Beberapa saat kemudian, Sandi telah berada di kamar lagi setelah mengantar Sandra sampai ke pintu kamarnya. Entah kebetulan atau apa, kamar mereka hanya berjarak beberapa meter saja. Sandi merasa tidak tega membiarkan Sandra kembali ke kamar dalam keadaan kacau seperti tadi. Maka dari itu Sandi memutuskan untuk mengantarnya, tetapi hanya sampai di depan pintu.
"Hfuuh ...." Sandi masuk ke kamar mandi, lantas menuju wastafel untuk mencuci tangan dan membasuh wajahnya. Setelah itu, dia menatap pantulan dirinya di cermin. Bayangan Sandra saat menangis terus berkelebat di ingatan. "Kenapa kamu melakukan ini, Sandra? Kenapa?" Dia bergumam sendiri, bertanya-tanya perihal perkataan mantan kekasihnya tadi.
Memang, Sandi tak ada niat sedikit pun untuk bertanya lebih kepada perempuan itu. Dia membiarkan Sandra menangis di pelukannya sewaktu di lift hanya karena merasa iba bukan karena alasan lain.
'Benarkah cuma karena iba? Atau aku merasa senang mendengar ucapan Sandra yang ternyata dia tersiksa dengan keputusannya dulu. Itu artinya bukan cuma aku yang enggak bisa hidup tenang selama ini. Tiga tahun ini kita sama-sama terbelenggu oleh masa lalu.' Sandi membatin gundah, apa yang dia alami ternyata Sandra juga mengalaminya.
Hubungan mereka memang terjalin cukup lama kala itu. Sampai pada akhirnya kata berpisah itu pun terlontar dari mulut Sandra. Sandi begitu mencintai Sandra dan hampir gila setelah mereka memutuskan untuk menjalani hidup masing-masing.
Dan, apa yang Sandi ketahui hari ini merupakan sesuatu yang tak terduga. Bertemu dengan Sandra dan berbincang dengan perempuan itu lagi.
"Apakah takdir sedang mengujiku?"
"Menguji apa, Mas?"
Sandi sontak menoleh ketika suara Almira menyapa pendengarannya.
"Almira? Kamu?" Lelaki itu bergerak gelisah. 'Semoga Almira enggak denger apa yang aku omongin tadi.' Batinnya menyeru takut.
Almira menghampiri Sandi yang berdiri kaku di depan wastafel. "Mas habis dari mana?" tanyanya, memindai Sandi dari atas sampai bawah.
Jelas Sandi bertambah gugup. "Em, itu tadi aku enggak bisa tidur terus keluar cari angin," jawabnya dengan raut muka tak biasa dan Almira bisa merasakannya.
"Kenapa enggak bisa tidur?" Almira masih belum puas dengan jawaban Sandi sebab dia merasa seakan ada yang ditutup-tutupi suaminya itu.
"Ya ... enggak bisa tidur aja, Al," kilah Sandi yang tak ingin Almira tahu alasan yang sebenarnya. "Udah yuk, tidur." Sandi menuntun Almira keluar dari kamar mandi. Dia sedang mengalihkan pembicaraan ini agar istrinya tidak melanjutkan bertanya.
Almira menghela panjang, siapa dia hingga Sandi mau berbagi setiap hal padanya—pikirnya. Dia sadar jika Sandi hanya ingin menghindari dirinya.
"Tidurlah lagi. Ini masih sangat malam, Al." Sandi membantu Almira naik ke ranjang besar nan empuk itu. Merebahkannya perlahan lantas menarik selimut hingga sebatas perut. "Tidurlah. Aku juga mau tidur." Dia mengecup kening Almira sekilas, lalu mengitari ranjang dan ikut merebahkan diri di samping istrinya.
Sandi menyibak selimut lantas ikut masuk ke dalamnya. Keduanya sama-sama terlentang dan menatap langit-langit kamar yang bercahaya lampu temaram. Kesunyian malam semakin terasa lantaran mereka tak ada lagi yang bicara.
"Mas," panggil Almira.
"Hem."
"Besok kita jadi berangkat bulan madu 'kan?"
"Jadi," jawab Sandi yang belum mengalihkan pandangannya pada langit kamar. "Kenapa?"
