"Nona Gauri, saya …." ucapan Patricia yang frustasi menggantung di udara.
Gauri berdiri di dekat jendela ruangannya, memunggungi Patricia. Mata wanita itu menerawang pada pemandangan gedung-gedung tinggi Jakarta.Namun, pikiran Gauri memikirkan hal lain. Tentang pesan Adam.Sebelum Patricia tiba, Gauri sempat membaca pesan dari pria rupawan itu.[Aku tahu Patricia akan mendatangimu. Dia pasti memohon supaya kamu berpihak pada Lily agar anaknya tidak dipenjara. Tapi dengarkan aku, Gauri. Kita harus berada di pihak yang sama dalam masalah ini. Jangan sampai kita membiarkan Lily lolos tanpa hukuman, apalagi setelah apa yang sudah dia lakukan padamu.]Gauri mendesah dan menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.Adam selalu memiliki cara untuk membaca situasi lebih awal, dan kali ini pun pria itu benar. Patricia datang dengan tujuan persis seperti yang Adam perkirakan.Pesan berikutnyaMobil hitam yang membawa Gauri melaju perlahan di tengah keramaian jalan Jakarta. Hari sudah menjelang malam, tetapi Gauri baru bisa kembali dari kantor. Akhir-akhir ini, Gauri terpaksa menambah jam kerjanya.Berbeda dengan keadaan di luar, di dalam mobil suasana justru terasa tenang. Amelia duduk di kursi depan, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan Gauri terlihat nyaman.Gauri memandangi pemandangan kota yang bersinar di luar jendela. Setelah hari yang panjang dengan berbagai tekanan, termasuk bertemu dengan Patricia, setidaknya ada satu hal memberinya rasa lega."Hidup saya terasa lebih tenang sejak pagi tadi," ucap Gauri tiba-tiba, memecah keheningan. “Walaupun ada sedikit gangguan kecil saat jam makan siang.”Amelia melirik ke belakang, menunggu Gauri melanjutkan."Ezra akhirnya pergi ke Belanda untuk dinas. Saya bisa beristirahat untuk beberapa hari ke depan tanpa permintaan-permintaannya yang tidak
"Saksi berikutnya, Gauri Bentlee Uno," panggil Hakim yang memimpin sidang hari ini. Suaranya menggema di ruangan yang penuh sesak. Kasus ini melibatkan dua keluarga konglomerat besar, yaitu Uno dan Harraz. Semua media pasti ingin meliput. Gauri berdiri dari kursinya dengan tenang. Semua mata dan kamera tertuju padanya, termasuk Patricia yang duduk di barisan pengunjung dengan wajah tegang. Wanita itu melangkah ke depan, menuju kursi saksi dengan kepala tegak. Saat duduk, Gauri menatap Hakim tanpa gentar, tetapi jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. "Nona Gauri, sebagai cucu dari Tuan Thomas Uno, apakah Anda mengetahui adanya indikasi atau perilaku mencurigakan dari dokter Lily Lenson terhadap kakek Anda?" tanya Hakim dengan intonasi yang cenderung datar dan terkesan formal. Gauri menarik napas panjang. Dia tahu ini adalah jawabannya akan menentukan banyak hal untuk Lily ke depannya.
