“Sama sekali tidak ada kemajuan?” tanya Gauri pada Amelia saat mereka tiba di kantor setelah jam makan siang.
Gauri baru saja mendapat laporan dari Amelia bahwa beberapa proyek tidak berjalan karena Ezra tidak kunjung memberi keputusan pada bawahannya. Ternyata selama Gauri pergi, pria itu juga tidak bekerja.Selain proyek, ada juga beberapa rapat yang terpaksa tertunda atau terpaksa tetap berjalan walaupun tanpa kehadiran Gauri dan Ezra.Namun, salah satu masalah yang paling fatal adalah pembatalan kerja sama dengan Kementerian Pembangunan yang nilai proyeknya mencapai 10 triliun. Itu adalah proyek dengan nilai terbesar di bulan berjalan.“Ya, Nona. Itu adalah keputusan krusial yang hanya bisa ditentukan oleh Tuan Ezra atau Nona Gauri,” jawab Amelia yang berdiri di depan meja kerja Gauri.“Kalau Ezra belum datang, bawa ke sini dokumennya. Biar saya pelajari dan hari ini juga saya aka“Apakah ini rekaman CCTV dari giya tawang?” Gauri memperhatikan kotak penyimpanan itu dengan seksama. Kedua alisnya terangkat. Amelia mengangguk dengan yakin. “Iya, Nona. Saya sudah menelusuri rekaman CCTV itu. Rekaman itu menunjukkan bahwa Amora datang ke griya tawang sekitar pukul delapan malam. Setelah itu, dia keluar sekitar satu jam kemudian.” Gauri terdiam, dadanya berdegup keras. Ada ribuan pertanyaan bersarang di kepalanya, tetapi untuk saat ini hanya satu yang terasa paling mendesak. “Tidak ada yang tahu tentang rekaman ini selain saya, kamu, dan Mas Adam, bukan?” “Iya, Nona,” jawab Amelia. “Untuk berjaga-jaga, saya juga sudah menduplikasi dan menyimpannya sementara di perangkat pribadi saya. Tapi saya pikir akan lebih baik jika Nona menyimpannya di tempat yang lebih aman.” Gauri menutup mata sejenak, menghela napas panjang untuk menenangkan dirinya. “Cari bank dengan brankas terbaik, Amelia. Pastikan hanya saya yang tahu kata sandi dan punya akses untuk menggantinya
“Amelia, kita harus ke rumah sakit sekarang!” Gauri menoleh tajam ke arah sopir pribadi yang duduk di depan, napasnya memburu setelah dia menyaksikan siaran langsung konferensi pers itu. “Saya ingin memastikan kondisi Kakek!” Amelia, yang duduk di samping sopir, tampak tertegun. Wajahnya sedikit pucat, tetapi dia mencoba menjaga ketenangannya. “Nona Gauri, apa Nona langsung percaya dengan ucapan Tuan Adam? Tuan Adam ... mungkin saja hanya asal bicara untuk mengalihkan topik.” “Kalian sudah tidak berada di pihak yang sama?” sindir Gauri. Bola mata Amelia bergerak liar. Dia tidak mungkin mengatakan tidak, tetapi untuk masalah ini Amelia harus berpihak pada Thomas. Gauri mengernyitkan dahi, mencoba melihat wajah Amelia. Namun, sekretarisnya itu terus memalingkan muka. “Kamu siap bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada Kakek, Amelia? Ini bukan hal yang bisa dianggap sepele. Kalau Kake
Beberapa menit sebelum kedatangan Adam ke rumah Thomas, tepatnya saat konferensi pers di sebuah lobi hotel “Tuan Adam, Anda mengatakan bahwa dokter Lily Lenson mengancam nyawa Tuan Thomas Uno. Apakah Tuan Adam memiliki bukti atas tuduhan serius ini?” tanya seorang reporter pria yang membuat reporter lain ikut mengajukan pertanyaan serupa. Suara reporter-reporter itu menggema di ruang lobi hotel yang megah. Mendadak, konferensi pers yang seharusnya dijadikan ajang meresmikan hubungan Lily dan Adam berubah menjadi lebih menegangkan. Perjodohan seorang konglomerat memang menarik, tetapi berita tentang konglomerat yang sedang sakit parah dijamin mampu merajai topik hangat di seluruh media sosial, apalagi ini adalah Thomas Uno. “Seharusnya kalian paham,” ujar Adam, membuat para reporter terdiam. “Ketika kalian diancam oleh seseorang secara nyata, apakah kalian akan sempat mendapatkan bukt
