Jangan lupa komentar dan votenya, dan terima kasih kakak-kakak pembaca
Ponsel pribadi Shane kembali berbunyi, sebuah nada yang berbeda dari deringan panggilan lainnya. Athena. “Sayang, makan siang yuk! Bareng!” ajakan manja di ujung panggilan. Shane melihat jam tangan edisi terbatas dari brand terkenal yang melingkar di pergelangan tangannya. ‘Sudah waktunya makan siang ya?’ “Dimana kau sekarang? Aku akan menjemputmu.” Tak lama kedua insan yang menjadi perhatian publik itu sampai di restoran tempat mereka akan makan siang. Tangan Athena bergelayut manja di lengan Shane. Mereka berdua tak mempedulikan tatapan kagum dari para pengunjung restoran lainnya. Manajer restoran langsung mengantar sendiri dua tamu penting itu ke mejanya. Sebuah tempat vip dengan pemandangan kota Digory yang luar biasa, menghadap ke ujung selatan kota itu yang terdapat pantai dan bangunan mercusuar. Athena masih semangat untuk bercerita betapa buruknya beberapa wedding organizer yang ia seleksi. “Benar-benar tak ada satupun yang bagus menurutku! Ini menjengkelkan sekali Shan
Pasangan kekasih paling terkenal seantero Digory Valley itu masih terlihat makan siang di restoran mahal itu. Athena meninggalkan meja makannya dan menuju ke toilet restoran. Di sana ia tak sengaja berpapasan dengan pelayan berambut hitam itu. Athena tersenyum tipis sebelum memanggil pelayan yang baru saja melewatinya itu. “Hei kamu.”Pelayan itu menoleh, karena hanya mereka berdua yang berada di lorong sepi itu. “Nona Athena memanggil saya?”“Iya, bisa tolong bantu aku sebentar?” tanya Athena dengan sopan sambil menunjuk ke arah toilet. Memberi kode pada pelayan itu untuk mengikutinya.‘Cantik sekali,’ batin pelayan wanita yang bernama Dahlia itu sambil mengangguk kemudian mengikuti langkah Athena ke toilet perempuan.Di dalam toilet restoran yang diselimuti dengan interior mewah itu, Athena berdiri berhadap-hadapan dengan pelayan wanita itu. Wanita cantik berambut merah tembaga itu tersenyum manis. “Siapa namamu?”“Dah-dahlia, Nona Athena,” jawabnya dengan gugup. ‘Apa ia marah karen
Shane menatap dirinya di cermin besar yang menutupi seluruh tembok tepat di lorong kanan sebelum ruang kerjanya. Lelaki tampan itu bolak balik melihat tampilan dirinya dari berbagai sisi. ‘Apa penampilanku terlalu kaku untuk menemani Pim? Aku harus terlihat bagaimana?’ Hal itu membuat Jasper penasaran. "Ada apa, Tuan?" "Bagaimana menurutmu?" Shane berkata begitu kemudian memberi gestur pada Jasper untuk melihat keseluruhan tampilannya. Jasper mengerutkan keningnya. ‘Apanya yang bagaimana?’ Melihat Jasper belum menjawab pertanyaannya, Shane kembali bertanya ulang. “Menurutmu penampilan bagaimana yang disukai anak-anak?” Jasper tersenyum atas pertanyaan yang ia tahu pasti jawabannya. “Anak-anak sangat menyukai warna-warna cerah Tuan. Penampilan yang seperti karakter fantasy, Tuan.” Shane mengangguk-angguk sambil melihat bayangannya di cermin. “Baiklah!” serunya seakan mendapat pencerahan. “Rapat siang ini dimajukan sebelum jam makan siang ya, dan buatkan aku janji temu dengan Jer
Kedua bocah kecil yang ada di ruang kelas itu langsung menoleh ke arah sumber suara. “Shane!” teriak Primrose dengan kencang, ia terlihat sangat lega, seseorang akan membantunya keluar dari kejahilan anak laki-laki di depannya.Leon hanya berdiri terpaku saat sosok tinggi besar datang mendekatinya. Pria itu memasang senyum lebar di wajahnya tapi aura kegelapan turut serta dibelakangnya, seakan siap menelan siapapun di depannya -menurut Leon- . Kemudian dengan cepat kotak pensil merah muda itu berpindah dari tangan bocah lelaki kecil ke genggaman pria dengan lengan kekar itu.“Temanmu Pim?” tanya Shane sambil menyerahkan kotak pensil merah muda itu pada Primrose.Gadis kecil itu mengangguk. “Iya teman sekelas, tapi Leon sering mengganggu Pim.” Primrose baru saja mengadu dan ucapannya itu langsung membuat Leon pucat pasi. “Oh,” ujar Shane sambil menyeringai ke arah bocah lelaki itu. “Kau balik ke tempat tunggu saja Pim, aku ingin berbicara pada Leon.”Primrose mengerutkan keningnya.
