"Kenapa masih menangis, Chava? Mereka sudah pergi dan tidak akan berani mengganggumu lagi," ujar Gauri dengan suara lembut sambil menyeka sisa air mata di pipi gadis kecil itu.Namun, tangis Chava tidak juga berhenti. Gadis itu memeluk tas kecilnya erat-erat seperti benda itu adalah harta yang paling berharga.Gauri menghela napas panjang. Dia merasa kasihan melihat kondisi Chava."Ayo, kita beli es krim. Kamu suka es krim, kan? Tante tahu toko es krim yang enak di dekat sini!" ajak Gauri sambil tersenyum.Gauri ingat pada pertemuan pertamanya dengan Chava. Gadis kecil itu meminta es krim pada Amora dengan mata yang berbinar.Mata Chava yang sembap mendongak perlahan."Benarkah, Tante? Tapi ... aku tidak punya uang," jawab Chava polos, suara lirihnya masih terdengar gemetar.Gauri tersenyum sambil mengusap pelan kepala Chava. "Kamu tidak perlu khawatir soal itu. Ayo, ikut Tante!"
"Nama Papa aku ...." Chava membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi suaranya terputus saat pandangannya tertuju pada sosok yang berdiri tidak jauh dari mereka.Mata kecil Chava melebar dan tangan mungilnya menggenggam tas dengan lebih erat."Mama!" seru Chava pelan.Gauri mengikuti arah pandangan Chava. Benar saja, sosok Amora berdiri di tepi jalan, mengenakan gaun semata kaki dengan wajah dingin yang mengawasi mereka. Tatapan Amora seperti pisau yang menusuk langsung ke arah Gauri.Jantung Gauri kini berdebar untuk alasan yang berbeda. Namun, wajah wanita cantik itu terlihat tetap tenang.Amora melangkah cepat ke arah mereka, wajahnya mengeras seiring langkahnya yang semakin dekat dengan Gauri. Begitu sampai, wanita itu langsung menarik tangan Chava ke sisinya tanpa basa-basi."Apa yang kamu lakukan di sini, Chava?" tanya Amora tajam, tanpa melirik Gauri. “Apakah kamu sadar kalau kamu sudah membuat M
"Amora, jangan pergi dulu!" Gauri melangkah maju dengan niat mengejar Amora yang berjalan cepat bersama Chava.Namun, langkah wanita itu terhenti ketika ponsel di dalam tasnya berdering. Dia menghela napas panjang, mengeluarkan ponsel, dan membaca nama Amelia di layar.Dengan enggan, Gauri mengangkat panggilan itu."Ada apa, Amelia?" Gauri berusaha menahan rasa kesalnya."Nona Gauri, Nona di mana? Rapat dengan dewan direksi akan dimulai dalam lima belas menit. Semua sudah hadir." Amelia terdengar cemas di ujung telepon.Gauri menatap punggung Amora dan Chava yang semakin menjauh. "Amelia, saya sedang di luar. Akan saya usahakan sampai tepat waktu.""Tolong jangan terlambat, Nona. Ini sangat penting." Amelia menekankan sebelum menutup telepon.Gauri mendesah panjang, menatap jalan tempat Amora dan Chava menghilang. Meskipun hatinya bergejolak, Gauri paham tanggung jawabnya sebagai CEO Uno Rekayasa Industri tidak bisa diabaikan. ‘Amora, aku belum selesai denganmu,’ batin Gauri sebelum