Hujan yang mulai reda menyisakan aroma tanah basah di udara. Gauri berdiri mematung di depan pintu utama kediaman Thomas. Mata wanita itu menyipit menatap Bergas dan Adam secara bergantian. Tubuhnya sedikit gemetar, entah karena udara dingin atau amarah yang terpendam sejak mendengar pengakuan Adam di konferensi pers tadi. "Saya bertanya, kenapa kamu bilang itu tidak benar?" Adam mengulang pertanyaannya kepada Bergas. Nada bicaranya semakin rendah, tetapi penuh penekanan. Bergas menghela napas berat, menunduk sejenak sebelum mengangkat wajah. "Tuan Adam, saya hanya mengikuti perintah Tuan Thomas." "Perintah apa?" Gauri menyela, melangkah maju mendekati Bergas. "Kamu tahu sesuatu, bukan? Beri tahu saya semuanya sekarang." Bergas terlihat bimbang. Matanya bergulir ke arah Adam, lalu kembali menatap Gauri. "Setelah Tuan Adam membuat pernyataan seperti itu di konferens
"Apa yang sebenarnya kamu pikirkan saat bicara di konferensi pers tadi, Adam?" Suara Patricia memecah keheningan begitu Adam masuk ke dalam rumah.Wanita itu duduk di ruang tamu rumah Adam dengan punggung yang tegak dan mata menatap pria muda itu tajam.Adam menghentikan langkah di depan sofa yang berseberangan dengan tempat Patricia duduk."Saya tidak berpikir hal itu perlu penjelasan lebih lanjut, Tante Patricia. Saya sudah mengatakan yang sebenarnya." Adam terdengar tenang, tetapi ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Patricia menyipitkan mata, amarah bergemuruh di dadanya. "Kamu pikir mengungkapkan hal seperti itu di depan publik adalah langkah yang cerdas, Adam?! Kamu tahu betapa berantakannya situasi saat ini? Kamu memfitnah Lily melakukan pengancaman dan berniat membunuh Thomas!""Situasi di masa depan bisa jauh lebih berantakan jika saya membiarkan diri saya terjebak bersama Lily. Saya sudah tidak ingin kehilangan lagi orang ya
"Tuan Thomas sakit kanker usus sejak lima tahun lalu, tidak lama setelah Nona Gauri pergi ke Amerika Serikat. Tuan tidak ingin Nona khawatir, itulah mengapa beliau begitu merahasiakan kondisi kesehatannya," ucap Bergas saat menjelaskan kondisi Thomas pada Gauri.Kalimat itu terus terngiang di kepala Gauri selama perjalanan pulangnya ke JCrown Tower. Di dalam mobil, Gauri duduk mematung dengan tangan terkepal di atas paha.Bergas meminta salah satu sopir Keluarga Uno untuk mengantar Gauri pulang. Mengingat, wanita itu tidak datang bersama Amelia.Pemandangan langit yang masih basah menyisakan bayangan kabur di kaca jendela. Pikiran Gauri kalut, seperti pusaran air yang menyeretnya semakin dalam. Dia ingat bagaimana Thomas selalu terlihat kuat di depannya.Tidak ada yang pernah menyangka bahwa pria setangguh itu menyembunyikan penyakit serius selama bertahun-tahun. Sekarang, setelah mengetahui kebenarannya, perasaan bersalah menghantam Gauri dengan