Gauri menatap Adam dengan alis berkerut. Wanita itu tidak menyangka bahwa mantan suaminya memiliki bukti lain untuk memenjarakan Amora."Bukti apa, Mas? Apa yang kamu maksud dengan bukti lain?" tanya Gauri lagi.Kali ini suaranya rendah, tetapi nada ingin tahunya jelas semakin terasa.Adam meletakkan cangkir kopinya dan menatap Gauri dengan serius."Tim kerja rahasiaku yang baru, menemukan dalang di balik kebocoran data Harraz Mall," jawab Adam dengan tegas.Gauri mendengarkan dengan seksama. Rasa penasarannya tidak akan tuntas jika Adam tidak menjawabnya dengan rinci.“Ya, itu bagus, kamu membutuhkan itu. Lalu apa hubungannya dengan Amora?” tanya Gauri tidak sabar.Adam menghela napas, sengaja mengambil jeda hanya untuk melihat wajah penasaran Gauri yang menurutnya atraktif."Amora adalah dalang kebocoran data itu, Gauri," lanjut Adam.Mata pria itu menatap lurus ke arah Gauri.Gauri terdiam s
Pesta donasi Heal the Hearts Club tahun ini berlangsung dengan kemewahan yang tidak kalah dari lima tahun lalu. Ballroom dipenuhi dengan kilauan lampu kristal dan dihadiri oleh tamu-tamu penting dari berbagai kalangan.“Saya akan menunggu di sini, Nona,” ucap Amelia sedikit membungkuk.Gauri melangkah masuk dengan anggun mengenakan gaun biru gelap yang elegan. Tatapan wanita itu menyapu ruangan dan berhenti sejenak pada sosok Adam di seberang ballroom.Pria itu sedang berbicara dengan kelompok pebisnis lainnya, wajah Adam tetap tenang meskipun sorot matanya dingin. Ketika mata mereka bertemu, Adam memberikan senyum tipis. Namun, Gauri segera mengalihkan pandangan dan lebih memilih bergabung dengan kelompok pebisnis lain.Kebetulan di dekat Gauri ada sekumpulan pria. Gauri mengenali mereka yang merupakan para suami dari wanita yang sempat menolaknya masuk dalam komunitas Patricia.Gauri mendekat. “Permisi, Tuan-tuan!”Mereka menoleh dan menyambut Gauri dengan baik. Percakapan mereka b
Adam menatap Ricky yang masih memegangi tangannya dengan kesal, tetapi tampak jelas bahwa pria berusia empat puluhan itu sedang menahan rasa sakit. Ricky mencoba menegakkan tubuh dan memasang senyum sinis."Kamu pikir kamu ini siapa, Adam? Bisnismu saja sedang berantakan! Harraz Mall hampir jatuh. Kamu tidak lebih baik dari saya!" Ricky menyeringai. Bibirnya bergetar dan giginya bergemeletuk.Adam menatap Ricky dengan tatapan tajam yang membuat udara terasa semakin dingin."Apa kamu yakin dengan pendapatmu tentang Harraz Mall, Ricky? Jangan bersikap seperti kamu tahu segalanya. Tapi bagaimana pun keadaan sebenarnya, itu tidak mengubah fakta bahwa saya masih berdiri di sini. Berbeda denganmu, saya tidak pernah memanfaatkan kelemahan orang lain untuk keuntungan pribadi," balas Adam, sengaja membuat Ricky goyah.Ricky menggeram, tetapi dia tidak mencoba melawan lagi. Aura intimidasi Adam terlalu kuat untuk dihadapi, terutama ketika Adam menatapnya se
Adam menatap Gauri cukup lama. Mata cokelat gelap pria itu seperti menyimpan sesuatu yang sulit Gauri tebak. Ada api kecil yang membara di sana, membuat Gauri merasa seolah udara di sekitar mereka mulai terasa panas.Gauri menggigit bibir bawahnya pelan dan menatap Adam dengan lekat. Walaupun ragu apakah Gauri bisa menghadapi jawaban Adam atau tidak, wanita itu perlahan mengangguk."Ya, aku ingin tahu. Apa yang sebenarnya terjadi malam itu?" Gauri berbisik nyaris tidak terdengar, tetapi cukup untuk membuat Adam tersenyum tipis.Adam melangkah mundur sejenak, lalu tanpa banyak bicara, pria itu meraih tangan Gauri dengan lembut. “Ikut aku!”Tanpa perlawanan, Gauri membiarkan Adam membawanya menuju pintu kecil di sisi koridor, yang tidak lain adalah akses menuju toilet pria.Adam membuka pintu dengan perlahan, memastikan tidak ada orang di dalamnya. Ketika semuanya aman, dia menarik Gauri masuk dan mengunci pintu di belakang mereka.
