"Apa yang sebenarnya kamu pikirkan saat bicara di konferensi pers tadi, Adam?" Suara Patricia memecah keheningan begitu Adam masuk ke dalam rumah.
Wanita itu duduk di ruang tamu rumah Adam dengan punggung yang tegak dan mata menatap pria muda itu tajam.Adam menghentikan langkah di depan sofa yang berseberangan dengan tempat Patricia duduk."Saya tidak berpikir hal itu perlu penjelasan lebih lanjut, Tante Patricia. Saya sudah mengatakan yang sebenarnya." Adam terdengar tenang, tetapi ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Patricia menyipitkan mata, amarah bergemuruh di dadanya. "Kamu pikir mengungkapkan hal seperti itu di depan publik adalah langkah yang cerdas, Adam?! Kamu tahu betapa berantakannya situasi saat ini? Kamu memfitnah Lily melakukan pengancaman dan berniat membunuh Thomas!""Situasi di masa depan bisa jauh lebih berantakan jika saya membiarkan diri saya terjebak bersama Lily. Saya sudah tidak ingin kehilangan lagi orang ya"Tuan Thomas sakit kanker usus sejak lima tahun lalu, tidak lama setelah Nona Gauri pergi ke Amerika Serikat. Tuan tidak ingin Nona khawatir, itulah mengapa beliau begitu merahasiakan kondisi kesehatannya," ucap Bergas saat menjelaskan kondisi Thomas pada Gauri.Kalimat itu terus terngiang di kepala Gauri selama perjalanan pulangnya ke JCrown Tower. Di dalam mobil, Gauri duduk mematung dengan tangan terkepal di atas paha.Bergas meminta salah satu sopir Keluarga Uno untuk mengantar Gauri pulang. Mengingat, wanita itu tidak datang bersama Amelia.Pemandangan langit yang masih basah menyisakan bayangan kabur di kaca jendela. Pikiran Gauri kalut, seperti pusaran air yang menyeretnya semakin dalam. Dia ingat bagaimana Thomas selalu terlihat kuat di depannya.Tidak ada yang pernah menyangka bahwa pria setangguh itu menyembunyikan penyakit serius selama bertahun-tahun. Sekarang, setelah mengetahui kebenarannya, perasaan bersalah menghantam Gauri dengan
"Nona, saya sudah mengirimkan rekaman CCTV yang Nona minta ke surel pribadi Nona. Silakan diperiksa," ujar Amelia sebelum Gauri masuk ke dalam kamar.Gauri tersenyum tipis dan mengangguk. Wanita itu perlu mandi untuk mendinginkan kepalanya.Saat larut malam tiba, alih-alih istirahat, Gauri justru duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan file video rekaman CCTV dari koridor di depan pintu utama griya tawangnya.Gauri menekan tombol mainkan, dan video mulai memutar momen pada hari insiden itu terjadi. Wanita itu menahan napas ketika melihat sosok yang sudah tidak asing lagi di dalam video, Amora. Amora tampak memasuki griya tawang dengan langkah hati-hati, memastikan tidak ada yang melihatnya."Amora …." desis Gauri pelan.Bukti ini cukup kuat untuk menyeret Amora ke jalur hukum. Rekaman itu dengan jelas menunjukkan bahwa Amora satu-satunya orang yang ada di griya tawang, selain Gauri. Namun, tidak lama kemudian Gauri mengernyit."Kalau aku melaporkan Amora, ini ak
"Kenapa masih menangis, Chava? Mereka sudah pergi dan tidak akan berani mengganggumu lagi," ujar Gauri dengan suara lembut sambil menyeka sisa air mata di pipi gadis kecil itu.Namun, tangis Chava tidak juga berhenti. Gadis itu memeluk tas kecilnya erat-erat seperti benda itu adalah harta yang paling berharga.Gauri menghela napas panjang. Dia merasa kasihan melihat kondisi Chava."Ayo, kita beli es krim. Kamu suka es krim, kan? Tante tahu toko es krim yang enak di dekat sini!" ajak Gauri sambil tersenyum.Gauri ingat pada pertemuan pertamanya dengan Chava. Gadis kecil itu meminta es krim pada Amora dengan mata yang berbinar.Mata Chava yang sembap mendongak perlahan."Benarkah, Tante? Tapi ... aku tidak punya uang," jawab Chava polos, suara lirihnya masih terdengar gemetar.Gauri tersenyum sambil mengusap pelan kepala Chava. "Kamu tidak perlu khawatir soal itu. Ayo, ikut Tante!"
