"Apa Thea sudah tidur?" tanya Raja pada Jeny yang baru saja datang ke teras."Sudah Kak. Baru saja." Setelah memberikan jawaban Jeny pun langsung mengambil tempat duduk yang tepat di depan sang kakak.Malam ini setelah makan malam tadi, Raja memang memilih untuk duduk di teras depan sembari mendengarkan musik. Karena memang tak ada dokumen yang terlalu penting sehingga harus dibawa pulang ke rumah.Sedangkan Jeny terlebih dahulu menidurkan Thea. Kini bayi itu sudah tidur dan ditinggalkannya bersama si baby sitter."Kamu belum mengantuk?" Raja kembali bertanya sembari masih fokus pada layar benda pipih kesayangannya itu."Belum, masih jam delapan juga kok," jawab Jeny dengan cepat. "Kak Raja tumben disini, lagi ada masalah?" tebak Jeny ganti.Memang Raja tak biasanya duduk di teras depan. Karena pria ini lebih senang berada di dalam kamar atau ruangan kerjanya demi sekedar membaca buku, hobi yang sampai saat ini tak pernah bisa dia tinggalkan.Jadi wajar jika kini Jeny bertanya dan ju
"Sarah, apa kamu sudah siap?" Bu Endang dengan lirih bertanya pada Sang anak. "Ini sudah pukul tujuh pagi loh."Sarah berlari dari dalam rumah dengan sedikit tergesa gesa, "siap Bu!" Wanita itu pun kemudian langsung mengunci pintu rumah kontrakan mungil itu. "Maaf tadi Sarah ke kamar mandi dulu."Sarah kembali berucap dengan tersenyum pada sang ibu."Ha." Bu Endang mendengus kasar, karena memang tadi dia sudah menunggu hampir lima menit di depan pintu, dan Sarah tak kunjung keluar. "Ya sudah ayo cepat mana ojeknya?"Sarah menatap pada layar benda pipih kesayangannya. "Ini tadi sudah otw kok Bu, paling juga sebentar lagi."Mereka berdua pun akhirnya kembali menunggu dengan tak sabar mobil ojek on-line yang sudah di pesan."Mau mengunjungi Nizam ya, Bu?" Salah satu tetangga kontrakan menyapa mereka berdua dengan ramah.Bu Endang tersenyum manis dan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya, Bu. Mumpung hari Selasa, saya tadi masak kesukaan Nizam, Bu," jawab Bu Endang sambil menunjukan bungku
Bab 176"Kita akan mencoba menanyakan hal ini pada Rara , Bu. Dia orang baik, semoga saja mau memberikan waktu pada kita untuk memberikan kasih sayang juga pada Bella. Mantan suami istri memang ada, tetapi mantan anak dan cucu tidak akan pernah ada."Sarah hanya bisa mencoba untuk menenangkan hati sang ibu, padahal dia sendiri sebenarnya tidak yakin jika bisa meluluhkan hati Rara tentang masalah Bella ini.Sarah tahu jika Rara adalah seorang pemaaf dan itu sudah berkali kali terbukti. Tetapi untuk masalah dengan Bella, Sarah malah seakan masih meragukan hal itu. Mengingat begitu sayangnya Rara pada Bella. Dan juga mengingat begitu menyakitkan perkataan mereka yang sering kali menghina gadis kecil itu."Hey anak setan cepat bangun. Tidur aja kerjaan kamu!" Pernah suatu hari ketika Bella yang baru berumur tiga tahun itu tertidur di lantai di depan TV, dengan begitu enteng Sarah berucap sambil menendang tubuh mungil itu.Sontak saja apa yang dilakukan oleh Sarah itu langsung membuat kage
Bab 177"Jika ibu berada di posisi Rara, apa ibu bisa memaafkan segala perbuatan buruk yang pernah kita lakukan itu?" Beberapa saat saling diam dan berkutat dengan pikirannya masing-masing akhirnya Sarah pun kembali berucap. Bahkan meski hanya dalam khayalan saja dan telah berlalu, tetapi ada rasa malu ketika bertindak tak seperti manusia itu.Mendengar pertanyaan dari putrinya itu, Bu Endang tak segera memberikan jawaban. Tetapi terlebih dahulu berpikir sembari menghapus lelehan air mata di pipi. "Ibu tak akan pernah membiarkan satu orang pun menyakiti atau pun sampai menghina anak anak ibu." Sorot mata Bu Endang terlihat penuh api kemarahan."Nah, berarti itu pula yang mungkin dirasakan oleh Rara, Bu." Sarah kembali seperti mengingatkan.Meski Bu Endang begitu jahat pada orang lain, tetapi dia juga begitu sayang pada kedua anaknya, bahkan meski ketika Nizam dan Sarah melakukan kesalahaan, dia tetap tak bisa menerima anak anaknya itu disakiti.Bu Endang mengendus kasar, hatinya mera
