Sandi menyeringai di bawah Almira yang mulai larut dalam sentuhannya. "Kamu cantik, Al," ucapnya sambil mengulum bibir manis itu lagi. Rasanya dia mulai kecanduan dengan bibir Almira."Mas, aku enggak bisa napas." Almira menarik pelan wajahnya menjauhi wajah Sandi yang masih ada di bawahnya. "Kamu baru sadar kalo istrimu ini cantik? Kemarin-kemarin ke mana aja, Pak?""Kemarin-kemarin aku sibuk mengenang masa lalu sampai aku melupakan kecantikan istriku ini." Sandi tersenyum, lalu mengecup bibir Almira yang mengerucut lucu."Mas, dingin." Almira bergidik sebab angin malam yang masuk lewat celah-celah jendela kamar yang terbuka terasa membelai seluruh tubuh polosnya."Kalo begitu biar aku yang menghangatkanmu, Al." Sejurus kemudian, Sandi merubah posisi mereka. Kini Almira telah berada di bawah tubuh kekarnya."Mas. Aku suka dadamu ini. Rasanya aku ingin terus berada di dekapanmu ini." Jemari lentik Almira membelai dan menelusuri dada Sandi."
Pergumulan panas Almira dan Sandi berakhir hampir tengah malam. Lelaki itu nampaknya begitu menikmati malam pengantinnya bersama istrinya yang dinikahi selama tiga tahun itu. Almira pantas mendapatkan semua ini sejak dulu, sayangnya Sandi begitu egois dan bodoh. Sehingga lupa akan kewajibannya sebagai seorang suami.Di dekapannya kini ada Almira yang nampak kelelahan akibat ulahnya, memejamkan mata seraya mendengkur halus. Napas Almira terdengar teratur, tidurnya begitu damai dan pulas. Sandi yang tak tahan memutuskan mengecup kening Almira dengan sangat dalam."Maafkan aku, Al. Maaf... seharusnya aku memberikan semua hak ini dari dulu," lirihnya sembari membenarkan rambut Almira yang sedikit berantakan. Istrinya sangat cantik bila terlelap seperti ini.Oh, apakah kamu baru menyadari itu, Sandi? Ke mana saja kamu selama ini sampai tidak pernah memerhatikan istrimu? batinnya merutuki kebodohannya sendiri.Rasa kantuk sepertinya belum menghampiri Sandi, mes
Di tempat lain, tepatnya Villa yang dihuni oleh sepasang pengantin baru—Danu dan Sandra. Sosok perempuan berkulit putih pucat duduk termangu di stoolbar sambil menikmati jus jeruk favoritnya, masih mengenakan gaun tidur malam berbahan lace, warna merah menyala, warna favorit seseorang yang semalaman mengganggu pikirannya.Sandra tersenyum miris, membayangkan Sandi dan istrinya yang berada di tempat lain, pasti tengah asyik memadu kasih. Sedangkan di sini, dia hanya bisa meratapi penyesalan yang kian menjadi.Kebodohan dan penyesalannya tak lagi berarti untuk saat ini. Karena kenyataannya, Sandi telah memiliki istri yang cantik dan lebih segala-galanya. Seorang model, kaya, dan disukai seluruh keluarga. Ck!Sandra benci dengan yang dimiliki Almira. Kenapa bisa Almira seberuntung itu, pikir Sandra. Belum lagi, bila diperhatikan Sandi begitu mencintai Almira."Harusnya kita sudah
