Hampir tengah malam pesta anniversary yang digelar secara besar-besaran itu pun akhirnya usai. Satu persatu para tamu undangan pergi meninggalkan ballroom Hotel Shangrila, terkecuali pihak keluarga inti dari kedua pasangan tersebut.
Almira sengaja mempersiapkan kamar untuk orang terdekatnya dan sanak saudara yang datang jauh-jauh dari luar kota. Termaksud dari pihak keluarga bude Kinanti dan kedua anaknya. Jarang-jarang mereka bisa menghabiskan waktu bersama dalam kurun waktu yang lama. Oleh karena itu, Almira ingin meminta mereka semua supaya mau menginap semalam saja di Hotel.
Permintaan Almira tentu tidak dapat ditolak. Apalagi permintaan tersebut diminta dengan sangat tulus. Keluarga besar dari dua belah pihak menempati kamar yang telah dipersiapkan khusus. Tak terkecuali Danu dan istrinya Sandra. Untuk pasangan pengantin baru itu, Almira menyiapkan kamar khusus yaitu honey moon suite room.
Sementara dia sendiri menempati kamar VVIP dengan fasilitas yang mewah dan lengkap. Semua itu tentu tanpa sepengetahuan Sandi—suaminya.
Lelaki itu tak menduga bila Almira mempersiapkan semuanya dengan begitu detail dan perencanaan penuh. Dari mulai baju sampai menyewa kamar Hotel, Sandi tak tahu menahu lantaran kesibukannya yang cukup padat. Almira melakukannya dengan sangat sempurna dengan bantuan pihak W.O dan para asistennya.
Di dalam kamar mewah ini Sandi baru saja selesai membersihkan diri, mandi air hangat cukup merilekskan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku dan pegal. Sementara Almira tengah memanjakan tubuhnya dengan berendam di bak mandi setelah Sandi selesai dengan urusannya.
Sebagai seorang yang super sibuk Sandi selalu mengecek pekerjaannya melalui I-Pad, benda pipih yang tak pernah dia lupakan. Tanggung jawabnya begitu besar pada perusahaan sang ayah. Sandi hampir tidak ada waktu untuk beristirahat meski sekejap. Karena saking sibuknya Sandi hampir tidak menyadari jika Almira sudah selesai mandi, dan saat ini tengah duduk di sampingnya.
"Mas." Almira memanggil suaminya dengan suaranya yang lembut hingga Sandi mengalihkan pandangannya dari layar I-Pad.
"Ya?"
Untuk sejenak Sandi tertegun memandang penampilan Almira yang sedikit berbeda. Secara tidak sadar dia bahkan menelan ludahnya susah payah. Almira terlihat sangat cantik dengan balutan gaun malam yang cukup seksi dan menggoda.
Bibir ranum Almira tampak sangat menggoda Sandi. Meski tidak dipoles dengan apa pun, warna alami bibir Almira terkesan seperti polesan. Bentuk bibir Almira begitu sensual dan penuh. Sebagai model tubuhnya juga sangat terawat dan bersih. Mulus tanpa celah. Warna kulit yang khas orang Jawa semakin menambah kesan manis.
Tiga tahun tinggal dalam satu atap, Sandi baru menyadari jika selama ini dia sama sekali belum menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Meski tidur satu ranjang, tetapi dia belum bisa memberikan semua yang menjadi hak Almira.
Sandi dan Almira saling menatap cukup lama. Sebelum akhirnya lelaki bertubuh gagah itu menyadarkan diri dan memutus tatapannya. Membuang pandangannya ke arah lain.
"Ekhm!" Guna menghalau rasa gugup Sandi berdeham cukup keras. Lalu setelah itu dia pun bertanya, "Ada apa?"
Almira yang masih menetralkan degup jantungnya sontak termangu dengan pertanyaan Sandi.
"Hah?"
"Kamu mau ngomong apa tadi?" ucap Sandi mengulangi pertanyaannya seraya meletakkan I-Pad ke atas nakas. Kemudian memindai wajah Almira yang memerah.
