"Tahanlah, ini hanya sakit sedikit saja," ucap Daren sebelum menusukkan jarum.
Ela yang kini memejamkan matanya erat tanpa sadar mencengkeram kuat lengan Darren hingga memerah.Kerutan di dahi menunjukkan jika Ela saat ini benar-benar menahan ketakutannya."Sudah."Satu kata itu membuat Ela sontak membuka mata. Dan mendapati tangannya yang telah membuat lengan dokter muda itu memerah hingga mengeluarkan sedikit darah."Ma-maafkan saya. Saya benar-benar tidak sengaja melakukannya, Dok."Ela sedikit membungkukkan tubuhnya dalam sekejap untuk menunjukkan rasa bersalahnya. Sorot penuh penyesalan terlihat jelas kala kedua mata Ela dan Darren bertemu.Namun yang terjadi dengan Darren malah ...."Kamu sedang meminta maaf padaku?" tanyanya kebingungan dengan wajah terperangah.Ela pun sontak terdiam membisu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan dokter muda itu? Bukankah wajar jika orang yang melakukan kesalahan akan meminta maaf? Kepala Ela kini kembali dipenuhi tanda tanya.Darren tersenyum lebar untuk sekilas. Kedua tangannya kembali mengambil plaster luka untuk direkatkan di bagian jarum pada punggung tangan Ela, agar tidak membuat jarumnya bergeser saat Ela banyak bergerak."Kamu tahu, Ela? Dulunya kamu adalah seorang wanita yang kasar dan tidak memiliki sopan santun sama sekali," ucap Darren dengan helaan nafas panjang. Kepalanya menggeleng pelan, seolah tengah menyayangkan perilaku tersebut."Jangankan meminta maaf pada orang lain. Bahkan saat melakukan kesalahan pun kamu tidak ingin mengakuinya," imbuhnya dengan tangan yang masih sibuk dengan peralatan medis.Ela pun sontak tercengang dengan satu tangan meremas kuat seprei berwarna kelabu yang tengah Ela duduki.Amarah yang tak bisa dijelaskan dari mana asalnya mendadak menghampiri. Ela pun kebingungan mengartikan perasaannya sendiri saat ini.'Apakah aku dulu benar-benar bersikap seperti itu?'Ela tak dapat mengingat apa pun untuk saat ini. Bahkan gambar acak yang sebelumnya muncul perlahan dalam ingatannya kini menghilang dalam sekejap."Sudahlah, Darren. Jangan memberatkan Ela dengan ingatan masa lalu yang sama sekali belum dia ingat," timpal Matthew yang ikut menyahut saat melihat sang putri tengah terpojok.Matthew tak ingin sedikit pun membantah tuduhan yang memang benar adanya. Mengingat salah satu asisten pribadinya saja melakukan resign saat Ela mencoba membuat masalah dengannya di masa lalu.Dan Matthew mengakui, jika sikap Ela sekarang dan dulu benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat."Maafkan saya, Om Matthew. Saya tidak bermaksud apa-apa. Hanya terkejut dengan permintaan maaf dari Ela, dan tak ada maksud lain," terang Darren, sang dokter muda.Matthew tersenyum kecil untuk sekilas. Menatap lembut pada wajah tampan pemuda yang tengah sibuk menuliskan sesuatu dengan bulpoin merahnya. "Tidak apa-apa. Om berharap kamu bisa memulihkan kondisi Ela secepatnya, agar pernikahannya dengan Deo bisa secepatnya dilangsungkan."Lagi. Kalimat pernikahan itu kembali diucapkan. Sepenting itukah pernikahan itu bagi keluarga ini?Ela tak dapat melakukan apa pun selain meremas kuat ujung selimutnya dengan satu tangan. Perasaan dongkol mendadak menghampiri. Membuat mata wanita itu