Almira tersenyum samar, lalu berkata, "Enggak apa-apa. Aku udah enggak sabar aja pergi berdua sama kamu. Karena aku mau hubungan kita ini berlanjut ke tahap berikutnya." Dia menoleh, menatap Sandi dari samping. "Tapi ...." Almira menggantung kalimatnya..
"Tapi apa?" Sandi menoleh, kini keduanya saling memandang. Namun, raut Almira nampak khawatir dan membuat Sandi ingin bertanya lagi. "Kenapa, Al? Kamu kayak cemas gitu?"
Menggigit bibirnya sendiri sembari mengerjap pelan, Almira pun menyuarakan apa isi hatinya. "Aku enggak yakin apa hubungan kita ini masih sah di mata agama, soalnya selama tiga tahun kita belum menunaikan ibadah suami istri."
Almira berujar demikian karena setahunya nafkah batin itu tidak boleh ditinggalkan selama lebih dari empat bulan. Lebih dari waktu yang ditentukan, maka akan jatuhlah talak. Begitu yang dia tahu.
Sandi merasa tertampar dengan pertanyaan Almira barusan. Dia tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. "Maaf. Aku enggak berpikir sampai ke situ," ucapnya. "Tapi, setahu aku kalo suami enggak kasih nafkah batin selama hampir tiga bulan maka istrinya ada hak untuk meminta talak."
"Enggak! Aku enggak akan minta kamu buat talak aku walau seumur hidup kamu enggak mencintaiku. Aku rela, Mas, menunggu sampai kapan pun. Sampai kamu mau nerima aku." Almira menyela disertai derai air mata yang tak dapat dibendung lagi.
"Hei, kemari." Sandi membawa tubuh kecil Almira ke pelukan. "Aku tahu itu, Al. Kamu enggak akan minta aku buat nalak kamu. Di sini aku yang brengsek. Aku yang terlalu lemah dan bodoh karena belum bisa membuka hatiku untuk kamu. Maaf ...." Sandi menyadari kesalahannya yang memang sungguh sangat besar kepada perempuan baik ini.
Sembari mengeratkan pelukannya, Almira masih terisak di dada bidang Sandi. Tekadnya sudah bulat tak akan pernah meminta berpisah walau Sandi tak pernah menyentuhnya.
"Aku cinta sama kamu, Mas. Sejak aku tahu bahwa kamulah yang akan dijodohkan oleh orang tuaku. Aku bahagia walau pun aku harus menunggumu. Aku yakin suatu saat kamu akan mencintaiku seperti kamu mencintainya."
"Al, kamu ini wanita yang baik dan aku sangat menghormati kamu. Aku enggak mau dicap sebagai laki-laki brengsek yang menyentuhmu di saat hatiku masih ada nama wanita lain," ujar Sandi yang lantas membuat kepala Almira mendongak.
"Aku tahu, Mas. Kamu sebenarnya laki-laki yang baik. Karena itu aku tergila-gila sama kamu selama ini, tapi aku berusaha menahan diri untuk enggak nuntut ini itu. Aku enggak mau bikin kamu marah sama aku karena aku terlalu cerewet." Almira melontarkan semua uneg-unegnya agar lelaki ini paham dengan apa yang dia rasakan selama ini.
Seketika Sandi merasa dirinya memang sangatlah brengsek dan tidak tahu diri. Dicintai sebesar ini, dia justru sibuk memikirkan masa lalu. Bahkan masa lalu yang mungkin tidak pantas di ingat kembali.
Sandi terkekeh hanya untuk menghibur Almira. "Kamu enggak cerewet, kok. Kamu baik, Al. Sangat baik. Karena itu aku enggak mau jadiin kamu cuma sebatas pelarian aja," ucapnya lantas mengusap jejak air mata di pipi Almira dengan ibu jari. "Tapi aku janji mulai detik ini aku akan belajar mencintai kamu. Dan, aku harap kamu enggak akan pernah bosan menunggunya. Kita bisa mulai dari sekarang, bagaimana?" Lelaki itu menaik turunkan alisnya dengan tatapan tak terbaca.
Kening Almira mengernyit. "Maksudnya?"