"Oh," Almira segera mengambil sesuatu dari dalam laci. "Ini. Aku cuma mau kasih ini." Menyodorkan sebuah amplop berwarna putih.
Kening Sandi mengernyit. "Apa ini, Al?" tanyanya seraya mengambil amplop tersebut dari tangan Almira.
"Mas buka aja."
Dengan penuh tanda tanya Sandi pun membuka amplop tersebut. "Ini? Tiket bulan madu?"
"Iya."
Sontak Sandi menatap Almira dengan kerutan yang semakin kentara. "Bulan madu? Untuk siapa?"
Astaga, suaminya ini benar-benar tidak peka sama sekali. Almira gemas dibuatnya.
"Untuk kitalah, Mas. Memangnya untuk siapa lagi?" seru Almira pura-pura kesal.
Mengerjap pelan sambil berujar dalam hati, Sandi mencerna penuturan sang istri.
'Bulan madu? Kita? Maksudnya aku sama Almira?'
"Mas."
"Hem, ya?" Sandi tercenung sebelum kemudian bertanya, "Kamu pengen banget, ya, kita bulan madu?"
Almira mengangguk antusias. "Pengen." Bibirnya menyeringai. Senyuman yang sangat manis sekali.
'Mungkin ini waktunya, aku dan Almira mencoba. Aku enggak mau nyakitin Almira lebih lama lagi. Selama ini dia terlalu baik.' Sandi membatin—menimbang-nimbang keputusannya.
Menurutnya tak ada salahnya untuk mencoba. Toh, mereka belum pernah pergi berbulan madu selama ini. Sandi tak ingin menambah beban dosanya kepada Almira. Bertahun-tahun tak memberinya nafkah batin.
"Baiklah. Kita akan pergi bulan madu. Kamu senang, Al?" ucap Sandi sekaligus bertanya.
Reflek Almira memeluk Sandi.
"Aku seneng, Mas. Seneng banget," ujarnya yang tidak sadar dengan apa yang dilakukan.
Tubuh Sandi menegang dan terasa kaku. Dipeluk spontan oleh Almira menyulut getaran di relung hatinya yang selama ini rindu sentuhan seorang wanita. Sebisa mungkin Sandi membalas pelukan itu, tentu dengan degup jantung yang menggila.
Entahlah.
Hampir tiga tahun mereka sering berpelukan seperti ini, namun tak pernah sekali pun berhasil menggetarkan hati Sandi. Kali ini rasanya sungguh berbeda. Pelukan Almira terasa jauh lebih hangat dari sebelumnya.
Untuk sesaat keduanya terlena dalam pelukan. Memahami setiap debaran yang mulai mengusik ketenangan jiwa. Namun, ketika Sandi ingin berbuat lebih atau ingin melakukan hal lain, tiba-tiba bayangan wajah Sandra berkelebat di pelupuk matanya. Sontak niat itu pun dia urungkan. Sandi memilih mengecup puncak kepala Almira saja dan itu sukses membawa istrinya pada rasa kecewa yang lebih mendalam.
'Kenapa, Mas? Kenapa kamu enggak pernah mau menyentuhku? Apa karena wanita itu?' Batin Almira nelangsa.