terpejam erat menahan kekesalan dalam hati. Kembalinya dirinya kali ini sepertinya hanya untuk pernikahan itu.Sementara Darren nampak kehilangan ekspresi untuk sesaat. Tatapan datarnya memperhatikan tulisannya dengan seksama. Namun sadar atau tidak, tangannya tengah meremas kuat bulpoin merah yang berada di genggaman tangannya.Amarah yang tak berdasar kembali menghampiri pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu, tatkala kata pernikahan dan nama Deo disebut di depannya."Pemeriksaannya sudah selesai dilakukan, Om. Ini adalah resep vitamin untuk Ela. Saya sudah menuliskan beserta dosisnya yang harus diminum setiap hari." Darren mengulurkan secarik kertas berwarna putih yang memperlihatkan goresan dari tinta merah kepada Matthew yang langsung menerimanya."Terima kasih banyak, Darren. Kamu sudah menyempatkan waktu ditengah-tengah kesibukanmu untuk Ela." Matthew tersenyum lebar ke arah Darren, yang seketika membalasnya dengan senyuman sopan dan anggukan kecil untuk sesaat."Tidak masalah, Om. Itu memang sudah seharusnya saya lakukan."Darren mulai menenteng tas koper besar berwarna hitam yang berisi berbagai peralatan medis. "Kalau begitu saya pamit, Om. Om Matthew bisa melepas infusnya saat cairan dalam botol infus sudah habis," pamit Darren kemudian."Ya, hati-hati di jalan."Kini pemuda itu pergi berlalu begitu saja, sesaat setelah mencium punggung tangan Matthew yang merupakan teman dari ayahnya. Tanpa berpamitan pada Ela yang masih menatap punggungnya dari kejauhan.Perasaan aneh kembali menghampiri Ela saat tak mendapatkan kata pamit dari sosok pemuda yang baru ditemuinya hari ini.Seperti rasa kecewa dan dongkol yang bercampur menjadi satu. Bahkan detak jantungnya kembali berdegup kencang. Tak beraturan. Namun Ela masih merasa kebingungan mengartikan perasaannya sendiri.'Sebanarnya apa yang terjadi denganku? Apakah ini salah satu pertanda serangan jantung'Ela memegangi dadanya yang terasa berdenyut nyeri. Hingga sekelebat bayangan wajah seorang pria terlintas begitu saja dalam ingatannya tanpa sebab.Mata Ela yang sebelumnya terpejam mendadak terbelalak sempurna. Ketakutan yang tidak berdasar kembali menyelimuti hati saat wajah pria itu mulai sedikit terlihat jelas.'S-siapa pria yang baru muncul dalam kepalaku?!''Siapa pria itu?!'Ela tak berani menyimpulkan, meski bibir pria tampan tersebut sedikit mirip dengan milik Deo.Namun Ela kembali terbelalak saat telah berhasil menyusun sedikit teka-teki itu. 'Bu-bukankah pria itu adalah pria yang memanggilku di dalam mimpiku hari ini?!'Ela kembali dihantui oleh sesosok pria dengan wajah berlumuran darah yang memanggilnya dari arah kursi kemudi.Bayangan-bayangan itu membuat kepalanya terasa berdenyut nyeri. Ketakutan yang tidak berdasar membuat matanya terasa sedikit memanas. Hingga tanpa sadar mengeluarkan cairan bening dari kedua manik hitamnya."Ela? Apa yang terjadi? Apa kepalamu terasa sakit lagi?" Wajah panik Matthew, sang ayah, tak bisa ditutupi, kala melihat tubuh sang putri duduk meringkuk dengan tatapan waspada.Kedua tangan Ela mengepal kuat, hingga membuat selang infus kini berubah menjadi merah sebab darahnya mulai bercampur dengan cairan.Ketakutan luar biasa tak lagi mampu Matthew sembunyikan dari wajah keriputnya. Membuat pria beru
