"Sarah! Cepat kesini!"teriakan Bu Mila terdengar begitu kencang pagi itu."Sebentar Bu," jawab Sarah yang saat itu tengah menjemur pakaian di halaman belakang. Wanita itu segera berlari dengan begitu tergopoh gopoh, nampak sekali jika wanita itu begitu takut."Dari mana saja sih kamu itu? Dipanggil kok nggak datang datang?" tukas Bu Mira sambil berkacak pinggang ketika Sarah sudah berdiri di depannya."Maaf Bu," kata Sarah sambil menetralkan irama nafasnya yang naik turun. "Tadi saya sedang menjemur pakaian di belakang, jadi agak kurang dengar."Rumah milik Bu Mira ini memang lumayan panjang, berukuran lima kali delapan belas meter. Jadi lumrah juga jika tak begitu terdengar."Dasar kamu meleng dan melamun saja kan?!" Nyatanya Bu Mira tak mau memaklumi hal itu. "Sampai capek aku manggil kamu dari tadi!" Wanita paruh baya itu menatap nyalang penuh kebencian pada Sarah.Padahal, sebenarnya Bu Mira hanya baru satu kali saja memanggil Sarah dan Sarah langsung menyahutinya. Hanya saja mem
"Heh perempuan bo doh! Kenapa malah ngelamun?!" Sekali lagi, sebuah toyoran dihadiahkan pada Sarah dari Bu Mira. Karena tak siap seperti tadi, Sarah pun akhirnya terhuyung ke belakang."Ah." Tetapi dengan segera dia pun bangkit dan berdiri lagi. "Bu, tolong jangan keterlaluan seperti ini." Tentu saja ada rasa kaget dan sedikit sakit yang dirasakan oleh Sarah, sehingga akhirnya dia pun protes. Selama menikah dengan Ardi, ini adalah untuk yang pertama kali dia menyanggah.Mendengar ucapan sang menantu, mata Bu Mira makin mendelik saja. "eh eh eh, kamu sudah mulai berani ya? Makin ku rang ajar saja kamu ya!"Sarah mundur sedikit ketika mertuanya itu mulai maju. "Heh Sarah! Kamu itu sudah aku beri tumpangan tinggal di rumah ini gratis, jadi jangan banyak ngomong!" Selalu hal seperti itu saja yang dikatakan oleh Bu Mira. Dia menganggap Sarah itu tak ubahnya hanya seorang pembantu yang numpang tinggal gratis di rumah ini. Maka begitu pantas jika Sarah diperlakukan dengan tidak sopan dan
"Oh iya, di celana dalamku itu nanti sikat yang bersih ya, karena ada bercak darahnya. Aku nggak tahu sih kalau lagi datang bulan tadi. Harus bersih pokoknya!"**"Ini nasi gorengnya, Bu." Sarah memberikan dua piring nasi goreng plus telur ceplok pada Bu Mira dan Dita."Aduh, hanya goreng nasi aja kok lama banget sih Mbak?" ucap Dita sambil meniup nasi gorengnya yang memang baru saja turun dari perapian. "Emang dasar lelet banget sih!"Mulut gadis berusia tujuh belas tahun itu memang sama pedasnya dengan Bu Mira."Tadi Mbak ---" Sarah akan sedikit menjawab, tetapi kemudian langsung dipotong oleh Bu Mira."Halah banyak omong kamu itu! Sudah sekarang cepat lanjutkan lagi kerjaan kamu. Jangan lupa masak juga buat sarapan pagi, awas saja kalau sampai telat!"Tak ada sedikit pun rasa terima kasih disampaikan untuk Sarah di rumah ini. Karena benar sekali, memang mereka semua menganggap Sarah hanyalah seorang pembantu gratisan atau mungkin lebih tepatnya seorang budak. Yang tak pantas lagi
"Kamu harus tenang Sayang. Semua akan baik baik saja. Kakek akan segera melewati masa kritisnya." Rara terus mencoba menenangkan Arjuna yang sejak tiba di rumah sakit, sekitar satu jam yang lalu, sudah begitu gelisah. Arjuna menghela nafas panjang. "Ini sudah satu jam berlalu, dan belum ada kabar sama sekali. Nggak bisa seperti ini."Pikiran Arjuna begitu kalut, saat ini dia belum bisa menerima kenyataan jika Handi tiba tiba mengalami kecelakaan dan dinyatakan dalam kondisi kritis."Mereka sedang berusaha. Yakinlah, sebentar lagi mereka akan keluar dan memberikan kabar baik pada kita." Rara kembali memberikan semangat. Meski dia juga tak yakin dengan ucapannya sendiri, tetapi dia mencoba untuk berpikiran yang positif. Berharap besar jika Handi benar benar akan segera membaik.Bagi Rara, Handi memiliki andil yang begitu besar dalam hubungannya dengan sang suami. Handi pun sangat menyayangi dia dan dan Dita. Jadi, dia pun tak ingin sesuatu hal buruk terjadi pada pria itu, apa lagi ini
