Suara mendadak tembakan memecah kesunyian, menggugah orang-orang liar dari ketenangan mereka. Mereka terlonjak dalam kepanikan, memegang tongkat-tongkat kayu mereka, waspada.Lydia dan Dilap saling pandang, ekspresi di wajah Dilap, biasanya santai, kini tegang. Dia membisikkan peringatan untuk tetap diam dengan jari di bibirnya.Segera, suara kaki yang berlarian dan cabang pohon yang retak terdengar dimana-mana, diiringi teriakan dalam bahasa asing yang asing dan keras, seakan memberikan peringatan mendesak.Bajak laut, dengan amarah yang menyala dan kata-kata kasar, menyalakan senjata mereka, menciptakan atmosfer yang ketat. Meski mereka memiliki keunggulan dengan senjata api, mereka kalah jumlah dan peluru terbatas. Keunggulan mereka tidak signifikan.Mereka menggerutu dengan frustrasi karena telah mengikuti "mangsa" mereka ke sini, hanya untuk menemukan, selain orang-orang liar, tidak ada yang lain. Mereka merasa telah ditipu."Orang-orang liar di sini? Sial, membunuh mereka hanya a
Mendengar nama itu, Lydia nyaris terisak, kegembiraannya hampir membuatnya melompat. "Kakakku akan datang!" Sebelumnya, Lydia yakin dia akan menemui ajalnya di tempat ini.Beban yang telah menindih dadanya seolah terangkat. Suara bergelegar terus menggema di telinganya, seakan memanggil mereka.Lydia tak pernah merasa suara helikopter seindah itu sebelumnya, suara yang menariknya dari jurang kematian.Itu benar-benar kilau harapan, sinar mentari esok hari bagi Lydia!Dengan langkah yang hampir dua kali lebih cepat dari biasanya, Lydia berlari.Wajah Dilap berseri-seri, mencari rute pelarian sambil sesekali melirik ke arah Lydia."Lydia, kita akan pulang bersama, kamu nggak akan meninggalkanku, kan?" Lydia menoleh ke Dilap dengan senyuman cerah."Tentu saja!""Setelah kita pulang, apapun yang terjadi, kamu nggak boleh mengacuhkanku, ya.""Jangan khawatir, aku akan menjagamu seumur hidupmu!"Lydia menyadari kekhawatiran Dilap bahwa dia akan melupakan janjinya! Bukankah itu hanya tuga
Mendengar kata-kata Dilap, Lydia segera mengesampingkan pikiran melarikan diri.Tertembak saat melarikan diri dan mati sia-sia? Itu akan menjadi akhir yang terlalu menyedihkan!Tapi jika mereka tidak melarikan diri, apa langkah selanjutnya?Atmosfer terasa begitu menghimpit. Aroma tembakau yang menyengat bercampur dengan hembusan garam dari laut yang mengelilingi mereka.Ketiga bajak laut itu semakin mendekat, mengurung Lydia dan Dilap sampai mereka hampir tidak punya ruang untuk bergerak.Dilap tampak begitu terguncang hingga tubuhnya bergetar; jelas, meskipun dia seorang petualang, dia belum pernah berada dalam situasi seputus asa ini!Walaupun takut menerjang Lydia, ada ketenangan yang muncul saat para bajak laut mendekat.Tiga orang itu berdiri di depannya, dua di antaranya seperti gunung, tinggi dan berotot.Yang ketiga, lebih pendek dan kurus, memiliki wajah yang dingin dan matanya yang tajam adalah yang paling menakutkan.Saat matanya tertangkap oleh keindahan Lydia, kilatan ser
Dalam momen krusial ini, suasana berubah drastis. Awan gelap dan tebal tergantung menakutkan di atas lautan, sementara kejauhan menunjukkan badai yang semakin mendekat. Namun, permukaan air di bawahnya terlihat mengejutkan dalam ketenangannya, seakan-akan menyimpan amarah yang siap meledak.Suasana tegang dan sunyi menggantung di udara, membawa dingin yang menusuk tulang dan tekanan yang hampir tak terberatkan, menjanjikan ledakan emosi dan aksi yang dapat terjadi setiap saat. Di hadapan mereka, sekelompok bajak laut garang yang terlatih dan siap membunuh tanpa ragu berdiri, memegang kendali atas nasib mereka.Namun, Lydia, seorang wanita yang sebelumnya hanya bertahan hidup dan terdampar di pulau ini, tampak tak tergoyahkan. Dia berdiri kokoh, tangannya yang memegang senjata tidak menunjukkan guncangan sedikit pun, larasnya tertuju langsung pada kepala bajak laut di bawah kakinya, menegaskan dominasinya dan mencegah setiap upaya perlawanan.Matanya menyala dengan keberanian dan ketena