"Tidak apa-apa, itu hal yang cukup wajar untuk pasangan yang telah lama berpisah akhirnya bertemu," ucap Matthew dengan mengusap air mata haru yang mulai menitik dari kantung mata hitamnya.Dengan wajah tertunduk, Ela memberanikan diri melirik sekilas ke arah Deo yang ternyata tengah menatapnya dengan penuh arti.Namun saat tatapan keduanya tak sengaja saling bertemu, Ela secepatnya memalingkan wajah menahan malu.Wajah datar dengan tatapan dingin dari Deo itu tak bisa Ela artikan. Bibirnya berucap seolah tengah menahan rindu yang mendalam, tapi tatapan matanya tidak mengartikan perasaan yang sama. Apa yang sebenarnya terjadi?"Baiklah, Om Matthew. Sekarang Ela sudah baik-baik saja. Saya mohon izin pamit pulang dulu, jika besok ada waktu luang, saya akan kembali untuk menjenguk Ela," pamit Deo dengan tersenyum sopan.Wajah tampan dari balik topeng itu seketika berubah ekspresi dalam sekejap mata, setelah tatapan dinginnya. Ela menyadari hal itu, namun tak ingin terlalu mengurusi urusa
Namun tetap tak ia dapati sosok apa pun selain dirinya di dalam ruangan itu.Nampaknya, kebingungan dan kesedihan yang begitu menyiksa batinnya, membuat kepalanya memunculkan halusinasi.***Kediaman Deo Kendrick. Pukul dua dini hari.Tubuh atletis pria yang kini tengah berbaring di atas ranjang dengan bertelanjang dada, nampak mengeliat penuh kegelisahan. Matanya yang terpejam menampilkan kerutan pada kedua alisnya yang menyatu. Nampaknya mimpi buruk kembali ia alami saat ini."Gabriela! Pegangan yang erat!" teriaknya di dalam ingatan yang kembali menghantuinya setiap malam.Mobil mewah berwarna merah yang tengah ia kemudikan mendadak hilang kendali. Tanpa tahu apa sebabnya. Menabrak mobil lain yang sedang berada di dalam antrian lampu merah.Rem mobil tak berfungsi sama sekali. Bahkan kecepatannya tak sedikit pun bisa dikurangi. Deo tak tahu mengapa. Padahal dirinya yakin selalu merawat mobil kesayangannya itu dengan telaten setiap bulan.Saat itu mobil yang dikemudikannya berhasil
Oh, tidak! Deo lupa menyembunyikan luka palsu itu. Sekarang apa yang harus ia lakukan?Kebingungan hebat mulai menyertai peluh yang tak henti mengucur deras dari pelipisnya.Hingga Deo memberanikan diri menyambar cepat luka itu dan menaruhnya dalam nakas. Kemudian bersikap wajar seolah tak mendengar pertanyaan paman Louise sebelumnya."Eh? Paman Louise ada apa datang ke sini?" tanya Deo sekedar berbasa-basi untuk mengalihkan topik pembicaraan. Namun wajah paniknya tak mampu ia sembunyikan meski telah berusaha keras.Paman Louise yang telah bekerja selama puluhan tahun untuk mengabadikan diri di keluarga ini pun mencoba mengerti. Mungkin sang majikan tak ingin hal pribadinya diungkit orang lain. Meski rasa penasaran masih membuatnya beberapa kali melirik ke arah nakas yang hanya berisi satu gelas air yang telah kosong."Saya mendengar teriakkan Anda, Tuan. Saya sungguh sangat khawatir, sebab itu datang untuk memastikan," jawab paman Louise dengan wajah cemas.Namun Deo hanya diam. Kini
