Mendengar teriakan itu, Rara cukup kaget. Dia sedikit ragu untuk masuk, tapi pada akhirnya tetap memutuskan untuk masuk. Saat itu nampak Satria yang sedang bertengkar dengan sejumlah wanita dan pria paruh baya. Dalam satu kali lirikan, Rara langsung mengenali setiap wajah itu. Mereka semua adalah paman dan bibi dari pihak ibunya!Salah satu wanita paruh baya itu tampak pusing dan memijit pelipisnya, tapi begitu melihat Rara, matanya langsung berbinar. “Rara!?” panggilnya seraya berlari menghampiri Rara dengan mata berkaca-kaca. "Rara, ini kamu, Nak?" Wanita itu nampak meneliti Rara dengan wajah rindu.“Bibi Siska,” sapa Rara dengan senyuman canggung, masih mempelajari mengenai apa yang terjadi.Siska adalah kakak dari mendiang ibu Rara, seorang wanita lembut dan bijak. Rara ingat jelas bagaimana wanita itu satu-satunya orang yang dengan tulus menjaga dirinya saat keluarga ibunya yang lain berperang ingin merebut warisan yang ditinggalkan."Bagaimana kabarmu, Nak?" Rara segera mencium
"Siapa yang berani menyiramku!?!" Erika sontak berteriak sambil mengibaskan rok dressnya. “Kurang ajar!" Dres berwarna merah berbahan sutra itu tampak basah di bagian bawahnya. Kentara juga air panas tersebut menembus roknya dan sedikit membakar kulit Erika, membuat wanita itu semakin naik pitam.Mata wanita itu menyusuri ruangan mencari siapa yang menumpahkan air tersebut. “Siapa yang siram?!” teriaknya sebelum akhirnya menunduk dan mendapati sosok Bella kecil dengan gelas kosong di tangan. Tampak bocah kecil itu menengadah dengan pandangan kosong pada Erika.Sepertinya Bella mendengar semua perkataan buruk Erika pada Rara dan memutuskan menyiram wanita tersebut untuk membela sang ibu."Jadi kamu pelakunya!?" Mata Erika bak elang yang sedang mengawasi mangsanya. "Dasar anak bodoh!" Emosi yang menggebu membuat Erika tidak berpikir panjang dan langsung berniat memukul Bella, tidak peduli apakah gadis itu masih kecil atau tidak.Rara dan Satria langsung terbelalak. “Bella!” Namun, kedu
"Sebelum mendidik anak orang lain atau anak sendiri, aku rasa kamu harus mendidik mulutmu terlebih dahulu!"Segala hal yang berkaitan dengan anak, benar-benar tak bisa diganggu gugat oleh Rara. Karena baginya seorang anak tak ubah seperti selembar kertas kosong, apa yang kita lakukan akan selalu membekas di hati mereka selamanya."Rara! Jangan lancang kamu!" Sebuah suara berat malam terdengar saat itu. "Apa hak kamu terus menjelekkan Erika? Kamu sudah pintar? Jangan sok suci!"Suara itu ternyata milik Herman, adik mendiang ibunda Rara. Lelaki bertubuh agak tambun itu terlihat emosi sambil menunjuk-nunjuk pada Rara. "Kamu itu sudah nggak diterima lagi di keluarga Wijaya! Jangan lupa bahwa dulu kamu yang memutus hubungan keluarga." Herman kembali berucap dengan tatapan tajam.Selama ini lelaki itu begitu menyayangi Erika, apa pun yang anak semata wayangnya itu minta selalu diberikan tanpa terkecuali. Hal itulah yang kemudian malah membuat Erika tumbuh menjadi pribadi yang sombong dan a
Para anggota keluarga yang datang pun langsung menutup mulut mereka rapat. Mereka tahu dengan kemampuan berbisnisnya, Satria tentu bisa menjatuhkan semua orang dalam ruangan tersebut kalau dia sungguh menginginkannya.Melihat keadaan kembali kondusif, akhirnya Siska yang sempat datang untuk membantu Satria dan Rara angkat bicara, “Satria saat ini adalah kepala keluarga Wijaya, apa pun yang dia putuskan, tak bisa diganggu gugat. Kalau kalian semua sudah mengerti, lebih baik kalian semua segera pulang." Walaupun sikapnya lembut, tapi nada bicara Siska sangatlah tegas. Tidak heran, dia adalah anak tertua dari lima bersaudara keluarga ibu Satria dan Rara. Hal itu juga yang membuat adik-adiknya yang lain menurut dan tidak lagi protes. Mereka pulang meski dalam hati masih menyimpan rasa tidak senang.Rara memerhatikan sosok Siska yang menatap kepergian adik-adiknya. ‘Sungguh wanita yang luar biasa,’ batinnya.Kalaupun Siska anak tertua, tapi dia menolak meneruskan usaha ekspor-impor orang t