Di tengah hujan peluru, Lydia tiba-tiba teringat empat tahun yang lalu, di jalan-jalan Eroba, saat pertempuran hidup mati yang mematikan itu terjadi.Jalan yang semula damai dan romantis tiba-tiba diserang oleh teroris yang melemparkan bom.Mereka menyerang banyak warga sipil. Untuk menyelamatkan seorang anak berusia tiga tahun yang orang tuanya tewas di sana, Lydia berlari keluar dari tempat yang aman.Bom meledak di sampingnya. Bahkan dengan kecepatan paling cepat pun, Lydia tetap tak bisa menghindarinya.Dia dan anak itu dilemparkan ke udara oleh ledakan, tampaknya mereka akan menjadi korban selanjutnya ...Detik berikutnya, seorang pria besar dan perkasa menutupi tubuhnya.Itu adalah pertama kalinya Lydia bertemu dengan Dylan.Mulai dari saat dia berhutang nyawa padanya.Dylan mengenakan seragam militer dari Negara Zonomo, punggungnya basah oleh darah, wajahnya teguh dan tenang.Melihat Lydia dan anak itu selamat, Dylan segera pergi untuk menyelamatkan orang lain dan membantu polis
Lydia sempat menutup matanya, menahan tangis yang tak kunjung tumpah. Dia telah banyak merenung, ada begitu banyak yang ingin diucapkannya sebelum ajal menjemput, namun saat krusial ini, pikirannya justru kosong.Luka-luka baru terbentuk dari pecahan batu yang terpental, menyapukan tangannya hingga darah membasahi. Luka-luka itu, lama dan baru, bertautan hingga tak lagi memungkinkan orang melihat kulitnya yang asli.Langkah-langkah terdengar mendekat, menghantui seperti irama malaikat pencabut nyawa. Andai saja masih ada satu peluru tersisa, Lydia pasti akan menyimpannya untuk dirinya sendiri.Dari sudut matanya, Lydia melihat kilatan logam hitam sebuah senjata. Dengan berat, dia menutup matanya, menyerah pada keputusasaan ....Namun, suasana mendadak berubah. Gemuruh menggema di langit, suara baling-baling yang mendekat dengan cepat. Helikopter raksasa muncul, berputar dalam formasi, menggelapkan langit.Para bajak laut menghentikan tembakan mereka, menyadari bahwa ancaman sejati buka
Sebelum helikopter raksasa itu terbang melintasi langit, Dylan berdiri kokoh, menghadap angin laut yang menggigit, tatapannya tajam pada pemimpin bajak laut di bawah. Dengan suara yang tegas dan dingin, Dylan mengumumkan, "Saya sudah mentransfer ke rekeningmu jumlah tiga kali lipat dari yang kamu minta, totalnya lima belas miliar dolar Amerika." Dylan membayar lima miliar untuk setiap nyawa, total untuk tiga orang.Pemimpin bajak laut, dengan mata serakahnya yang menyala, tersenyum dalam kepuasan dan keterkejutan. Namun, senyumnya membeku saat suara tembakan menggema, dan darah memercik dari dadanya. Dylan, dengan wajah tanpa emosi, menyatakan, "Peluru ini untukmu."Dylan tidak akan membiarkan siapapun mengancam nyawa Lydia tanpa konsekuensi.Ketakutan dan kepanikan merambat di antara para bajak laut saat mereka menyaksikan kekuatan militer yang diluncurkan Dylan. Helikopter-helikopter besar bergerak di udara, menyelimuti pulau dengan bayang-bayang menakutkan. Meski dengan berat hati