Sontak hal itu membuat bibi Gwen tertunduk lesu. Seolah ikut merasakan duka mendalam yang kini tengah melanda hati majikan kesayangannya."Nona, tidak perlu terlalu disesali. Cukup doakan Putri Anda setiap hari. Putri Anda juga pasti ingin Anda menjalani hidup normal seperti biasa," ucap bibi Gwen menenangkan majikannya.Ela pun mulai memejamkan matanya erat. Berusaha mati-matian meredam kesedihan yang mendalam. Deru nafas yang memburu berusaha ia atur agar kembali normal. Hingga air mata yang tadinya berjatuhan tak lagi terlihat."Terima kasih atas sarannya, Bi. Saya benar-benar beruntung memiliki orang seperti Anda dalam kehidupan saya saat ini." Ela menatap lekat manik hitam dengan kantung mata yang sedikit kendur. Tersenyum lembut. Menampakkan kesopanan yang tidak pernah terlihat di mata bibi Gwen selama ini.Sontak hal itu begitu menyejukkan kalbu. Bibi Gwen yang sejatinya adalah pengasuh kecil Ela, sangat mengetahui bagaimana perangai gadis itu semasa kecilnya. Selain tidak memi
"Lalu, untuk apa Anda bersikap sepanik itu, Bi?" tanya Ela di tengah kebingungannya."Nona, jika Anda terus bersikap seperti itu, akan membuat saya dipecat dari pekerjaan saya saat ini. Karena sebenarnya tanggung jawab mendidik Nona diserahkan kepada saya sejak Anda masih bayi, sebab kesibukan Tuan dan Nyonya yang tak bisa meninggalkan perusahaan mereka sama sekali," jelas bibi Gwen.Kini Ela mulai mengerti. Meski tak mengingat sedikit pun perihal sikapnya yang keterlaluan, namun nuraninya tetap merasa bersalah."Maafkan saya yang selalu membuat masalah untuk Anda, Bi. Sebisa mungkin, saya tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu lagi," ucap Ela menenangkan kalbu. Bibi Gwen sontak tertegun melihat sikap itu. Permintaan maaf ya begitu tulus dari dalam hati dan raut penuh penyesalan, sebelumnya tak pernah ia lihat dari majikannya yang kini berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya."Ela!" Satu teriakkan lantang dari suara bariton sontak membuat Ela dan bibi Gwen terkesiap.
Kini ruang tamu itu mendadak sunyi. Suasana mencekam terasa begitu menusuk hingga membuat tubuh rapuh wanita itu mengigil tak terkendali."Bagaimana perasaanmu saat ini? Apakah kepalamu sudah tidak terasa sakit lagi?" ucap Deo yang memulai obrolan mereka. Namun merasa enggan untuk menatap lawan bicaranya. sesekali pria itu menyeruput segelas jus jeruk yang dihidangkan oleh Ela di depannya.Sedangkan Ela yang masih berdiri di samping tubuh pria itu sontak mematung dengan wajah menegang. Meremas kuat ujung nampan dengan kedua tangannya."Sa-saya sudah baik-baik saja, Tuan," jawabnya singkat dengan wajah tertunduk. Merasa rendah diri pada Deo yang memancarkan aura luar biasa.Deo pun lantas menatap wajah Ela saat mendengar panggilan itu. Apakah masih berat untuk Ela memanggil namanya? Padahal sebelum kecelakaan itu terjadi, Ela tak merasa sungkan sedikit pun memanggilnya 'sayang' di depan kedua orang tuanya."Duduklah! Untuk apa terus berdiri di sana?""I-iya, Tuan." Mulai terlihat salah
