'Siapa dia?'
Mata bengkak Ela melirik sekilas ke arah pria bertopeng yang rupanya tengah duduk di kursi roda. Wajah pria bertopeng dengan setelan jas mewah itu pun nampak lesu, seolah ikut merasa berduka akan kepergian putrinya.'Apakah dia cacat? Lantas, siapakah dia? Sepertinya bukan salah satu warga desa.' Hati Ela bertanya-tanya.Saat Ela tengah fokus mengenali siapa pria misterius yang juga melayat jenazah Meli, ucapan Pak RT membuat Ela memalingkan muka. "Mbak Ela, ini sudah sangat larut. Mungkin jenazah Meli sebaiknya diinapkan dulu. Baru besok dimakamkan."Ela sontak menggeleng dengan wajah sedihnya. "Pak RT, saya mohon, tolong makamkan Meli sesegera mungkin," pintanya memelas. "Saya tidak ingin Meli menderita lagi ...."Isak tangis pada akhir kalimat membuat seluruh pelayat ikut menitikkan air mata. Mereka sangat mengetahui kondisi keluarga Ela yang sangat kekurangan. Bahkan untuk sekedar makan pun mereka sering tidak mampu."Baiklah, kita makamkan Meli malam ini." Dengan helaan nafas panjang, bapak ketua RT sekaligus sebagai ustadz di desa itu memimpin acara pemakaman.Jenazah Meli telah selesai dikafani dan siap untuk diangkut ke musala terdekat untuk disalati. Di saat para tetangga pria bersiap untuk melangsungkan sholat jenazah, Pram dengan tidak pedulinya malah merebahkan diri di alas kardus berlapiskan tikar."Ya Allah, Pram ...! Anakmu ini sedang berpulang, tidak adakah sedikit simpati yang ingin kamu tunjukkan?!" tegur bapak ketua RT dengan menghela napas berat. Kepalanya menggeleng pelan seolah menyayangkan perilaku tidak pantas tersebut.Namun, Pram hanya terdiam tak bergeming. Ia bersikap seolah telinganya tuli."Sudah, Pak RT, biarkan saja. Tidak perlu menghiraukan Ayah yang tidak punya hati seperti itu," timpal salah satu tetangga Ela.Seluruh mata yang berlalu-lalang nampak menatap heran ke arah Pram yang benar-benar seperti tidak memiliki hati.Setelah sholat jenazah telah selesai ditunaikan, akhirnya jenazah Meli siap untuk dikebumikan. Keranda dengan penutup kain berwarna hijau itu dibopong menyusuri jalan setapak yang cukup jauh dari pemukiman penduduk. Lantunan merdu kalimat tahlil terucap bersamaan dengan langkah kaki yang beriringan.Ela yang tak kuasa menahan tangis, dituntun beberapa tetangga yang merasa iba padanya. Tubuhnya yang terasa lunglai tak berdaya ia paksa berjalan mengiringi peristirahatan terakhir sang putri kecilnya.Kini, tubuh tak bernyawa Meli telah tertutup tanah secara sempurna. Gerimis yang turun, serta gelap malam yang semakin intens perlahan membuat seluruh pelayat berhamburan meninggalkan makam. Meninggalkan Ela yang masih betah berlama-lama memandang sang anak."Sudah, La. Jangan ditangisi terus, tidak baik. Meli juga tidak akan mau melihatmu seperti ini," ucap salah satu tetangga yang merasa iba, berusaha menenangkan Ela.Ibu paruh baya itu nampak ikut berjongkok di depan makam dengan mengelus pundak Ela. Namun Ela masih terhanyut dalam kesedihan.Tangannya tak berhenti menabur bunga dan mengelus gundukan tanah merah di depannya. "Biarkan saya di sini dulu, saya ingin menenangkan diri," ucapnya parau. Suaranya terdengar serak sebab kehabisan tenaga.Mendengar ucapan Ela, tetangga tersebut mencoba mengerti. "Baiklah, tapi jangan terlalu larut dalam kesedihanmu. Cepatlah