Terima kasih telah membaca, komentar dan vote tetap dinanti~
Karena pemikirannya itu, dalam perjalanan menuju Digory Valley, Shane menelpon Jasper. "Ya Tuan?" "Jasper carikan aku sebuah tempat yang bisa dijadikan cafe atau restoran di sekitar sekolah dasar Salt Lake yang pernah kita beri sumbangan." Dahi Jasper membentuk dua garis lurus. 'Salt Lake lagi,' batinnya. "Ketiga sekolah itu, Tuan?” “Tidak hanya satu sekolah saja, tepat di sebelah toko es krim kalau bisa. Kukira ada beberapa toko di deretan depan sekolah itu. Ah tidak, beli saja satu daerah itu dari pemilik gedungnya, dan kosongkan satu untuk cafe, tak perlu terlalu besar, aku ingin cafe itu buka hanya sampai sore saja. Cafe dengan konsep minimalis.” Jasper mencatat semuanya dengan teliti di buku notesnya. Sekretaris Shane itu adalah pria yang kuno, ia masih menggunakan catatan ketimbang menyimpan suara bosnya di voice note. Alat tulis Jasper langsung terjatuh dari genggamannya saat bosnya itu memerintahkan hal selanjutnya. “Buka besok ya.” “Hah?” gumam Jasper terkejut. “Tapi Tu
Helena mengerjapkan matanya saat melihat antrian orang-orang yang berderet di depan toko baru tepat di samping toko es krim. Ia baru saja mengantar Primrose sekolah saat tulisan lowongan pekerjaan begitu besar menghiasi pintu toko itu dan lusinan orang mulai mengantri. "Apa syaratnya harus memiliki ijazah atau minimal sertifikat?" tanya Helena pada salah satu pelamar yang tampak jauh lebih tua darinya. Antrian itu banyak dipenuhi orang lanjut usia. Tampaknya mereka mendapat info ketika mengantar cucu-cucu ke sekolah, sepagi ini hanya para kakek dan nenek saja yang mengantar cucunya ke sekolah. Sedangkan orang tua murid lainnya tampak sudah banyak memiliki pekerjaan tetap yang lebih baik jadi tak tertarik dengan lowongan itu. Sisanya -yang seumuran dengan Helena- lebih banyak bekerja di malam hari. Jadi untuk melihat lowongan pekerjaan yang tiba-tiba muncul di pagi hari ini tampaknya sangat kecil kemungkinannya. "Tidak ada, karena tidak membutuhkan hal itu jadi sangat menarik untukku
Wajah Helena langsung berbinar mendengar itu “Betulkah?” “Ya! Sebentar aku harus menandatangani kontrak kerja-.” Jeremy membongkar tumpukan yang ada di meja kasir. “Dimana aku menaruh kontrak kerja sialan itu.” Tak lama ia meletakan dua lembar kertas di meja tepat depan Helena. “Nah silahkan dibaca.”Manik hijau zamrud Helena langsung membulat, ia tak menyangka upah bulanan yang akan ia terima lebih besar tiga kali lipat dari pendapatannya selama ini. Tanpa sadar air matanya menetes. “Ah maafkan aku, aku tak menyangka akan mendapat upah sebesar ini, ak- akan aku tandatangani- sebentar.” Helena mengusap air matanya dengan tergesa-gesa, ia tak pernah menangis sedih di depan orang lain, tapi rasa lega dan kebahagiaan yang ia rasakan sekarang membuatnya meneteskan air mata. Jeremy dan Barbara ikut tersenyum tulus melihat Helena, ada perasaan hangat di punggung mereka masing-masing. Sepasang kekasih itu tak pernah menyangka bisa memberikan sesuatu yang sangat dibutuhkan orang lain. Baik J
Ponsel pribadi Shane kembali berbunyi, sebuah nada yang berbeda dari deringan panggilan lainnya. Athena. “Sayang, makan siang yuk! Bareng!” ajakan manja di ujung panggilan. Shane melihat jam tangan edisi terbatas dari brand terkenal yang melingkar di pergelangan tangannya. ‘Sudah waktunya makan siang ya?’ “Dimana kau sekarang? Aku akan menjemputmu.” Tak lama kedua insan yang menjadi perhatian publik itu sampai di restoran tempat mereka akan makan siang. Tangan Athena bergelayut manja di lengan Shane. Mereka berdua tak mempedulikan tatapan kagum dari para pengunjung restoran lainnya. Manajer restoran langsung mengantar sendiri dua tamu penting itu ke mejanya. Sebuah tempat vip dengan pemandangan kota Digory yang luar biasa, menghadap ke ujung selatan kota itu yang terdapat pantai dan bangunan mercusuar. Athena masih semangat untuk bercerita betapa buruknya beberapa wedding organizer yang ia seleksi. “Benar-benar tak ada satupun yang bagus menurutku! Ini menjengkelkan sekali Shan
