"Mama nanti akan cerita, tetapi kamu harus bilang dulu. Dulu pernah nggak sih kamu itu punya rasa tertarik sama Dita? Ya ... Mungkin saja rasa yang terpendam gitu, karena dulu dia kan begitu tomboy dan cuek."Kali ini Raja nampak makin heran saja. "Sebentar deh Ma. Kenapa sih?" Nyatanya pria itu tak memberikan jawaban juga, tetapi malah balik bertanya. Sinta menggelengkan kepala sambil menggerakkan telunjuk ya di depan wajah Raja. "No no. Pokoknya kamu harus jawab dulu dengan jujur, baru nanti mama cerita deh. Ayo jawab," ucap Sinta yang terus menuntut.Raja menghela nafas panjang. Dia paham dengan sifat sang mama yang begitu keras kepala, apa yang diminta itu yang harus didapatkan. Jadi, kali ini Raja pun akan bercerita. Karena memang pria yang satu ini juga terbiasa untuk selalu berkata jujur pada sang mama."Dita itu sebenarnya dulu seorang gadis yang cantik dan manis. Periang dan selalu membuat orang lain terhibur dengan candaannya, yang meski kadang terdengar begitu garing." Sa
Bab 219"Duh maaf ya Ra. Aku telat dikit tadi." Stella dengan tergopoh gopoh tadi masuk ke dalam rumah makan dan langsung mengambil tempat duduk tepat di samping Rara. "beneran deh, maaf banget ya."Rara hanya bisa mendengus sambil mengaduk minumannya yang telah habis es batunya. "Tapi ini bukan telat dikit lagi Stella, sudah lima belas menit loh." Rara pun mulai protes dan mencebik. "Satu menit lagi kamu nggak dateng, yakin deh aku pasti langsung pulang." Rara memutar bola matanya dengan malas.Stella membuka lebar mulutnya, sepetinya dia kaget dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh sahabatnya itu. "Ya ampun, beneran deh Ra. Aku minta maaf banget." Stella menyesal karena telah membuat Rara menunggu begitu lama. "Tadi itu tiba tiba ada fans yang datang dan minta tanda tangan. Eh tau tau malah pingsan. Nggak mungkin kan aku langsung tinggal begitu saja? Maafin ya Ra." Stella sampai menangkupkan kedua tangannya di depan Rara.Dia tak menyangka jika Rara akan marah, karena selama ini dia
Bab 220Beberapa detik terdiam dan nampak berpikir, kedua sudut bibir Stella tertarik, membentuk sebuah senyuman yang sulit diartikan. "Aku punya sebuah cara, Ra. Aku ingin tahu lebih dalam Ra."Stella berkata dengan senyum yang sumringah. Raut wajahnya yang tadi sempat terlihat sedih dan seperti gundah gulana, saat ini malah kembali bersinar.Rara mengerutkan dahinya dan ikut tersenyum. Tentu saja dia merasa senang karena Stella kembali bersemangat. "Ide apa nih?"Stella langsung berdiri dan beranjak mendekati Rara, artis cantik Itu pun kemudian membisikkan sesuatu tepat di telinga Rara. Rara yang mendengarkan malah terus memasang senyum di bibirnya, sembari memutar bola matanya. "Ide yang bagus!" seru Rara ketika Stella bahkan belum beranjak dari tempatnya."Menurut kamu bakal berhasil nggak sih?" tanya Stella lagi, meski tadi Rara sudah mengatakan jika ide itu bagus sekali. Sesaat kemudian sang artis kembali duduk ke tempatnya semula."Bagus dan aku yakin jika akan berhasil nanti
"Semua hancur, Ra. Apa yang aku impikan dan bayangkan, ternyata begitu jauh dari ekspektasi." Sarah mulai berkata dengan masih terisak."Kehidupan rumah tanggaku hancur, keluarga suamiku hanya menjadikan aku sapi perah saja."*"Semoga saja ada hikmah yang bisa dipetik. Dia bahkan sangat ingin bertemu dengan Bu Endang. Tetapi dia tak bisa bergerak bahkan ketika ada di luar rumah." Rara kembali bercerita.Sesaat terdiam, Stella pun kembali berucap. "Tapi namanya juga manusia harus saling bantu kan? Setelah masalah dengan Raja selesai. Bagaimana kalau kita bantu Sarah. Takut jika nanti mentalnya malah nggak kuat lagi."Rara mengangguk setuju, tapi sejurus kemudian raut wajahnya nampak sedikit dingin. "Tetapi sepertinya kita harus sedikit lebih cepat. Karena kemarin dia berkata jika ingin mengakhiri hidupnya. Dia sudah mulai putus asa."Stella langsung menautkan kedua alisnya. Artis cantik itu kembali bertanya, "putus asa? Putus asa seperti apa maksud kamu?" Rara mende-ngus kasar. "Yang