"Nama Papa aku ...." Chava membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi suaranya terputus saat pandangannya tertuju pada sosok yang berdiri tidak jauh dari mereka.Mata kecil Chava melebar dan tangan mungilnya menggenggam tas dengan lebih erat."Mama!" seru Chava pelan.Gauri mengikuti arah pandangan Chava. Benar saja, sosok Amora berdiri di tepi jalan, mengenakan gaun semata kaki dengan wajah dingin yang mengawasi mereka. Tatapan Amora seperti pisau yang menusuk langsung ke arah Gauri.Jantung Gauri kini berdebar untuk alasan yang berbeda. Namun, wajah wanita cantik itu terlihat tetap tenang.Amora melangkah cepat ke arah mereka, wajahnya mengeras seiring langkahnya yang semakin dekat dengan Gauri. Begitu sampai, wanita itu langsung menarik tangan Chava ke sisinya tanpa basa-basi."Apa yang kamu lakukan di sini, Chava?" tanya Amora tajam, tanpa melirik Gauri. “Apakah kamu sadar kalau kamu sudah membuat M
"Amora, jangan pergi dulu!" Gauri melangkah maju dengan niat mengejar Amora yang berjalan cepat bersama Chava.Namun, langkah wanita itu terhenti ketika ponsel di dalam tasnya berdering. Dia menghela napas panjang, mengeluarkan ponsel, dan membaca nama Amelia di layar.Dengan enggan, Gauri mengangkat panggilan itu."Ada apa, Amelia?" Gauri berusaha menahan rasa kesalnya."Nona Gauri, Nona di mana? Rapat dengan dewan direksi akan dimulai dalam lima belas menit. Semua sudah hadir." Amelia terdengar cemas di ujung telepon.Gauri menatap punggung Amora dan Chava yang semakin menjauh. "Amelia, saya sedang di luar. Akan saya usahakan sampai tepat waktu.""Tolong jangan terlambat, Nona. Ini sangat penting." Amelia menekankan sebelum menutup telepon.Gauri mendesah panjang, menatap jalan tempat Amora dan Chava menghilang. Meskipun hatinya bergejolak, Gauri paham tanggung jawabnya sebagai CEO Uno Rekayasa Industri tidak bisa diabaikan. ‘Amora, aku belum selesai denganmu,’ batin Gauri sebelum
"Hari sudah sangat petang, Ezra. Apa lagi yang kamu inginkan?" Gauri mendesah panjang sambil menyandarkan tubuh ke kursi di ruangannya. “Membesarkan masalah yang sudah selesai di dalam rapat?”Wanita cantik itu baru saja membereskan dokumen terakhirnya ketika Ezra tiba-tiba muncul di pintu.Ezra melangkah masuk tanpa diundang, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, dan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Saya hanya penasaran, Gauri. Apa yang akan kamu lakukan dengan rekaman CCTV itu?""Rekaman apa yang kamu maksud?” Gauri menegakkan tubuhnya, mengangkat alis dengan wajah datar."Jangan pura-pura tidak tahu. Amora sudah memberi tahu saya semuanya. Kamu menemui dia dan Chava di taman tadi pagi, bukan? Itu sebabnya kamu terlambat." Ezra mendekat, suaranya terdengar santai, tetapi ada penekanan di sana.Gauri menghela napas sambil berdiri dan menatap tajam pria itu. "Apa yang saya lakukan di luar kantor tidak ada hu
"Saya tahu penyakit Pak Thomas sulit disembuhkan, mengingat beliau sudah masuk ke stadium tiga. Tapi saya percaya padamu. Terima kasih sudah bersedia membantu," ucap Adam terdengar tegas. Pria itu berdiri di salah satu koridor kosong di kantor polisi, sedang menelepon seseorang melalui ponselnya. Mata Adam menatap kosong pada majalah dinding yang ada di dekatnya. Adam tengah dipanggil ke kepolisian untuk menjadi saksi dari kasus Lily Lenson. Setelah konferensi pers, tidak perlu menunggu waktu lebih lama, Ikatan Dokter Indonesia segera melaporkan Lily atas dugaan pengancaman dan perencanaan pembunuhan. Dari seberang telepon, suara Kevin Spacey, seorang dokter dan teman lama Adam, terdengar sangat yakin dan menggebu-gebu. "Adam, saya selalu siap membantumu. Tuan Thomas akan mendapatkan perawatan terbaik di sini. Rumah sakit kami memiliki fasilitas lengkap, dan saya pribadi yang akan merawatnya," sahut Kevin. "S