Tanpa menjawab rasa penasaran Almira, perlahan Sandi mendekatkan wajahnya. "Kita bisa mulai dari ini." Kemudian dia menempelkan bibirnya di bibir Almira yang sama sekali belum pernah disentuhnya. Bibir yang menggodanya sejak tadi ternyata rasanya sangat manis. Sandi mulai memagut lembut bibir Almira dan menyesapnya bergantian.
"Eugh ...." Almira melenguh disela pagutan Sandi yang semakin membuatnya kepayang. Rasanya sungguh nikmat, ini adalah kali pertama mereka berciuman. Meski sempat terkejut, namun tak urung Almira menikmatinya.
###
bersambung...
Detik demi detik berlalu, namun kedua insan itu nampaknya masih enggan melepas pagutan yang baru pertama kali mereka lakukan. Rasanya sungguh mendebarkan dan membuat adrenalin Sandi sebagai seorang pria terpacu. Lembutnya bibir Almira membuat lelaki itu hilang akal dan...mungkin akan hilang kendali.Selama bersama dengan Sandra dulu, dia sama sekali belum pernah melakukan hal sejauh itu. Hanya sebatas menyentuh pipi, kepala, kadang mengecup kening. Sandi bukanlah tipe pria yang suka melewati batas, meski dirinya begitu tergila-gila pada Sandra kala itu.Jika bukan Sandi yang ada di posisi saat ini, mungkin Almira sejak dulu sudah digagahi tanpa memedulikan perasaan perempuan itu. Tiga tahun bersama bukanlah waktu yang sebentar bagi sepasang suami istri. Almira cantik, bahkan bisa dibilang kecantikannya jauh di atas Sandra. Bukannya Sandi tidak tergoda atau pun tidak tertarik kepada istri modelnya. Hanya saja setiap kali keinginan itu datang, bayangan wajah Sandra selalu tiba-tiba hadi
"Selamat, ya, Al... Suamimu memang best! Tahu aja apa yang istrinya mau." Danu memberi selamat kepada adik sepupu kesayangannya itu. Dia memeluk Almira seperti memeluk adik kandungannya sendiri."Makasih, Mas." Almira tersenyum malu. Yang lain pun ikut memberikan selamat.Sandra yang awalnya enggan dan tidak sudi memberi selamat, terpaksa harus ikut melakukannya. Perempuan berambut bergelombang itu maju lalu mengulurkan tangan. "Selamat, ya, Al." Dia memasang senyum palsu yang tentunya tak ada yang menyadari itu."Makasih, Mbak." Almira membalas uluran tangan Sandra. Tiba-tiba dia kepikiran sesuatu. "Oh, iya, Mas. Aku ada ide. Gimana kalo kita ajak Mas Danu ke Bali bareng kita? Ya ... itung-itung sebagai hadiah pernikahan mereka. Kita 'kan waktu itu enggak sempet dateng ke pernikahan Mas Danu sama Mbak Sandra."Sandi termangu dengan usulan istrinya, dia bingung hendak menjawab apa. Sementara Sandra justru nampak senang sedangkan Danu menolak tawaran Almira."Eh, enggak perlu, Al. Engg
Perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta menuju ke Bali yang ditempuh sekitar dua jam lamanya, akhirnya telah berakhir di Bandara Internasional Ngurah Rai tepat pukul tiga sore. Acara bulan madu dadakan yang direncanakan Almira sebetulnya sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari. Perempuan yang berprofesi sebagai model itu sudah menyiapkan kejutan lainnya untuk suami tercintanya yaitu Sandi.Sebuah penginapan yang dipesan khusus untuk mereka menghabiskan bulan madu, berada di Seminyak Bali. Almira memesan Villa mewah di Mayaloka. Sebuah penginapan pribadi yang sering digunakan oleh para artis atau publik figur di tanah air. Dirinya yang seorang model menginginkan privasi tanpa diganggu oleh siapa pun. Mayaloka Villas sebuah penginapan yang sangat cocok menurutnya sebab fasilitasnya yang lengkap.Villa dengan satu kamar tidur luas dan beberapa fasilitas lainnya juga tersedia. Yang tak kalah menariknya juga ada kolam berendam mewah yang biasa disebut Jacuzzi. Tak tanggung-tanggung, Almira