"Hari sudah sangat petang, Ezra. Apa lagi yang kamu inginkan?" Gauri mendesah panjang sambil menyandarkan tubuh ke kursi di ruangannya. “Membesarkan masalah yang sudah selesai di dalam rapat?”Wanita cantik itu baru saja membereskan dokumen terakhirnya ketika Ezra tiba-tiba muncul di pintu.Ezra melangkah masuk tanpa diundang, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, dan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Saya hanya penasaran, Gauri. Apa yang akan kamu lakukan dengan rekaman CCTV itu?""Rekaman apa yang kamu maksud?” Gauri menegakkan tubuhnya, mengangkat alis dengan wajah datar."Jangan pura-pura tidak tahu. Amora sudah memberi tahu saya semuanya. Kamu menemui dia dan Chava di taman tadi pagi, bukan? Itu sebabnya kamu terlambat." Ezra mendekat, suaranya terdengar santai, tetapi ada penekanan di sana.Gauri menghela napas sambil berdiri dan menatap tajam pria itu. "Apa yang saya lakukan di luar kantor tidak ada hu
"Saya tahu penyakit Pak Thomas sulit disembuhkan, mengingat beliau sudah masuk ke stadium tiga. Tapi saya percaya padamu. Terima kasih sudah bersedia membantu," ucap Adam terdengar tegas. Pria itu berdiri di salah satu koridor kosong di kantor polisi, sedang menelepon seseorang melalui ponselnya. Mata Adam menatap kosong pada majalah dinding yang ada di dekatnya. Adam tengah dipanggil ke kepolisian untuk menjadi saksi dari kasus Lily Lenson. Setelah konferensi pers, tidak perlu menunggu waktu lebih lama, Ikatan Dokter Indonesia segera melaporkan Lily atas dugaan pengancaman dan perencanaan pembunuhan. Dari seberang telepon, suara Kevin Spacey, seorang dokter dan teman lama Adam, terdengar sangat yakin dan menggebu-gebu. "Adam, saya selalu siap membantumu. Tuan Thomas akan mendapatkan perawatan terbaik di sini. Rumah sakit kami memiliki fasilitas lengkap, dan saya pribadi yang akan merawatnya," sahut Kevin. "S
"Jangan terlalu kaku malam ini. Tunjukkan senyum manismu sedikit, agar mereka percaya kita pasangan tunangan yang bahagia," bisik Ezra sambil memiringkan tubuhnya ke arah Gauri.Suara lembut pria itu penuh dengan sindiran, tetapi Gauri tetap menjaga wajahnya datar.Malam itu, keduanya menghadiri makan malam di restoran mewah bersama beberapa petinggi perusahaan rekanan Uno Rekayasa Industri. Tepat setelah pulang dari kantor.Ezra, seperti biasa, memanfaatkan acara ini untuk menampilkan citra sempurna sebagai Direktur Operasional yang andal dan tunangan Gauri yang setia. Sementara Gauri lebih fokus pada membangun kepercayaan para kolega bisnisnya."Bicara seperlunya saja, Ezra. Jangan terlalu banyak mengatur saya," balas Gauri dingin sambil menyeruput anggurnya.Ezra terkekeh pelan, lalu mengangkat gelasnya untuk bersulang dengan salah satu tamu.Lalu, Ezra kembali menoleh pada Gauri. "Tentu saja, Gauri. Saya di sini untuk menduku
Gauri membuka pintu toilet dengan kasar, napasnya tersengal setelah Ezra berniat melakukan sesuatu padanya. Dia berjalan cepat menyusuri koridor restoran mewah itu, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih kacau.Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba ketika tubuhnya menabrak seseorang.Bruk!"Maaf!" ucap Gauri spontan, tanpa melihat siapa yang ditabraknya."Gauri?" Pria itu memanggil namanya.Gauri mendongak, melihat seorang pria bertubuh tinggi dengan senyum ramah. Wajahnya terasa familiar, tetapi otaknya tidak dapat segera mengenali pria itu.“Maaf, siapa?” Gauri mengangkat kedua alisnya."Kamu tidak ingat saya?" tanya pria itu sambil menyentuh dadanya, berpura-pura tersinggung. "Saya Michael, kekasih Helen. Kita bertemu di pesta pertunanganmu dengan Ezra minggu lalu."Gauri mengerutkan kening, ingatannya perlahan kembali. "Oh, iya. Maaf, Michael. Malam itu terlalu
