidak memberikan apa yang kita inginkan, tetapi apa yang kita butuhkan."Maaf ya, dulu ibu sempat melarang karena kamu hanya akan dinikahi di balik t
"Kamu nggak kerja, Sarah?" Bu Endang bertanya pada Sarah setelah mereka berdua baru saja selesai melaksanakan salat subuh.Sarah mencium punggung tangan ibunya dengan takdzim. "Belum untuk sekarang Bu. Mungkin besok." Sarah berkata sambil tersenyum manis."Jika memang kamu sudah tak nyaman kerja disana, lebih baik kamu cari kerja di tempat lain saja, Sarah." Raut wajah wanita paruh baya itu nampak khawatir.Tak salah jika akhirnya Bu Endang jadi mengkhawatirkan tentang tempat kerja Sarah. Setelah kini Sarah tak lagi menjadi istri Ardi, Bu Endang merasa takut jika Sarah tak akan nyaman bekerja satu kantor dengan sang mantan suami. Apa lagi mengingat jika hubungan yang pernah terjalin dulu begitu tidak baik.Sarah tersenyum penuh artis, ditepuknya telapak tangan Bu Endang yang sejak tadi masih digenggamnya. "Sarah belum memikirkan hal itu Bu. Nanti malam saja." Ada hal yang tentu saja disembunyikan oleh Sarah. Apa lagi jika bukan rasa sakit hati. Hanya saja tentu wanita itu tak ingin me