Menjelang malam, Almira mengajak Sandi dan yang lainnya makan malam di Restoran yang kebetulan berada tidak jauh dari Villa tempat mereka menginap. Sebenarnya di Villa sudah ada layanan untuk itu, tetapi Almira ingin jalan-jalan sembari menikmati kebersamaan dengan suami dan juga kakak sepupunya—Danu.Restoran bintang lima yang terkenal di Seminyak Bali merupakan Restoran terindah yang pernah Almira temui. Tak salah bila dirinya menerima saran dari Khanza untuk honeymoon di sini. Tempatnya benar-benar indah dan menakjubkan. Yah, meski dia harus merelakan mata suaminya ternodai dengan para bule-bule cantik yang ada di Restoran itu. Rata-rata dari mereka para turis asing yang berpenampilan waow dan seksi.Duduk di meja paling pojok, Almira dan yang lainnya menikmati hidangan makan malam yang tersaji. Mereka berempat duduk saling berhadapan, namun yang membuat Sandi merasa tidak nyaman saat ini ialah mengapa dia harus tepat berada di depan Sandra yang malam ini terlihat sangat cantik dan
Semilir angin yang masuk lewat celah-celah jendela kamar seolah menerpa lembut permukaan kulit Almira yang sedikit terbuka. Gelenyar-gelenyar hangat mulai timbul ketika telapak tangan Sandi mengelus pipi sambil menatapnya penuh damba. Bukan sekali ini saja suaminya itu bersikap demikian, namun tak sekali pun hal itu dia lanjutkan lantaran bayangan mantan kekasihnya selalu hadir di tengah-tengah kebersamaan mereka.Tatapan mata Sandi meski di bawah cahaya temaram lampu kamar, seolah menyeret Almira tenggelam ke dalam pesonanya yang tiada dua. Paras rupawan Sandi begitu menghipnotis Almira yang sebentar lagi berada di bawah kendali lelaki itu. Akan tetapi, Almira sekuat mungkin menahan. Menahan dorongan hasrat yang kerap kali timbul apabila Sandi menyentuhnya. Almira hanya tidak mau jika sampai keinginannya lagi-lagi harus berakhir tanpa adanya kepastian. Sesuatu yang lama dia dambakan dari suaminya ini."Mas ...." Napas Almira terdengar putus-putus, mati-matian dia tengah menahan gejol
Sandi menyeringai di bawah Almira yang mulai larut dalam sentuhannya. "Kamu cantik, Al," ucapnya sambil mengulum bibir manis itu lagi. Rasanya dia mulai kecanduan dengan bibir Almira."Mas, aku enggak bisa napas." Almira menarik pelan wajahnya menjauhi wajah Sandi yang masih ada di bawahnya. "Kamu baru sadar kalo istrimu ini cantik? Kemarin-kemarin ke mana aja, Pak?""Kemarin-kemarin aku sibuk mengenang masa lalu sampai aku melupakan kecantikan istriku ini." Sandi tersenyum, lalu mengecup bibir Almira yang mengerucut lucu."Mas, dingin." Almira bergidik sebab angin malam yang masuk lewat celah-celah jendela kamar yang terbuka terasa membelai seluruh tubuh polosnya."Kalo begitu biar aku yang menghangatkanmu, Al." Sejurus kemudian, Sandi merubah posisi mereka. Kini Almira telah berada di bawah tubuh kekarnya."Mas. Aku suka dadamu ini. Rasanya aku ingin terus berada di dekapanmu ini." Jemari lentik Almira membelai dan menelusuri dada Sandi."
