"Jangan terlalu kaku malam ini. Tunjukkan senyum manismu sedikit, agar mereka percaya kita pasangan tunangan yang bahagia," bisik Ezra sambil memiringkan tubuhnya ke arah Gauri.
Suara lembut pria itu penuh dengan sindiran, tetapi Gauri tetap menjaga wajahnya datar.Malam itu, keduanya menghadiri makan malam di restoran mewah bersama beberapa petinggi perusahaan rekanan Uno Rekayasa Industri. Tepat setelah pulang dari kantor.Ezra, seperti biasa, memanfaatkan acara ini untuk menampilkan citra sempurna sebagai Direktur Operasional yang andal dan tunangan Gauri yang setia. Sementara Gauri lebih fokus pada membangun kepercayaan para kolega bisnisnya."Bicara seperlunya saja, Ezra. Jangan terlalu banyak mengatur saya," balas Gauri dingin sambil menyeruput anggurnya.Ezra terkekeh pelan, lalu mengangkat gelasnya untuk bersulang dengan salah satu tamu.Lalu, Ezra kembali menoleh pada Gauri. "Tentu saja, Gauri. Saya di sini untuk mendukuGauri membuka pintu toilet dengan kasar, napasnya tersengal setelah Ezra berniat melakukan sesuatu padanya. Dia berjalan cepat menyusuri koridor restoran mewah itu, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih kacau.Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba ketika tubuhnya menabrak seseorang.Bruk!"Maaf!" ucap Gauri spontan, tanpa melihat siapa yang ditabraknya."Gauri?" Pria itu memanggil namanya.Gauri mendongak, melihat seorang pria bertubuh tinggi dengan senyum ramah. Wajahnya terasa familiar, tetapi otaknya tidak dapat segera mengenali pria itu.“Maaf, siapa?” Gauri mengangkat kedua alisnya."Kamu tidak ingat saya?" tanya pria itu sambil menyentuh dadanya, berpura-pura tersinggung. "Saya Michael, kekasih Helen. Kita bertemu di pesta pertunanganmu dengan Ezra minggu lalu."Gauri mengerutkan kening, ingatannya perlahan kembali. "Oh, iya. Maaf, Michael. Malam itu terlalu
"Nona Gauri, saya tahu ini sulit bagi kamu. Tapi saya memohon, bantulah Lily." Suara Patricia terdengar bergetar. Matanya yang sembap tampak menunjukkan bahwa wanita paruh baya itu telah menangis sepanjang malam. Patricia datang di jam istirahat, karena hanya itu waktu luang Gauri. Bahkan, wanita itu sudah ada di ruangan kerja Gauri sejak pukul 11 saat Gauri masih memimpin rapat. Gauri duduk di kursi kebesarannya sambil menikmati mi instan, hanya menu itu yang bisa Gauri temukan dengan cepat di ruangannya. Amelia juga sibuk mengurus pekerjaan lain dan tidak sempat menyiapkan makan siang untuk nonanya. Wanita itu memandang Patricia dengan ekspresi tenang, tetapi mata Gauri menyiratkan ketidaknyamanan. Selain karena jam makan siangnya diganggu, Gauri juga tidak mengerti dengan permintaan Patricia. "Tante Pat, sebelum kita lanjut bicara, bolehkah saya tahu kenapa saya yang Tante pilih untuk dimintai bantuan
"Nona Gauri, saya …." ucapan Patricia yang frustasi menggantung di udara.Gauri berdiri di dekat jendela ruangannya, memunggungi Patricia. Mata wanita itu menerawang pada pemandangan gedung-gedung tinggi Jakarta.Namun, pikiran Gauri memikirkan hal lain. Tentang pesan Adam.Sebelum Patricia tiba, Gauri sempat membaca pesan dari pria rupawan itu.[Aku tahu Patricia akan mendatangimu. Dia pasti memohon supaya kamu berpihak pada Lily agar anaknya tidak dipenjara. Tapi dengarkan aku, Gauri. Kita harus berada di pihak yang sama dalam masalah ini. Jangan sampai kita membiarkan Lily lolos tanpa hukuman, apalagi setelah apa yang sudah dia lakukan padamu.]Gauri mendesah dan menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.Adam selalu memiliki cara untuk membaca situasi lebih awal, dan kali ini pun pria itu benar. Patricia datang dengan tujuan persis seperti yang Adam perkirakan.Pesan berikutnya