pulang, hari sudah semakin larut."Ela masih tidak berkutik saat pelayat wanita tadi pergi dari makam anaknya. Tidak, ia tidak sendiri. Sebab, masih ada dua pria--pria bertopeng yang duduk di kursi roda, juga pria yang mendorong tuannya itu di sini."Pulanglah, Gabriela. Anakmu tak akan suka melihatmu menangis seperti ini di atas makamnya."Ucapan tersebut kembali menghenyak sanubari Ela. Gabriela? Nama itu disebut lagi.Sebenarnya siapa Gabriela? Kenapa nama itu begitu membekas dalam hatinya, tetapi tak sanggup muncul dalam ingatan.Ela tertegun tanpa suara. Saat kepalanya menndongak untuk melihat kembali pria bertopeng tersebut, ia sudah tak mendapati siapa pun di sana. Dua pria itu telah pergi meninggalkan makam di bawah lindungan payung berwarna gelap.Kini Ela kembali bertanya-tanya di antara kepedihan hatinya. "Sebenarnya, siapa pria itu?Terlalu larut dalam kesedihan membuat matanya terasa berat. Pandangan matanya mulai menghitam seiring hilangnya kesadaran."Gabriela Larasati, Putriku. Pulanglah, Nak!" Samar-samar terdengar suara seorang pria dan wanita yang terlihat melambaikan tangan dari kejauhan.Namun wajah keduanya tak nampak jelas, sebab cahaya yang menerangi punggung mereka terlalu terang. Selanjutnya, tanpa bisa dicegah, Ela menangis histeris seolah anak yang ditinggal kedua orang tuanya.Tangis yang begitu histeris itu akhirnya membuat Ela terbangun karena rasa sesak yang menghimpit, "Hah ... hah." Napas Ela memburu, ia masih memikirkan apa yang baru saja ia alami tadi? "Apakah itu mimpi?"Wanita dengan balutan gamis lusuh itu kembali mendudukkan diri. Bayangan kedua orang yang melambai itu terus berputar dalam ingatannya. 'Mungkinkah itu orang tuaku?' tanya Ela dalam hati.Namun, hingga pagi menjelang ... Ela yang masih bersedih itu tak kunjung mendapatkan jawaban pasti. Ingatannya soal masa lalu benar-benar kabur.Sudah puas menangis, Ela menatap lagi gundukan tanah di mana Meli terbaring. Beberapa penggal ingatan saat putri kecilnya meregang nyawa terus berulang dalam kepalanya."Meli, jika Mama bisa mengulang waktu... Mama tidak akan pernah menikah dengan Ayahmu." Ela benar-benar menyesal. Andai ia mendapatkan sedikit keberanian, mungkin nyawa Meli masih bisa diselamatkan.Namun, nasi sudah menjadi bubur. Meli yang berpulang, mungkin saja jadi petunjuk atas jawaban yang selama ini ia minta.Ela meyakini, anaknya kini sudah tak sakit lagi. Justru Meli akan lebih menderita jika putri kecilnya itu masih hidup dan memiliki ayah seperti Pram."Meli, Mama pulang ya, Nak. Kamu sekarang sudah tidak sakit lagi," pamitnya lirih dengan bersusah payah bangkit dari sana.Kakinya yang tanpa alas ia paksa menyusuri jalanan desa yang becek dan berlumpur. Sembari menenteng sandal jepit hasil pinjaman salah satu tetangga, Ela terus berjalan hingga sampai di rumah reotnya.Setibanya di sana, betapa terkejutnya Ela mendapati rumahnya yang nyaris roboh ini dipenuhi sampah. Bekas robekan amplop yang diberikan para tetangga saat melayat berhamburan di seluruh penjuru rumah.Ela menduga ada pencuri di rumahnya. Tubuhnya yang lemas semakin tak bertenaga membayangkan uang duka yang ia rencanakan akan dibuat modal berdagang itu raib tak bersisa.Wanita itu tak menaruh curiga pada Pram, sampai kemudian terdengar suara sang suami