"HAH!" teriak Primrose terkejut. "Tidak mungkin!" Gadis mungil itu sampai menggebrak kursi fiber tempat mereka duduk di dalam gondola itu."Shane pernah nikah sama Mama!" Primrose masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Shane tertawa kecil melihat ekspresi Primrose dari terkejut, tak percaya, dan sekarang menautkan kedua alisnya. 'Ia sangat ekspresif, padahal ibunya tak seperti itu. Apa ayahnya?'Primrose kemudian menatap sedih, seakan kehilangan sesuatu yang sangat ia sayangi. "Terus kenapa kalian berpisah? Kita kan bisa sama-sama jalan-jalan kalau Shane dan Mama masih menikah."Shane mengembuskan napas panjang. 'Aku memberi harapan pada Pim kalau hubungan aku dan ibunya bisa kembali berjalan baik ya? Aku jadi paham kekhawatiran Helena.' "Kami berdua tidak cocok kurasa? Atau… ." Shane menggantung kalimatnya. 'Bahkan aku sudah membenci Helena sebelum ikatan pernikahan kami terjadi, hubungan kami bermula dari minus bukan dari nol lagi.' "Kenapa kalian tidak cocok?" tanya Prim
"Shane… kenapa kau ada di sini?" Melihat ekspresi tak senang di wajah Helena membuat sepasang kekasih, Jeremy dan Barbara saling menatap dengan penuh tanda tanya. Helena yang mereka kenal tak pernah terlihat 'seakan mengusir' pelanggan seperti ini. Shane tersenyum tipis saat Helena yang berada di belakangnya langsung mengenalnya. ‘Oh kau langsung mengenalku walau hanya melihat punggungku ya? Bahkan Jasper pun terkecoh, tapi kau tidak.’ Berbanding terbalik dengan Shane, Helena tampak gusar saat melihat Primrose duduk di depan Shane. "Pim! Kemari!" panggil wanita berambut hitam dengan muka ditekuk itu. "Mama… ." Primrose mengkerut di sebelah Shane dan malah merangkul lengan berotot pria itu. Hal yang membuat Helena semakin geram. "Ayo sini!" Helena berjalan mendekat ke arah Primrose duduk dan berusaha menarik dengan kasar lengan gadis kecil itu. "Helena!" tegur Shane dengan tegas sambil berdiri dan menahan tangan mantan istrinya itu. "Kau kenapa? Jangan kasar dengan Pim, dia tidak
“Tidak mungkin,” erang Helena. Shane tampak puas dengan ucapannya, ia masih menyeringai lebar. Senyum meremehkan menurut Helena. “Apakah aku harus mencari pekerjaan lain sekarang?” tanya wanita berambut hitam itu lebih kepada dirinya sendiri. Shane memiringkan kepalanya mendengar pertanyaan lirih itu, senyumannya sudah lenyap sepenuhnya berganti dengan tatapan tajam ke arah Helena. ‘Wanita ini selalu menolak. Aku yang tak pernah bisa ditolak oleh siapapun. Kurasa ia benar-benar membenciku tak seperti kata Pim.’ Shane merasa harga dirinya diinjak-injak begitu saja oleh Helena. Ia berdecak kasar sebelum memberikan rentetan pertanyaan menyerang pada Helena. “Kemudian apa kau akan kabur lagi? Menghilang? Membuat hidupmu susah bak pelarian dengan menolak mentah-mentah apapun yang berkaitan dengan Digory? Untuk apa?” “Bukan begitu.” Helena tak berani menatap balik. Wanita cantik itu tak akan pernah sanggup membalas tatapan dari manik coklat hazelnut milik Shane. “Kumohon, jauhilah ka
