"Ampuuun! Ampuuun!" Indra memekik saat tangan Intan berhasil menggapai sisi pinggang Indra dan menggelitiknya.
Bastian terlonjak kegirangan melihat Mommynya berhasil memperdaya Indra."Rasakan! Rasakan!" teriak Bastian yang melihat Indra berguling-guling di sofa karena kegelian.
"Lepaskan! Lepaskan kakak!" pekiknya lagi.
"Tidak bisa, kau harus meminta maaf dulu baru aku akan melepaskannya dari pinggangmu."
"Ha ha ha... Teruskan Mommy, biar Om Indra minta ampun!" teriak Bastian menyemangati.
"Ayolah, aku bisa mati karena tertawa. Ayah! Tolong Ayah!" Indra kehabisan cara dan terpaksa memanggil ayahnya.
"Intan, hentikan. Lihatlah mukanya sudah merah mau menangis," kata Abraham melerai. "Kalian bahkan seperti anak kecil," ujar Ayahnya lagi meskipun sambil tersenyum.
"Sudah kubilang, dia hanya cukup minta maaf."
"Oke! Aku minta maaf..., hah hah," Indra tersengal kehabisan napas setelah tangan Intan terlepas dari pinggangnya. Ai
Intan menatap wajah Baskoro yang tertunduk lesu. Ia hanya bisa tersenyum sendiri melihat pria itu sangat kesal menghadapi ayahnya yang selalu berbelit-belit."Bas, mau denger cerita nggak?""Cerita apa?""Tentang putri tidur dan sang pangeran, atau putri salju ya?""Nggak ah, kekanakan banget," ujarnya makin kesal. "Emang siapa sih yang nggak tahu cerita begitu?""Masalahnya, kau merajuk seperti anak-anak. Emang kita bisa apa kalau ayah sudah memutuskan seperti itu, hmm?""Oh, setelah lima tahun memisahkan kita, apa itu masih belum cukup?"Kalau sudah begini, rasanya Intan tak bisa berkata-kata. Baskoro merasa sangat dirugikan karena harus dipisahkan selama bertahun-tahun lamanya."Jadi, kita harus bagaimana?" kata Intan dengan suara lemah. "Ayahku ibarat gerbang tinggi yang tak bisa sembarangan dibuka, kita harus tahu posisi kita. Bagaimanapun dia adalah ayahku yang tak mungkin aku memaksa selagi itu punya alasan yang masuk akal.""J
"Jadi maksudmu, teman wanita ini bisa bekerja sebagai asisten rumah tangga atau bagaimana?"Indra menenangkan dirinya. Sebenarnya, Mellisa bukankah tak asing lagi di mata Intan karena mereka pasti sering bertemu di rumah sakit saat perawatan ibunya."Sebenarnya kak Intan sudah cukup mengenal temanku ini. Dia adalah perawat yang pernah merawat ibu di rumah sakit.""Mellisa?" Intan langsung saja menebak siapa hadir itu. Ia sangat ingat dan terkesan dengan seorang gadis yang sangat perhatian ketika merawat ibu Indra di rumah sakit. Ia dan Mellisa sering mengobrol di waktu senggang."He he kakak masih ingat dengan Mellisa.""Baiklah, aku setuju. Oke, sekarang kita pulang saja. Besok bawa Mellisa datang ke rumah. oke?"Indra tersenyum dan mengangguk setuju. Kemudian mereka putar arah untuk kembali ke rumah.Sementara itu Mellisa sedang berhadapan dengan ayahnya dengan terisak-isak."Apa yang kau harapkan dari bocah ingusan itu? Apa dia akan mampu meni
"Aku sungguh tak mengerti dengan maksudmu, Mellisa. Tiba tiba saja kau beralasan aku tak bisa menikahimu karena aku hanyalah anak sekolah yang baru mau lulus? Bahkan kau juga baru anak magang sekolah perawat, kau pikir berapa usiamu?"Mereka memang baru berusia tak lebih dari sembilan belas tahun, Indra tahu itu. Akan tetapi mengapa tiba-tiba Mellisa berbicara soal pernikahan sedangkan baru kemarin Mellisa bersemangat untuk melanjutkan kuliah."Aku perempuan, berbeda denganmu yang harus menunggu usia matang untuk menikah. Apa aku salah?""Jangan berbelit belit, Mellisa. Apa sebenarnya yang akan kau katakan padaku? Apakah karena dokter itu?"Indra sedikit emosi.Mellisa tak bisa menahan diri lagi untuk tidak menangis. Ia sungguh tak menginginkan keadaan ini, akan tetapi ayahnya sangat membutuhkan bantuannya untuk dimengerti di sisa usianya. Akan tetapi ia tak sanggup mengatakan hal itu kepada Indra, orang yang selalu dicintainya."Kita
Mellisa benar benar tak habis pikir. Begitu mudahkah pernikahan bagi Indra?"Hentikan, aku akan bekerja kalau memang itu dibutuhkan, akan tetapi masalah pernikahan sepertinya kita sama sama butuh waktu, benar bukan?" Indra menatap Mellisa dengan tersenyum, sepertinya Mellisa memang sungguh belum bisa memutuskan. Lalu ia pun memeluk Mellisa dengan rasa sayang dan memaklumi masalah yang kian rumit tersebut.Mereka akhirnya hanya mengobrol untuk menghilangkan rasa penat dengan masalah yang sedang mereka hadapi saat ini.*Seperti biasa, Intan mulai bekerja dan kembali di perusahaan ayahnya. Sebenarnya ia lebih suka berada di rumah dan menikmati hari-hari bersama Bastian buah hatinya. Akan tetapi keadaan menuntut untuk terjun langsung dalam mengelola usaha tersebut."Serahkan saja perusahaan kerjasama itu sepenuhnya kepada Bobby, kau bisa mengelola perusahaan ayah dengan leluasa kemudian aku bisa duduk santai di rumah bersama Bastian," ujarny