Almira tetap terlihat sangat cantik, meski pakaian yang dikenakan tergolong pakaian yang sopan. Hanya celana kulot panjang berwarna dusty pink—warna favoritnya, dipadupadankan dengan blouse berkerah agak tinggi, untuk menutupi tanda-tanda merah yang bertebaran di lehernya. Rambut hitamnya juga sengaja digerai bebas, tertiup angin di pagi menjelang siang ini.Dia merasa malu, tak ingin orang lain melihat bukti kenakalan suaminya yang ganas di ranjang. Almira pun tak berhenti tersenyum saat mengingat adegan-adegan panas semalam. Tiga tahun menahan diri, dan akhirnya dia mendapatkan haknya sebagai istri sah Sandi.Sementara Sandi, juga berpenampilan santai, hanya memakai kaos polo berkerah berwarna navy dan celana jeans panjang berwarna hitam. Menarik perhatian sang mantan, yang semakin mengagumi ketampanan sosok gagah itu.Ke dua pasang suami istri itu tengah menyantap sarapan pagi, yang disediakan oleh p
Beberapa menit sebelumnya..."Duh ... ganggu banget, deh!" Almira menggerutu, sambil melangkah tergesa-gesa menuju toilet yang letaknya cukup jauh dari Pendopo—tempatnya makan.Setibanya di toilet, Almira bergegas masuk dan membuang hajat yang sedari tadi mendesak di bawah sana. Almira meringis, saat rasa perih kembali terasa di bagian intinya. Pagi tadi Sandi rupanya hanya modus, dibalik bantuan yang diberikan pada Almira. Suaminya itu meminta jatahnya lagi dengan beralasan tidak tahan melihat tubuh polos Almira.Mau tak mau, Almira pun hanya pasrah, dan menikmati aktivitas intim dengan Sandi di kolam Jacuzi."Aduuh ... perih." Almira sampai menggigit bibirnya, seraya membasuh inti tubuhnya dengan air.Begitu selesai, Almira lantas keluar dan mencuci tangannya terlebih dahulu di wastafel, sembari mengecek riasan di wajahnya."Ma
Selepas sarapan, Almira mengajak Sandi jalan-jalan, karena dia ingin menghabiskan banyak waktu bersama suaminya itu. Tentu, Sandi pun tidak menolak ajakan tersebut, lantaran dia sendiri ingin menyenangkan hati sang istri yang selama ini dia abaikan. Walaupun, ada Sandra dan Danu yang ikut serta dalam rencana bulan madunya ini.Tak masalah dan sama sekali tak mempengaruhi niatnya tersebut, Sandi justru akan memanfaatkan momen ini untuk menegaskan, jika dia sudah mulai move on. Agar Sandra sadar dan tidak lagi berharap kepadanya.Dengan mobil sewaan yang memang sudah disediakan oleh pihak Villa berserta sopirnya, Almira dan yang lainya diajak ke suatu tempat yang mungkin tidak akan ditemui di ibukota. Destinasi wisata yang paling terkenal dan populer di Seminyak Bali, berjarak sekitar 20 menit dari Villa. Kendra Galeri—tempat yang memamerkan berbagai macam karya seni lukisan artistik dan unik.Saat tiba di sana, Almira yang memang menyukai hal-hal berbau seni, langsung bersemangat, meny
Seharian berputar-putar mengelilingi Seminyak Bali ternyata cukup melelahkan, tetapi sangat menyenangkan. Almira begitu menikmati kebersamaannya dengan Sandi, tak pernah sekalipun mereka menghabiskan waktu berdua saja semenjak menikah. Ini merupakan pengalaman yang tidak akan pernah Almira lupa. Ide bulan madu dari Khanza rupanya sangat membantu, berkat fashion stylist-nya itu, hubungan Almira dan Sandi semakin ada kemajuan. Perlahan tapi pasti, Almira berharap jika sang suami akan menuliskan namanya di hati, menggantikan nama sang mantan yang telah bertahun-tahun betah menguasai. Almira tidak pernah tahu seperti apa sosok perempuan yang sangat dipuja suaminya itu, Sandi juga tidak pernah bercerita secara gamblang, menyibak masa lalunya yang katanya penuh kenangan manis.Ah, andai saja Almira tahu, tentu dia tidak akan merasa penasaran selama tiga tahun terakhir. "Mas, lagi apa?" tanya Almira pada sang suami yang terlihat menatap serius layar ponselnya. Almira yang baru saja selesa