Ucapan Daffa membuat Siska tertawa, sedangkan Rara hanya bisa tersenyum canggung selagi mengusap kepala bocah tersebut. "Bagaimana Tante, apa mau menikah dengan Papaku?" Daffa dengan polosnya malah masih menanyakan tentang tawarannya tadi. "Yakin deh nanti Tante Rara nggak bakal nyesel kalau nikah sama Papaku. Sudah ganteng, kaya, setia, juga bisa melindungi Tante di saat ada nenek sihir jahat seperti yang itu tadi."Daffa terus merekomendasikan Arjuna dengan getolnya, seperti seorang sales yang sedang menawarkan barang jualan. "Mau ‘kan Tante?" Daffa kembali bertanya sambil menaik turunkan alisnya.Tentu saja apa yang dilakukan oleh Daffa itu sontak membuat Rara tertawa. "Sayang, masalah seperti itu nggak bisa diputuskan sendiri. Harus ada persetujuan dari Papanya Daffa dulu."Dalam hati Rara pun berucap, 'Ini hanya omongan anak kecil saja. Sepertinya Daffa terlalu merindukan almarhum mamanya.'Seperti yang Rara dengar dari ucapan Daffa kemarin, ibunya sudah tidak ada. Jelas dari u
Rara tidak menyangka berita itu sudah sampai di telinga Satria dengan cepat.'Apa Kak Juna yang mengatakan hal ini ya?' batin Rara. Namun, mengenal Arjuna yang bibirnya rapat, Rara langsung menepis dugaan itu.'Mungkin Linda yang mengatakannya.' Rara yakin.Linda dipekerjakan oleh Satria untuk menjaga dan membantu Rara. Dilihat dari bagaimana Satria memercayai Linda, keduanya sepertinya sudah bekerja sama untuk waktu yang lama. Hal itu memperkuat dugaan Rara bahwa semua yang terjadi di Jaya Corp akan dilaporkan wanita itu pada Satria.Merasa percuma menyembunyikan apa pun dari sang kakak, Rara pun menjawab, “Ya.” Dia juga menceritakan semua yang terjadi di kantor dan berakhir membuat Satria tertawa keras. "Ha ha ha! Sayang sekali aku tidak melihat kekonyolan itu secara langsung!" ujar Satria dengan tawa geli. Selesai tertawa, pria itu menopang wajahnya dengan satu tangan dan tersenyum kepada Rara. “Adikku sekarang sungguh bisa diandalkan.”Rara tersenyum bangga mendengarnya. Di saat
"Makan yang banyak ya, Sayang," ucap Rara pada Bella yang saat ini tengah berada di meja makan. Gadis kecil itu pun mengangguk sambil tersenyum ketika diurus oleh sang baby sitter. Sama seperti Daffa yang saat ini pun diurus oleh pengasuhnya.Rara pun ingin menyendokkan nasi untuk dirinya sendiri karena anak-anak sudah ada yang mengurusi. Akan tetapi, sadar ada tamu, dia pun menyendokkan nasi untuk Arjuna dulu. "Silahkan Kak. Makan yang banyak ya, jangan sungkan," ucap Rara sembari tersenyum manis. Dan, seperti biasa hanya dibalas dengan anggukan aja oleh Arjuna dan senyuman tipis.Tak lupa wanita cantik itu mengambilkan beberapa macam lauk pauk untuk Arjuna, setelahnya dia kembali menyodorkan piring tersebut. "Apa segini cukup?" tanya Rara lagi."Cukup. Terima kasih," jawab Arjuna sembari menerima sepiring nasi lengkap bersama dengan lauk pauknya itu.Satria menautkan alisnya ketika melihat adegan yang baru saja terjadi itu. "Kenapa bukan aku yang disendokkan nasi?" Spontan dia pun l
Kediaman Sanjaya, pukul tujuh malam.Jeny sedang makan malam di kediamannya dan tampak lesu. Gadis itu hanya mengambil sedikit makanan dan dengan malas-malasan menyuapkan ke mulutnya.Jeny masih memikirkan tentang pertemuan dengan Rara yang benar-benar telah merusak mood dan rencananya. Harapan untuk menempatkan Nizam di Jaya Corp gagal, itu berarti rencananya mengenalkan Nizam ke keluarganya minggu ini juga batal."Jeny kamu baik-baik saja, Nak?" Agnes, Ibu Jeny, menyadari ada yang salah dengan putri cantiknya itu.Jeny memaksakan senyuman untuk sang mama. "Nggak ada apa-apa kok, Ma. Semua baik-baik saja."Agnes masih merasa ada yang beda dari sang anak, hanya saja dia berhenti bertanya karena berpikir mungkin Jeny belum bersedia cerita. "Ya sudah. Misal nanti kamu butuh apa-apa langsung bilang ke Mama ya, Sayang."Jeny segera mengangguk sembari masih menunjukan senyum tipisnya. "Tentu, Ma."'Aku harus tetap diam dan menutup rapat tentang Nizam pada Mama dan Papa. Paling tidak, sampai