yang begitu lantang."Yes! Menang lagi!"Dihampirinya sumber suara itu. Terlihat, Pram yang masih sibuk dengan gawai di tangannya sejak semalam putrinya dimakamkan."Astaghfirullah, Mas ..., Apa kamu tidak malu dengan tetangga? Kenapa kelakuanmu semakin hari semakin parah?!" Ela memberanikan diri merebut paksa gawai jadul dari tangan suaminya. Namun, tunggu dulu. Ini bukan ponsel semalam. Ela menatap ponsel android keluaran terbaru dengan penuh kebingungan. "Ini milikmu?" tanya Ela memastikan. Tangannya mengulurkan ponsel bagus itu di depan wajah Pram."Iya, bagus kan?" jawabannya singkat dengan penuh percaya diri."Dapat uang dari mana?""Dari hasil jual beras dan amplop para pelayat," jawabnya santai dengan kedua alis terangkat.Rahang Ela seketika mengeras. Ternyata, selain tidak punya hati dan etika, Pram juga merupakan pria yang tidak tahu malu."Kamu belikan semua uang itu untuk HP ini?""Tidak. Sisanya aku mainkan untuk judi slot," jawabnya santai, tak terpengaruh tekanan Ela. Pram melipat kakinya dengan sedikit menelengkan kepala.Hal itu membuat Ela semakin muak. Ia yang berdiri tegak menatap Pram dengan wajah dingin.Detik berikutnya, ia dengan sengaja merebut ponsel tersebut dan menjatuhkannya ke lantai rumah mereka yang beralaskan tanah becek.Pandangan Pram seketika terbelalak sempurna. Ia tak pernah percaya dengan sikap Ela yang tiba-tiba berubah.Dengan kaki berlumuran lumpur, Ela menapakkan kakinya di atas ponsel pintar itu. Wanita itu kemudian menginjaknya kuat-kuat untuk melampiaskan amarah yang begitu membara dalam hati.Pram seketika bangkit dan mendorong kuat tubuh kurus milik istrinya hingga Ela jatuh tersungkur dengan gamis putih yang belepotan tanah."Apa yang sedang kamu lakukan?! Dasar Jalang!" hardiknya. Kedua tangannya memungut ponsel yang layarnya telah remuk. "Lihat ini! Kamu merusaknya!" lanjutnya dengan nada kian meningkat.Ela kehilangan ekspresinya saat ini. Wajahnya berubah datar dan tatapannya menghunus tajam ke arah Pram. "Aku hanya merusak HPmu, sementara kamu membunuh anakku. Apakah itu setimpal? Sepertinya tidak!""Membunuh Anakmu? Cih! Sepertinya kamu sendiri yang telah membunuh Meli." Pram menyeringai kecil."Aku?" Ela mencibir. "Aku seharian penuh hampir tak pernah duduk sekedar mengistirahatkan diri untuk banting tulang mencari uang. Sedangkan kamu?" Ia menuding sang suami dengan jari telunjuknya.Pram diam bergeming. Tak ada alasan baginya untuk menjawab.Ela sejatinya adalah seorang wanita yang penurut. Tak pernah sekalipun membantah, atau menaikkan nada suaranya.Namun kali ini, wanita penyabar itu telah kehabisan stok kesabarannya. Hingga kemudian satu kalimat terucap mantap dari bibirnya, "Mari bercerai, Mas!""Kamu pikir, tanpaku kamu bisa apa?" Usai mendengar permintaan cerai dari Ela, Pram sempat tertegun. Namun, hal itu tak berlangsung lama, sebab setelahnya pria itu justru tertawa lebar tanpa dosa. "Jika bukan karena aku, kamu sudah menjadi bangkai di sungai!"Bangkai? Perlahan, penggalan-penggalan ingatan masa lalu muncul di benak Ela.Beberapa tahun lalu, ia ditemukan oleh Pram terdampar di pinggiran sungai yang letaknya jauh dari pemukiman penduduk. Benturan pada kepala yang cukup parah menyebabkan semua ingatannya hilang.Satu hal yang ia ingat hanyalah nama panggilannya saja, Ela, tak ada yang lain. Karena minimnya akses desa ke fasilitas kesehatan, Ela hanya mendapat perawatan seadanya dari Pram. Perlakuan Pram di mata Ela, juga rasa hutang budi itulah yang akhirnya membuat Ela setuju untuk menikah dengan lelaki tersebut.'Kalau aku boleh memilih, aku lebih baik mati saat itu dibanding bertemu denganmu di sini!' Ela menahan balasan penuh rasa muak itu di dalam hati."Kamu pikir,