"Nona, saya sudah mengirimkan rekaman CCTV yang Nona minta ke surel pribadi Nona. Silakan diperiksa," ujar Amelia sebelum Gauri masuk ke dalam kamar.Gauri tersenyum tipis dan mengangguk. Wanita itu perlu mandi untuk mendinginkan kepalanya.Saat larut malam tiba, alih-alih istirahat, Gauri justru duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan file video rekaman CCTV dari koridor di depan pintu utama griya tawangnya.Gauri menekan tombol mainkan, dan video mulai memutar momen pada hari insiden itu terjadi. Wanita itu menahan napas ketika melihat sosok yang sudah tidak asing lagi di dalam video, Amora. Amora tampak memasuki griya tawang dengan langkah hati-hati, memastikan tidak ada yang melihatnya."Amora …." desis Gauri pelan.Bukti ini cukup kuat untuk menyeret Amora ke jalur hukum. Rekaman itu dengan jelas menunjukkan bahwa Amora satu-satunya orang yang ada di griya tawang, selain Gauri. Namun, tidak lama kemudian Gauri mengernyit."Kalau aku melaporkan Amora, ini ak
"Kenapa masih menangis, Chava? Mereka sudah pergi dan tidak akan berani mengganggumu lagi," ujar Gauri dengan suara lembut sambil menyeka sisa air mata di pipi gadis kecil itu.Namun, tangis Chava tidak juga berhenti. Gadis itu memeluk tas kecilnya erat-erat seperti benda itu adalah harta yang paling berharga.Gauri menghela napas panjang. Dia merasa kasihan melihat kondisi Chava."Ayo, kita beli es krim. Kamu suka es krim, kan? Tante tahu toko es krim yang enak di dekat sini!" ajak Gauri sambil tersenyum.Gauri ingat pada pertemuan pertamanya dengan Chava. Gadis kecil itu meminta es krim pada Amora dengan mata yang berbinar.Mata Chava yang sembap mendongak perlahan."Benarkah, Tante? Tapi ... aku tidak punya uang," jawab Chava polos, suara lirihnya masih terdengar gemetar.Gauri tersenyum sambil mengusap pelan kepala Chava. "Kamu tidak perlu khawatir soal itu. Ayo, ikut Tante!"
“Sudah selesai?” tanya Adam, berdiri di tepi kebun mawar yang membentang indah di belakang kediaman Thomas. Matahari mulai tenggelam, memberikan semburat jingga yang memukau.Gauri melangkah mendekat, gaun berwarna krem lembut yang memeluk tubuhnya berkibar tertiup angin sore. Di tangannya ada buket bunga mawar putih kecil yang baru saja wanita itu atur bersama Amelia.“Sudah,” jawab Gauri tersenyum tipis. “Kebun ini terlalu cantik jika tidak dipakai sebagai latar pesta kita.”Adam memandangnya dengan intens, mata gelap pria itu mengamati setiap detail wajah Gauri yang diterangi cahaya lampu sekitar. “Kamu lebih cantik.”“Mas Adam, jangan mulai lagi atau kamu ingin melihat pipiku semerah tomat.” Gauri mendesah kecil sambil menggeleng. “Orang-orang sudah berdatangan, kita harus segera bergabung.”Adam mengulurkan tangan, menarik Gauri mendekat hingga wanita itu berdiri hanya beberapa sentimeter darinya.“Kalau aku bilang kamu cantik, kamu terima saja,” tukas Adam.Gauri tertawa kecil,
“Mama ingin sesuatu dari laci itu?” tanya Gauri lagi, memastikan bahwa dia tidak salah mengerti.Arum mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari laci kecil di samping ranjang. Gauri mengerutkan kening sejenak, merasa sedikit ragu, tetapi akhirnya dia mendekat ke laci itu.Gauri membuka laci kecil tersebut dengan perlahan. Di dalamnya, terdapat sebuah kotak perhiasan kecil berwarna merah marun dengan ukiran emas di bagian atasnya. Gauri mengangkat kotak itu, lalu menoleh ke arah Arum.“Ini, Ma?” tanya Gauri sambil mengangkat kotak itu.Arum mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. Gauri membawa kotak itu ke hadapan Arum, tetapi wanita paruh baya itu membuat gerakan tangan seolah meminta Gauri membuka kotak tersebut.Dengan hati-hati, Gauri membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, terdapat sebuah cincin mewah dengan desain yang klasik dan elegan. Kilauan berlian di tengah cincin itu tampak memikat di bawah cahaya lampu kamar.Gauri memandang cincin itu dengan kagum.“Cincinnya sangat indah,