###
Tengah malam, Sandi yang tidak bisa tidur memutuskan untuk bangkit dari ranjang dan keluar kamar. Memikirkan tentang Almira membuat lelaki itu terus merasa bersalah lantaran hingga detik ini dia masih belum menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Bahkan, di detik dia hampir melakukannya, bayangan masa lalu tiba-tiba muncul dan membuatnya mengurungkan niat tersebut.Bukannya Sandi tidak tahu dan tidak ingin tahu dengan kekecewaan Almira pada saat dia memilih mundur untuk tidak melanjutkannya. Sandi bisa melihat dengan jelas sorot mata Almira yang memancarkan banyak sekali luka."Maafin aku, Al. Maaf ..." Sandi meraup kasar wajahnya dengan perasaan bersalah yang kian bertambah. Dia menekan tombol lift, kemudian masuk saat pintunya terbuka.Di dalam lift Sandi terus saja melamun hingga pintu itu kembali terbuka dia pun langsung keluar dari sana. Dia berjalan menuju bar yang kebetulan tersedia di Hotel tersebut. Begitu masuk, Sandi memilih duduk di depan bartender yang sedang sibuk
Beberapa saat kemudian, Sandi telah berada di kamar lagi setelah mengantar Sandra sampai ke pintu kamarnya. Entah kebetulan atau apa, kamar mereka hanya berjarak beberapa meter saja. Sandi merasa tidak tega membiarkan Sandra kembali ke kamar dalam keadaan kacau seperti tadi. Maka dari itu Sandi memutuskan untuk mengantarnya, tetapi hanya sampai di depan pintu."Hfuuh ...." Sandi masuk ke kamar mandi, lantas menuju wastafel untuk mencuci tangan dan membasuh wajahnya. Setelah itu, dia menatap pantulan dirinya di cermin. Bayangan Sandra saat menangis terus berkelebat di ingatan. "Kenapa kamu melakukan ini, Sandra? Kenapa?" Dia bergumam sendiri, bertanya-tanya perihal perkataan mantan kekasihnya tadi.Memang, Sandi tak ada niat sedikit pun untuk bertanya lebih kepada perempuan itu. Dia membiarkan Sandra menangis di pelukannya sewaktu di lift hanya karena merasa iba bukan karena alasan lain.'Benarkah cuma karena iba? Atau aku merasa senang mendengar ucapan Sandra yang ternyata dia tersiks
Detik demi detik berlalu, namun kedua insan itu nampaknya masih enggan melepas pagutan yang baru pertama kali mereka lakukan. Rasanya sungguh mendebarkan dan membuat adrenalin Sandi sebagai seorang pria terpacu. Lembutnya bibir Almira membuat lelaki itu hilang akal dan...mungkin akan hilang kendali.Selama bersama dengan Sandra dulu, dia sama sekali belum pernah melakukan hal sejauh itu. Hanya sebatas menyentuh pipi, kepala, kadang mengecup kening. Sandi bukanlah tipe pria yang suka melewati batas, meski dirinya begitu tergila-gila pada Sandra kala itu.Jika bukan Sandi yang ada di posisi saat ini, mungkin Almira sejak dulu sudah digagahi tanpa memedulikan perasaan perempuan itu. Tiga tahun bersama bukanlah waktu yang sebentar bagi sepasang suami istri. Almira cantik, bahkan bisa dibilang kecantikannya jauh di atas Sandra. Bukannya Sandi tidak tergoda atau pun tidak tertarik kepada istri modelnya. Hanya saja setiap kali keinginan itu datang, bayangan wajah Sandra selalu tiba-tiba hadi
"Selamat, ya, Al... Suamimu memang best! Tahu aja apa yang istrinya mau." Danu memberi selamat kepada adik sepupu kesayangannya itu. Dia memeluk Almira seperti memeluk adik kandungannya sendiri."Makasih, Mas." Almira tersenyum malu. Yang lain pun ikut memberikan selamat.Sandra yang awalnya enggan dan tidak sudi memberi selamat, terpaksa harus ikut melakukannya. Perempuan berambut bergelombang itu maju lalu mengulurkan tangan. "Selamat, ya, Al." Dia memasang senyum palsu yang tentunya tak ada yang menyadari itu."Makasih, Mbak." Almira membalas uluran tangan Sandra. Tiba-tiba dia kepikiran sesuatu. "Oh, iya, Mas. Aku ada ide. Gimana kalo kita ajak Mas Danu ke Bali bareng kita? Ya ... itung-itung sebagai hadiah pernikahan mereka. Kita 'kan waktu itu enggak sempet dateng ke pernikahan Mas Danu sama Mbak Sandra."Sandi termangu dengan usulan istrinya, dia bingung hendak menjawab apa. Sementara Sandra justru nampak senang sedangkan Danu menolak tawaran Almira."Eh, enggak perlu, Al. Engg
Perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta menuju ke Bali yang ditempuh sekitar dua jam lamanya, akhirnya telah berakhir di Bandara Internasional Ngurah Rai tepat pukul tiga sore. Acara bulan madu dadakan yang direncanakan Almira sebetulnya sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari. Perempuan yang berprofesi sebagai model itu sudah menyiapkan kejutan lainnya untuk suami tercintanya yaitu Sandi.Sebuah penginapan yang dipesan khusus untuk mereka menghabiskan bulan madu, berada di Seminyak Bali. Almira memesan Villa mewah di Mayaloka. Sebuah penginapan pribadi yang sering digunakan oleh para artis atau publik figur di tanah air. Dirinya yang seorang model menginginkan privasi tanpa diganggu oleh siapa pun. Mayaloka Villas sebuah penginapan yang sangat cocok menurutnya sebab fasilitasnya yang lengkap.Villa dengan satu kamar tidur luas dan beberapa fasilitas lainnya juga tersedia. Yang tak kalah menariknya juga ada kolam berendam mewah yang biasa disebut Jacuzzi. Tak tanggung-tanggung, Almira
Menjelang malam, Almira mengajak Sandi dan yang lainnya makan malam di Restoran yang kebetulan berada tidak jauh dari Villa tempat mereka menginap. Sebenarnya di Villa sudah ada layanan untuk itu, tetapi Almira ingin jalan-jalan sembari menikmati kebersamaan dengan suami dan juga kakak sepupunya—Danu.Restoran bintang lima yang terkenal di Seminyak Bali merupakan Restoran terindah yang pernah Almira temui. Tak salah bila dirinya menerima saran dari Khanza untuk honeymoon di sini. Tempatnya benar-benar indah dan menakjubkan. Yah, meski dia harus merelakan mata suaminya ternodai dengan para bule-bule cantik yang ada di Restoran itu. Rata-rata dari mereka para turis asing yang berpenampilan waow dan seksi.Duduk di meja paling pojok, Almira dan yang lainnya menikmati hidangan makan malam yang tersaji. Mereka berempat duduk saling berhadapan, namun yang membuat Sandi merasa tidak nyaman saat ini ialah mengapa dia harus tepat berada di depan Sandra yang malam ini terlihat sangat cantik dan
Semilir angin yang masuk lewat celah-celah jendela kamar seolah menerpa lembut permukaan kulit Almira yang sedikit terbuka. Gelenyar-gelenyar hangat mulai timbul ketika telapak tangan Sandi mengelus pipi sambil menatapnya penuh damba. Bukan sekali ini saja suaminya itu bersikap demikian, namun tak sekali pun hal itu dia lanjutkan lantaran bayangan mantan kekasihnya selalu hadir di tengah-tengah kebersamaan mereka.Tatapan mata Sandi meski di bawah cahaya temaram lampu kamar, seolah menyeret Almira tenggelam ke dalam pesonanya yang tiada dua. Paras rupawan Sandi begitu menghipnotis Almira yang sebentar lagi berada di bawah kendali lelaki itu. Akan tetapi, Almira sekuat mungkin menahan. Menahan dorongan hasrat yang kerap kali timbul apabila Sandi menyentuhnya. Almira hanya tidak mau jika sampai keinginannya lagi-lagi harus berakhir tanpa adanya kepastian. Sesuatu yang lama dia dambakan dari suaminya ini."Mas ...." Napas Almira terdengar putus-putus, mati-matian dia tengah menahan gejol
Sandi menyeringai di bawah Almira yang mulai larut dalam sentuhannya. "Kamu cantik, Al," ucapnya sambil mengulum bibir manis itu lagi. Rasanya dia mulai kecanduan dengan bibir Almira."Mas, aku enggak bisa napas." Almira menarik pelan wajahnya menjauhi wajah Sandi yang masih ada di bawahnya. "Kamu baru sadar kalo istrimu ini cantik? Kemarin-kemarin ke mana aja, Pak?""Kemarin-kemarin aku sibuk mengenang masa lalu sampai aku melupakan kecantikan istriku ini." Sandi tersenyum, lalu mengecup bibir Almira yang mengerucut lucu."Mas, dingin." Almira bergidik sebab angin malam yang masuk lewat celah-celah jendela kamar yang terbuka terasa membelai seluruh tubuh polosnya."Kalo begitu biar aku yang menghangatkanmu, Al." Sejurus kemudian, Sandi merubah posisi mereka. Kini Almira telah berada di bawah tubuh kekarnya."Mas. Aku suka dadamu ini. Rasanya aku ingin terus berada di dekapanmu ini." Jemari lentik Almira membelai dan menelusuri dada Sandi."