"Jangan terlalu kaku malam ini. Tunjukkan senyum manismu sedikit, agar mereka percaya kita pasangan tunangan yang bahagia," bisik Ezra sambil memiringkan tubuhnya ke arah Gauri.Suara lembut pria itu penuh dengan sindiran, tetapi Gauri tetap menjaga wajahnya datar.Malam itu, keduanya menghadiri makan malam di restoran mewah bersama beberapa petinggi perusahaan rekanan Uno Rekayasa Industri. Tepat setelah pulang dari kantor.Ezra, seperti biasa, memanfaatkan acara ini untuk menampilkan citra sempurna sebagai Direktur Operasional yang andal dan tunangan Gauri yang setia. Sementara Gauri lebih fokus pada membangun kepercayaan para kolega bisnisnya."Bicara seperlunya saja, Ezra. Jangan terlalu banyak mengatur saya," balas Gauri dingin sambil menyeruput anggurnya.Ezra terkekeh pelan, lalu mengangkat gelasnya untuk bersulang dengan salah satu tamu.Lalu, Ezra kembali menoleh pada Gauri. "Tentu saja, Gauri. Saya di sini untuk menduku
“Sudah selesai?” tanya Adam, berdiri di tepi kebun mawar yang membentang indah di belakang kediaman Thomas. Matahari mulai tenggelam, memberikan semburat jingga yang memukau.Gauri melangkah mendekat, gaun berwarna krem lembut yang memeluk tubuhnya berkibar tertiup angin sore. Di tangannya ada buket bunga mawar putih kecil yang baru saja wanita itu atur bersama Amelia.“Sudah,” jawab Gauri tersenyum tipis. “Kebun ini terlalu cantik jika tidak dipakai sebagai latar pesta kita.”Adam memandangnya dengan intens, mata gelap pria itu mengamati setiap detail wajah Gauri yang diterangi cahaya lampu sekitar. “Kamu lebih cantik.”“Mas Adam, jangan mulai lagi atau kamu ingin melihat pipiku semerah tomat.” Gauri mendesah kecil sambil menggeleng. “Orang-orang sudah berdatangan, kita harus segera bergabung.”Adam mengulurkan tangan, menarik Gauri mendekat hingga wanita itu berdiri hanya beberapa sentimeter darinya.“Kalau aku bilang kamu cantik, kamu terima saja,” tukas Adam.Gauri tertawa kecil,
“Mama ingin sesuatu dari laci itu?” tanya Gauri lagi, memastikan bahwa dia tidak salah mengerti.Arum mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari laci kecil di samping ranjang. Gauri mengerutkan kening sejenak, merasa sedikit ragu, tetapi akhirnya dia mendekat ke laci itu.Gauri membuka laci kecil tersebut dengan perlahan. Di dalamnya, terdapat sebuah kotak perhiasan kecil berwarna merah marun dengan ukiran emas di bagian atasnya. Gauri mengangkat kotak itu, lalu menoleh ke arah Arum.“Ini, Ma?” tanya Gauri sambil mengangkat kotak itu.Arum mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. Gauri membawa kotak itu ke hadapan Arum, tetapi wanita paruh baya itu membuat gerakan tangan seolah meminta Gauri membuka kotak tersebut.Dengan hati-hati, Gauri membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, terdapat sebuah cincin mewah dengan desain yang klasik dan elegan. Kilauan berlian di tengah cincin itu tampak memikat di bawah cahaya lampu kamar.Gauri memandang cincin itu dengan kagum.“Cincinnya sangat indah,