Mobil hitam yang membawa Gauri melaju perlahan di tengah keramaian jalan Jakarta. Hari sudah menjelang malam, tetapi Gauri baru bisa kembali dari kantor. Akhir-akhir ini, Gauri terpaksa menambah jam kerjanya.Berbeda dengan keadaan di luar, di dalam mobil suasana justru terasa tenang. Amelia duduk di kursi depan, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan Gauri terlihat nyaman.Gauri memandangi pemandangan kota yang bersinar di luar jendela. Setelah hari yang panjang dengan berbagai tekanan, termasuk bertemu dengan Patricia, setidaknya ada satu hal memberinya rasa lega."Hidup saya terasa lebih tenang sejak pagi tadi," ucap Gauri tiba-tiba, memecah keheningan. “Walaupun ada sedikit gangguan kecil saat jam makan siang.”Amelia melirik ke belakang, menunggu Gauri melanjutkan."Ezra akhirnya pergi ke Belanda untuk dinas. Saya bisa beristirahat untuk beberapa hari ke depan tanpa permintaan-permintaannya yang tidak
"Saksi berikutnya, Gauri Bentlee Uno," panggil Hakim yang memimpin sidang hari ini. Suaranya menggema di ruangan yang penuh sesak. Kasus ini melibatkan dua keluarga konglomerat besar, yaitu Uno dan Harraz. Semua media pasti ingin meliput. Gauri berdiri dari kursinya dengan tenang. Semua mata dan kamera tertuju padanya, termasuk Patricia yang duduk di barisan pengunjung dengan wajah tegang. Wanita itu melangkah ke depan, menuju kursi saksi dengan kepala tegak. Saat duduk, Gauri menatap Hakim tanpa gentar, tetapi jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. "Nona Gauri, sebagai cucu dari Tuan Thomas Uno, apakah Anda mengetahui adanya indikasi atau perilaku mencurigakan dari dokter Lily Lenson terhadap kakek Anda?" tanya Hakim dengan intonasi yang cenderung datar dan terkesan formal. Gauri menarik napas panjang. Dia tahu ini adalah jawabannya akan menentukan banyak hal untuk Lily ke depannya.
Gauri menatap Adam dengan alis berkerut. Wanita itu tidak menyangka bahwa mantan suaminya memiliki bukti lain untuk memenjarakan Amora."Bukti apa, Mas? Apa yang kamu maksud dengan bukti lain?" tanya Gauri lagi.Kali ini suaranya rendah, tetapi nada ingin tahunya jelas semakin terasa.Adam meletakkan cangkir kopinya dan menatap Gauri dengan serius."Tim kerja rahasiaku yang baru, menemukan dalang di balik kebocoran data Harraz Mall," jawab Adam dengan tegas.Gauri mendengarkan dengan seksama. Rasa penasarannya tidak akan tuntas jika Adam tidak menjawabnya dengan rinci.“Ya, itu bagus, kamu membutuhkan itu. Lalu apa hubungannya dengan Amora?” tanya Gauri tidak sabar.Adam menghela napas, sengaja mengambil jeda hanya untuk melihat wajah penasaran Gauri yang menurutnya atraktif."Amora adalah dalang kebocoran data itu, Gauri," lanjut Adam.Mata pria itu menatap lurus ke arah Gauri.Gauri terdiam s
Pesta donasi Heal the Hearts Club tahun ini berlangsung dengan kemewahan yang tidak kalah dari lima tahun lalu. Ballroom dipenuhi dengan kilauan lampu kristal dan dihadiri oleh tamu-tamu penting dari berbagai kalangan.“Saya akan menunggu di sini, Nona,” ucap Amelia sedikit membungkuk.Gauri melangkah masuk dengan anggun mengenakan gaun biru gelap yang elegan. Tatapan wanita itu menyapu ruangan dan berhenti sejenak pada sosok Adam di seberang ballroom.Pria itu sedang berbicara dengan kelompok pebisnis lainnya, wajah Adam tetap tenang meskipun sorot matanya dingin. Ketika mata mereka bertemu, Adam memberikan senyum tipis. Namun, Gauri segera mengalihkan pandangan dan lebih memilih bergabung dengan kelompok pebisnis lain.Kebetulan di dekat Gauri ada sekumpulan pria. Gauri mengenali mereka yang merupakan para suami dari wanita yang sempat menolaknya masuk dalam komunitas Patricia.Gauri mendekat. “Permisi, Tuan-tuan!”Mereka menoleh dan menyambut Gauri dengan baik. Percakapan mereka b