Jeremy dan Barbara sama-sama melirik ke arah Helena yang berada di depan pintu dapur. “Baik, Tuan pelanggan. Helena tolong ya meja no sembilan,” perintah Jeremy. Helena dengan wajah yang ditekuk segera mengambil buku menu dan meletakkannya ke meja sembilan tempat Shane dan Primrose duduk. “Mama masih marah?” bisik Primrose ketakutan. Ia mengintip dan masih bersembunyi di balik tubuh besar Shane. “Hmm dimana letak kotak saran, Helena?” tanya Shane sambil tersenyum licik ke arah wanita yang pura-pura sibuk memegang buku kecil untuk mencatat pesanan. Helena mengembuskan napas berat sambil menurunkan buku kecilnya. “Jika Anda keberatan dilayani olehku, Tuan. Anda bisa-.” Shane langsung menggeleng, membuat kalimat Helena terputus. “Bukan-bukan begitu, Nona pelayan. Kau hanya tak ramah juga tidak tersenyum dan menanyakan kami ingin memesan apa.” Shane kemudian mengelus pelan rambut Primrose, sambil berbisik, “tenang, semua baik-baik saja.” Shane menoleh kembali ke arah Helena. “Nona p
“Tes… Tes… satu, dua, tiga, tes, tes. Pim di sini.” Pim ketuk-ketuk dulu microphone ini ya. Kedengaran tidak? Pim mau cerita, ini ada kaitannya sama mainan baru, Pim. Kemarin Shane kasih ini diam-diam ke Pim ini. “Kamera buat ngerekam. Jadi sekarang Pim akan buat Vlog tentang keseharian Pim!” Pim semangat banget bicara di depan kamera. Sebentar, coba Pim ketok-ketok dulu kamera ini. Sudah jalan belum ya? Oh oke sudah baik. Mari kita rekaman lagi. “Hai selamat datang di Pim Vlog.” Sebentar Pim mikir dulu mau bilang apa lagi. “Okeh, terus apa lagi ya? Oh ya! Di Pim Vlog akan menceritakan-.” Cerita apa ya? Pim mau cerita apa ya? Mama nikah sama Shane? Rumah baru? Kamar baru? Boneka baru yang banyak? Tinggal di kota besar terus kemarin lewat toko kue yang warnanya merah muda. Duh mana duluan ya yang Pim ceritakan? Coba minta usulan Mama ah! “Mama, Mama!” Pim berlari-lari kecil ke dapur. Pasti Mama lagi di dapur. Kata Mama mau buat makan malam sih tadi. “Kenapa, Sayang?” Mama nany
Helena menautkan keningnya. “Tapi masih banyak masakan yang harus aku buat lagi pula bukankah banyak waiters di depan?” Jam makan siang baru saja dimulai, pesanan silih berganti tak henti-henti masuk ke dalam dapur. Helena juga turut sibuk menyiapkan hidangan untuk para pelanggan. Jeremy menggeleng kencang. “Tolong, hanya kau yang bisa melakukannya.” Helena menoleh ke arah pegawai lain yang berada di dalam dapur. Wajah semua orang tampak tidak keberatan, bahkan salah satu chef senior berkata, “tolong bantu Tuan Jeremy saja Nyonya Helena. Disini biar aku yang mengatasi.” Helena menangguk dan mengikuti Jeremy keluar dapur. “Memangnya ada apa, Jeremy?” tanya wanita berambut panjang itu masih bingung. “Itu, Tuan Besar Shane Digory. Ia -seperti biasa- ingin dilayani olehmu,” jelas Jeremy dengan senyuman lebar. Helena langsung terlihat kesal. Ia mengira terjadi sesuatu yang begitu darurat. Tapi bagi Jeremy dan semua pegawai lain, kehadiran Shane Digory adalah sesuatu yang darurat d
“Nyonya Helena!” sambut Jeremy dengan nada riang sambil membuka pintu cafe. Ia memakai kemeja merah muda dan celana bahan berwarna coklat kopi yang senada dengan keseluruhan warna bangunan di belakangnya. “Aku sudah menunggumu dari tadi.” Helena masih terpaku di tempatnya dan tak memperdulikan kedatangan Jeremy. Lelaki itu akhirnya mengikuti arah pandang wanita itu. “Nama yang norak ya?” Jeremy kemudian menyemburkan tawanya setelah mengatakan hal itu, tak lama sampai ia sadar Helena menatapnya