"Perasaan baru kemaren, deh. Tau-tau udah pulang aja." Entah sudah ke berapa kalinya, Almira mengeluh, dirinya seakan enggan pulang ke Jakarta dan mengakhiri masa-masa bulan madunya bersama sang suami tercinta. Almira masih belum puas menghabiskan waktu berduaan di Pulau Bali ini.Keluhan Almira disambut kekehan oleh Sandi yang sibuk membereskan beberapa barang yang hendak dibawa pulang ke Jakarta. Istrinya itu membeli banyak sekali oleh-oleh untuk orang rumah juga teman-temannya. Almira juga membelikan orang tua dan mertuanya. "Kalo aku senggang, besok-besok kita bisa ke sini lagi, Sayang. Jakarta Bali itu 'kan deket, kita bisa kapan aja ke sini," ucap Sandi, meletakkan koper merah tua yang berisi perlengkapan pribadinya bersama Almira di dekat pintu. Supaya memudahkan petugas Villa tempatnya menginap. Bibir Almira mengerucut, lalu beranjak dari tempat duduk dan mendekati Sandi. "Tapi bulan-bulan besok jadwal pemotretan aku banyak, Mas. Mana udah tanda tangan kontrak semuanya." Di
—Tuhan itu Maha Adil. Tuhan itu Maha Penyayang—***Setelah melalui serangkaian panjang acara ijab qobul yang dilanjutkan dengan resepsi, kini waktunya untuk semua orang beristirahat. Pernikahan yang digelar cukup sederhana itu dilangsungkan di rumah orang tua Almira. "Aaqil sama Aleena bobok sama suster dulu, ya, malam ini." Mama Rini berkata pada kedua cucunya. Perempuan paruh baya itu juga menganggap Aleena seperti cucunya sendiri. "Kenapa bobok sama Suster, Eyang?" Aleena berceloteh sambil mengunyah. "Iya, Eyang. Kenapa bobok sama suster? Aaqil sama Aleena mau bobok sama Ibu." Aaqil menimpali, melirik sang ibu yang duduk di seberang sofa. "Gak apa-apa 'kan, Bu?" Bocah laki-laki itu lalu berlari menghampiri Almira dan langsung duduk di pangkuan. Almira tentu kebingungan untuk menjawabnya. "Hmm ... Ibu ..." Maniknya melirik Erland yang kebetulan ada di samping papanya. Erland paham dengan situasi sekarang dan langsung tanggap menimpali. "Aaqil sama Aleena kalau mau bobok sama Ib
"Menikah?" Mama Rini nyaris melotot setelah mendengar penuturan Erland barusan. Dia tidak menyangka jika pemuda yang dia kenal sebagai sahabat putrinya itu, ternyata memiliki niat yang sangat baik. Berbeda dengan Mama Rini yang sedikit terkejut, Pak Kusuma justru terlihat tenang dan tak banyak berkomentar. Beliau hanya menghela napas sambil menelisik sepasang manik Erland yang memancarkan ketulusan. Selama ini Pak Kusuma juga diam-diam sudah mengamati sikap dan perilaku sahabat anaknya itu. Kedekatan antara Erland dan Almira memang terlihat sangat tulus. Apalagi, Aaqil yang sepertinya sudah sangat merasa nyaman dengan pemuda sederhana itu. Pak Kusuma cukup salut dengan gaya hidup Erland yang tak pernah menunjukkan siapa dia sebenarnya. Erland tersenyum, lalu mengangguk. "Iya, Tante. Saya harap Tante mau mendukung niat saya ini." "Apa Mira udah tau?" tanya Mama Rini.Erland menggeleng. "Saya belum bicara sama Almira, Tante. Saya memutuskan untuk meminta persetujuan Tante lebih dul