Adam menatap Ricky yang masih memegangi tangannya dengan kesal, tetapi tampak jelas bahwa pria berusia empat puluhan itu sedang menahan rasa sakit. Ricky mencoba menegakkan tubuh dan memasang senyum sinis."Kamu pikir kamu ini siapa, Adam? Bisnismu saja sedang berantakan! Harraz Mall hampir jatuh. Kamu tidak lebih baik dari saya!" Ricky menyeringai. Bibirnya bergetar dan giginya bergemeletuk.Adam menatap Ricky dengan tatapan tajam yang membuat udara terasa semakin dingin."Apa kamu yakin dengan pendapatmu tentang Harraz Mall, Ricky? Jangan bersikap seperti kamu tahu segalanya. Tapi bagaimana pun keadaan sebenarnya, itu tidak mengubah fakta bahwa saya masih berdiri di sini. Berbeda denganmu, saya tidak pernah memanfaatkan kelemahan orang lain untuk keuntungan pribadi," balas Adam, sengaja membuat Ricky goyah.Ricky menggeram, tetapi dia tidak mencoba melawan lagi. Aura intimidasi Adam terlalu kuat untuk dihadapi, terutama ketika Adam menatapnya se
“Operasi masih berlangsung?” Adam bertanya, dengan tajam dan dingin.Pria itu berdiri tegak di depan ruang operasi Rumah Sakit PMC Cibitung sambil menatap Bergas yang sedang menunggu di depan ruang operasi.“Ya, Tuan Adam,” jawab Bergas tanpa ekspresi. “Belum ada kabar dari dokter.”Adam melirik monitor di dinding yang menunjukkan waktu operasi. Tiga jam lebih. Terlalu lama.Pria yang langsung menuju ke tempat ini begitu mendapat kabar itu mengepalkan tangan, matanya memerah karena menahan amarah.“Mengapa Gauri bisa berada di daerah ini?” tanya Adam sambil mengernyitkan dahi.“Nona Gauri sedang dalam perjalanan untuk bertemu dengan Tuan Thomas. Beliau sedang berada di Karawang untuk meninjau proyek,” jawab Bergas dengan lugas.Adam menyipitkan mata. “Dan Pak Thomas? Di mana beliau sekarang?”Bergas menghela napas. Walaupun Adam bukanlah majikan langsungnya, pria paruh baya itu tetap merasa harus menghormatinya.Bagaimana pun, Bergas bisa mempercayakan Gauri pada Adam.“Sekretaris yan
“Pasien dengan syal putih! Kondisinya kritis! Siapkan ruang operasi sekarang juga!”Suara seorang perawat perempuan memenuhi lorong gawat darurat rumah sakit. Dua brankar berisi tubuh tidak sadarkan diri didorong dengan kecepatan tinggi oleh para petugas medis.Salah satunya adalah Gauri, tubuhnya tertutup selimut, kecuali bagian kepala yang berlumuran darah dan terbalut syal putih. Di belakangnya, Amelia, yang kondisinya lebih stabil, dibawa ke ruang perawatan lain.“Dokter, tekanan darah pasien menurun drastis! Dia kehilangan banyak darah!” ujar seorang perawat sambil membaca monitor.Dokter yang berjaga, seorang pria paruh baya bernama Hasan, segera memeriksa kondisi Gauri. Matanya menyipit, serius, sementara tangannya bergerak cepat membuka perban darurat di kepala pasien.“Luka ini dalam. Kemungkinan ada pendarahan internal di kepala. Siapkan CT scan kepala segera. Panggil tim bedah!” perintah Hasan dengan tegas. “Kita tidak punya banyak waktu!”Para perawat dan petugas lainnya b