tajam. “Ah, maafkan aku Nyonya Hel, tolong jangan laporkan pada suamimu. Aku masih harus mengumpulkan uang untuk membiayai pernikahanku dengan Barbara.” Helena langsung tertawa pelan. “Kalau begitu cepatlah kalian menikah agar kau lebih sadar.” “Tapi kulihat Tuan Shane semakin tak waras karena menikah Lihat aku tak menyangka ia akan memilih nama senorak itu. Dan kurasa hanya itu kekurangan cafe ini, semua sangat sempurna, dari bangunan, suasana, rasa masakan, promosi, dan para pengunjung sa
Lelaki tampan itu akhirnya mengekori kembaran dengan ukuran mininya itu menunggu di meja makan. Helena kemudian menggulung rambutnya ke atas dan mulai memasak sekaligus merapikan keadaan dapur yang berantakan. Shane tak bisa melepaskan tatapannya pada sosok wanita itu. Helena terlihat sangat luar biasa saat ini. ‘Cara ia menjepitkan rambutnya begitu seksi.’. “Ckck. Kau harus ingat ini, Shane.” Primrose merapatkan tubuhnya pada pria tinggi besar itu. “Jangan pernah membuang-buang makanan. Terakhir kali aku melakukannya, Mama membuatku menulis tulisan ‘aku menyesal’ sebanyak tiga lembar halaman folio dan Mama tak banyak bicara selama tiga hari.” Shane langsung menghela napasnya dengan berat. “Jadi aku melakukan kesalah lagi?” Ketimbang hukuman menulis tiga lembar halam folio, Shane lebih sedih ucapan Primrose yang mengatakan kalau Helena makin irit bicara selama tiga hari. ‘Aku ingin mendengar wanita itu bercerita padaku.’ Helena menghentikan obrolan ayah dan anak itu saat menghi
“Shane,” panggil Helena. Seketika laki-laki itu menoleh dengan wajah sangat terkejut, bahkan sutil di tangannya ikut terjatuh. “Kau sudah bangun, Helena?” Shane terlihat gugup sambil berusaha menyembunyikan ponselnya yang ia taruh di atas meja counter dapur. “Apa aku terlalu ribut hingga kau terbangun?” Helena memiringkan kepalanya, tapi tubuh besar Shane sudah menutupi layar ponselnya. ‘Seorang wanita ya? Kenapa aku berpikir setelah Athena ia tak memiliki wanita lain? Tunggu, kenapa aku harus peduli? Apa karena ia mengungkapkan rasa sukanya denganku kemarin jadi aku berharap lebih?’ “Helena…,” panggil Shane mengembalikan kesadaran wanita itu dari lamunannya. “Tunggu saja di ruang baca. Apa kau butuh sesuatu di dapur? Aku akan mengantarkanmu.” Helena langsung tersadar penyebab dia buru-buru ke dapur karena ada bau gosong yang sekarang mulai perlahan menghilang karena alat penghisap asap yang berada di atas kompor. “Tidak, aku hanya mencium bau masakan tadi-.” “Kau sudah lapar?” Sh
“Hah!” Helena bergumam terkejut. “Apa maksudmu?” “Apa kau tidak tahu, aku sudah dipindah-tugaskan ke cabang Digory Valley cafe itu. Begitu juga Barbara.” Helena menelan salivanya. ‘Ini pasti semua ulah Shane. Selain memindahkan sekolah Pim ke sini, ia bahkan memindahkan penempatan kerja orang tua sahabat-sahabat Pim, hingga mereka juga ikut pindah sekolah ke Digory Valley bersama dengan Pim. Astaga, pria itu benar-benar berniat kami berada di sini. “Baiklah aku akan ke cafe Shiny yang berada di Digory Valley untuk bekerja besok.” Jeremy tertawa. “Maksudmu bekerja sebagai owner dan mengawasi kami kan?” “Hentikan candaanmu. Aku masih anak buahmu, Jeremy,” bantah Helena serius. Selang beberapa lama panggilan ponsel itu Helena akhiri. Jeremy masih tak serius menganggapnya akan kembali bekerja -benar-benar bekerja sebagai waiters. ‘Aku dan Shane Digory tak ada kaitannya. Sama seperti dahulu, pernikahan ini sama seperti dahulu, kan?’ Ketika malam hari, Helena mendapat panggilan dari