Pergumulan panas Almira dan Sandi berakhir hampir tengah malam. Lelaki itu nampaknya begitu menikmati malam pengantinnya bersama istrinya yang dinikahi selama tiga tahun itu. Almira pantas mendapatkan semua ini sejak dulu, sayangnya Sandi begitu egois dan bodoh. Sehingga lupa akan kewajibannya sebagai seorang suami.Di dekapannya kini ada Almira yang nampak kelelahan akibat ulahnya, memejamkan mata seraya mendengkur halus. Napas Almira terdengar teratur, tidurnya begitu damai dan pulas. Sandi yang tak tahan memutuskan mengecup kening Almira dengan sangat dalam."Maafkan aku, Al. Maaf... seharusnya aku memberikan semua hak ini dari dulu," lirihnya sembari membenarkan rambut Almira yang sedikit berantakan. Istrinya sangat cantik bila terlelap seperti ini.Oh, apakah kamu baru menyadari itu, Sandi? Ke mana saja kamu selama ini sampai tidak pernah memerhatikan istrimu? batinnya merutuki kebodohannya sendiri.Rasa kantuk sepertinya belum menghampiri Sandi, mes
Di tempat lain, tepatnya Villa yang dihuni oleh sepasang pengantin baru—Danu dan Sandra. Sosok perempuan berkulit putih pucat duduk termangu di stoolbar sambil menikmati jus jeruk favoritnya, masih mengenakan gaun tidur malam berbahan lace, warna merah menyala, warna favorit seseorang yang semalaman mengganggu pikirannya.Sandra tersenyum miris, membayangkan Sandi dan istrinya yang berada di tempat lain, pasti tengah asyik memadu kasih. Sedangkan di sini, dia hanya bisa meratapi penyesalan yang kian menjadi.Kebodohan dan penyesalannya tak lagi berarti untuk saat ini. Karena kenyataannya, Sandi telah memiliki istri yang cantik dan lebih segala-galanya. Seorang model, kaya, dan disukai seluruh keluarga. Ck!Sandra benci dengan yang dimiliki Almira. Kenapa bisa Almira seberuntung itu, pikir Sandra. Belum lagi, bila diperhatikan Sandi begitu mencintai Almira."Harusnya kita sudah
—Tuhan itu Maha Adil. Tuhan itu Maha Penyayang—***Setelah melalui serangkaian panjang acara ijab qobul yang dilanjutkan dengan resepsi, kini waktunya untuk semua orang beristirahat. Pernikahan yang digelar cukup sederhana itu dilangsungkan di rumah orang tua Almira. "Aaqil sama Aleena bobok sama suster dulu, ya, malam ini." Mama Rini berkata pada kedua cucunya. Perempuan paruh baya itu juga menganggap Aleena seperti cucunya sendiri. "Kenapa bobok sama Suster, Eyang?" Aleena berceloteh sambil mengunyah. "Iya, Eyang. Kenapa bobok sama suster? Aaqil sama Aleena mau bobok sama Ibu." Aaqil menimpali, melirik sang ibu yang duduk di seberang sofa. "Gak apa-apa 'kan, Bu?" Bocah laki-laki itu lalu berlari menghampiri Almira dan langsung duduk di pangkuan. Almira tentu kebingungan untuk menjawabnya. "Hmm ... Ibu ..." Maniknya melirik Erland yang kebetulan ada di samping papanya. Erland paham dengan situasi sekarang dan langsung tanggap menimpali. "Aaqil sama Aleena kalau mau bobok sama Ib
"Menikah?" Mama Rini nyaris melotot setelah mendengar penuturan Erland barusan. Dia tidak menyangka jika pemuda yang dia kenal sebagai sahabat putrinya itu, ternyata memiliki niat yang sangat baik. Berbeda dengan Mama Rini yang sedikit terkejut, Pak Kusuma justru terlihat tenang dan tak banyak berkomentar. Beliau hanya menghela napas sambil menelisik sepasang manik Erland yang memancarkan ketulusan. Selama ini Pak Kusuma juga diam-diam sudah mengamati sikap dan perilaku sahabat anaknya itu. Kedekatan antara Erland dan Almira memang terlihat sangat tulus. Apalagi, Aaqil yang sepertinya sudah sangat merasa nyaman dengan pemuda sederhana itu. Pak Kusuma cukup salut dengan gaya hidup Erland yang tak pernah menunjukkan siapa dia sebenarnya. Erland tersenyum, lalu mengangguk. "Iya, Tante. Saya harap Tante mau mendukung niat saya ini." "Apa Mira udah tau?" tanya Mama Rini.Erland menggeleng. "Saya belum bicara sama Almira, Tante. Saya memutuskan untuk meminta persetujuan Tante lebih dul