"Nona, saya Bibi Gwen. Pengasuh Nona sejak kecil." Wanita paruh baya itu perlahan melangkah maju. Begitu pula Ela. Ketakutan yang tidak berdasar membuatnya perlahan melangkah mundur dengan tatapan waspada. "Apakah selama empat tahun ini Anda melupakan saya?" Kini, mata keriput dengan kantung yang menghitam itu mulai berembun. Ela menangkap ada rasa kekecewaan saat wanita itu menangkap bahwa ia tak kunjung mengingat apa pun mengenainya.'Ada apa ini? Apa yang salah dengan mataku?' Mata Ela pun ikut berembun, sama seperti Bibi Gwen."Nona, saya begitu merindukan Anda. Ke mana saja Anda selama empat tahun ini?" ucapnya dengan suara parau. Bulir bening mulai berjatuhan tanpa henti seiring tubuhnya direngkuh wanita paruh baya itu. "A-aku...."Ela kehilangan kata-katanya. Rasa sesak di dada kembali ia rasakan."Selama empat tahun ini, saya kesulitan untuk tidur. Bahkan Mama Anda mengalami depresi berat, dan sekarang sedang dalam masa pemulihan di rumah sakit jiwa."'Bibi Gwen? Mama?' Ses
"Saya sudah menikah."Kalimat itu membuat Matthew dan bibi Gwen seketika menatap Ela dengan mata membulat. Seolah tak percaya dengan kalimat yang baru didengar mereka melalui telinga."Ka-kamu ... bagaimana mungkin?" lirih Matthew dengan tangan memegangi dada. Rasa nyeri seperti tertusuk ribuan jarum terasa menghujam jantungnya."Tuan, tenangkan diri Anda!" Bibi Gwen yang merasa panik akan kondisi kesehatan sang majikan, sontak memegangi tubuh tambun itu, yang mulai terhuyung ke segala arah."Biar aku saja! Cepat ambilkan air putih untuk, Tuan Matthew." Paman Louise yang merupakan pelayan sekaligus pengawal pribadi Deo pun ikut panik dan segera ikut membantu.Dengan cepat bibi Gwen berlari cepat. Tak menghiraukan raut penuh kecemasan terlihat jelas dari wajah Ela.Tanpa sebab yang pasti. Air mata mulai kembali meluncur dari sudut mata Ela yang mulai sembab. Dadanya terasa begitu sesak, hingga membuatnya kesulitan untuk bernafas, saat melihat sosok pria bertubuh tambun yang diperkiraka
'Aku akhirnya mengingat Deo'"Ela!" teriak seorang pria dengan wajah penuh darah dari arah kursi kemudi mobil yang telah ringsek. Kakinya yang terjepit body mobil tak mampu membuatnya beranjak untuk mengejar Ela yang tengah diseret oleh seseorang pergi menjauh.Terlihat tubuh pria yang diduga Deo itu, telah lunglai tak bertenaga, dengan darah segar yang mengucur dari beberapa bagian tubuhnya, masih mencoba mengulurkan tangannya ke arah Ela yang semakin diseret menjauh.'Deo, benarkah itu kamu?'Tubuh Ela yang tak sepenuhnya kehilangan kesadaran itu menatap seorang pria bertubuh tambun. Sebagian wajahnya tertutupi oleh masker berwarna hitam. Menyeretnya paksa di tengah-tengah hutan yang dikelilingi pepohonan lebat.Meski masih memiliki sedikit kesadaran, namun Ela tak memiliki sedikit pun tenaga untuk melawan.Tubuh lemah Ela terus diseret paksa hingga menyebabkan banyaknya luka gores, yang disebabkan oleh semak belukar yang diterobos pria itu begitu saja.Setelah di rasa telah membawa