—Tuhan itu Maha Adil. Tuhan itu Maha Penyayang—***Setelah melalui serangkaian panjang acara ijab qobul yang dilanjutkan dengan resepsi, kini waktunya untuk semua orang beristirahat. Pernikahan yang digelar cukup sederhana itu dilangsungkan di rumah orang tua Almira. "Aaqil sama Aleena bobok sama suster dulu, ya, malam ini." Mama Rini berkata pada kedua cucunya. Perempuan paruh baya itu juga menganggap Aleena seperti cucunya sendiri. "Kenapa bobok sama Suster, Eyang?" Aleena berceloteh sambil mengunyah. "Iya, Eyang. Kenapa bobok sama suster? Aaqil sama Aleena mau bobok sama Ibu." Aaqil menimpali, melirik sang ibu yang duduk di seberang sofa. "Gak apa-apa 'kan, Bu?" Bocah laki-laki itu lalu berlari menghampiri Almira dan langsung duduk di pangkuan. Almira tentu kebingungan untuk menjawabnya. "Hmm ... Ibu ..." Maniknya melirik Erland yang kebetulan ada di samping papanya. Erland paham dengan situasi sekarang dan langsung tanggap menimpali. "Aaqil sama Aleena kalau mau bobok sama Ib
"Menikah?" Mama Rini nyaris melotot setelah mendengar penuturan Erland barusan. Dia tidak menyangka jika pemuda yang dia kenal sebagai sahabat putrinya itu, ternyata memiliki niat yang sangat baik. Berbeda dengan Mama Rini yang sedikit terkejut, Pak Kusuma justru terlihat tenang dan tak banyak berkomentar. Beliau hanya menghela napas sambil menelisik sepasang manik Erland yang memancarkan ketulusan. Selama ini Pak Kusuma juga diam-diam sudah mengamati sikap dan perilaku sahabat anaknya itu. Kedekatan antara Erland dan Almira memang terlihat sangat tulus. Apalagi, Aaqil yang sepertinya sudah sangat merasa nyaman dengan pemuda sederhana itu. Pak Kusuma cukup salut dengan gaya hidup Erland yang tak pernah menunjukkan siapa dia sebenarnya. Erland tersenyum, lalu mengangguk. "Iya, Tante. Saya harap Tante mau mendukung niat saya ini." "Apa Mira udah tau?" tanya Mama Rini.Erland menggeleng. "Saya belum bicara sama Almira, Tante. Saya memutuskan untuk meminta persetujuan Tante lebih dul
"Ibu ...."Seorang bocah laki-laki yang sangat tampan berlarian ketika baru saja masuk ke dalam rumahnya. Bocah laki-laki berusia empat tahun itu langsung mencari keberadaan sang ibu. Merasa terpanggil, perempuan berpakaian syar'i yang berada di kamarnya itu pun bergegas menemui sang anak. Perempuan yang sejak empat tahun lalu memutuskan untuk berhijrah dan meninggalkan karier cemerlangnya. "Assalamualaikum ...." ucap Almira saat berpapasan dengan putranya. "Wa'alaikumsalam ...." Sang anak