"Ibu ...."Seorang bocah laki-laki yang sangat tampan berlarian ketika baru saja masuk ke dalam rumahnya. Bocah laki-laki berusia empat tahun itu langsung mencari keberadaan sang ibu. Merasa terpanggil, perempuan berpakaian syar'i yang berada di kamarnya itu pun bergegas menemui sang anak. Perempuan yang sejak empat tahun lalu memutuskan untuk berhijrah dan meninggalkan karier cemerlangnya. "Assalamualaikum ...." ucap Almira saat berpapasan dengan putranya. "Wa'alaikumsalam ...." Sang anak menjawab sambil memasang raut tak berdosa serta senyum yang menggemaskan. "Maaf Ibu, Aaqil lupa ucap salam," cicitnya sambil menarik kedua telinganya sendiri. Melihat tingkah lucu anaknya, Almira tentu urung marah. "Kenapa Aaqil lupa terus, ya? Padahal ibu udah sering loh ingetin Aaqil." Tangan Almira meraih tangan kecil putra satu-satunya yang dia beri nama Aaqil Umais, lalu mengajaknya ke dapur. "Aaqil juga gak tau, ibu. Kenapa Aaqil sering lupa. Lain kali, Aaqil gak bakalan lupa, kok .... Se
Dua bulan berlalu semenjak kejadian mempermalukan Sandi dan Sandra, hidup Almira menjadi lebih tenang. Pasalnya, dia tak lagi harus berpura-pura menjadi istri yang bahagia di hadapan kedua orang tuanya dan mertuanya. Semenjak itu pula, Almira mencoba lebih tegar lagi demi calon buah hati yang sebentar lagi lahir ke dunia. Diperkirakan, Almira akan melahirkan Minggu depan. Segala persiapan pun telah dia lakukan. Namun, ada satu hal yang harus Almira selesaikan terlebih dahulu sebelum dia benar-benar bebas dari pernikahan toxic yang selama bertahun-tahun dia jalani bersama Sandi. Dengan bantuan pengacara, perceraian Almira akhirnya diproses secara kilat. Meskipun dia tengah berbadan dua, Almira tetap meneruskan niatnya tersebut. Dan pada hari ini adalah hari di mana Almira akan melepas statusnya sebagai istri dari Sandi Himawan. Sidang perceraiannya akan dilaksanakan di pengadilan negeri dan akan dihadiri oleh kedua belah pihak. Semuanya akan benar-benar berakhir...tok! tok!"Al, kam
Almira membeku di tempatnya, tepat saat sang ibu mertua beranjak dari duduknya untuk menghampiri Sandi dan Sandra yang baru saja hendak memilih tempat duduk. Perempuan itu masih tak percaya jika Mama Laila akan memergoki secara langsung kelakuan anak laki-lakinya. "Sandi!" Mama Laila menyebut nama sang anak dengan nada cukup tinggi. Seketika dia menjadi pusat perhatian para pengunjung di sana. Semua mata tertuju pada ibu mertua Almira itu. "Mama?" Sandi urung menarik kursi, sebab keterkejutannya yang melihat sang ibu sedang berdiri di hadapan. Apalagi cara menatap Mama Laila yang nampak marah. Kenapa tiba-tiba dia bisa bertemu sang ibu di tempat ini? pikir Sandi. Pun sama halnya dengan Sandra, yang terpaku di tempatnya dengan raut pucat pasi. Perut buncitnya dia usap sekilas seraya melirik Sandi yang tak bergeming di sampingnya. Mama Laila maju selangkah, mendekati Sandi. Keberadaan Sandra di sampingnya membuat perempuan paruh baya itu memasang raut sinis. "Apa-apaan ini, Sandi?