"Tahanlah, ini hanya sakit sedikit saja," ucap Daren sebelum menusukkan jarum.Ela yang kini memejamkan matanya erat tanpa sadar mencengkeram kuat lengan Darren hingga memerah.Kerutan di dahi menunjukkan jika Ela saat ini benar-benar menahan ketakutannya."Sudah."Satu kata itu membuat Ela sontak membuka mata. Dan mendapati tangannya yang telah membuat lengan dokter muda itu memerah hingga mengeluarkan sedikit darah."Ma-maafkan saya. Saya benar-benar tidak sengaja melakukannya, Dok."Ela sedikit membungkukkan tubuhnya dalam sekejap untuk menunjukkan rasa bersalahnya. Sorot penuh penyesalan terlihat jelas kala kedua mata Ela dan Darren bertemu.Namun yang terjadi dengan Darren malah ...."Kamu sedang meminta maaf padaku?" tanyanya kebingungan dengan wajah terperangah.Ela pun sontak terdiam membisu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan dokter muda itu? Bukankah wajar jika orang yang melakukan kesalahan akan meminta maaf? Kepala Ela kini kembali dipenuhi tanda tanya.Darren tersenyum le
'Siapa pria itu?!'Ela tak berani menyimpulkan, meski bibir pria tampan tersebut sedikit mirip dengan milik Deo.Namun Ela kembali terbelalak saat telah berhasil menyusun sedikit teka-teki itu. 'Bu-bukankah pria itu adalah pria yang memanggilku di dalam mimpiku hari ini?!'Ela kembali dihantui oleh sesosok pria dengan wajah berlumuran darah yang memanggilnya dari arah kursi kemudi.Bayangan-bayangan itu membuat kepalanya terasa berdenyut nyeri. Ketakutan yang tidak berdasar membuat matanya terasa sedikit memanas. Hingga tanpa sadar mengeluarkan cairan bening dari kedua manik hitamnya."Ela? Apa yang terjadi? Apa kepalamu terasa sakit lagi?" Wajah panik Matthew, sang ayah, tak bisa ditutupi, kala melihat tubuh sang putri duduk meringkuk dengan tatapan waspada.Kedua tangan Ela mengepal kuat, hingga membuat selang infus kini berubah menjadi merah sebab darahnya mulai bercampur dengan cairan.Ketakutan luar biasa tak lagi mampu Matthew sembunyikan dari wajah keriputnya. Membuat pria beru
"Tidak apa-apa, itu hal yang cukup wajar untuk pasangan yang telah lama berpisah akhirnya bertemu," ucap Matthew dengan mengusap air mata haru yang mulai menitik dari kantung mata hitamnya.Dengan wajah tertunduk, Ela memberanikan diri melirik sekilas ke arah Deo yang ternyata tengah menatapnya dengan penuh arti.Namun saat tatapan keduanya tak sengaja saling bertemu, Ela secepatnya memalingkan wajah menahan malu.Wajah datar dengan tatapan dingin dari Deo itu tak bisa Ela artikan. Bibirnya berucap seolah tengah menahan rindu yang mendalam, tapi tatapan matanya tidak mengartikan perasaan yang sama. Apa yang sebenarnya terjadi?"Baiklah, Om Matthew. Sekarang Ela sudah baik-baik saja. Saya mohon izin pamit pulang dulu, jika besok ada waktu luang, saya akan kembali untuk menjenguk Ela," pamit Deo dengan tersenyum sopan.Wajah tampan dari balik topeng itu seketika berubah ekspresi dalam sekejap mata, setelah tatapan dinginnya. Ela menyadari hal itu, namun tak ingin terlalu mengurusi urusa