“Jadi, Nona benar-benar akan meninggalkan griya tawang?” tanya Amelia, matanya menatap koper kecil yang ada di sisi Gauri.Gauri mendongak dan memandang griya tawangnya sekali lagi dari tempat parkir JCrown Tower, tempat tinggal yang penuh kenangan, baik manis maupun pahit.“Ya,” jawab Gauri dengan mantap. “Tempat ini terlalu penuh dengan bayangan masa lalu. Kakek benar, saya butuh tempat tinggal baru yang lebih baik.”Amelia tersenyum kecil. “Rona Village memang lebih cocok untuk Nona sekarang. Walaupun kita sudah dewasa, terkadang kembali ke rumah orang tua akan terasa menenangkan.”Gauri hanya tersenyum. Wanita itu mengangguk pelan, mengiakan pendapat Amelia.Beberapa saat kemudian, Gauri melangkah menjauh dari JCrown Tower sambil membawa barang-barang penting dan meninggalkan semua yang tidak lagi ingin wanita itu ingat di griya tawang.Hari-hari berlalu, dan selama Adam berada di Australia, Gauri mengisi waktunya dengan bekerja dan merawat Arum. Setiap malam, setelah menyelesaika
[Bagaimana bisa kamu lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan Mama daripada aku, Gauri?]Gauri membaca pesan itu dengan senyum tipis. Matanya memancarkan kehangatan yang bercampur geli. Adam selalu memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan rasa cemburunya.Tanpa berpikir panjang, Gauri mengetik balasan. “Kamu sudah sampai di Australia?”Gauri menekan tombol kirim dan kembali menyandarkan tubuh di jok mobil. Amelia yang duduk di sampingnya sibuk dengan laptop, sementara sopir yang memegang kemudi sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion.“Pesan dari Tuan Adam?” tanya Amelia dengan senyum menggoda tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.“Hmm,” gumam Gauri singkat sambil menyimpan ponsel ke dalam tas. “Mas Adam hanya ingin memastikan saya tidak lupa bahwa dia ingin menjadi prioritas saya.”Amelia terkekeh pelan, menggelengkan kepala. “Saya senang melihat hubungan Nona dan Tuan sudah membaik.”Mobil perlahan memasuki gerbang besar dengan lampu-lampu taman yang menyor
“Jadi, apa semuanya sudah selesai?” tanya Gauri sambil merapikan pakaiannya ke dalam koper kecil. Tangannya sibuk melipat gaun sederhana yang Amelia serahkan padanya.Amelia, yang berdiri di dekat lemari, mengangguk sambil membawa beberapa dokumen yang baru saja dia serahkan.“Ya, evaluasi mingguan Uno Rekayasa Industri berjalan dengan baik. Proyek-proyek besar berjalan lancar, meski ada beberapa kendala teknis kecil yang bisa diatasi dalam waktu dekat.” Amelia menjawab.“Bagus,” sahut Gauri, tersenyum tipis. “Amelia, kamu benar-benar sudah banyak membantu selama saya di sini. Terima kasih.”“Tapi, Nona Gauri … kalau saya lebih berhati-hati saat menyetir, kecelakaan itu tidak akan terjadi. Saya benar-benar minta maaf.” Amelia mendesah pelan, menatap Gauri dengan sorot mata penuh rasa bersalah.Gauri mengangkat wajah, menatap Amelia tajam, tetapi penuh kehangatan.“Saya sudah bilang berkali-kali, Amelia, saya tidak ingin mendengar permintaan maaf itu lagi,” desah Gauri sebal.“Baik, No
"Bagaimana dengan Mama Arum?" tanya Gauri pelan, matanya menatap Adam yang baru saja duduk di kursi di samping ranjangnya.Pagi tadi, Gauri mendengar bahwa Arum dilarikan ke rumah sakit. Dan baru sore ini, dia bisa mengonfirmasi hal itu ke Adam.Adam menghela napas panjang, menatap Gauri dengan tatapan lembut. “Hipertensinya kambuh semalam, dan sekarang Mama dinyatakan mengalami stroke.”Gauri terkejut, matanya membulat. “Stroke?”Adam mengangguk, rahangnya sedikit mengeras. “Semalam setelah aku bilang ingin membatalkan perceraian dan ingin kembali denganmu, Mama sangat marah. Mama belum bisa menerima itu.”“Mas Adam ….” Gauri menggigit bibir, matanya terlihat berkaca-kaca. “Aku ingin menjenguk Mama Arum.”Adam menatap Gauri cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dan mengangguk pelan.“Kamu boleh menjenguknya. Tapi ada syarat!” tukas Adam.“Syarat?” Gauri menaikkan alis. “Apa?”“Kamu hanya boleh menjenguk Mama saat kamu sudah sembuh dan mengenakan gaun cantik yang biasa kamu pakai