"Nona Gauri, saya tahu ini sulit bagi kamu. Tapi saya memohon, bantulah Lily." Suara Patricia terdengar bergetar. Matanya yang sembap tampak menunjukkan bahwa wanita paruh baya itu telah menangis sepanjang malam. Patricia datang di jam istirahat, karena hanya itu waktu luang Gauri. Bahkan, wanita itu sudah ada di ruangan kerja Gauri sejak pukul 11 saat Gauri masih memimpin rapat. Gauri duduk di kursi kebesarannya sambil menikmati mi instan, hanya menu itu yang bisa Gauri temukan dengan cepat di ruangannya. Amelia juga sibuk mengurus pekerjaan lain dan tidak sempat menyiapkan makan siang untuk nonanya. Wanita itu memandang Patricia dengan ekspresi tenang, tetapi mata Gauri menyiratkan ketidaknyamanan. Selain karena jam makan siangnya diganggu, Gauri juga tidak mengerti dengan permintaan Patricia. "Tante Pat, sebelum kita lanjut bicara, bolehkah saya tahu kenapa saya yang Tante pilih untuk dimintai bantuan
“Pasien dengan syal putih! Kondisinya kritis! Siapkan ruang operasi sekarang juga!”Suara seorang perawat perempuan memenuhi lorong gawat darurat rumah sakit. Dua brankar berisi tubuh tidak sadarkan diri didorong dengan kecepatan tinggi oleh para petugas medis.Salah satunya adalah Gauri, tubuhnya tertutup selimut, kecuali bagian kepala yang berlumuran darah dan terbalut syal putih. Di belakangnya, Amelia, yang kondisinya lebih stabil, dibawa ke ruang perawatan lain.“Dokter, tekanan darah pasien menurun drastis! Dia kehilangan banyak darah!” ujar seorang perawat sambil membaca monitor.Dokter yang berjaga, seorang pria paruh baya bernama Hasan, segera memeriksa kondisi Gauri. Matanya menyipit, serius, sementara tangannya bergerak cepat membuka perban darurat di kepala pasien.“Luka ini dalam. Kemungkinan ada pendarahan internal di kepala. Siapkan CT scan kepala segera. Panggil tim bedah!” perintah Hasan dengan tegas. “Kita tidak punya banyak waktu!”Para perawat dan petugas lainnya b
Ezra melangkah masuk ke griya tawang dengan langkah terburu-buru, rambut pria itu masih sedikit basah akibat tergesa-gesa membersihkan diri di perjalanan. Malam sudah larut, tetapi suasana tempat tinggal mewah itu masih terjaga dalam keheningan yang dingin.Namun, langkah Ezra terhenti saat dia melihat sosok Thomas duduk di ruang tamu, mengenakan setelan santai dengan beberapa lembar kertas di tangannya. Wajah Thomas terlihat serius, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa pria tua itu tahu sesuatu yang mencurigakan.“Ezra?” panggil Thomas tanpa mengangkat wajah dari lembar laporan itu. “Kamu baru pulang?”Ezra menelan ludah, tetapi segera memasang senyum kecil. “Ya, Kakek. Saya … ada urusan penting di luar kota.”Tentu saja Ezra berbohong.Thomas akhirnya mendongak, menatap Ezra dengan mata yang sulit ditebak. “Kamu terlihat gelisah. Ada masalah?”Ezra menggeleng cepat, berusaha menguasai dirinya. “Tidak, Kakek. Saya hanya lelah. Kalau tidak ada apa-apa, saya permisi ke kamar dulu