“Jadi, Nona benar-benar akan meninggalkan griya tawang?” tanya Amelia, matanya menatap koper kecil yang ada di sisi Gauri.Gauri mendongak dan memandang griya tawangnya sekali lagi dari tempat parkir JCrown Tower, tempat tinggal yang penuh kenangan, baik manis maupun pahit.“Ya,” jawab Gauri dengan mantap. “Tempat ini terlalu penuh dengan bayangan masa lalu. Kakek benar, saya butuh tempat tinggal baru yang lebih baik.”Amelia tersenyum kecil. “Rona Village memang lebih cocok untuk Nona sekarang. Walaupun kita sudah dewasa, terkadang kembali ke rumah orang tua akan terasa menenangkan.”Gauri hanya tersenyum. Wanita itu mengangguk pelan, mengiakan pendapat Amelia.Beberapa saat kemudian, Gauri melangkah menjauh dari JCrown Tower sambil membawa barang-barang penting dan meninggalkan semua yang tidak lagi ingin wanita itu ingat di griya tawang.Hari-hari berlalu, dan selama Adam berada di Australia, Gauri mengisi waktunya dengan bekerja dan merawat Arum. Setiap malam, setelah menyelesaika
[Bagaimana bisa kamu lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan Mama daripada aku, Gauri?]Gauri membaca pesan itu dengan senyum tipis. Matanya memancarkan kehangatan yang bercampur geli. Adam selalu memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan rasa cemburunya.Tanpa berpikir panjang, Gauri mengetik balasan. “Kamu sudah sampai di Australia?”Gauri menekan tombol kirim dan kembali menyandarkan tubuh di jok mobil. Amelia yang duduk di sampingnya sibuk dengan laptop, sementara sopir yang memegang kemudi sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion.“Pesan dari Tuan Adam?” tanya Amelia dengan senyum menggoda tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.“Hmm,” gumam Gauri singkat sambil menyimpan ponsel ke dalam tas. “Mas Adam hanya ingin memastikan saya tidak lupa bahwa dia ingin menjadi prioritas saya.”Amelia terkekeh pelan, menggelengkan kepala. “Saya senang melihat hubungan Nona dan Tuan sudah membaik.”Mobil perlahan memasuki gerbang besar dengan lampu-lampu taman yang menyor
“Jadi, apa semuanya sudah selesai?” tanya Gauri sambil merapikan pakaiannya ke dalam koper kecil. Tangannya sibuk melipat gaun sederhana yang Amelia serahkan padanya.Amelia, yang berdiri di dekat lemari, mengangguk sambil membawa beberapa dokumen yang baru saja dia serahkan.“Ya, evaluasi mingguan Uno Rekayasa Industri berjalan dengan baik. Proyek-proyek besar berjalan lancar, meski ada beberapa kendala teknis kecil yang bisa diatasi dalam waktu dekat.” Amelia menjawab.“Bagus,” sahut Gauri, tersenyum tipis. “Amelia, kamu benar-benar sudah banyak membantu selama saya di sini. Terima kasih.”“Tapi, Nona Gauri … kalau saya lebih berhati-hati saat menyetir, kecelakaan itu tidak akan terjadi. Saya benar-benar minta maaf.” Amelia mendesah pelan, menatap Gauri dengan sorot mata penuh rasa bersalah.Gauri mengangkat wajah, menatap Amelia tajam, tetapi penuh kehangatan.“Saya sudah bilang berkali-kali, Amelia, saya tidak ingin mendengar permintaan maaf itu lagi,” desah Gauri sebal.“Baik, No
"Bagaimana dengan Mama Arum?" tanya Gauri pelan, matanya menatap Adam yang baru saja duduk di kursi di samping ranjangnya.Pagi tadi, Gauri mendengar bahwa Arum dilarikan ke rumah sakit. Dan baru sore ini, dia bisa mengonfirmasi hal itu ke Adam.Adam menghela napas panjang, menatap Gauri dengan tatapan lembut. “Hipertensinya kambuh semalam, dan sekarang Mama dinyatakan mengalami stroke.”Gauri terkejut, matanya membulat. “Stroke?”Adam mengangguk, rahangnya sedikit mengeras. “Semalam setelah aku bilang ingin membatalkan perceraian dan ingin kembali denganmu, Mama sangat marah. Mama belum bisa menerima itu.”“Mas Adam ….” Gauri menggigit bibir, matanya terlihat berkaca-kaca. “Aku ingin menjenguk Mama Arum.”Adam menatap Gauri cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dan mengangguk pelan.“Kamu boleh menjenguknya. Tapi ada syarat!” tukas Adam.“Syarat?” Gauri menaikkan alis. “Apa?”“Kamu hanya boleh menjenguk Mama saat kamu sudah sembuh dan mengenakan gaun cantik yang biasa kamu pakai