menjawab sambil memasang raut tak berdosa serta senyum yang menggemaskan. "Maaf Ibu, Aaqil lupa ucap salam," cicitnya sambil menarik kedua telinganya sendiri. Melihat tingkah lucu anaknya, Almira tentu urung marah. "Kenapa Aaqil lupa terus, ya? Padahal ibu udah sering loh ingetin Aaqil." Tangan Almira meraih tangan kecil putra satu-satunya yang dia beri nama Aaqil Umais, lalu mengajaknya ke dapur. "Aaqil juga gak tau, ibu. Kenapa Aaqil sering lupa. Lain kali, Aaqil gak bakalan lupa, kok .... Se
Dua bulan berlalu semenjak kejadian mempermalukan Sandi dan Sandra, hidup Almira menjadi lebih tenang. Pasalnya, dia tak lagi harus berpura-pura menjadi istri yang bahagia di hadapan kedua orang tuanya dan mertuanya. Semenjak itu pula, Almira mencoba lebih tegar lagi demi calon buah hati yang sebentar lagi lahir ke dunia. Diperkirakan, Almira akan melahirkan Minggu depan. Segala persiapan pun telah dia lakukan. Namun, ada satu hal yang harus Almira selesaikan terlebih dahulu sebelum dia benar-benar bebas dari pernikahan toxic yang selama bertahun-tahun dia jalani bersama Sandi. Dengan bantuan pengacara, perceraian Almira akhirnya diproses secara kilat. Meskipun dia tengah berbadan dua, Almira tetap meneruskan niatnya tersebut. Dan pada hari ini adalah hari di mana Almira akan melepas statusnya sebagai istri dari Sandi Himawan. Sidang perceraiannya akan dilaksanakan di pengadilan negeri dan akan dihadiri oleh kedua belah pihak. Semuanya akan benar-benar berakhir...tok! tok!"Al, kam
Almira membeku di tempatnya, tepat saat sang ibu mertua beranjak dari duduknya untuk menghampiri Sandi dan Sandra yang baru saja hendak memilih tempat duduk. Perempuan itu masih tak percaya jika Mama Laila akan memergoki secara langsung kelakuan anak laki-lakinya. "Sandi!" Mama Laila menyebut nama sang anak dengan nada cukup tinggi. Seketika dia menjadi pusat perhatian para pengunjung di sana. Semua mata tertuju pada ibu mertua Almira itu. "Mama?" Sandi urung menarik kursi, sebab keterkejutannya yang melihat sang ibu sedang berdiri di hadapan. Apalagi cara menatap Mama Laila yang nampak marah. Kenapa tiba-tiba dia bisa bertemu sang ibu di tempat ini? pikir Sandi. Pun sama halnya dengan Sandra, yang terpaku di tempatnya dengan raut pucat pasi. Perut buncitnya dia usap sekilas seraya melirik Sandi yang tak bergeming di sampingnya. Mama Laila maju selangkah, mendekati Sandi. Keberadaan Sandra di sampingnya membuat perempuan paruh baya itu memasang raut sinis. "Apa-apaan ini, Sandi?