“Karena memang itu yang terjadi, Gauri. Anting Amora lepas dan aku hanya berusaha membantu memasangkannya karena dia bilang dia tidak bisa melakukan itu sendiri,” sahut Adam.“Persis?” tanya Gauri, mengingat bagaimana posisi mereka tadi begitu intim. Bahkan, Adam sempat mencium bahunya.“Hanya di bagian memasangkan anting,” jawab Adam sambil tersenyum tipis.Gauri menatap Adam dengan tatapan tidak percaya. "Hanya itu? Lalu kenapa aku mendengar desahan dan ... hal-hal lain yang tidak biasa?"Adam tertawa kecil. "Desahan itu muncul karena Amora kesakitan saat aku memaksa antingnya masuk dengan benar. Tidak lebih dari itu, Gauri. Tidak ada hal seperti yang kamu pikirkan."Gauri menatap Adam lama, mencoba membaca kejujuran dalam matanya. Meskipun tidak sepenuhnya yakin, Gauri tidak merasa bahwa Adam tidak sedang berbohong.Tok! Tok!Suara ketukan pintu toilet membuat keduanya terkejut. Gauri langsung memandang Adam dengan pa
Angin malam menyambut Gauri ketika dia keluar dari mobil Adam. Wanita itu mengernyit heran. “Kamu membawaku ke Harraz Mall?” tanya Gauri sambil melihat Harraz Mall dari pintu lobi utama. Dengan pakaian mereka sekarang yang terlalu formal, Harraz Mall bukanlah tempat yang tepat untuk merayakan sesuatu. Apalagi kurang dari satu jam, mall akan tutup. Adam mengangguk dan menarik tangan Gauri, seolah tidak ada yang salah. “Ikut aku!” “Jangan melangkah terlalu lebar. Tolong kasihani aku yang lebih pendek 20 cm darimu,” tukas Gauri menyindir. Adam tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Dia menuruti permintaan Gauri untuk berjalan perlahan dan membawa wanita itu ke lantai paling atas Harraz Mall. Lebih tepatnya pintu keluar menuju rooftop mall. Wanita itu menyapu pandangannya ke seluruh area rooftop Harraz Mall yang dipenuhi lampu temaram dan taman kecil yang dirancang
“Seharusnya kita reuni saat pernikahan Pak Ezra dengan Gauri,” tukas seorang mahasiswa yang pernah Ezra ajar dengan mata berkaca-kaca. “Bukan ke pemakaman beliau.”Langit pagi itu mendung, seolah turut berduka atas kepergian salah satu anak manusia. Angin berembus pelan, mengusik dedaunan di sekitar kompleks pemakaman Keluarga Uno.Seorang pendeta berdiri di depan peti kayu berwarna cokelat gelap yang dihiasi bunga lili putih. Di sekelilingnya, hanya ada sedikit pelayat, terbatas pada keluarga dekat, sahabat, dan beberapa orang yang pernah mengenal Ezra.“Betul,” sahut teman yang berdiri di sebelahnya. “Tapi kita cukup beruntung, karena tidak semua orang bisa masuk ke lahan pemakaman Keluarga Uno.”Thomas berdiri di barisan paling depan, mengenakan jas hitam dengan dasi yang rapi. Wajah pria tua itu pucat, garis-garis usianya terlihat lebih jelas dari biasanya.Namun, meski terpukul, pria tua itu tetap memimpin upacara pemakaman dengan penuh kewibawaan. Di sampingnya, Rusdi, berdiri d
Suara ketukan pintu terus terdengar, semakin keras dan memekakkan telinga.Tok! Tok! Tok!Ezra berdiri tegang di dekat pintu, pistol kecil di tangannya bergetar. Peluh menetes deras dari pelipisnya, sementara dadanya naik turun dengan cepat. Ketukan itu berhenti sesaat, dan justru membuat Ezra semakin gelisah.“Siapa?!” Ezra berteriak lagi, merasa panik dan marah.Masih tidak ada jawaban.Ezra menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan diri. Namun, sebelum pria itu bisa berpikir lebih jauh—Brak!Pintu penginapan itu didobrak paksa dengan suara keras. Seketika, Ezra refleks menekan pelatuk pistol di tangannya.Dor!Suara tembakan menggema di ruangan sempit itu. Seorang pria berseragam polisi yang berdiri paling depan langsung terhuyung ke belakang dan jatuh ke lantai dengan darah mengalir deras dari kepalanya.“Berhenti!” teriak salah satu polisi lainnya, penuh perintah.Polisi itu melangkah maju dan menendang pistol dari tangan Ezra sebelum pria itu sempat menembak lagi. Pistol it