"Menikah?"Indra menatap Intan ragu, lalu mengangguk pelan."Kenapa? Kenapa harus menikah secepatnya? Apa kau menghamili anak orang, Indra? Apa kau ketangkep hansip? Ah, kau masih sembilan belas tahun bukan? Tak kubayangkan kau akan jadi pengantin kecil, astaga..," ujarnya sembari menggelengkan kepalanya tak percaya dengan ucapan adik lelakinya sekarang ini."Bukan Kak? Aku tak pernah ngapa ngapain kok, kenapa kak Intan berpikir seperti itu?""Nah, bagaimana tidak? Lulus sekolah dan langsung mau menikah. Apa menurutmu menikah itu gampang dan menyenangkan? Kak Intan bahkan merasa menikah itu menjadi trauma yang belum sembuh," katanya berapi api."Kak, jangan marah dulu dong, aku kan baru tanya aja...," ujarnya pelan."Aku tidak sedang marah, Indra.., hanya membayangkan kau menjadi ayah di usia sangat muda.""Apa salahnya? Aku juga bisa kok jadi Ayah karena itu akan terjadi secara otomatis.""Iya, kau memang bisa buat anak, tapi membina rumah tangg
Intan tak merespon saat melihat Indra terlihat kecewa dengan jawaban Intan yang tak memuaskan. Tadinya ia mengira Intan akan mendukung keputusannya sehingga dengan begitu ia punya dukungan di hadapan ayah angkatnya dan juga ayah kandungnya. Akan tetapi ternyata tak semudah itu. Ia sedikit kesal, tapi Intan menginginkan ia berpikir lebih banyak hal lagi.Dengan wajah cemberut, ia mulai bangkit dan hendak meninggalkan tempat tersebut."Indra, pikirkan kembali dan bicarakan dengan Mellisa. Dan juga, bawalah Mellisa untuk menjadi asisten ibumu ketika kau berada di Thailand nanti. Hari hari kompetisi sudah dekat, kau harus berkonsentrasi atas pertandingan tersebut karena itu adalah tanggung jawabmu saat ini."Indra menoleh sebentar dan mengangguk lemah. Mau tak mau ia harus meminta izin Intan karena kakak perempuannya ini lebih bisa memahami keadaan.Sian itu juga Indra membawa Mellisa menemui Intan yang masih di kantornya."Apakah ini perusahaan kakakmu?" Mellis
Mellisa tentu saja merasa berdebar dengan pertanyaan Intan yang penuh selidik. Setidaknya pertanyaan yang cukup mengerikan itu menyadarkan dirinya bahwa masalah ini tidak sekedar main main. Seakan dalam mimpi karena tiba-tiba saja ia harus dihadapkan pada masalah pernikahan."Kak, itu mustahil ...," Indra membela Mellisa."Diamlah Indra, Mellisa tidak bisu dan tuli untuk menjawab pertanyaan ini. Sebab, aku tak mau kalau sampai pernikahan ini dilandasi keterpaksaan, kemudian juga aku ingin melihat moral seorang adik lelakiku ini," terang Intan dengan tegas."Tapi,. tentu saja tidak pernah terjadi hal seburuk itu Kak," kata Indra kesal karena Intan menuduhnya melakukan hal hal tak senonoh."Hmm, aku sedang bertanya pada Mellisa, bukan padamu, jadi bisakah kau diam saja?"Lagi lagi Intan membuat Indra kelabakan. Ia tak menyukai tuduhan Intan yang melukai harga dirinya.Sementara itu Mellisa yang gugup berusaha menjawab dengan tenang."Kami tidak pernah
Indra masih memikirkan ucapan Mellisa perihal mau atau tidak keluarganya mendatangi ayah Mellisa dan memberikan argumentasi tentang hubungan mereka.Ia teringat dengan kedua orang tua angkatnya yang selalu berpesan untuk tidak mudah jatuh cinta dan menikah muda. Mereka ingin Indra sukses dan berprestasi selagi ada kesempatan. Tentu saja ia akan menemui jalan buntu jika harus bercerita kepada mereka.Lalu ia teringat dengan ayah kandungnya yang terlihat keras dan tegas. Ayahnya menuntut untuknya menjadi orang yang penuh tanggung jawab dalam hal prestasi dan kemampuan diri. Ia juga tak mungkin bercerita tentang masalah tersebut dan berujung ditolak mentah-mentah. Ia bisa melihat Intan yang pasti atas gemblengan Abraham, bahkan sampai sekarang mereka masih belum bisa menikah hanya karena ayahnya itu."Hufft, kenapa sulit sekali menjadi orang yang bisa menjadi mandiri? Apa salahnya dengan menikah muda?" ocehnya. Berkali kali ia memikirkan, hatinya tetap tak bisa menerima keputusan ayah Me