Ezra melangkah masuk ke griya tawang dengan langkah terburu-buru, rambut pria itu masih sedikit basah akibat tergesa-gesa membersihkan diri di perjalanan. Malam sudah larut, tetapi suasana tempat tinggal mewah itu masih terjaga dalam keheningan yang dingin.Namun, langkah Ezra terhenti saat dia melihat sosok Thomas duduk di ruang tamu, mengenakan setelan santai dengan beberapa lembar kertas di tangannya. Wajah Thomas terlihat serius, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa pria tua itu tahu sesuatu yang mencurigakan.“Ezra?” panggil Thomas tanpa mengangkat wajah dari lembar laporan itu. “Kamu baru pulang?”Ezra menelan ludah, tetapi segera memasang senyum kecil. “Ya, Kakek. Saya … ada urusan penting di luar kota.”Tentu saja Ezra berbohong.Thomas akhirnya mendongak, menatap Ezra dengan mata yang sulit ditebak. “Kamu terlihat gelisah. Ada masalah?”Ezra menggeleng cepat, berusaha menguasai dirinya. “Tidak, Kakek. Saya hanya lelah. Kalau tidak ada apa-apa, saya permisi ke kamar dulu
Adam meletakkan kotak kecil di meja di depan Gauri, yang sedang duduk di sofa rumah peristirahatannya. Hari sudah sore saat pria itu sampai. Mata pria itu tajam, tetapi penuh perhatian. “Ini,” kata Adam sambil mendorong kotak itu sedikit lebih dekat ke Gauri. “Aku pikir kamu membutuhkan ini.” Gauri membuka kotak itu dengan alis terangkat. Di dalamnya terdapat sebuah ponsel baru berwarna hitam, dengan desain ramping yang terlihat mahal. “Mas Adam,” ujar Gauri pelan. “Aku tidak meminta ini.” “Dan aku tidak akan menunggu kamu memintanya,” balas Adam sambil menatap lurus ke arah Gauri. “Kita perlu berkomunikasi. Aku mungkin tidak bisa sering ke sini setelah ini.” Gauri terdiam sesaat, lalu mengangguk. Wanita itu tahu Adam benar. “Terima kasih,” ucap Gauri singkat sambil mengambil dan mulai mempelajari ponsel itu. Adam tidak membalas. Pria itu meraih saku jasnya dan mengeluarkan sebuah benda lain, pistol kecil berwarna hitam. Dia meletakkan benda berbahaya itu di atas kotak po
Ezra langsung tersentak dari euforia mabuknya ketika melihat Gauri berdiri di hadapannya. Cahaya dari senter yang diarahkan ke wajah pria itu membuat mata Ezra menyipit, tetapi dia tahu dengan pasti siapa pemilik suara dingin itu.“Gauri …?” tanya Ezra memastikan. Pria itu masih terdengar serak, nadanya ada di antara keterkejutan dan ketakutan.Seketika, kesadaran Ezra yang terkubur di bawah lapisan alkohol dan hedonisme kembali dengan paksa. Ezra melompat berdiri dari sofa, pria itu sedikit oleng, tetapi pandangannya tetap fokus pada wanita yang berdiri di depannya.Wanita-wanita yang menemani Ezra berpesta langsung terdiam, bingung dengan suasana yang tiba-tiba berubah tegang. Mereka berbisik, tidak berani bertanya apa yang sedang terjadi.“Keluar!” teriak Ezra dengan nada penuh perintah kepada para wanita itu. “Semua keluar sekarang juga!”Wanita-wanita itu segera berdiri dan berpencar untuk memungut pakaian mereka yang berserakan di segala penjuru ruangan.Gauri menatap kejadian i
Adam memasuki lobi kantor Uno Rekayasa Industri sambil melangkah lebar, walaupun di dalam hatinya ada rasa tegang yang tidak biasa.Resepsionis, seorang wanita muda yang terlihat sangat profesional, segera menahan langkah pria itu dengan tatapannya.“Maaf, Tuan. Boleh saya tahu, Anda ada janji dengan siapa?” tanya resepsionis dengan sopan dan tersenyum lebar. Namun, matanya terlihat waspada.Adam menatap resepsionis itu sambil mengernyitkan dahi. Pria itu sadar bahwa dia sedang diawasi.“Saya ingin bertemu dengan Pak Thomas Uno. Katakan pada beliau bahwa Adam Harraz ingin berbicara mengenai sesuatu yang sangat penting,” jawab Adam. “Sekarang juga.”Resepsionis tampak ragu, tetapi wanita itu tetap mencoba menghubungi ruangan Thomas melalui telepon. Beberapa saat kemudian, dia menutup telepon sambil menghela napas dan mimik sedih.“Maaf, Tuan Adam. Tuan Thomas sedang sibuk dan tidak bisa menerima tamu tanpa janji sebelumnya,” ujarnya.Adam mendekatkan tubuhnya sedikit ke arah meja resep