Kediaman Pram Sebastian. Pukul sembilan pagi.Brak! Brak!Beberapa perabot dapur melayang tak tentu arah. Menjadi pelampiasan amarah yang begitu menyesakkan dada.Pria berperawakan kurus nan tinggi itu berteriak dan memekik dengan lantang. Sesekali kedua tangannya meremas kuat rambut gondrongnya frustasi."Ke mana Jalang itu pergi beberapa hari ini?! Bahkan dia tak meninggalkan uang sedikit pun untukku. Dasar Jalang tidak berguna!" hardik Pram dengan suara teriakkan lantang. Tak peduli seberapa keras suaranya yang akan didengar oleh tetangga di samping rumah. Ia tak pernah peduli.Sesaat kemudian, Pram mulai kembali beranjak membuka tudung saji yang terbuat dari anyaman bambu. Sebelum melemparkannya dan memijakkan kaki di atasnya dengan kuat."Cih! Bahkan tak ada sedikit pun makanan yang tersaji!"Pram lantas diam tak bergeming. Menatap kekacauan yang diakibatkan oleh kekesalannya sendiri."Aku lapar sekali ... sejak kemarin belum makan apa pun. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" r
"Tidak perlu. Berdebat dengan orang bodoh hanya akan menambah orang bodohnya jadi dua," cibir Ela seraya melengos pergi."Setelah operasinya selesai, Laura akan dipindahkan ke ruang rawat inap selama satu minggu. Seluruh administrasi rumah sakit sudah saya tanggung. Setelah ini jangan cari saya dengan alasan apa pun. Saya sudah tak memiliki hubungan dengan kalian," pungkas Deo sebelum menyusul langkah sang istri meninggalkan rumah sakit. Tak ia hiraukan tatapan tak berdaya dari ayah Laura.****Lima bulan kemudian.Setelah putusan sidang mengenai kasus penculikan dan pembunuhan berencana Pram dan Arsenio, yang kini dihukum penjara seumur hidup, Ela dan Deo pada akhirnya bisa hidup dengan tenang.Bahkan Laura pun tak lagi terdengar kabarnya setelah kejadian hari itu."Kenapa sekarang kita tinggal di sini? Apa Darren tidak kesepian tinggal sendiri?" tanya Ela sesaat setelah memasuki kediamannya."Dari pada dia, aku lebih memikirkan kamu. Kalau ada apa-apa pas aku tidak ada di rumah baga
"Tidak! Tunggu, Tuan Deo! Tolong jangan hiraukan ucapan Istri saya. Dia memang terbiasa berkata tanpa berpikir terlebih dahulu. Tolong, jangan tinggalkan Laura dalam keadaan seperti ini." Ayah Laura berlari ke arah Deo dan bersimpuh di kakinya.Belum sempat Deo menimpali, suara derit pintu ruang rawat yang terbuka membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya.Seorang dokter wanita terlihat muncul dari balik pintu yang kembali ditutup rapat. "Apakah ada keluarga Pasien di sini?""Saya Mamanya, Dok!" Ibu Laura gegas berlari menghampiri dokter."Begini, Bu. Dengan berat hati saya sampaikan bahwa, janin yang dikandung Putri Ibu tak dapat diselamatkan. Saya meminta persetujuan keluarga untuk segera melakukan tindakan operasi pengangkatan janin. Karena jika itu sampai telat dilakukan, nyawa Ibunya pun akan terancam," jelas dokter."Lakukan segera, Dok. Lakukan apa pun agar nyawa Putri saya selamat.""Baik, Bu. Silakan tanda tangani berkas ini setelah Anda melunasi administrasinya." Dokter
****Empat bulan kemudian."Bagaimana perkembangan kasusnya, Sayang?" tanya Ela pada Deo yang baru memasuki kamar, setelah selesai menghadiri sidang kasus kematian Clarissa."Ternyata pelaku adalah teman masa kecil Mama. Dia menyukai Mama sejak lama, tapi Mama tak pernah membalas perasaannya. Hal itu yang memicu pelaku melakukan penganiayaan, saat tak sengaja menjadi Dokter di rumah sakit jiwa tempat Mama dirawat. Dengan bukti-bukti yang telah terkumpul, pada akhirnya Hakim telah memvonis hukuman yang setimpal setelah beberapa kali