"Nyonya Rara meminta Anda untuk menemani menemui klien. Sekarang." Linda berkata dengan tegas seperti biasanya, pada Sarah yang berkutat dengan pekerjaannya."Saya Bu?" Setengah kaget, Sarah langsung berdiri dan menunduk sebentar.Linda menganggukan kepala dengan mengulas sebuah senyum manis. "Tentu, mari ikut saya."Kembali Sarah mengangguk. Tetapi sejurus kemudian wanita itu pun menoleh ke samping. Tempat dimana sang suami duduk.Memang ruangan Sarah dan Ardi sama,kebetulan juga meja mereka bersebelahan. Mungkin karena itu pula mereka berdua dulu mengalami yang dinamakan cinta lokasi.Sarah tak berbicara, hanya tatapan matanya saja yang seolah meminta persetujuan dari sang suami.Ardi pun sejak kedatangan Linda tadi sudah mulai menajamkan indra pendengarannya.Mata pasangan suami itu saling bertatapan tanpa ucap, kemudian pria itu pun mengangguk setelah beberapa detik melirik pada Linda."Aku pergi dulu, Mas." Sarah pun langsung mencium tangan Ardi dengan takzim."Tenang saja Pak A
[Ingat Sarah. Pokonya semua anc-amku ini nggak main main. Kalau kamu sampai ngomong yang nggak nggak sama Nyonya Rara, aku akan menghabisi nyawa ibu kamu yang miskin itu!]Dalam hati Sarah langsung beristighfar membaca beberapa chat yang dikirim oleh suaminya itu. Ternyata, tadi Ardi tetap tak bisa menenangkan dirinya sendiri. Dia terus mengirimkan beberapa pesan ancaman untuk Sarah. Sejak tadi di jalan sebenarnya ponsel itu sudah berdering, hanya saja diabaikan oleh Sarah. Baru ketika Rara lah yang mendengar sendiri dan meminta Sarah membukanya, dia mau membuka pesan itu."Mbak ... Apa kamu baik baik saja?" Rara yang memperhatikan raut wajah Sarah pun langsung bertanya. "Pesan dari siapa?" tanyanya lebih lanjut.Sontak Sarah langsung menoleh. Mencoba untuk menyuguhkan senyuman pada sang bos, tetapi nyatanya tak bisa. "Ah tidak apa apa kok." Segera Sarah memasukan lagi benda pipih kesayangannya itu ke dalam saku dan memberikan jawaban dengan nada yang gugup.Kembali wanita itu mena
"Terima kasih Ra. Terima kasih banyak. Kamu memang Dewi penolongku."Sarah merengkuh kedua telapak tangan Rara dan mencium pungungnya. Dengan segera Rara menariknya, karena dirasa hal itu keterlaluan. "Jangan berlebihan seperti itu, Mbak. Aku hanya melakukan apa yang aku bisa bantu saja. Sekarang mari kita temui ibu."Sarah mengangguk dan menghapus sisa air mata yang ada di pelupuk mata. Yang terjadi saat ini, seperti sebuah impian yang menjadi nyata baginya. Saat sudah masuk ke kediaman keluarga Ardi yang penuh dengan monster dan kejahatan, tetapi dia juga terkungkung oleh cinta buta pada sang suami, dia merasa sangat mustahil baginya untuk kembali bertemu dengan sang ibu. Sebenarnya dia bisa saja mencuri waktu, karena dia masih bisa diluar rumah saat bekerja. Tetapi dia sangat takut pada Ardi.Kling klingPonsel Sarah kembali berbunyi, sebuah pesan masuk dan tentu saja dia bisa menebak dari mana pesan itu didapat. Sebelum turun, Sarah pun membuka pesan itu. Tentu saja setelah dipe
"Mbak ... Mbak Sarah baik baik saja kan?" Rara menepuk pundak Sarah yang memang sejak tadi nampak melamun.Segera Sarah pun tersenyum kecut. "Sebelum kita turun, bolehkah aku menanyakan sesuatu hal yang sedikit privat?" Wanita itu menatap Rara dengan pandangan yang nampak begitu berharap.Rara tersenyum dan mengangguk. "Tanyakan Mbak. Jika aku bisa menjawab pasti akan kujawab dengan jujur."Sesaat nampak Rara memejamkan mata dan menghela nafas panjang. "Dulu ... Saat masih menjadi istri Nizam, apa dulu dia begitu romantis saat kalian ... Melakukan hubungan suami istri?" Nampak sekali jika wajah Sarah sedikit sungkan, menanyakan tentang hal yang sedikit tabu.Rara terkekeh. "Wah ... Kalau boleh tahu, kenapa Mbak Sarah menanyakan tentang hal itu?" Wajar saja rasanya jika dia sedikit kaget dengan hal ini.Sarah nampak menautkan jari jemarinya. "Karena ... Hubunganku dengan Mas Ardi ... Sudah hancur sejak malam pertama kami."Sarah lalu menceritakan seperti apa kehidupan seks nya dengan