Gauri memasuki mobil yang sudah menunggu di depan Eterna Bliss. Langkah wanita itu tampak tenang, tetapi pikirannya dipenuhi berbagai kekhawatiran.Gauri mendaratkan tubuhnya di kursi belakang dengan anggun, dua pengawal Ezra duduk di depan, sementara satu lagi duduk di kursi belakang bersamanya.Mobil Adam melintasi mobil mereka lebih dulu. Gauri tahu ke arah mana pria itu pergi, kantor Uno Rekayasa Industri.Suasana di dalam mobil terasa sunyi, hanya terdengar deru mesin dan sesekali suara klakson kendaraan lain di luar. Namun, di dalam hati Gauri, ada keributan yang tidak bisa wanita itu kendalikan.‘Mas Adam akan menemui Kakek,’ pikir Gauri cemas. ‘Bagaimana jika itu benar-benar membuat kesehatan Kakek semakin memburuk?’Wanita itu meremas-remas jemarinya di atas pangkuan, kebiasaan yang selalu dia lakukan ketika sedang dilanda kecemasan.Setelah beberapa menit berlalu, Gauri mengangkat wajah dan menatap ke depan, ke arah pengawal yang duduk di kursi penumpang depan.“Bisakah kita
Gauri berdiri mematung, masih berusaha mencerna informasi yang baru saja Adam ungkapkan.‘Ezra, pembunuh? Bagaimana bisa?’ batin Gauri.Pikiran wanita itu dipenuhi berbagai pertanyaan yang berputar tanpa henti.“Mas Adam,” ucap Gauri beberapa saat kemudian. “Apa kamu punya bukti atas tuduhanmu itu?”Adam mengangguk, manik cokelat pria itu menatap dalam mata Gauri seolah ingin memastikan bahwa dia berkata berdasarkan bukti dan tidak asal menuduh.Namun, sebelum Adam menjawab, pria itu melihat sekilas ke luar ruangan melalui kaca kecil di pintu.Dua pengawal Ezra terlihat sedang berbicara dengan pelayan Eterna Bliss. Adam tahu waktunya terbatas. Walaupun membawa pengawal pribadi, pria itu tidak ingin ada keributan di tempat yang tidak seharusnya.“Ikut aku, Gauri!” ajak Adam tanpa menunggu jawaban.Adam segera meraih pergelangan tangan Gauri dengan lembut dan juga kuat. Dia menarik wanita itu masuk ke ruang ganti VIP.Ruangan itu kedap suara, dirancang untuk memberikan kenyamanan penuh
Langkah Gauri terhenti seketika saat seorang pelayan Eterna Bliss tiba-tiba berlutut di depannya. Mata pelayan wanita yang tampak lebih senior daripada pelayan lain itu memancarkan ketakutan yang begitu nyata, bahkan tubuhnya sedikit gemetar.“Nona Gauri,” ucap pelayan itu dengan suara bergetar. “Tolong, pilihlah gaun hari ini. Jika Nona tidak melakukannya, Tuan Ezra akan … beliau akan membunuh saya!”Gauri mengangkat salah satu alis, matanya yang semula datar kini menunjukkan keterkejutan. “Apa yang kamu katakan? Ezra tidak akan membunuh siapa pun.”Walaupun ragu dengan perkataannya sendiri, Gauri merasa harus mengatakan itu. Apalagi ini hanya masalah sepele, tidak mungkin Ezra akan benar-benar melakukannya.‘Iya, kan?’ batin Gauri mencoba memvalidasi logikanya.Gauri menoleh pada pengawal Ezra yang hanya diam menonton. Mereka bahkan tidak menyingkirkan pelayan yang sebenarnya menghalangi jalan Gauri. Tatapan mereka justru seperti membiarkan hal itu terjadi.Pelayan itu tetap dalam p