Helena masih tak bereaksi apa pun, ekspresinya terlihat dingin di mata Shane. “Kau tak percaya ya?” Shane tak menunggu jawaban Helena, ia langsung melanjutkan perkataannya. “Aku pun tak percaya, aku tak percaya telah jatuh cinta padamu sejak hari itu. Hari terakhir kita bertemu. Dan sejak hari itu aku selalu menunggumu, Helena.” Helena tertawa sinis dengan pelan. Aku mengambil apa yang kau berikan padaku, Shane. “Jangan buat kesalahan yg sama dua kali, Shane. Kita pernah berumah tangga dan itu gagal, atau lebih tepatnya hancur berantakan dengan sangat parah. Apa bedanya dengan sekarang?” “Saat itu aku bahkan tak berusaha sama sekali.” Shane membalas perkataan Helena dengan penuh tekad. “Sekarang berbeda Helena. Aku akan berusaha, aku akan merubah apa yang terjadi dulu.” Helena mengangkat alisnya. Luka yang ia dapat dari laki-laki di hadapannya sudah terlalu dalam. “Percuma jika hanya salah satu saja yang berusaha. Karena kurasa aku tak sanggup berusaha lagi bersamamu.” Shane sad
Helena awalnya berpikir kalau Shane sudah lama tak menempati bangunan ini, tapi tak ada setitik debu pun di setiap furniture yang ada. ‘Kukira ia tak tinggal disini, karena setahuku Athena tak suka bangunan tua bergaya klasik seperti rumah ini. Apa ia bisa membujuk Athena dan akhirnya tinggal berdua di sini?’ Helena melangkah menuju rak buku yang memenuhi dinding ruang tengah rumah itu. ‘Bahkan urutan buku yang ku susun tak berubah.’ Seulas senyum muncul di wajah wanita cantik itu. “Beberapa pembantu menyusun kembali urutan bukunya, tapi tak ada yang seperti kau lakukan hingga membuatku nyaman membacanya kembali,” celetuk Shane yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Helena. “Kau tinggal di rumah ini?” Helena tak dapat menutupi rasa penasarannya. Shane tersenyum. “Ya, terutama setelah tahun-tahun awal kita bercerai,” jawab Shane sambil perlahan berjalan mendekat ke arah Helena. “Aku berpikir kau akan kembali setelah pergi begitu saja tanpa berkata apa pun hari itu, hari dimana ki
Jasper tersenyum. “Betul, Tuan.” Shane tak pernah menceritakan apa pun isi hatinya pada orang lain. Tapi kali ini berbeda, lelaki itu tak tahu harus berbuat apa pada Helena. “Apa yang harus kulakukan, Jasper?” Jasper terkejut, majikannya itu tak pernah bingung dalam menentukan sikap tapi kali ini ia benar-benar terlihat putus asa. “Apa ini berkaitan dengan Nyonya Helena?” “Ya,” jawab Shane terdengar pelan. “Ketika tadi pagi saya menemuinya, Nyonya juga terlihat tak kalah terlukanya dengan Anda, Tuan Shane.” Shane langsung menegakkan punggungnya, karena terkejut sekaligus tertarik dengan informasi yang Jasper sampaikan. “Kenapa? Bukankah ia membenciku- ah ya tentu saja aku pantas dibenci olehnya. Ia tak mungkin memaafkanku atas apa yang telah aku lakukan padanya kan?” Jasper menoleh ke arah Tuannya. “Anda akan membiarkan hal ini berjalan seperti ini, Tuan?” Shane tersenyum menangkap maksud Jasper. “Tidak. Tentu saja tidak!” Tapi pundak Shane langsung turun kembali. “Tapi aku t