Terima kasih sudah membaca dan memberika komen maupun vote. Silahkan follow ig inspirasikuh
Shane menatap dirinya di cermin besar yang menutupi seluruh tembok tepat di lorong kanan sebelum ruang kerjanya. Lelaki tampan itu bolak balik melihat tampilan dirinya dari berbagai sisi. ‘Apa penampilanku terlalu kaku untuk menemani Pim? Aku harus terlihat bagaimana?’ Hal itu membuat Jasper penasaran. "Ada apa, Tuan?" "Bagaimana menurutmu?" Shane berkata begitu kemudian memberi gestur pada Jasper untuk melihat keseluruhan tampilannya. Jasper mengerutkan keningnya. ‘Apanya yang bagaimana?’ Melihat Jasper belum menjawab pertanyaannya, Shane kembali bertanya ulang. “Menurutmu penampilan bagaimana yang disukai anak-anak?” Jasper tersenyum atas pertanyaan yang ia tahu pasti jawabannya. “Anak-anak sangat menyukai warna-warna cerah Tuan. Penampilan yang seperti karakter fantasy, Tuan.” Shane mengangguk-angguk sambil melihat bayangannya di cermin. “Baiklah!” serunya seakan mendapat pencerahan. “Rapat siang ini dimajukan sebelum jam makan siang ya, dan buatkan aku janji temu dengan Jer
Kedua bocah kecil yang ada di ruang kelas itu langsung menoleh ke arah sumber suara. “Shane!” teriak Primrose dengan kencang, ia terlihat sangat lega, seseorang akan membantunya keluar dari kejahilan anak laki-laki di depannya.Leon hanya berdiri terpaku saat sosok tinggi besar datang mendekatinya. Pria itu memasang senyum lebar di wajahnya tapi aura kegelapan turut serta dibelakangnya, seakan siap menelan siapapun di depannya -menurut Leon- . Kemudian dengan cepat kotak pensil merah muda itu berpindah dari tangan bocah lelaki kecil ke genggaman pria dengan lengan kekar itu.“Temanmu Pim?” tanya Shane sambil menyerahkan kotak pensil merah muda itu pada Primrose.Gadis kecil itu mengangguk. “Iya teman sekelas, tapi Leon sering mengganggu Pim.” Primrose baru saja mengadu dan ucapannya itu langsung membuat Leon pucat pasi. “Oh,” ujar Shane sambil menyeringai ke arah bocah lelaki itu. “Kau balik ke tempat tunggu saja Pim, aku ingin berbicara pada Leon.”Primrose mengerutkan keningnya.
"HAH!" teriak Primrose terkejut. "Tidak mungkin!" Gadis mungil itu sampai menggebrak kursi fiber tempat mereka duduk di dalam gondola itu."Shane pernah nikah sama Mama!" Primrose masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Shane tertawa kecil melihat ekspresi Primrose dari terkejut, tak percaya, dan sekarang menautkan kedua alisnya. 'Ia sangat ekspresif, padahal ibunya tak seperti itu. Apa ayahnya?'Primrose kemudian menatap sedih, seakan kehilangan sesuatu yang sangat ia sayangi. "Terus kenapa kalian berpisah? Kita kan bisa sama-sama jalan-jalan kalau Shane dan Mama masih menikah."Shane mengembuskan napas panjang. 'Aku memberi harapan pada Pim kalau hubungan aku dan ibunya bisa kembali berjalan baik ya? Aku jadi paham kekhawatiran Helena.' "Kami berdua tidak cocok kurasa? Atau… ." Shane menggantung kalimatnya. 'Bahkan aku sudah membenci Helena sebelum ikatan pernikahan kami terjadi, hubungan kami bermula dari minus bukan dari nol lagi.' "Kenapa kalian tidak cocok?" tanya Prim
"Shane… kenapa kau ada di sini?" Melihat ekspresi tak senang di wajah Helena membuat sepasang kekasih, Jeremy dan Barbara saling menatap dengan penuh tanda tanya. Helena yang mereka kenal tak pernah terlihat 'seakan mengusir' pelanggan seperti ini. Shane tersenyum tipis saat Helena yang berada di belakangnya langsung mengenalnya. ‘Oh kau langsung mengenalku walau hanya melihat punggungku ya? Bahkan Jasper pun terkecoh, tapi kau tidak.’ Berbanding terbalik dengan Shane, Helena tampak gusar saat melihat Primrose duduk di depan Shane. "Pim! Kemari!" panggil wanita berambut hitam dengan muka ditekuk itu. "Mama… ." Primrose mengkerut di sebelah Shane dan malah merangkul lengan berotot pria itu. Hal yang membuat Helena semakin geram. "Ayo sini!" Helena berjalan mendekat ke arah Primrose duduk dan berusaha menarik dengan kasar lengan gadis kecil itu. "Helena!" tegur Shane dengan tegas sambil berdiri dan menahan tangan mantan istrinya itu. "Kau kenapa? Jangan kasar dengan Pim, dia tidak