Dylan berjalan ke pesawat, dengan erat memeluk Lydia yang berada dalam keadaan tidak sadar dan penuh luka. Dia tak sekali pun melepaskan genggamannya, bahkan air mata diam-diam mengalir dari matanya.Rekan-rekan perangnya yang berada di pesawat terdiam, terpana menyaksikan adegan mengharukan ini, tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.Beruntung, salah satu teman lama Dylan, Robin, seorang dokter militer, ada di sana. Dia memberikan pertolongan pertama, dan operasi dimulai setelah mereka mencapai kapal besar.Dylan tak lepas memperhatikan setiap detik operasi, matanya terpaku pada wajah Lydia, dikuasai oleh ketakutan bahwa semuanya adalah khayalan belaka.Saat Robin dengan hati-hati mengeluarkan peluru dari tubuh Lydia, kecemasan memenuhi setiap inci wajah Dylan, yang basah oleh keringat dingin, ekspresinya mencerminkan campuran kemarahan dan kesedihan yang tak terdefinisi.Setelah operasi, Robin menatap Dylan dengan sinis, "Aku belum pernah melalukan operasi sepayah ini! Setiap iris
Dulu, banyak yang berpikir Kelly akan menikah dengan Samuel, sehingga mereka semua bersikap manis padanya. Namun, ketika Samuel memilih orang lain, Kelly mendapati dirinya tak lagi bisa masuk ke lingkaran sosial tersebut. Tidak ada lagi yang mau membantunya.Lydia memandang dengan tatapan dingin. Dia tak tahu bagaimana wanita itu bisa sampai di sana, karena lokasinya cukup jauh dari tepi pantai. Sayangnya, tanpa undangan, wanita itu hanya bisa berdiri di luar, dihentikan oleh pengawal. Lydia berdiri diam, tak berniat membiarkannya masuk."Menolongmu? Atas dasar apa?" tanya Lydia.Kelly berdiri lemah dengan nada memelas. "Tapi Lydia, meski kita nggak akrab, hidupku hancur karena ulahmu. Kamu nggak merasa bersalah sedikit pun?"Walaupun kata-katanya penuh keluhan dan kemarahan, Kelly terlihat begitu lemah dan tidak berdaya. Dia menyalahkan segalanya pada Lydia. Seandainya Lydia tidak masuk ke ruangan itu dengan Malvin, dia mungkin sudah menjadi istri Samuel sekarang.Bagaimana mungk
Sebelum Lucas naik ke kapal, ia melihat beberapa mobil Ferrari terbaru terparkir di tepi pantai, termasuk salah satu yang sebelumnya dia sudah lama ingin beli tapi tidak pernah berhasil dibeli.Harus diakui, dia agak iri!"Lydia, apa kalian sekarang selalu pakai mobil Ferrari kalau pergi?" tanya Lucas.Lydia menatapnya dengan senyuman datar."Nggak, aku lebih sering pakai helikopter," jawab Lydia.Lucas hanya bisa terdiam.Tidak jauh dari sana, Dilap dan Malvin juga tiba.Lydia melihat mereka, segera menyapa.Dilap melirik Dylan dengan ekspresi merendahkan."Om payah banget sih. Dia bahkan belum berhasil dapetin hati yang dia sukai."Malvin berkomentar, "Kondisi Pak Dylan ‘kan nggak biasa."Jika tidak, dengan kualitas Dylan, dia bisa membuat hati siapa pun meleleh. Hanya saja sekarang, dia berurusan dengan Lydia.Lydia tersenyum sambil berkata, "Lama nggak ketemu. Apa kabar?"Dilap mengeluh dengan wajah muram, "Sejak kamu meninggalkan acara kami, popularitas kami menurun banyak. Bahkan
