Anita mulai siuman pasca operasi. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia menguatkan dirinya untuk meredam rasa sakit yang membuatnya sedikit putus asa.
"Intan...kaukah di sana...," Anita menyebut Intan, ia ingin Intan berada di sampingnya untuk mendampingi dirinya.
Intan segera bangkit menghampiri, menggenggam tangan Anita yang mencengkeram tepian tempat tidur mengurangi rasa sakitnya."Bibi, aku di sini. Aku ada di sampingmu," lirih Intan.
Anita mulai merasakan lebih ringan dan berkurang rasa sakitnya, sehingga ia membuka matanya dan melihat kesekelilingnya.
"Apakah operasi berjalan lancar?" tanya Anita pada Intan.
"Benar bibi, semua berjalan lancar. Bibi Anita pasti akan sehat seperti sediakala."
Indra mendekati Anita dan Intan. Ia yang paling cemas semenjak operasi berlangsung.
"Ibu, aku Indra, apa ibu baik-baik saja sekarang?" Indra sedikit sedih karena justru Intan yang ibunya ingat pertama kali."Indra, kau putrak
Melissa memeriksa jahitan di perut Anita dengan telaten. Bahkan Indra tak berkedip melihat bagaimana Mellisa membersihkan bekas jahitan tersebut, lalu Mellisa mengganti pakaian Anita dan juga merapikan tempat tidurnya.Sebenarnya,"Kau sangat terampil melakukan perawatan buat pasien," Indra berkomentar."Ini sudah tugasku hampir setiap hari, membersihkan luka dan juga pasien, aku sudah terbiasa," jawab Mellisa."By the way, terima kasih ya sudah banyak membantu ibuku menjalani perawatan ini," ujarnya.Mellisa menautkan alisnya. "Ibumu? Tapi, bukankah ibumu adalah bu Darmawan?" Melissa terkejut, karena ia tak menyangka kalau pasien tersebut adalah ibunya.Anita yang mendengar itu menjadi terharu dan berbunga -bunga. Ia sangat senang bahwa kenyataannya sekarang dirinya adalah seorang ibu."Ehmm, maaf saya nggak tahu, Bu." Mellisa meminta maaf pada Anita."Tak mengapa, itu cuma kesalahan fahaman kecil. Aku malah senang karena te
"Baiklah, ayah akan menemui Anita dan mengucapkan selamat karena sudah melewati masa kritis ini."Pria itu menghela napas berat, ia sedikit trauma kalau-kalau Anita tidak menerima kembali dirinya. Ia akan menemui untuk melamarnya, demi Indra.Selain itu ia akan menebus kesalahannya yang lalu. Ia tak yakin apakah dalam hal ini Anita akan menerimanya.Setidaknya setiap masalah seperti benang kusut, kini mulai terurai satu persatu. Masalah Anita, masalah putrinya, masalah Indra putranya mulai terselesaikan dengan baik. Abraham merasa lega karenanya.*Melissa termenung di sebuah kafe di dekat rumah sakit. Ia sedang memikirkan perjodohan yang ayahnya dan teman ayahnya lakukan untuknya. Perjodohan itu sangat membuatnya kesal bukan main.Bagaimanapun ia tak bisa menerima pria itu menjadi suaminya. Ia baru menyadari keberadaan dirinya di rumah sakit besar ini adalah bantuan dari teman ayahnya itu. Dokter Andi adalah dokter tampan dan ba
"Menikah?" Anita terkejut, ia tak menyangka Abraham berniat menikahinya. Bahkan mereka sudah sama-sama tua dan memiliki hidup yang berbeda.Yang sebenarnya lagi sudah ada perasaan tidak menyukai pria tersebut, mengingat bagaimana masa lalu itu membuat hatinya semakin terluka."Ya, aku berharap kita bisa menikah setelah kondisimu membaik, sebab sepertinya aku harus menebus kesalahanku di masa lalu," katanya dengan rasa yang campur aduk. Y, dirinya memang sudah tak seperti dulu yang sangat percaya diri terhadap wanita."Apakah kau harus menebus kesalahan? Masalah itu sudah berlalu dan aku tidak ingin memikirkannya lagi," wajah Anita menunjukkan rasa marah yang belum hilang. Salah satu sifat wanita ini terkadang membuat pria bertanya-tanya apakah ucapannya itu benar-benar kejujuran?Abraham menatapnya lama dan memicingkan matanya."Kau...masih marah kepadaku?""Sudahlah, jangan bahas ini lagi. Setelah aku sehat mungkin aku akan kembali ke Surabaya
Memikirkan Abraham, hati Anita mencelos. Ada rasa marah yang belum tuntas di hatinya. Pria itu memang pria yang sangat membuatnya tergila-gila. Bahkan bisa dibilang Anita sangat terobsesi dengannya.Akan tetapi, penyesalan itu mulai datang saat Abraham mengecewakannya dengan menceraikannya secara sepihak. Ia mulai berubah haluan dari sangat mencintai menjadi sangat membenci. Pada fase ini, Anita belum bisa menerima Abraham.Sesuatu yang membuatnya terjebak dalam kebimbangan selanjutnya adalah bahwa kini usianya sudah kian menua, dan ia tak memiliki apapun untuk bertahan hidup kecuali meminta pada Abraham atau kembali kepada keluarganya dalam keadaan terhina.Sedang asyik Anita berpikir, Intan menghampirinya."Bibi, aku sangat senang bibi segera kembali pulang. Setidaknya Bastian tak kesepian lagi karena ada bibi di rumah ini," katanya sambil memberikan Anita ramuan herbal untuk memulihkan kesehatan Anita.Anita melihat putri Abraham yang selalu mengh