Adam menyandarkan tubuh di sofa, sambil menatap Thomas dengan dingin.“Saya menjaga sopir itu tetap hidup karena dia salah satu kunci untuk menjebloskan Ezra ke penjara,” ujar Adam tegas. “Saya butuh dia berbicara, dan jika dia mati, semua bukti yang saya punya akan melemah.”Thomas mengangguk kecil, walaupun tatapannya tetap tajam. Dia meletakkan gelas kosongnya di meja, lalu mengusap wajah dengan tangan bergetar. Pria tua itu tampak lelah, tetapi tekadnya tetap terlihat jelas.“Kamu masih berpikir saya berada di pihak Ezra, bukan?” tanya Thomas tiba-tiba.Adam tidak menjawab, tetapi mata pria itu berbicara. Dingin dan penuh kewaspadaan, sebagaimana sikap yang harus dia tunjukkan di depan sekutu lawan.Namun, yang mengejutkan, Thomas menundukkan kepala sejenak dan matanya berkaca-kaca ketika pria tua itu mengangkat wajahnya lagi.“Apa yang bisa saya bantu?” tanya Thomas, penuh kesungguhan. “Jika itu untuk Gauri, saya akan melakukannya.”Adam tertegun. Kata-kata itu membuatnya terdiam
Adam duduk di kursi kerjanya yang megah. Wajah pria itu masih tanpa emosi seperti biasa, tetapi tangannya yang mengetuk permukaan meja menunjukkan kegelisahan yang jarang terlihat.Ruangan itu sunyi, hanya diisi suara lembut jam dinding yang berdetak. Adam menunggu dengan sabar hingga akhirnya pintu terbuka, dan Denny masuk dengan langkah tergesa.“Tuan Adam,” ujar Denny sambil berdiri tegak di depan meja. “Kami mendapat laporan terbaru tentang Ezra.”Adam mengangkat wajah, matanya menatap tajam Denny. “Di mana dia sekarang?”Denny menelan ludah, ragu sejenak sebelum menjawab. “Ezra terakhir terlihat di Bandara Soekarno-Hatta pada pukul dua siang tadi. Setelah itu, dia menghilang. Tidak ada jejak keberangkatan atau keberadaan darinya, Tuan.”Adam mendengar jawaban itu dengan rahang mengeras. Napas pria itu tetap teratur, tetapi ada kilatan marah di matanya yang membuat asistennya itu terintimidasi.“Bandara?” ulang Adam pelan, terdengar dingin. “Tujuan apa yang Ezra masukkan ke sistem
“Di mana dia?” Suara Thomas menggema di koridor rumah sakit, dingin dan penuh penekanan.Pria tua itu melangkah cepat, tongkat sama sekali tidak menghalanginya. Mata Thomas memerah dan sedikit berkaca-kaca, tengah menahan deretan emosi yang menyerangnya, amarah, kepanikan, dan kesedihan.“Di ICU, Tuan Thomas,” jawab Bergas dengan tenang, mendampingi langkah pria tua itu. “Namun, menurut dokter, Nona Gauri belum sadar dan masih dalam masa kritis.”Thomas berhenti sejenak di depan pintu ruang ICU. Melalui kaca kecil di pintu, pria tua itu melihat Gauri terbaring lemah dengan berbagai alat medis terpasang di tubuhnya.Tubuh cucunya yang biasanya penuh energi kini tampak rapuh, tidak berdaya. Thomas mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Dia menahan napas, berusaha mengendalikan emosinya.“Direktur rumah sakit ini di mana?!” tanya Thomas tiba-tiba, suaranya rendah, tetapi penuh ancaman.Bergas mengangkat alis sedikit. “Saya akan menghubungi beliau untuk menemui Anda.”“Tidak perlu,” sahu