Karena sebelum Dylan beristirahat dia memerintahkan Bobby untuk membuat hubungannya dengan Lydia membaik, Bobby begadang semalaman. Akhirnya, Bobby terpikirkan satu ide bagus. Sebentar lagi adalah ulang tahun Rizal.Lydia tidak membawa banyak barang saat datang, begitupun ketika dia pergi. Lydia berdiri di gerbang sambil mengucapkan selamat tinggal pada Dylan. Akhirnya bisa beberapa hari tidak perlu melihat Dylan lagi. Lydia senang sekali ….Dylan memperhatikan Lydia dengan lembut saat Lydia pergi. Kemudian, dia menatap Bobby dengan garang setelahnya.“Sudah disiapkan?”Bobby dengan mantap mengangguk, "Pasti, jangan khawatir, Pak. Pertemuan Bapak dengan calon ayah mertua di acara ini pasti akan membantu Pak Dylan menjadi bagian dari Keluarga Bram."Wajah Dylan tetap terlihat serius, tetapi bibirnya sedikit tersenyum. Dia tampak lebih santai.Bobby melanjutkan, "Pak Dylan itu luar biasa. Susah loh Pak cari orang yang setara dengan Pak Dylan. Pak Rizal pasti akan menghargai niat baik
Saat dokter spesialis sedang melakukan pemeriksaan, Dylan akhirnya melepaskan tangan Lydia.Tidak sampai satu menit kemudian, karena Dylan tidak mendengar suara Lydia, dia berkata, “Lydia, sini tanganmu.”Suara Dylan terdengar lemah dan menyedihkan.Para dokter merasa, “Hubungan Pak Dylan dan Bu Lydia bagus sekali ....”Pak Dylan kelihatannya bukan tipe orang yang suka menempel pada orang lain. Mengejutkan sekali sikapnya hari ini.Tidak lama kemudian, satu tangan menyelusup. Dylan segera menggenggamnya, seketika sadar merasa lega.Dylan tidak berani mengelus-elusnya karena takut Lydia marah.Berhasil berkompromi sedikit seperti ini saja, bisa membuat semua ketidaknyamanan Dylan malam ini hilang.Pemeriksaan berlanjut selama sepuluh menit. Detak jantung Dylan berdetak cepat selama sepuluh menit.Namun, saat pemeriksaan hampir selesai, mereka mendengar suara Bobby dari luar."Bu Lydia beneran cuma makan sup sarang burung waletnya semangkuk? Mau nggak saya ambilin lagi?Suara itu semakin
Lydia merasa tidak seharusnya dia menerima berlian begitu saja. Lydia berencana untuk memberikan kejutan yang lebih besar untuk ulang tahun Mike nanti.Di dalam mobil, Ruben dan sopir duduk di depan, sedangkan Lydia dan Dylan duduk di belakang. Dylan duduk dengan mata tertutup, tampak dingin. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.Lydia memberikan sedikit jeda, tiba-tiba dia teringat bahwa Dylan meminta pendapatnya tentang makan malam tadi malam, dan dia sama sekali tidak memberikan tanggapan apa pun! Lydia memberi isyarat dengan batuk kecil."Sebenarnya koki restoran itu cukup bagus, rasa dan tampilannya sangat baik. Apa pendapatmu?" Dylan mengangkat sedikit alisnya. Wajahnya terlihat sedikit lebih baik."Hmm, yang penting kamu suka." Lydia lega. Dia merasa tidak seharusnya dirinya makan gratis dan membuat Dylan marah. Lydia melihat Ruben di depan."Ruben, gimana menurut kamu?" Ruben menjawab, "Rasanya biasa saja, tampilannya saja bagus. Nggak bikin kenyang."Lydia mengernyitkan
Dylan merasakan pandangannya sedikit gemetar. Diam-diam dia merasa terganggu. Semua persiapan yang telah Dylan buat kini tertinggal oleh seikat berlian dari seorang bocah? Mengapa Charter bisa memiliki anak sepayah itu.Ekspresi Lydia berubah. Bagaimana mungkin Mike menyimpan barang-barang seharga itu, yang seharusnya ada di brankas, dalam kantongnya begitu saja? Lydia tersenyum. Dia tampak bingung dan geli melihat kepolosan Mike."Kamu harus simpan ini kembali, ya. Kakak nggak bisa terima," kata Lydia dengan lembut.Mike tampak kecewa, merengek sambil menarik tangan Lydia."Kakak nggak suka? Aku punya yang lebih besar lagi!" katanya dengan polos.Lydia hanya bisa tersenyum getir. Sulit menjelaskan hal-hal seperti ini kepada seorang anak kecil.Dengan senyum yang dipaksakan, Lydia menerima berlian itu."Aku suka, kok. Tapi Mike jangan kasih yang begini lagi ya nanti."Lydia berencana menyerahkannya kembali kepada Charter. Mike tampak sangat bahagia karena Lydia menerima hadiahnya.