“Tidak mungkin,” erang Helena. Shane tampak puas dengan ucapannya, ia masih menyeringai lebar. Senyum meremehkan menurut Helena. “Apakah aku harus mencari pekerjaan lain sekarang?” tanya wanita berambut hitam itu lebih kepada dirinya sendiri. Shane memiringkan kepalanya mendengar pertanyaan lirih itu, senyumannya sudah lenyap sepenuhnya berganti dengan tatapan tajam ke arah Helena. ‘Wanita ini selalu menolak. Aku yang tak pernah bisa ditolak oleh siapapun. Kurasa ia benar-benar membenciku tak seperti kata Pim.’ Shane merasa harga dirinya diinjak-injak begitu saja oleh Helena. Ia berdecak kasar sebelum memberikan rentetan pertanyaan menyerang pada Helena. “Kemudian apa kau akan kabur lagi? Menghilang? Membuat hidupmu susah bak pelarian dengan menolak mentah-mentah apapun yang berkaitan dengan Digory? Untuk apa?” “Bukan begitu.” Helena tak berani menatap balik. Wanita cantik itu tak akan pernah sanggup membalas tatapan dari manik coklat hazelnut milik Shane. “Kumohon, jauhilah ka
Jeremy dan Barbara sama-sama melirik ke arah Helena yang berada di depan pintu dapur. “Baik, Tuan pelanggan. Helena tolong ya meja no sembilan,” perintah Jeremy. Helena dengan wajah yang ditekuk segera mengambil buku menu dan meletakkannya ke meja sembilan tempat Shane dan Primrose duduk. “Mama masih marah?” bisik Primrose ketakutan. Ia mengintip dan masih bersembunyi di balik tubuh besar Shane. “Hmm dimana letak kotak saran, Helena?” tanya Shane sambil tersenyum licik ke arah wanita yang pura-pura sibuk memegang buku kecil untuk mencatat pesanan. Helena mengembuskan napas berat sambil menurunkan buku kecilnya. “Jika Anda keberatan dilayani olehku, Tuan. Anda bisa-.” Shane langsung menggeleng, membuat kalimat Helena terputus. “Bukan-bukan begitu, Nona pelayan. Kau hanya tak ramah juga tidak tersenyum dan menanyakan kami ingin memesan apa.” Shane kemudian mengelus pelan rambut Primrose, sambil berbisik, “tenang, semua baik-baik saja.” Shane menoleh kembali ke arah Helena. “Nona p
Wanita cantik itu segera berbalik dan mematikan kompor serta mengambil mangkuk, mengabaikan Shane yang ada di sampingnya. Hal itu semata-mata Helena lakukan untuk melepas pandangan mereka yang tadi sedang bersitatap. “Makanan sudah siap, Tuan pelanggan. Akan saya antarkan ke meja Anda,” ucap Helena seolah tak pernah terjadi apa pun.Shane kembali dengan canggung ke mejanya, merasa sedikit aneh dengan kecepatannya yang spontan akibat mengkhawatirkan apa yang terjadi pada Helena karena bunyi keras dari dapur tadi. ‘Semua sudah berakhir, kenapa kau merasa ingin memulai sesuatu, Shane?’Helena meletakan dua mangkuk sup asparagus di meja nomor sembilan. Hanya ada Shane dan Primrose pengunjung di cafe itu. Jeremy dan Barbara telah menghilang entah kemana, hal itu membuat Shane mencatat sesuatu di kepalanya. ‘Aku akan meminta Jasper untuk mengetatkan disiplin pegawai di cafe ini.’Setelah menyelesaikan tugasnya, Helena duduk di meja kasir sambil kembali mencuri-curi pandang pada pelanggan di
“PIM!” teriak Helena dan Shane berbarengan. Tepat saat itu Jeremy dan Barbara balik ke cafe dengan napas yang memburu. “Kata kakakku pemilik cafe ini datang, apa kau melihatnya Helena?” tanya Jeremy dengan panik. Barbara melihat kecanggungan yang aneh di meja nomor sembilan. “Hah?” Helena bergumam dengan bingung. Shane langsung menyambar pertanyaan Jeremy. “Tidak ada yang datang selain aku.” Jeremy baru akan bernapas lega, Shane sudah memberikannya perintah lagi. “Ambilkan semangkuk sup asparagus di dapur dan letakan di sini.” Jeremy melihat Helena, seakan ingin memberikan perintah pada anak buahnya itu, tapi kembali Shane menghentikan tindakannya. “Kamu, kamu yang ambilkan,” perintah Shane sambil menunjuk manajer cafe itu. Dominasi pria tampan yang sedang duduk di meja nomor sembilan itu begitu kuat, hingga membuat Jeremy langsung mengangguk bingung dan otomatis melaksanakan perintah Shane. “Aku akan mengawasi apa yang ditontonnya,” ujar Helena ketika perhatian Shane kembal