persidangan," jawab Deo panjang lebar. Pria itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur."Apa hukumannya?" tanya Ela penasaran seraya berjalan mendekat."Penjara seumur hidup dan denda.""Itu tidak setimpal! Seharusnya orang itu mendapatkan hukuman mati! Kenapa kamu tidak membiarkan aku ikut ke persidangan hari ini?" geram Ela tak terima."Kamu hamil. Lihat perutmu sudah sebesar apa? Aku tidak ingin kesehata
"Rasanya aku sudah tidak ada tenaga untuk berjalan. Tubuhku rasanya lemas sekali."Deo gegas berjalan mendekati sang istri. Tanpa pikir panjang, Deo segera membopong Ela di depan tubuhnya dan membawanya ke luar. "Aku akan menggendongmu, jangan khawatirkan yang lain, yang paling penting kamu harus segera sembuh."Namun sesaat setelah Deo baru sampai di ujung tangga, Laura dengan cepat menghadangnya dengan merentangkan kedua tangan. "Mau ke mana?" ketusnya dengan tatapan mengintimidasi. Namun Deo bersikap acuh. Setelah menatap sengit wajah Laura untuk sekilas, Deo segera melangkah menerobos pertahanan Laura. Namun lagi-lagi Laura menghentikan langkah Deo kembali. "Mau ke mana?" ucapnya mengulangi pertanyaan awal."Minggir, ini tidak ada urusannya denganmu," jawab Deo datar tanpa ekspresi."Tentu ada. Aku adalah Istrimu."Deo yang pada akhirnya kehabisan kesabaran menampakkan kilat amarah dalam tatapannya. "Aku bilang, minggir!" bentak Deo lantang.Laura seketika itu membeku dengan wajah
Dalam balutan pakaian tidur transparan, seluruh bekas merah yang Deo ciptakan terekspos sepenuhnya.Hal tersebut tentunya membuat Laura diam mematung dengan tatapan tak percaya. "I-itu ... kalian benar-benar melakukannya di belakangku?" geram Laura tak terima.Ela lantas mengerinyitkan dahi sejenak. Hingga wanita itu sepenuhnya mengerti jika yang tengah dimaksud Laura adalah bekas cupang di leher dan dadanya. "Maksudmu ini? Mau aku melakukannya di hadapanmu sekarang? Boleh," sindir Ela seraya menunjuk bercak merah di lehernya.Setelah lama bersabar pada akhirnya stok kesabaran Laura pun habis. Wanita itu mendorong tubuh Ela keras hingga membuat Ela berdiri terhuyung dan hampir terjungkal ke belakang. "Minggir! Aku mau bicara dengan Deo!"Namun sayangnya aksi Laura gagal setelah Ela gegas menarik gagang pintu hingga membuat Laura tak bisa memasuki celah yang sempit. "Heh! Kamu yang harusnya minggir! Untuk apa memasuki kamar orang?! Sana, pergi ke kamarmu sendiri!" bentak Ela dengan lan
Ela mengerinyitkan dahi. Merasa geli mendengar kalimat yang baru saja memasuki gendang telinganya."Astaga ... tidakkah kamu merasa sadar diri? Deo menikahimu hanya karena terpaksa. Papamu terus berlutut di bawah kakinya, berharap kamu mendapatkan pengobatan tanpa sedikit pun mengeluarkan uangnya. Dia juga memohon agar Deo tidak langsung menceraikanmu saat itu, bernegosiasi agar kalian bercerai setelah anak yang kamu kandung lahir, agar tak membuat aib di keluarga," jelas Ela panjang lebar.Sontak Laura kembali dibuat mematung. Tak menyangka akan mendapatkan suguhan dari kebusukan ayahnya dari mulut Ela."Itu tidak mungkin! Ini adalah Anak Deo! Tanggung jawabnya.""Cih! Semua orang sudah tahu kebusukanmu dan Arsenio, termasuk aku. Jadi tidak perlu mengungkit aibmu jika kamu masih memiliki rasa malu. Tanpa persetujuan dariku pun, Deo sudah membuangmu dari jauh-jauh hari," pungkas Ela sebelum kembali memasuki ruangan dan menutup pintu kamar dengan keras. Merasa tak ada lagi yang perlu d