“Ini pasti hari spesial, bukan?” tebak Arum sambil memindai ruangan.Suara alunan piano yang lembut mengisi suasana restoran mewah itu. Lampu-lampu kristal menggantung tinggi, memancarkan cahaya hangat yang menciptakan atmosfer elegan.Adam duduk di sebuah meja dekat jendela besar, mengenakan setelan jas hitam sempurna. Di depannya, Arum, terlihat sangat antusias dengan wajah merona yang sulit disembunyikan.“Ini pilihan restoran yang bagus, Adam,” lanjut Arum sambil tersenyum. “Akhirnya, kamu mulai mengerti bahwa wanita-wanita pilihan Mama punya kualitas yang sepadan denganmu.”Adam hanya mengangkat alis sedikit, lalu menyesap air putih dari gelas kristalnya. Senyum kecil muncul di wajah pria itu, meskipun matanya tetap dingin.“Mama sangat yakin malam ini akan menjadi momen besar, ya?” tanya Adam.“Tentu saja!” Arum tertawa kecil sambil merapikan gaunnya yang berkilauan. “Mama tahu kamu keras kepala, Adam, tapi setidaknya sekarang kamu mulai membuka hati untuk pilihan yang tepat. Ja
“Jangan bergerak terlalu banyak, Gauri” pinta Adam sambil mendorong kursi roda Gauri perlahan, membawa wanita itu ke taman rumah sakit. “Dokter bilang kamu masih perlu banyak istirahat. Aku tidak akan mengampuni diriku jika setelah ini terjadi sesuatu pada dirimu lagi.”Gauri tersenyum tipis dengan pipi memerah. Wajah wanita itu jauh lebih cerah dibanding hari-hari sebelumnya.“Aku tidak bergerak sama sekali, Mas Adam. Kamu yang menaruh aku untuk duduk di sini, di kursi roda, bukan?” Gauri tidak ingin kalah.Adam menoleh sejenak ke arah Gauri dengan tatapan yang tenang dan menghangatkan. Ada senyum tipis yang menghiasi bibirnya.“Kalau kamu tidak ingin duduk di sini, aku bisa mengembalikanmu ke ranjang perawatan,” tukas Adam berpura-pura marah, padahal sedang menahan tawa.Gauri tertawa kecil, menyentuh tangan Adam yang berada di pegangan kursi roda. “Tidak usah. Di sini jauh lebih menyenangkan. Terima kasih sudah membawaku keluar.”Angin sore yang sejuk menyapu wajah mereka saat Adam
“Apa yang mereka inginkan dari kerja sama ini?” tanya Adam pada seseorang di seberang telepon sambil memandang cahaya matahari lembut yang masuk melalui jendela, menerangi ruangan perawatan VIP di salah satu rumah sakit terbaik di kota Jakarta.Adam duduk di sofa dengan postur tegap, satu tangan memegang ponsel, sementara tangan lainnya menelusuri dokumen yang tersebar di meja kecil di depannya. Di sekitar sofa, ada laptop terbuka, beberapa map tebal, dan secangkir kopi yang sudah hampir dingin.“Saya paham bahwa Harraz Mall harus menarik perhatian publik dengan langkah ini,” ujar Adam serius. “Tapi brand sebesar itu memerlukan penawaran yang lebih kuat. Saya akan mengatur ulang kontraknya besok.”Sebuah keheningan singkat mengisi ruangan sebelum suara kecil terdengar dari ranjang di belakangnya.“Mas Adam?”Adam langsung tersentak, jantungnya berdebar keras. Suara itu begitu lembut, tetapi cukup untuk menghentikan dunianya sejenak. Dengan gerakan cepat, Adam menoleh, matanya membelal