Adam meletakkan kotak kecil di meja di depan Gauri, yang sedang duduk di sofa rumah peristirahatannya. Hari sudah sore saat pria itu sampai. Mata pria itu tajam, tetapi penuh perhatian. “Ini,” kata Adam sambil mendorong kotak itu sedikit lebih dekat ke Gauri. “Aku pikir kamu membutuhkan ini.” Gauri membuka kotak itu dengan alis terangkat. Di dalamnya terdapat sebuah ponsel baru berwarna hitam, dengan desain ramping yang terlihat mahal. “Mas Adam,” ujar Gauri pelan. “Aku tidak meminta ini.” “Dan aku tidak akan menunggu kamu memintanya,” balas Adam sambil menatap lurus ke arah Gauri. “Kita perlu berkomunikasi. Aku mungkin tidak bisa sering ke sini setelah ini.” Gauri terdiam sesaat, lalu mengangguk. Wanita itu tahu Adam benar. “Terima kasih,” ucap Gauri singkat sambil mengambil dan mulai mempelajari ponsel itu. Adam tidak membalas. Pria itu meraih saku jasnya dan mengeluarkan sebuah benda lain, pistol kecil berwarna hitam. Dia meletakkan benda berbahaya itu di atas kotak po
Ezra langsung tersentak dari euforia mabuknya ketika melihat Gauri berdiri di hadapannya. Cahaya dari senter yang diarahkan ke wajah pria itu membuat mata Ezra menyipit, tetapi dia tahu dengan pasti siapa pemilik suara dingin itu.“Gauri …?” tanya Ezra memastikan. Pria itu masih terdengar serak, nadanya ada di antara keterkejutan dan ketakutan.Seketika, kesadaran Ezra yang terkubur di bawah lapisan alkohol dan hedonisme kembali dengan paksa. Ezra melompat berdiri dari sofa, pria itu sedikit oleng, tetapi pandangannya tetap fokus pada wanita yang berdiri di depannya.Wanita-wanita yang menemani Ezra berpesta langsung terdiam, bingung dengan suasana yang tiba-tiba berubah tegang. Mereka berbisik, tidak berani bertanya apa yang sedang terjadi.“Keluar!” teriak Ezra dengan nada penuh perintah kepada para wanita itu. “Semua keluar sekarang juga!”Wanita-wanita itu segera berdiri dan berpencar untuk memungut pakaian mereka yang berserakan di segala penjuru ruangan.Gauri menatap kejadian i
Adam memasuki lobi kantor Uno Rekayasa Industri sambil melangkah lebar, walaupun di dalam hatinya ada rasa tegang yang tidak biasa.Resepsionis, seorang wanita muda yang terlihat sangat profesional, segera menahan langkah pria itu dengan tatapannya.“Maaf, Tuan. Boleh saya tahu, Anda ada janji dengan siapa?” tanya resepsionis dengan sopan dan tersenyum lebar. Namun, matanya terlihat waspada.Adam menatap resepsionis itu sambil mengernyitkan dahi. Pria itu sadar bahwa dia sedang diawasi.“Saya ingin bertemu dengan Pak Thomas Uno. Katakan pada beliau bahwa Adam Harraz ingin berbicara mengenai sesuatu yang sangat penting,” jawab Adam. “Sekarang juga.”Resepsionis tampak ragu, tetapi wanita itu tetap mencoba menghubungi ruangan Thomas melalui telepon. Beberapa saat kemudian, dia menutup telepon sambil menghela napas dan mimik sedih.“Maaf, Tuan Adam. Tuan Thomas sedang sibuk dan tidak bisa menerima tamu tanpa janji sebelumnya,” ujarnya.Adam mendekatkan tubuhnya sedikit ke arah meja resep
Gauri memasuki mobil yang sudah menunggu di depan Eterna Bliss. Langkah wanita itu tampak tenang, tetapi pikirannya dipenuhi berbagai kekhawatiran.Gauri mendaratkan tubuhnya di kursi belakang dengan anggun, dua pengawal Ezra duduk di depan, sementara satu lagi duduk di kursi belakang bersamanya.Mobil Adam melintasi mobil mereka lebih dulu. Gauri tahu ke arah mana pria itu pergi, kantor Uno Rekayasa Industri.Suasana di dalam mobil terasa sunyi, hanya terdengar deru mesin dan sesekali suara klakson kendaraan lain di luar. Namun, di dalam hati Gauri, ada keributan yang tidak bisa wanita itu kendalikan.‘Mas Adam akan menemui Kakek,’ pikir Gauri cemas. ‘Bagaimana jika itu benar-benar membuat kesehatan Kakek semakin memburuk?’Wanita itu meremas-remas jemarinya di atas pangkuan, kebiasaan yang selalu dia lakukan ketika sedang dilanda kecemasan.Setelah beberapa menit berlalu, Gauri mengangkat wajah dan menatap ke depan, ke arah pengawal yang duduk di kursi penumpang depan.“Bisakah kita