Lydia mengelus rambut Mike yang lembut. Dia tak bisa menolaknya."Tentu saja!"Mata Dylan yang tadinya berbinar, perlahan meredup. Suaranya terasa lebih dingin."Kamu keluar sendiri gini, memangnya Charter tahu?"Mike takut. Dia merapat ke pelukan Lydia.Paman yang menyebalkan itu, bahkan saat sakit pun tetap saja menjengkelkan!Dengan angkuhnya, Dylan mengeluarkan ponselnya dan langsung menelepon Charter."Anakmu kabur. Sekarang sama aku dan Lydia."Maksudnya jelas: Segera jemput.Dylan sengaja menyalakan speaker, agar Mike mendengar suara Charter.Charter terdengar datar dan dingin di telepon."Oh begitu? Tolong jaga dia, aku sedang rapat, bye."Telepon terputus.Mereka bertiga terdiam sejenak. Mike menyadari apa yang terjadi. Dia segera memeluk Lydia dengan gembira."Hore! Aku bisa sama kakak cantik!"Wajah Dylan pucat sembari melihat layar ponsel yang sudah mati, napasnya tak karuan.Sudah susah-susah merencanakan kencan, malah berakhir dengan menjaga anak Charter? Sungguh menjengk
Keesokan harinya, Lydia menerima telepon dari Liam."Nielson Group ada masalah. Apa ini berkaitan dengan Dylan?"Lydia sudah menduga Liam pasti akan menyadari sesuatu. Dia sedang berada di luar negeri, berita dari dalam negeri seharusnya belum sampai kepadanya dengan secepat itu.Lydia dengan tenang menjelaskan kepada Liam tentang Preston yang ternyata adalah pelaku di balik semua ini.Liam terdiam lama, suaranya terdengar sangat dingin."Pastikan Ruben selalu melindungi kamu, jangan lengah. Urusan lainnya jangan kamu urusi, kita bicarakan nanti setelah aku kembali."Lydia hanya menjawab "oke".Mereka kemudian membicarakan beberapa hal lain, lalu menutup teleponnya.Lydia mengerahkan seluruh perhatiannya pada proyek kerjasama mereka. Dia pergi ke Julist Group pagi-pagi sekali.Victor yang masih kurang berpengalaman, menghadapi beberapa masalah rumit. Dia belum bisa mengambil keputusan dengan cepat. Lydia menghabiskan sehari penuh bersama Victor, dengan sabar mengajarinya. Tak terasa,
Ketika Bobby sedang duduk sendirian di ruang tamu, wajahnya tampak cemas dan khawatir tentang Dylan, ia tiba-tiba mendengar suara di pintu. Dylan sudah pulang. Dengan penuh semangat, Bobby bergegas menyambutnya."Pak Dylan, sudah pulang? Meski kondisi tubuh Pak Dylan begini, masih saja Pak Dylan kerja keras. Pak Dylan itu orang paling hebat yang pernah saya temui, loh …."Dylan tadi sudah merasa cukup baik setelah berhasil menangani Preston. Saat itu, Dylan menjadi kesal mendengar ucapan Bobby. Pujian yang tak berbobot.Sambil menahan emosi marahnya, Dylan bertanya, "Lydia sudah pulang?""Iya, Pak Dylan. Hari ini kayaknya mood Bu Lydia kurang baik. Sebaiknya Pak Dylan nggak menemuinya dulu, deh. Biar nggak nambah masalah ...."Mata Dylan yang dalam dan penuh arti membuat Bobby merinding. Bobby terbatuk kecil, mencoba memperbaiki suasana."Tadi ikut Bu Lydia ke pesta. Pemandangan kayak gitu biasanya cuma bisa lihat di TV. Tapi saya rasa, sih, pesta tadi kurang oke karena nggak ada Pa