Namun tetap tak ia dapati sosok apa pun selain dirinya di dalam ruangan itu.Nampaknya, kebingungan dan kesedihan yang begitu menyiksa batinnya, membuat kepalanya memunculkan halusinasi.***Kediaman Deo Kendrick. Pukul dua dini hari.Tubuh atletis pria yang kini tengah berbaring di atas ranjang dengan bertelanjang dada, nampak mengeliat penuh kegelisahan. Matanya yang terpejam menampilkan kerutan pada kedua alisnya yang menyatu. Nampaknya mimpi buruk kembali ia alami saat ini."Gabriela! Pegangan yang erat!" teriaknya di dalam ingatan yang kembali menghantuinya setiap malam.Mobil mewah berwarna merah yang tengah ia kemudikan mendadak hilang kendali. Tanpa tahu apa sebabnya. Menabrak mobil lain yang sedang berada di dalam antrian lampu merah.Rem mobil tak berfungsi sama sekali. Bahkan kecepatannya tak sedikit pun bisa dikurangi. Deo tak tahu mengapa. Padahal dirinya yakin selalu merawat mobil kesayangannya itu dengan telaten setiap bulan.Saat itu mobil yang dikemudikannya berhasil
"Tidak perlu. Berdebat dengan orang bodoh hanya akan menambah orang bodohnya jadi dua," cibir Ela seraya melengos pergi."Setelah operasinya selesai, Laura akan dipindahkan ke ruang rawat inap selama satu minggu. Seluruh administrasi rumah sakit sudah saya tanggung. Setelah ini jangan cari saya dengan alasan apa pun. Saya sudah tak memiliki hubungan dengan kalian," pungkas Deo sebelum menyusul langkah sang istri meninggalkan rumah sakit. Tak ia hiraukan tatapan tak berdaya dari ayah Laura.****Lima bulan kemudian.Setelah putusan sidang mengenai kasus penculikan dan pembunuhan berencana Pram dan Arsenio, yang kini dihukum penjara seumur hidup, Ela dan Deo pada akhirnya bisa hidup dengan tenang.Bahkan Laura pun tak lagi terdengar kabarnya setelah kejadian hari itu."Kenapa sekarang kita tinggal di sini? Apa Darren tidak kesepian tinggal sendiri?" tanya Ela sesaat setelah memasuki kediamannya."Dari pada dia, aku lebih memikirkan kamu. Kalau ada apa-apa pas aku tidak ada di rumah baga
"Tidak! Tunggu, Tuan Deo! Tolong jangan hiraukan ucapan Istri saya. Dia memang terbiasa berkata tanpa berpikir terlebih dahulu. Tolong, jangan tinggalkan Laura dalam keadaan seperti ini." Ayah Laura berlari ke arah Deo dan bersimpuh di kakinya.Belum sempat Deo menimpali, suara derit pintu ruang rawat yang terbuka membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya.Seorang dokter wanita terlihat muncul dari balik pintu yang kembali ditutup rapat. "Apakah ada keluarga Pasien di sini?""Saya Mamanya, Dok!" Ibu Laura gegas berlari menghampiri dokter."Begini, Bu. Dengan berat hati saya sampaikan bahwa, janin yang dikandung Putri Ibu tak dapat diselamatkan. Saya meminta persetujuan keluarga untuk segera melakukan tindakan operasi pengangkatan janin. Karena jika itu sampai telat dilakukan, nyawa Ibunya pun akan terancam," jelas dokter."Lakukan segera, Dok. Lakukan apa pun agar nyawa Putri saya selamat.""Baik, Bu. Silakan tanda tangani berkas ini setelah Anda melunasi administrasinya." Dokter