"Ibu ...."Seorang bocah laki-laki yang sangat tampan berlarian ketika baru saja masuk ke dalam rumahnya. Bocah laki-laki berusia empat tahun itu langsung mencari keberadaan sang ibu. Merasa terpanggil, perempuan berpakaian syar'i yang berada di kamarnya itu pun bergegas menemui sang anak. Perempuan yang sejak empat tahun lalu memutuskan untuk berhijrah dan meninggalkan karier cemerlangnya. "Assalamualaikum ...." ucap Almira saat berpapasan dengan putranya. "Wa'alaikumsalam ...." Sang anak menjawab sambil memasang raut tak berdosa serta senyum yang menggemaskan. "Maaf Ibu, Aaqil lupa ucap salam," cicitnya sambil menarik kedua telinganya sendiri. Melihat tingkah lucu anaknya, Almira tentu urung marah. "Kenapa Aaqil lupa terus, ya? Padahal ibu udah sering loh ingetin Aaqil." Tangan Almira meraih tangan kecil putra satu-satunya yang dia beri nama Aaqil Umais, lalu mengajaknya ke dapur. "Aaqil juga gak tau, ibu. Kenapa Aaqil sering lupa. Lain kali, Aaqil gak bakalan lupa, kok .... Se
Dua bulan berlalu semenjak kejadian mempermalukan Sandi dan Sandra, hidup Almira menjadi lebih tenang. Pasalnya, dia tak lagi harus berpura-pura menjadi istri yang bahagia di hadapan kedua orang tuanya dan mertuanya. Semenjak itu pula, Almira mencoba lebih tegar lagi demi calon buah hati yang sebentar lagi lahir ke dunia. Diperkirakan, Almira akan melahirkan Minggu depan. Segala persiapan pun telah dia lakukan. Namun, ada satu hal yang harus Almira selesaikan terlebih dahulu sebelum dia benar-benar bebas dari pernikahan toxic yang selama bertahun-tahun dia jalani bersama Sandi. Dengan bantuan pengacara, perceraian Almira akhirnya diproses secara kilat. Meskipun dia tengah berbadan dua, Almira tetap meneruskan niatnya tersebut. Dan pada hari ini adalah hari di mana Almira akan melepas statusnya sebagai istri dari Sandi Himawan. Sidang perceraiannya akan dilaksanakan di pengadilan negeri dan akan dihadiri oleh kedua belah pihak. Semuanya akan benar-benar berakhir...tok! tok!"Al, kam
Almira membeku di tempatnya, tepat saat sang ibu mertua beranjak dari duduknya untuk menghampiri Sandi dan Sandra yang baru saja hendak memilih tempat duduk. Perempuan itu masih tak percaya jika Mama Laila akan memergoki secara langsung kelakuan anak laki-lakinya. "Sandi!" Mama Laila menyebut nama sang anak dengan nada cukup tinggi. Seketika dia menjadi pusat perhatian para pengunjung di sana. Semua mata tertuju pada ibu mertua Almira itu. "Mama?" Sandi urung menarik kursi, sebab keterkejutannya yang melihat sang ibu sedang berdiri di hadapan. Apalagi cara menatap Mama Laila yang nampak marah. Kenapa tiba-tiba dia bisa bertemu sang ibu di tempat ini? pikir Sandi. Pun sama halnya dengan Sandra, yang terpaku di tempatnya dengan raut pucat pasi. Perut buncitnya dia usap sekilas seraya melirik Sandi yang tak bergeming di sampingnya. Mama Laila maju selangkah, mendekati Sandi. Keberadaan Sandra di sampingnya membuat perempuan paruh baya itu memasang raut sinis. "Apa-apaan ini, Sandi?