Pasangan kekasih paling terkenal seantero Digory Valley itu masih terlihat makan siang di restoran mahal itu. Athena meninggalkan meja makannya dan menuju ke toilet restoran. Di sana ia tak sengaja berpapasan dengan pelayan berambut hitam itu. Athena tersenyum tipis sebelum memanggil pelayan yang baru saja melewatinya itu. “Hei kamu.”Pelayan itu menoleh, karena hanya mereka berdua yang berada di lorong sepi itu. “Nona Athena memanggil saya?”“Iya, bisa tolong bantu aku sebentar?” tanya Athena dengan sopan sambil menunjuk ke arah toilet. Memberi kode pada pelayan itu untuk mengikutinya.‘Cantik sekali,’ batin pelayan wanita yang bernama Dahlia itu sambil mengangguk kemudian mengikuti langkah Athena ke toilet perempuan.Di dalam toilet restoran yang diselimuti dengan interior mewah itu, Athena berdiri berhadap-hadapan dengan pelayan wanita itu. Wanita cantik berambut merah tembaga itu tersenyum manis. “Siapa namamu?”“Dah-dahlia, Nona Athena,” jawabnya dengan gugup. ‘Apa ia marah karen
Shane menatap dirinya di cermin besar yang menutupi seluruh tembok tepat di lorong kanan sebelum ruang kerjanya. Lelaki tampan itu bolak balik melihat tampilan dirinya dari berbagai sisi. ‘Apa penampilanku terlalu kaku untuk menemani Pim? Aku harus terlihat bagaimana?’ Hal itu membuat Jasper penasaran. "Ada apa, Tuan?" "Bagaimana menurutmu?" Shane berkata begitu kemudian memberi gestur pada Jasper untuk melihat keseluruhan tampilannya. Jasper mengerutkan keningnya. ‘Apanya yang bagaimana?’ Melihat Jasper belum menjawab pertanyaannya, Shane kembali bertanya ulang. “Menurutmu penampilan bagaimana yang disukai anak-anak?” Jasper tersenyum atas pertanyaan yang ia tahu pasti jawabannya. “Anak-anak sangat menyukai warna-warna cerah Tuan. Penampilan yang seperti karakter fantasy, Tuan.” Shane mengangguk-angguk sambil melihat bayangannya di cermin. “Baiklah!” serunya seakan mendapat pencerahan. “Rapat siang ini dimajukan sebelum jam makan siang ya, dan buatkan aku janji temu dengan Jer
Kedua bocah kecil yang ada di ruang kelas itu langsung menoleh ke arah sumber suara. “Shane!” teriak Primrose dengan kencang, ia terlihat sangat lega, seseorang akan membantunya keluar dari kejahilan anak laki-laki di depannya.Leon hanya berdiri terpaku saat sosok tinggi besar datang mendekatinya. Pria itu memasang senyum lebar di wajahnya tapi aura kegelapan turut serta dibelakangnya, seakan siap menelan siapapun di depannya -menurut Leon- . Kemudian dengan cepat kotak pensil merah muda itu berpindah dari tangan bocah lelaki kecil ke genggaman pria dengan lengan kekar itu.“Temanmu Pim?” tanya Shane sambil menyerahkan kotak pensil merah muda itu pada Primrose.Gadis kecil itu mengangguk. “Iya teman sekelas, tapi Leon sering mengganggu Pim.” Primrose baru saja mengadu dan ucapannya itu langsung membuat Leon pucat pasi. “Oh,” ujar Shane sambil menyeringai ke arah bocah lelaki itu. “Kau balik ke tempat tunggu saja Pim, aku ingin berbicara pada Leon.”Primrose mengerutkan keningnya.
"HAH!" teriak Primrose terkejut. "Tidak mungkin!" Gadis mungil itu sampai menggebrak kursi fiber tempat mereka duduk di dalam gondola itu."Shane pernah nikah sama Mama!" Primrose masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Shane tertawa kecil melihat ekspresi Primrose dari terkejut, tak percaya, dan sekarang menautkan kedua alisnya. 'Ia sangat ekspresif, padahal ibunya tak seperti itu. Apa ayahnya?'Primrose kemudian menatap sedih, seakan kehilangan sesuatu yang sangat ia sayangi. "Terus kenapa kalian berpisah? Kita kan bisa sama-sama jalan-jalan kalau Shane dan Mama masih menikah."Shane mengembuskan napas panjang. 'Aku memberi harapan pada Pim kalau hubungan aku dan ibunya bisa kembali berjalan baik ya? Aku jadi paham kekhawatiran Helena.' "Kami berdua tidak cocok kurasa? Atau… ." Shane menggantung kalimatnya. 'Bahkan aku sudah membenci Helena sebelum ikatan pernikahan kami terjadi, hubungan kami bermula dari minus bukan dari nol lagi.' "Kenapa kalian tidak cocok?" tanya Prim