****Empat bulan kemudian."Bagaimana perkembangan kasusnya, Sayang?" tanya Ela pada Deo yang baru memasuki kamar, setelah selesai menghadiri sidang kasus kematian Clarissa."Ternyata pelaku adalah teman masa kecil Mama. Dia menyukai Mama sejak lama, tapi Mama tak pernah membalas perasaannya. Hal itu yang memicu pelaku melakukan penganiayaan, saat tak sengaja menjadi Dokter di rumah sakit jiwa tempat Mama dirawat. Dengan bukti-bukti yang telah terkumpul, pada akhirnya Hakim telah memvonis hukuman yang setimpal setelah beberapa kali persidangan," jawab Deo panjang lebar. Pria itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur."Apa hukumannya?" tanya Ela penasaran seraya berjalan mendekat."Penjara seumur hidup dan denda.""Itu tidak setimpal! Seharusnya orang itu mendapatkan hukuman mati! Kenapa kamu tidak membiarkan aku ikut ke persidangan hari ini?" geram Ela tak terima."Kamu hamil. Lihat perutmu sudah sebesar apa? Aku tidak ingin kesehata
"Rasanya aku sudah tidak ada tenaga untuk berjalan. Tubuhku rasanya lemas sekali."Deo gegas berjalan mendekati sang istri. Tanpa pikir panjang, Deo segera membopong Ela di depan tubuhnya dan membawanya ke luar. "Aku akan menggendongmu, jangan khawatirkan yang lain, yang paling penting kamu harus segera sembuh."Namun sesaat setelah Deo baru sampai di ujung tangga, Laura dengan cepat menghadangnya dengan merentangkan kedua tangan. "Mau ke mana?" ketusnya dengan tatapan mengintimidasi. Namun Deo bersikap acuh. Setelah menatap sengit wajah Laura untuk sekilas, Deo segera melangkah menerobos pertahanan Laura. Namun lagi-lagi Laura menghentikan langkah Deo kembali. "Mau ke mana?" ucapnya mengulangi pertanyaan awal."Minggir, ini tidak ada urusannya denganmu," jawab Deo datar tanpa ekspresi."Tentu ada. Aku adalah Istrimu."Deo yang pada akhirnya kehabisan kesabaran menampakkan kilat amarah dalam tatapannya. "Aku bilang, minggir!" bentak Deo lantang.Laura seketika itu membeku dengan wajah
Dalam balutan pakaian tidur transparan, seluruh bekas merah yang Deo ciptakan terekspos sepenuhnya.Hal tersebut tentunya membuat Laura diam mematung dengan tatapan tak percaya. "I-itu ... kalian benar-benar melakukannya di belakangku?" geram Laura tak terima.Ela lantas mengerinyitkan dahi sejenak. Hingga wanita itu sepenuhnya mengerti jika yang tengah dimaksud Laura adalah bekas cupang di leher dan dadanya. "Maksudmu ini? Mau aku melakukannya di hadapanmu sekarang? Boleh," sindir Ela seraya menunjuk bercak merah di lehernya.Setelah lama bersabar pada akhirnya stok kesabaran Laura pun habis. Wanita itu mendorong tubuh Ela keras hingga membuat Ela berdiri terhuyung dan hampir terjungkal ke belakang. "Minggir! Aku mau bicara dengan Deo!"Namun sayangnya aksi Laura gagal setelah Ela gegas menarik gagang pintu hingga membuat Laura tak bisa memasuki celah yang sempit. "Heh! Kamu yang harusnya minggir! Untuk apa memasuki kamar orang?! Sana, pergi ke kamarmu sendiri!" bentak Ela dengan lan
Ela mengerinyitkan dahi. Merasa geli mendengar kalimat yang baru saja memasuki gendang telinganya."Astaga ... tidakkah kamu merasa sadar diri? Deo menikahimu hanya karena terpaksa. Papamu terus berlutut di bawah kakinya, berharap kamu mendapatkan pengobatan tanpa sedikit pun mengeluarkan uangnya. Dia juga memohon agar Deo tidak langsung menceraikanmu saat itu, bernegosiasi agar kalian bercerai setelah anak yang kamu kandung lahir, agar tak membuat aib di keluarga," jelas Ela panjang lebar.Sontak Laura kembali dibuat mematung. Tak menyangka akan mendapatkan suguhan dari kebusukan ayahnya dari mulut Ela."Itu tidak mungkin! Ini adalah Anak Deo! Tanggung jawabnya.""Cih! Semua orang sudah tahu kebusukanmu dan Arsenio, termasuk aku. Jadi tidak perlu mengungkit aibmu jika kamu masih memiliki rasa malu. Tanpa persetujuan dariku pun, Deo sudah membuangmu dari jauh-jauh hari," pungkas Ela sebelum kembali memasuki ruangan dan menutup pintu kamar dengan keras. Merasa tak ada lagi yang perlu d