“Operasi masih berlangsung?” Adam bertanya, dengan tajam dan dingin.Pria itu berdiri tegak di depan ruang operasi Rumah Sakit PMC Cibitung sambil menatap Bergas yang sedang menunggu di depan ruang operasi.“Ya, Tuan Adam,” jawab Bergas tanpa ekspresi. “Belum ada kabar dari dokter.”Adam melirik monitor di dinding yang menunjukkan waktu operasi. Tiga jam lebih. Terlalu lama.Pria yang langsung menuju ke tempat ini begitu mendapat kabar itu mengepalkan tangan, matanya memerah karena menahan amarah.“Mengapa Gauri bisa berada di daerah ini?” tanya Adam sambil mengernyitkan dahi.“Nona Gauri sedang dalam perjalanan untuk bertemu dengan Tuan Thomas. Beliau sedang berada di Karawang untuk meninjau proyek,” jawab Bergas dengan lugas.Adam menyipitkan mata. “Dan Pak Thomas? Di mana beliau sekarang?”Bergas menghela napas. Walaupun Adam bukanlah majikan langsungnya, pria paruh baya itu tetap merasa harus menghormatinya.Bagaimana pun, Bergas bisa mempercayakan Gauri pada Adam.“Sekretaris yan
“Pasien dengan syal putih! Kondisinya kritis! Siapkan ruang operasi sekarang juga!”Suara seorang perawat perempuan memenuhi lorong gawat darurat rumah sakit. Dua brankar berisi tubuh tidak sadarkan diri didorong dengan kecepatan tinggi oleh para petugas medis.Salah satunya adalah Gauri, tubuhnya tertutup selimut, kecuali bagian kepala yang berlumuran darah dan terbalut syal putih. Di belakangnya, Amelia, yang kondisinya lebih stabil, dibawa ke ruang perawatan lain.“Dokter, tekanan darah pasien menurun drastis! Dia kehilangan banyak darah!” ujar seorang perawat sambil membaca monitor.Dokter yang berjaga, seorang pria paruh baya bernama Hasan, segera memeriksa kondisi Gauri. Matanya menyipit, serius, sementara tangannya bergerak cepat membuka perban darurat di kepala pasien.“Luka ini dalam. Kemungkinan ada pendarahan internal di kepala. Siapkan CT scan kepala segera. Panggil tim bedah!” perintah Hasan dengan tegas. “Kita tidak punya banyak waktu!”Para perawat dan petugas lainnya b
Ezra melangkah masuk ke griya tawang dengan langkah terburu-buru, rambut pria itu masih sedikit basah akibat tergesa-gesa membersihkan diri di perjalanan. Malam sudah larut, tetapi suasana tempat tinggal mewah itu masih terjaga dalam keheningan yang dingin.Namun, langkah Ezra terhenti saat dia melihat sosok Thomas duduk di ruang tamu, mengenakan setelan santai dengan beberapa lembar kertas di tangannya. Wajah Thomas terlihat serius, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa pria tua itu tahu sesuatu yang mencurigakan.“Ezra?” panggil Thomas tanpa mengangkat wajah dari lembar laporan itu. “Kamu baru pulang?”Ezra menelan ludah, tetapi segera memasang senyum kecil. “Ya, Kakek. Saya … ada urusan penting di luar kota.”Tentu saja Ezra berbohong.Thomas akhirnya mendongak, menatap Ezra dengan mata yang sulit ditebak. “Kamu terlihat gelisah. Ada masalah?”Ezra menggeleng cepat, berusaha menguasai dirinya. “Tidak, Kakek. Saya hanya lelah. Kalau tidak ada apa-apa, saya permisi ke kamar dulu
Adam meletakkan kotak kecil di meja di depan Gauri, yang sedang duduk di sofa rumah peristirahatannya. Hari sudah sore saat pria itu sampai. Mata pria itu tajam, tetapi penuh perhatian. “Ini,” kata Adam sambil mendorong kotak itu sedikit lebih dekat ke Gauri. “Aku pikir kamu membutuhkan ini.” Gauri membuka kotak itu dengan alis terangkat. Di dalamnya terdapat sebuah ponsel baru berwarna hitam, dengan desain ramping yang terlihat mahal. “Mas Adam,” ujar Gauri pelan. “Aku tidak meminta ini.” “Dan aku tidak akan menunggu kamu memintanya,” balas Adam sambil menatap lurus ke arah Gauri. “Kita perlu berkomunikasi. Aku mungkin tidak bisa sering ke sini setelah ini.” Gauri terdiam sesaat, lalu mengangguk. Wanita itu tahu Adam benar. “Terima kasih,” ucap Gauri singkat sambil mengambil dan mulai mempelajari ponsel itu. Adam tidak membalas. Pria itu meraih saku jasnya dan mengeluarkan sebuah benda lain, pistol kecil berwarna hitam. Dia meletakkan benda berbahaya itu di atas kotak po