"Lupakan bocah ingusan itu. Kau tahu ayah sudah tak mampu lagi untuk bekerja, bagaimana mungkin membiayaimu kuliah?" Ayah Mellisa melihat Melissa ketika turun dari motor Indra. "Kau harus segera menikah dengan pria yang matang dan mapan dalam pekerjaan," ujarnya lagi.Mellisa menitikkan air matanya, ia tak tahu apa yang harus ia katakan kalau ayahnya sedang marah seperti ini."Ayah, ayah tahu kalau aku tidak butuh biaya kuliah dari ayah. Jadi ayah, itu bukan alasan," Isak Mellisa dan segera berlari menuju kamarnya."Melissa, kau harus hidup baik dan tidak seperti ayah yang tak bisa membiayai anaknya untuk sekolah, padahal ayah cuma memiliki satu orang anak saja," gumam ayahnya.Sementara Melissa sangat terpukul dengan keputusan ayahnya. Untuk itu ia ingin menangis sekuatnya, tapi bukankah itu tak menyelesaikan masalah? Ia mulai merenungi ucapan ayahnya.Setelah makan malam, Melissa menemui ayahnya."Ayah, aku sudah berbicara dengan Yusac, bahw
"Ampuuun! Ampuuun!" Indra memekik saat tangan Intan berhasil menggapai sisi pinggang Indra dan menggelitiknya.Bastian terlonjak kegirangan melihat Mommynya berhasil memperdaya Indra."Rasakan! Rasakan!" teriak Bastian yang melihat Indra berguling-guling di sofa karena kegelian."Lepaskan! Lepaskan kakak!" pekiknya lagi."Tidak bisa, kau harus meminta maaf dulu baru aku akan melepaskannya dari pinggangmu.""Ha ha ha... Teruskan Mommy, biar Om Indra minta ampun!" teriak Bastian menyemangati."Ayolah, aku bisa mati karena tertawa. Ayah! Tolong Ayah!" Indra kehabisan cara dan terpaksa memanggil ayahnya."Intan, hentikan. Lihatlah mukanya sudah merah mau menangis," kata Abraham melerai. "Kalian bahkan seperti anak kecil," ujar Ayahnya lagi meskipun sambil tersenyum."Sudah kubilang, dia hanya cukup minta maaf.""Oke! Aku minta maaf..., hah hah," Indra tersengal kehabisan napas setelah tangan Intan terlepas dari pinggangnya. Ai
Intan menatap wajah Baskoro yang tertunduk lesu. Ia hanya bisa tersenyum sendiri melihat pria itu sangat kesal menghadapi ayahnya yang selalu berbelit-belit."Bas, mau denger cerita nggak?""Cerita apa?""Tentang putri tidur dan sang pangeran, atau putri salju ya?""Nggak ah, kekanakan banget," ujarnya makin kesal. "Emang siapa sih yang nggak tahu cerita begitu?""Masalahnya, kau merajuk seperti anak-anak. Emang kita bisa apa kalau ayah sudah memutuskan seperti itu, hmm?""Oh, setelah lima tahun memisahkan kita, apa itu masih belum cukup?"Kalau sudah begini, rasanya Intan tak bisa berkata-kata. Baskoro merasa sangat dirugikan karena harus dipisahkan selama bertahun-tahun lamanya."Jadi, kita harus bagaimana?" kata Intan dengan suara lemah. "Ayahku ibarat gerbang tinggi yang tak bisa sembarangan dibuka, kita harus tahu posisi kita. Bagaimanapun dia adalah ayahku yang tak mungkin aku memaksa selagi itu punya alasan yang masuk akal.""J
"Jadi maksudmu, teman wanita ini bisa bekerja sebagai asisten rumah tangga atau bagaimana?"Indra menenangkan dirinya. Sebenarnya, Mellisa bukankah tak asing lagi di mata Intan karena mereka pasti sering bertemu di rumah sakit saat perawatan ibunya."Sebenarnya kak Intan sudah cukup mengenal temanku ini. Dia adalah perawat yang pernah merawat ibu di rumah sakit.""Mellisa?" Intan langsung saja menebak siapa hadir itu. Ia sangat ingat dan terkesan dengan seorang gadis yang sangat perhatian ketika merawat ibu Indra di rumah sakit. Ia dan Mellisa sering mengobrol di waktu senggang."He he kakak masih ingat dengan Mellisa.""Baiklah, aku setuju. Oke, sekarang kita pulang saja. Besok bawa Mellisa datang ke rumah. oke?"Indra tersenyum dan mengangguk setuju. Kemudian mereka putar arah untuk kembali ke rumah.Sementara itu Mellisa sedang berhadapan dengan ayahnya dengan terisak-isak."Apa yang kau harapkan dari bocah ingusan itu? Apa dia akan mampu meni