"Mira!" Langkah Almira sontak berhenti, saat seseorang memanggil dan menyentuh pundaknya. Dia menoleh ke belakang. "Mama?" Perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik itu tersenyum kepada menantunya. "Tuh, kan ... Mama gak salah orang. Ternyata beneran kamu, Mira." Almira memeluk Mama mertuanya yang terkenal baik dan sayang padanya. "Ya Allah, Ma. Kok, bisa ketemu di sini, sih ...." Mama Laila membalas dengan hangat pelukan Almira. "Namanya juga udah diatur sama yang di atas, ucapnya sambil mengurai pelukan, dan mengusap perut buncit istri anaknya itu. "kamu ke sini sama siapa, Mir? Sama Sandi, ya?" Pertanyaan mama Laila membuat Almira berpikir keras. Apa tidak masalah—jika dia mengatakan bahwa dirinya pergi ke tempat ini bersama Erland? "Hmm ... Mira ke sini sama—" Tiba-tiba ponsel Almira berdering, kemudian dia buru-buru mengambilnya dari tas selempang bawaannya. "bentar, Ma." Mama Laila mengangguk, menunggu Almira menjawab panggilan telepon tersebut. Nama yang tertera di
Duduk berdampingan di dalam satu mobil untuk kali pertama setelah berbulan-bulan baru kembali bertemu. Ditambah dengan pernyataan yang lebih mirip sebuah permintaan, membuat seorang perempuan yang tengah berbadan dua itu menjadi sangat canggung. Almira tak pernah menyangka, bila sang sahabat yang sudah berteman dengannya selama bertahun-tahun itu memintanya untuk bercerai dari suaminya. Erland—entah lelaki itu sadar atau terkena sawan dari mana tiba-tiba mengungkapkan niatnya. Apa Erland habis terjatuh, lalu kepalanya terbentur batu? Atau ... apa Erland salah minum obat? Ah, ya ampun ... Kepala Almira rasanya mau pecah memikirkan perkataan Erland waktu di kafe tadi. 'Apa gara-gara kelamaan jomblo, dia jadi kayak gitu? Yang bener aja.' Almira membatin geli. Lalu, diam-diam sudut manik Almira mencuri-curi pandang pada lelaki berjambang tipis serta berkulit sawo matang di sampingnya. Erland sedang fokus menyetir mobil yang dibelinya dari hasil kerja kerasnya selama menjadi arsitek.
"Wah, kupikir gak dateng, Al." Senyum Erland mengembang saat melihat sosok cantik berperut buncit itu tiba di hadapan. Semalam dia meminta Almira untuk bertemu di sebuah kafe, karena ingin mengajaknya mengobrol. Erland pun sigap berdiri dan menarik kursi untuk sang sahabat. "Silakan ...." "Makasih." Almira menduduki kursi, kemudian membuka masker yang sedari tadi menutupi sebagian wajah. "Hah, sesek!" Hidungnya terasa lega seketika. Erland kembali duduk, lalu terkekeh mendengar keluhan Almira. "Lagian, pakek masker segala. Kemayu!" Tak terima dibilang 'kemayu—ganjen' Almira meluruskan, "Eh, bumil itu sensitif, tau! Gak boleh sembarangan!" "Hmm, ya ... ya .... Kamu ke sini naik apa?" Erland memaklumi saja. Lantas dia membuka buku menu yang tersedia di meja—membaca urutan nama-nama makanan serta minuman yang tertera mulai dari yang murah sampai mahal. "Aku naik taksi," ucap Almira, lalu mencepol ke atas rambutnya yang semakin memanjang. Semenjak hamil perempuan itu kerapkali merasa
Sandi selesai mengepak beberapa pakaian serta kebutuhan lainnya ke dalam koper berukuran cukup besar. Mulai malam ini dia tidak serumah lagi dengan Almira. Keputusannya tersebut dia lakukan tentu demi menjaga mental sang istri yang sedang hamil besar. Emosi Almira yang labil dan masalah yang Sandi timbulkan makin memperuncing hubungan mereka. Sandi sadar jika rumah tangganya bersama dengan Almira tidak akan pernah mungkin bisa kembali utuh. Dia pun harus merelakan salah satu dari dua wanita yang sama-sama tengah berbadan dua itu. Paling tidak, itu adalah jalan satu-satunya agar masalah tersebut terselesaikan. "Mungkin, aku memang egois. Aku sangat bodoh selama ini. Ada baiknya, aku melepas Almira. Aku sudah terlalu banyak menyakitinya." Setelah semua beres, dan Sandi pun sudah membersihkan diri terlebih dahulu. Lantas, dia pun keluar kamar dengan membawa serta koper. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Sambil melangkah, Sandi mengambil ponselnya dari saku celana. Nama pemanggil y