Gauri berdiri mematung, masih berusaha mencerna informasi yang baru saja Adam ungkapkan.‘Ezra, pembunuh? Bagaimana bisa?’ batin Gauri.Pikiran wanita itu dipenuhi berbagai pertanyaan yang berputar tanpa henti.“Mas Adam,” ucap Gauri beberapa saat kemudian. “Apa kamu punya bukti atas tuduhanmu itu?”Adam mengangguk, manik cokelat pria itu menatap dalam mata Gauri seolah ingin memastikan bahwa dia berkata berdasarkan bukti dan tidak asal menuduh.Namun, sebelum Adam menjawab, pria itu melihat sekilas ke luar ruangan melalui kaca kecil di pintu.Dua pengawal Ezra terlihat sedang berbicara dengan pelayan Eterna Bliss. Adam tahu waktunya terbatas. Walaupun membawa pengawal pribadi, pria itu tidak ingin ada keributan di tempat yang tidak seharusnya.“Ikut aku, Gauri!” ajak Adam tanpa menunggu jawaban.Adam segera meraih pergelangan tangan Gauri dengan lembut dan juga kuat. Dia menarik wanita itu masuk ke ruang ganti VIP.Ruangan itu kedap suara, dirancang untuk memberikan kenyamanan penuh
Langkah Gauri terhenti seketika saat seorang pelayan Eterna Bliss tiba-tiba berlutut di depannya. Mata pelayan wanita yang tampak lebih senior daripada pelayan lain itu memancarkan ketakutan yang begitu nyata, bahkan tubuhnya sedikit gemetar.“Nona Gauri,” ucap pelayan itu dengan suara bergetar. “Tolong, pilihlah gaun hari ini. Jika Nona tidak melakukannya, Tuan Ezra akan … beliau akan membunuh saya!”Gauri mengangkat salah satu alis, matanya yang semula datar kini menunjukkan keterkejutan. “Apa yang kamu katakan? Ezra tidak akan membunuh siapa pun.”Walaupun ragu dengan perkataannya sendiri, Gauri merasa harus mengatakan itu. Apalagi ini hanya masalah sepele, tidak mungkin Ezra akan benar-benar melakukannya.‘Iya, kan?’ batin Gauri mencoba memvalidasi logikanya.Gauri menoleh pada pengawal Ezra yang hanya diam menonton. Mereka bahkan tidak menyingkirkan pelayan yang sebenarnya menghalangi jalan Gauri. Tatapan mereka justru seperti membiarkan hal itu terjadi.Pelayan itu tetap dalam p
Gauri melangkah masuk ke dalam Eterna Bliss, wedding gallery terkenal yang telah dikenal karena koleksi gaun pengantin mewahnya. Nama tempat itu terukir dengan huruf emas besar di papan depan, mencerminkan kemewahan yang diusungnya.Pintu kaca otomatis terbuka, dan Gauri disambut oleh seorang pelayan dengan seragam rapi. Wanita itu tersenyum lebar, membungkuk sopan sebelum mendekati Gauri.“Selamat datang di Eterna Bliss, Nona Gauri,” ucap pelayan itu dengan suara lembut yang terlatih. “Kami sudah menunggu Anda. Silakan ikuti saya ke ruang VIP.”Gauri mengangguk pelan, melangkah mengikuti pelayan tersebut. Di ruang VIP, interiornya dihiasi dengan dinding putih elegan dan lampu gantung kristal yang berkilauan. Beberapa manekin memamerkan gaun-gaun pengantin dengan detail yang luar biasa.Namun, perhatian Gauri langsung tertuju pada satu hal yang tidak ada di ruangan itu, Ezra.“Di mana Ezra?” tanya Gauri. Wanita itu terdengar tegas, tetapi masih sangat anggun.Pelayan itu terdiam sejen