"Aku masih ingin hidup," imbuh Deo semakin menjauhkan piring.Laura membeku. Rasa sesaknya dada semakin terasa, hingga ia hampir tak dapat menahannya."Akhirnya ...." ucap syukur Darren sesaat setelah menyadari kehadiran Ela yang tengah berjalan mendekat. Membawa sebakul nasi di tangannya.Ela meletakkan masakannya di atas meja. Aroma sedap khas masakan rumah menguar memenuhi penjuru ruangan."Nah ... ini baru makanan. Dari jauh saja sudah tercium aroma sedapnya." Darren gegas membalik piring dan mengambil centong nasi. Namun niatnya urung kala Deo menepuk kasar lengannya. "Aku dulu! Di mana sopan santunmu sebagai adik?""Astaga ...." keluh Darren."Sudah-sudah! Masih banyak kok nasinya, jangan berebut!" Ela lantas duduk di samping Deo dan mulai mengisi piring suaminya.Tatapan matanya sekilas tertuju pada Laura yang berdiri mematung di hadapannya. Menatap tak suka dengan kehadiran Ela."Eh? Kenapa masakan Laura utuh? Kamu tidak cicipi? Dia buatnya penuh cinta, loh," ledek Ela pada su
Deo dan Ela yang baru hendak memadu kasih dikejutkan dengan teriakkan gaduh dari luar ruangan."Kak! Istrimu gila! Cepat selamatkan aku!" Suara Darren kembali terdengar untuk yang kedua kalinya.Deo yang hendak memeluk pinggang ramping sang istri pun langsung mengurungkan niatnya.Pria itu memejamkan mata erat menahan kedongkolan dalam hati. Disertai helaan nafas berat yang sekali berhembus begitu kasar. "Astaga Anak ini! Padahal dari brojol sampai sekarang tidak pernah memanggilku Kakak. Ayo lihat! Kemasukan jin apa dia sampai bisa berubah seperti itu." Deo beranjak bangkit dari atas ranjang.Raut wajah sedikit kecewa Ela tunjukkan. Padahal awalnya ia sempat merasa ragu. Namun setelah baru memulai, rasanya ia tak ingin menghentikan aktivitas itu.Keduanya pun kini keluar dari dalam ruangan. Menghampiri sumber suara yang diduga kuat berasal dari ruangan paling pojok di lantai dua."Astaga ...." timpal Deo kala mendapati Laura yang masih memegangi kedua kaki Darren erat.Wanita dengan
Deo dan Ela seketika saling bertukar pandang, sebelum pandangan mata Deo beralih menelisik gerak-gerik istri keduanya. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"Laura membeku. Wajahnya menoleh, menatap datar ke arah Deo. "Apa matamu sedang rabun jauh? Tidak lihat aku sedang membereskan barang-barangku?"Lantas Deo mengangga. "A-apa?!" Deo beranjak turun dari atas ranjang mendekati Laura yang tengah menyeret koper di depan pintu."Keluar!" bentak Deo melempar kembali beberapa koper dan tas ke luar ruangan.Kilat amarah yang terpancar dari wajah Deo membuat Laura membeku di tempat."Aku bilang keluar!" Deo mengulangi kalimatnya dengan suara yang semakin meninggi. Sedang telunjuknya mengarah ke arah pintu kamar yang masih terbuka lebar.Bentakan keras yang tak pernah Laura dapatkan dari sosok pria yang sama di masa lalu membuat tubuhnya berkali-kali berlonjak kaget."Tapi kenapa? Kenapa dia bisa di sini, sedangkan aku tidak?" tanya Laura kala stok kesabarannya mulai menipis. Menunjuk ke ar