"Mira!" Langkah Almira sontak berhenti, saat seseorang memanggil dan menyentuh pundaknya. Dia menoleh ke belakang. "Mama?" Perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik itu tersenyum kepada menantunya. "Tuh, kan ... Mama gak salah orang. Ternyata beneran kamu, Mira." Almira memeluk Mama mertuanya yang terkenal baik dan sayang padanya. "Ya Allah, Ma. Kok, bisa ketemu di sini, sih ...." Mama Laila membalas dengan hangat pelukan Almira. "Namanya juga udah diatur sama yang di atas, ucapnya sambil mengurai pelukan, dan mengusap perut buncit istri anaknya itu. "kamu ke sini sama siapa, Mir? Sama Sandi, ya?" Pertanyaan mama Laila membuat Almira berpikir keras. Apa tidak masalah—jika dia mengatakan bahwa dirinya pergi ke tempat ini bersama Erland? "Hmm ... Mira ke sini sama—" Tiba-tiba ponsel Almira berdering, kemudian dia buru-buru mengambilnya dari tas selempang bawaannya. "bentar, Ma." Mama Laila mengangguk, menunggu Almira menjawab panggilan telepon tersebut. Nama yang tertera di
Duduk berdampingan di dalam satu mobil untuk kali pertama setelah berbulan-bulan baru kembali bertemu. Ditambah dengan pernyataan yang lebih mirip sebuah permintaan, membuat seorang perempuan yang tengah berbadan dua itu menjadi sangat canggung. Almira tak pernah menyangka, bila sang sahabat yang sudah berteman dengannya selama bertahun-tahun itu memintanya untuk bercerai dari suaminya. Erland—entah lelaki itu sadar atau terkena sawan dari mana tiba-tiba mengungkapkan niatnya. Apa Erland habis terjatuh, lalu kepalanya terbentur batu? Atau ... apa Erland salah minum obat? Ah, ya ampun ... Kepala Almira rasanya mau pecah memikirkan perkataan Erland waktu di kafe tadi. 'Apa gara-gara kelamaan jomblo, dia jadi kayak gitu? Yang bener aja.' Almira membatin geli. Lalu, diam-diam sudut manik Almira mencuri-curi pandang pada lelaki berjambang tipis serta berkulit sawo matang di sampingnya. Erland sedang fokus menyetir mobil yang dibelinya dari hasil kerja kerasnya selama menjadi arsitek.
"Wah, kupikir gak dateng, Al." Senyum Erland mengembang saat melihat sosok cantik berperut buncit itu tiba di hadapan. Semalam dia meminta Almira untuk bertemu di sebuah kafe, karena ingin mengajaknya mengobrol. Erland pun sigap berdiri dan menarik kursi untuk sang sahabat. "Silakan ...." "Makasih." Almira menduduki kursi, kemudian membuka masker yang sedari tadi menutupi sebagian wajah. "Hah, sesek!" Hidungnya terasa lega seketika. Erland kembali duduk, lalu terkekeh mendengar keluhan Almira. "Lagian, pakek masker segala. Kemayu!" Tak terima dibilang 'kemayu—ganjen' Almira meluruskan, "Eh, bumil itu sensitif, tau! Gak boleh sembarangan!" "Hmm, ya ... ya .... Kamu ke sini naik apa?" Erland memaklumi saja. Lantas dia membuka buku menu yang tersedia di meja—membaca urutan nama-nama makanan serta minuman yang tertera mulai dari yang murah sampai mahal. "Aku naik taksi," ucap Almira, lalu mencepol ke atas rambutnya yang semakin memanjang. Semenjak hamil perempuan itu kerapkali merasa
Sandi selesai mengepak beberapa pakaian serta kebutuhan lainnya ke dalam koper berukuran cukup besar. Mulai malam ini dia tidak serumah lagi dengan Almira. Keputusannya tersebut dia lakukan tentu demi menjaga mental sang istri yang sedang hamil besar. Emosi Almira yang labil dan masalah yang Sandi timbulkan makin memperuncing hubungan mereka. Sandi sadar jika rumah tangganya bersama dengan Almira tidak akan pernah mungkin bisa kembali utuh. Dia pun harus merelakan salah satu dari dua wanita yang sama-sama tengah berbadan dua itu. Paling tidak, itu adalah jalan satu-satunya agar masalah tersebut terselesaikan. "Mungkin, aku memang egois. Aku sangat bodoh selama ini. Ada baiknya, aku melepas Almira. Aku sudah terlalu banyak menyakitinya." Setelah semua beres, dan Sandi pun sudah membersihkan diri terlebih dahulu. Lantas, dia pun keluar kamar dengan membawa serta koper. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Sambil melangkah, Sandi mengambil ponselnya dari saku celana. Nama pemanggil y