"Aku masih ingin hidup," imbuh Deo semakin menjauhkan piring.Laura membeku. Rasa sesaknya dada semakin terasa, hingga ia hampir tak dapat menahannya."Akhirnya ...." ucap syukur Darren sesaat setelah menyadari kehadiran Ela yang tengah berjalan mendekat. Membawa sebakul nasi di tangannya.Ela meletakkan masakannya di atas meja. Aroma sedap khas masakan rumah menguar memenuhi penjuru ruangan."Nah ... ini baru makanan. Dari jauh saja sudah tercium aroma sedapnya." Darren gegas membalik piring dan mengambil centong nasi. Namun niatnya urung kala Deo menepuk kasar lengannya. "Aku dulu! Di mana sopan santunmu sebagai adik?""Astaga ...." keluh Darren."Sudah-sudah! Masih banyak kok nasinya, jangan berebut!" Ela lantas duduk di samping Deo dan mulai mengisi piring suaminya.Tatapan matanya sekilas tertuju pada Laura yang berdiri mematung di hadapannya. Menatap tak suka dengan kehadiran Ela."Eh? Kenapa masakan Laura utuh? Kamu tidak cicipi? Dia buatnya penuh cinta, loh," ledek Ela pada su
Deo dan Ela yang baru hendak memadu kasih dikejutkan dengan teriakkan gaduh dari luar ruangan."Kak! Istrimu gila! Cepat selamatkan aku!" Suara Darren kembali terdengar untuk yang kedua kalinya.Deo yang hendak memeluk pinggang ramping sang istri pun langsung mengurungkan niatnya.Pria itu memejamkan mata erat menahan kedongkolan dalam hati. Disertai helaan nafas berat yang sekali berhembus begitu kasar. "Astaga Anak ini! Padahal dari brojol sampai sekarang tidak pernah memanggilku Kakak. Ayo lihat! Kemasukan jin apa dia sampai bisa berubah seperti itu." Deo beranjak bangkit dari atas ranjang.Raut wajah sedikit kecewa Ela tunjukkan. Padahal awalnya ia sempat merasa ragu. Namun setelah baru memulai, rasanya ia tak ingin menghentikan aktivitas itu.Keduanya pun kini keluar dari dalam ruangan. Menghampiri sumber suara yang diduga kuat berasal dari ruangan paling pojok di lantai dua."Astaga ...." timpal Deo kala mendapati Laura yang masih memegangi kedua kaki Darren erat.Wanita dengan
Deo dan Ela seketika saling bertukar pandang, sebelum pandangan mata Deo beralih menelisik gerak-gerik istri keduanya. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"Laura membeku. Wajahnya menoleh, menatap datar ke arah Deo. "Apa matamu sedang rabun jauh? Tidak lihat aku sedang membereskan barang-barangku?"Lantas Deo mengangga. "A-apa?!" Deo beranjak turun dari atas ranjang mendekati Laura yang tengah menyeret koper di depan pintu."Keluar!" bentak Deo melempar kembali beberapa koper dan tas ke luar ruangan.Kilat amarah yang terpancar dari wajah Deo membuat Laura membeku di tempat."Aku bilang keluar!" Deo mengulangi kalimatnya dengan suara yang semakin meninggi. Sedang telunjuknya mengarah ke arah pintu kamar yang masih terbuka lebar.Bentakan keras yang tak pernah Laura dapatkan dari sosok pria yang sama di masa lalu membuat tubuhnya berkali-kali berlonjak kaget."Tapi kenapa? Kenapa dia bisa di sini, sedangkan aku tidak?" tanya Laura kala stok kesabarannya mulai menipis. Menunjuk ke ar