“Ini pasti hari spesial, bukan?” tebak Arum sambil memindai ruangan.Suara alunan piano yang lembut mengisi suasana restoran mewah itu. Lampu-lampu kristal menggantung tinggi, memancarkan cahaya hangat yang menciptakan atmosfer elegan.Adam duduk di sebuah meja dekat jendela besar, mengenakan setelan jas hitam sempurna. Di depannya, Arum, terlihat sangat antusias dengan wajah merona yang sulit disembunyikan.“Ini pilihan restoran yang bagus, Adam,” lanjut Arum sambil tersenyum. “Akhirnya, kamu mulai mengerti bahwa wanita-wanita pilihan Mama punya kualitas yang sepadan denganmu.”Adam hanya mengangkat alis sedikit, lalu menyesap air putih dari gelas kristalnya. Senyum kecil muncul di wajah pria itu, meskipun matanya tetap dingin.“Mama sangat yakin malam ini akan menjadi momen besar, ya?” tanya Adam.“Tentu saja!” Arum tertawa kecil sambil merapikan gaunnya yang berkilauan. “Mama tahu kamu keras kepala, Adam, tapi setidaknya sekarang kamu mulai membuka hati untuk pilihan yang tepat. Ja
“Jangan bergerak terlalu banyak, Gauri” pinta Adam sambil mendorong kursi roda Gauri perlahan, membawa wanita itu ke taman rumah sakit. “Dokter bilang kamu masih perlu banyak istirahat. Aku tidak akan mengampuni diriku jika setelah ini terjadi sesuatu pada dirimu lagi.”Gauri tersenyum tipis dengan pipi memerah. Wajah wanita itu jauh lebih cerah dibanding hari-hari sebelumnya.“Aku tidak bergerak sama sekali, Mas Adam. Kamu yang menaruh aku untuk duduk di sini, di kursi roda, bukan?” Gauri tidak ingin kalah.Adam menoleh sejenak ke arah Gauri dengan tatapan yang tenang dan menghangatkan. Ada senyum tipis yang menghiasi bibirnya.“Kalau kamu tidak ingin duduk di sini, aku bisa mengembalikanmu ke ranjang perawatan,” tukas Adam berpura-pura marah, padahal sedang menahan tawa.Gauri tertawa kecil, menyentuh tangan Adam yang berada di pegangan kursi roda. “Tidak usah. Di sini jauh lebih menyenangkan. Terima kasih sudah membawaku keluar.”Angin sore yang sejuk menyapu wajah mereka saat Adam
“Apa yang mereka inginkan dari kerja sama ini?” tanya Adam pada seseorang di seberang telepon sambil memandang cahaya matahari lembut yang masuk melalui jendela, menerangi ruangan perawatan VIP di salah satu rumah sakit terbaik di kota Jakarta.Adam duduk di sofa dengan postur tegap, satu tangan memegang ponsel, sementara tangan lainnya menelusuri dokumen yang tersebar di meja kecil di depannya. Di sekitar sofa, ada laptop terbuka, beberapa map tebal, dan secangkir kopi yang sudah hampir dingin.“Saya paham bahwa Harraz Mall harus menarik perhatian publik dengan langkah ini,” ujar Adam serius. “Tapi brand sebesar itu memerlukan penawaran yang lebih kuat. Saya akan mengatur ulang kontraknya besok.”Sebuah keheningan singkat mengisi ruangan sebelum suara kecil terdengar dari ranjang di belakangnya.“Mas Adam?”Adam langsung tersentak, jantungnya berdebar keras. Suara itu begitu lembut, tetapi cukup untuk menghentikan dunianya sejenak. Dengan gerakan cepat, Adam menoleh, matanya membelal