"Hati hati ya, Sayang," ucap Arjuna sambil mencium kening Rara. "Kita haru mulai bangkit lagi."Rara menyuguhkan senyum yang teramat manis pada suaminya itu. "Tentu Sayang. Kakek sudah tenang disana." Arjuna mendengus pelan dan tersenyum. Diciumnya sesaat bibir Rara. "Tentu. Semangat.""Semangat." Rara segera menimpali ucapan suaminya itu dan segera turun dari mobil. Melambaikan tangan hingga mobil mewah berwarna hitam metalik itu tak terlihat lagi dari pandangannya.'meski kakek sudah meninggal, tetapi semangatnya masih ada disini!' Rara bergumam sembari mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam kantornya.Sudah sekitar empat belas hari, dia absen datang ke Jaya Corp. Apa apa yang begitu darurat, akan Linda bawa ke rumah untuk mendapatkan tanda tangan dari Rara. Begitu juga dengan Arjuna. Baru hari ini pasangan suami istri itu pun kembali beraktivitas.Kepergian Handi yang tiba tiba, memang memberikan duka yang begitu mendalam bagi keluarga Pranama. Tak hanya Rara dan Arjuna, tetapi Y
Saat menatap ke arah luar, senyum Rara sedikit berkurang. "Lin, tolong panggil Sarah untuk menghadap saya sekarang juga."Meski nampak sedikit bingung, tetapi tentu saja Linda tak bisa menolak keinginan bos nya. "Baik Nyonya."Segera Linda pun melaksanakan perintah Rara dan beberapa menit kemudian Linda telah kembali bersama dengan Sarah."Terima kasih banyak Linda." Rara menyuguhkan senyumnya yang paling manis. "Tolong bisa tinggalkan kami berdua?"Rara kembali. memberikan titah yang kemudian langsung dilaksanakan oleh Linda. Ketika tadi melihat Sarah melintas, Rara langsung teringat dengan Bu Endang. Jika saja saat itu Handi tidak meninggal dunia, Rara pasti sudah mengajak ngobrol mantan kakak iparnya itu. "Ada yang bisa dibantu, Nyonya." Sarah yang sejak tadi menunduk pun langsung bertanya.Hubungan keduanya memang sudah dekat sebelum hari ini, mereka akrab. Tetapi jika berada di lingkungan kerja,Sarah tetap memposisikan Rara sebagai big bosnya."Panggil Rara saja Mbak kalau sed
Bab 215POV Sarah" Sudah cepat masak dan bersiap ke kantor. Ingat, jangan sampai apa yang terjadi di rumah ini kamu ceritakan pada orang lain. Aku tak akan memaafkan hal itu."**Selama usiaku hampir tiga puluh tahun, sama sekali aku belum pernah merasakan sakit yang sedalam ini. Rasa sakit yang bahkan melebihi sakitnya hancur karena kehilangan keperawanan.Aku begitu berharap banyak pada Mas Ardi, bulat kuberikan hati ini dan kupasrahkan hidupku. Tetapi apa yang aku dapatkan? Hanya luka dan sakit hati saja.Ternyata memang semua tak selalu seindah yang kita inginkan. Bahkan ketika aku sudah mulai memperbaiki diri, Tuhan malah masih memberikan aku cobaan yang begitu berat."Sarah, apa kamu mau menikah denganku?" tanya Mas Ardi saat dulu ingin meminangku.Mulutku melongo saat itu, kaget. Karena tak menyangka jika Mas Ardi sudah ingin menikah denganku, padahal kami baru saja berhubungan kurang lebih dua bulan. "Apa Mas nggak salah ngomong?" tanyaku dengan sedikit salah tingkah dan pipi
" Sarah ... sejak bertemu aku itu sudah suka sama kamu. Mau nggak kamu jadi pacarku? Aku akan memberikan banyak uang untuk kamu. Kamu cantik sekali."Begitu enteng sekali Mas Yudi berucap, seperti aku ini bukanlah adik iparnya saja. Kuhentakkan dengan keras pakaian basah yang tadi sudah kukucek, sebagai tanda tak suka atas apa yang baru saja dia ucapkan."Mas, tolong jaga ucapannya! Kita ini saudara ipar, rasanya tak pantas Mas Yudi berkata seperti itu!" Tatapan mata tak suka kutunjukkan saat ini.Aku memang bersikap seolah tak takut, padahal sesungguhnya dalam hati aku begitu takut. Pria gila di depanku ini, pasti bisa saja melakukan hal apa pun tanpa diduga. Aku pun sudah siap berteriak kencang dan lari jika dia melakukan hal yang nekat. Hal ini sebenarnya sudah pernah aku duga sebelumnya. Orang jahat seperti ini, akan selalu mencari kesempatan dalam kesempitan.Mas Yudi mendengus sambil tersenyum licik. "Apanya sih Sarah yang tidak pantas? Hidup kok dibikin susah. Kamu itu cantik