"Mira!" Langkah Almira sontak berhenti, saat seseorang memanggil dan menyentuh pundaknya. Dia menoleh ke belakang. "Mama?" Perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik itu tersenyum kepada menantunya. "Tuh, kan ... Mama gak salah orang. Ternyata beneran kamu, Mira." Almira memeluk Mama mertuanya yang terkenal baik dan sayang padanya. "Ya Allah, Ma. Kok, bisa ketemu di sini, sih ...." Mama Laila membalas dengan hangat pelukan Almira. "Namanya juga udah diatur sama yang di atas, ucapnya sambil mengurai pelukan, dan mengusap perut buncit istri anaknya itu. "kamu ke sini sama siapa, Mir? Sama Sandi, ya?" Pertanyaan mama Laila membuat Almira berpikir keras. Apa tidak masalah—jika dia mengatakan bahwa dirinya pergi ke tempat ini bersama Erland? "Hmm ... Mira ke sini sama—" Tiba-tiba ponsel Almira berdering, kemudian dia buru-buru mengambilnya dari tas selempang bawaannya. "bentar, Ma." Mama Laila mengangguk, menunggu Almira menjawab panggilan telepon tersebut. Nama yang tertera di
Duduk berdampingan di dalam satu mobil untuk kali pertama setelah berbulan-bulan baru kembali bertemu. Ditambah dengan pernyataan yang lebih mirip sebuah permintaan, membuat seorang perempuan yang tengah berbadan dua itu menjadi sangat canggung. Almira tak pernah menyangka, bila sang sahabat yang sudah berteman dengannya selama bertahun-tahun itu memintanya untuk bercerai dari suaminya. Erland—entah lelaki itu sadar atau terkena sawan dari mana tiba-tiba mengungkapkan niatnya. Apa Erland habis terjatuh, lalu kepalanya terbentur batu? Atau ... apa Erland salah minum obat? Ah, ya ampun ... Kepala Almira rasanya mau pecah memikirkan perkataan Erland waktu di kafe tadi. 'Apa gara-gara kelamaan jomblo, dia jadi kayak gitu? Yang bener aja.' Almira membatin geli. Lalu, diam-diam sudut manik Almira mencuri-curi pandang pada lelaki berjambang tipis serta berkulit sawo matang di sampingnya. Erland sedang fokus menyetir mobil yang dibelinya dari hasil kerja kerasnya selama menjadi arsitek.
"Wah, kupikir gak dateng, Al." Senyum Erland mengembang saat melihat sosok cantik berperut buncit itu tiba di hadapan. Semalam dia meminta Almira untuk bertemu di sebuah kafe, karena ingin mengajaknya mengobrol. Erland pun sigap berdiri dan menarik kursi untuk sang sahabat. "Silakan ...." "Makasih." Almira menduduki kursi, kemudian membuka masker yang sedari tadi menutupi sebagian wajah. "Hah, sesek!" Hidungnya terasa lega seketika. Erland kembali duduk, lalu terkekeh mendengar keluhan Almira. "Lagian, pakek masker segala. Kemayu!" Tak terima dibilang 'kemayu—ganjen' Almira meluruskan, "Eh, bumil itu sensitif, tau! Gak boleh sembarangan!" "Hmm, ya ... ya .... Kamu ke sini naik apa?" Erland memaklumi saja. Lantas dia membuka buku menu yang tersedia di meja—membaca urutan nama-nama makanan serta minuman yang tertera mulai dari yang murah sampai mahal. "Aku naik taksi," ucap Almira, lalu mencepol ke atas rambutnya yang semakin memanjang. Semenjak hamil perempuan itu kerapkali merasa
Sandi selesai mengepak beberapa pakaian serta kebutuhan lainnya ke dalam koper berukuran cukup besar. Mulai malam ini dia tidak serumah lagi dengan Almira. Keputusannya tersebut dia lakukan tentu demi menjaga mental sang istri yang sedang hamil besar. Emosi Almira yang labil dan masalah yang Sandi timbulkan makin memperuncing hubungan mereka. Sandi sadar jika rumah tangganya bersama dengan Almira tidak akan pernah mungkin bisa kembali utuh. Dia pun harus merelakan salah satu dari dua wanita yang sama-sama tengah berbadan dua itu. Paling tidak, itu adalah jalan satu-satunya agar masalah tersebut terselesaikan. "Mungkin, aku memang egois. Aku sangat bodoh selama ini. Ada baiknya, aku melepas Almira. Aku sudah terlalu banyak menyakitinya." Setelah semua beres, dan Sandi pun sudah membersihkan diri terlebih dahulu. Lantas, dia pun keluar kamar dengan membawa serta koper. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Sambil melangkah, Sandi mengambil ponselnya dari saku celana. Nama pemanggil y