"Zam, doakan ya. Mbak hari Sabtu besok mau lamaran." Sarah tak bisa menahan untuk menyebarkan berita bahagia ini pada sang adik.Nizam mengerutkan keningnya sembari kembali membungkus sisa makannya yang hanya tinggal lauk saja. Sedangkan nasinya sudah habis tak bersisa."Eh mau nikah ni ya? Sama siapa?" Nizam nampak tersenyum juga. "Kenapa nggak dikenalin sama aku Mbak?" Perut kenyang membuat hati Nizam menjadi lebih bahagia. "Apa kamu malu punya adik seorang napi?" tebak Nizam sambil tersenyum.Memang berada di lembaga pemasyarakatan seperti ini dia juga tentu mendapatkan jatah makanan, tetapi rasanya tentu sanga jauh lebih enak. Apa lagi jika itu hasil buatan tangan orang orang yang tersayang. Sebuah kebahagiaan tersendiri ketika seorang nara pidana yang dikunjungi keluarganya. Bukan hanya karena bisa melepaskan rindu, tetapi buah tangan dari dunia luar juga begitu mereka harapkan."Dia hanya teman satu kantor ku saja kok, Zam. Nggak ada yang spesial dari dia. Nanti setelah lamara
"Jika saja aku tak gampang goyah, tentu saat ini aku masih bahagia bersama Rara dan juga Bella. Kami pasti masih jadi keluarga yang bahagia tanpa campur tangan orang luar."Hati Bu Endang mencelos mendengar curahan hati sang anak. Rasa bersalah yang ada dalam hatinya semakin besar saja. 'Ya Tuhan, ampuni semua kesalahanku. Aku memang yang membuat Rara dan Nizam berpisah. Berikanlah lagi kebahagiaan untuk putraku."Sarah juga tak luput dari rasa bersalah. "Sudahlah, Zam. Semua Jan sudah terjadi. Kami memang salah dan sangat menyesal dengan semua itu," ucap yang merasa tak enak."Ibu juga minta maaf Zam. Andai saja waktu ini bisa diputar, tentu ibu ingin memperbaiki semua kesalahan. Ibu akan memperlakukan Rara seperti seharusnya. Sungguh ibu sangat menyesal," timpal Bu Endang.Beribu kali kata maaf dan penyesalan itu terucap, tetapi tentu saja itu akan bisa merubah keadaan.Nizam kembali tersenyum kecut. "Nizam mengerti Bu, Mbak Sarah. Semua sudah terlanjur dan terlambat." Nizam ternya
"Kami berangkat dulu, Tante." Stella pun menyalami ibunda Raja, Sinta. "Iya," jawab Sinta dengan wajah yang datar. Sejak tadi, saat Stella datang ke rumah Raja, untuk menjemput pria itu datang ke sebuah pesta, wanita paruh baya itu memang lebih memilih untuk irit bicara. Lebih fokus pada bayi Thea saja yang sejak tadi memang terus berada dalam gendongannyaStella merasa tak enak juga sebenarnya, tetapi seperti biasa dia mencoba untuk tetap tersenyum ramah. 'Sudah resiko Stella. Jangan baper!' Stella terus mencoba mengingatkan dirinya sendiri."Kami berangkat dulu." Kali ini ganti Raja yang berpamitan sambil mencubit gemas pipi Thea."Hati hati ya, Kak!" Jeny menimpali dengan senyuman yang terus saja menghiasi wajahnya.Raja dan Stella pun segera berangkat menaiki mobil Stella. Sengaja memang tadi Stella yang menjemput. Bukan karena Raja ngalem atau ingin menimbulkan kesan yang romantis, tetapi karena mobil yang Stella gunakan itu baru. Dibeli menggunakan hasil dari penjualan produk d
"Sini Ma, Thea aku gendong," ucap Jeny saat keduanya telah kembali masuk ke dalam rumah, saat mobil yang dikendarai oleh Raja dan Stella sudah hilang dari pandangan dan keluar dari pekarangan rumah besar itu."Biarin saja sama mama. Dia barusan tidur, nanti kebangun kasihan," jawab Sinta yang memang begitu menyayangi cucu pertamanya itu.Bahkan saking sayangnya, Sinta yang seorang wanita karir itu sampai rela mengorbankan waktunya demi bersama dengan sang cucu. Dulu, dia akan menghabiskan waktu dari pagi hingga malam untuk mengurus bisnis butiknya. Tetapi sekarang, hanya jika perlu saja dia akan mendatangi kantor pusat saja."Aku panggilkan mbak pengasuhnya saja ya Ma, biar ditaruh di kamar?" Jeny kembali menawarkan opsi pada sang ibu."Nggak usah Jeny. Nanti saja biar mama yang bawa Thea ke kamar," tolak Sinta sambil tersenyum.Theana Frederica Sanjaya, nama itulah yang dipilih Jeny untuk bayi mungilnya yang cantik itu. Ketika berada di luar negeri, sebenarnya saat hamil tua Jeny me