Kedua lelaki itu menunduk, tanpa perlawanan, wajahnya memang garang, tapi tak satupun dari mereka berani menatap wajah kami, keduanya tertunduk.Aku dan Dimas duduk di hadapannya terhalang oleh meja yang melintang."Siapa yang menyuruh Kalian?" tanyaku pada mereka.Tapi mereka hanya diam, tak ada yang menjawab satu pun."Ma–Maaf Pak. Kami hanya di suruh Pak," ucapnya lirih salah seorang dari mereka."Siapa yang menyuruh Kalian?!" tanyaku lagi dengan menambah satu oktaf tinggi suaraku mereka masih juga tak mau menjawab pertanyaan itu.Braakk!Dimas bangkit dan menggebrak meja membuat mereka terkejut, aku sendiri juga sebenarnya kaget, tapi aku berusaha biasa saja. Dimas mungkin gemas dengan dua orang ini."Kalian dengar tidak?! Siapa yang menyuruh Kalian?! Jawab? Atau aku telpon polisi sekarang juga!" ancam Dimas sambil satu tangannya mengeluarkan ponsel miliknya. Dua lelaki itu tampak panik, dan saling pandang satu sama lain. Sepertinya mereka cuma preman kampung, terlihat takut saat
Aku pun melenggang keluar ruangan itu dan memanggil dua orang sekuriti yang berdiri tak jauh dari ruangan ini, dan meminta tolong padanya untuk menjaga sebentar kedua preman itu. kemudian aku dan Dimas keluar ruangan itu, untuk bicara, kami menyusun rencana selanjutnya. Setelah semua sudah matang kami rencanakan, kami kembali masuk ke ruangan."Oke. Kali ini kalian tidak akan aku jebloskan ke polisi, karena saya masih punya hati, mengingat anakmu di rumah sedang sakit. Tapi kalian tidak bisa lepas dari pengawasanku!" ucap Dimas serius pada kedua preman kampung ini.Terlihat binar pada kedua mata lelaki itu."Eits jangan senang dulu, ada hal lain yang harus kalian lakukan jika kalian tak ingin mendekam di penjara, semua percakapan kita sudah saya rekam di dalam sini, ini bisa menjadi bukti kuat untuk kalian mendekam di penjara, tapi saya masih punya belas kasihan pada kelurga kalian, selama kalian ikuti perintahku, kalian akan aman!" Aku menunjuk ponsel yang ada dalam genggamanku, dan
"Mas tak cemburu? Istrimu di cintai oleh laki-laki lain?" tanyanya seolah mengejek."Jika yang ia cintai adalah kamu, tentu aku akan sangat cemburu, tapi Jika Ia mencintai Wina, aku justru akan senang, karena Dimas lelaki yang baik, Wina akan aman jika bersamanya." Sebuah lengkungan manis terbit si bibirnya."Sekarang kamu sudah benar-benar percaya kan, hanya kamu yang Mas cinta, saat ini nanti, dan selamanya," bisikku lembut sibuk menatap kedua matanya.Terlihat pipinya merona, menambah cantik wajahnya.Selesai sarapan, aku pun langsung berangkat ke Bogor, sekalian aku tengok kafe di sana, Yunita juga izin untuk ke rumah makan, untuk menggantikan posisiku, aku tak keberatan, dan sekalian berangkat ke Bogor aku, lebih dulu mengantarkan istriku ke rumah makan."Hati-hati ya, Sayang. Pokoknya apapun itu, kamu harus sering kabarin aku," ucap istriku saat kami telah sampai di depan rumah makan, dan aku hendak langsung jalan ke kampungnya Wina."Iya Sayang, aku janji akan kabarin kamu, k
Seketika Bu Warsih mengangkat wajahnya, terlihat pias, sangat pias. Aku berdiri bersilang dada melihat orang-orang ini bergemelut dengan masalah mereka."Ta–Tapi Juragan, dengan apa saya mengembalikan semuanya?" tanya Bu Warsih masih dengan wajah pias. "Saya nggak mau tahu!" bentak Juragan."Ini semua gara-gara kamu!" Bu Warsih menatap nyalang ke arahku, sambil menunjuk wajahku."Ini semua karena ulah Ibu sendiri! Bukan salahku apalagi salah Wina! Sudah sepantasnya Ibu bayar semuanya itu sendiri!" desisku tajam."Saya tak ada waktu, Pak! Bagaimana dengan tawaran Saya tadi? Iya atau tidak?!" Aku kembali melempar pertanyaan pada lelaki itu sembari aku melirik arloji di pergelangan tanganku.Kembali kulihat rahangnya mengeras, Ia tampak begitu gusar, akan keputusan apa yang akan diambilnya."Oke. Kalau anda memilih tidak menerima tawaran saya, Saya permisi! Dan bersiap lah untuk menyusul kedua anak buahmu di dalam penjara," ucapku serius. Aku mulai melangkah meninggalkan teras rumah in
Dimas pun terdiam dan menatapku lamat-lamat. Apa yang sebenarnya Ia ingin katakan.Aku balas tersenyum menatapnya, sampai di sini, aku sudah mendapatkan jawaban itu, diam artinya Iya. "Nggak usah tegang gitu, Bro. Santai aja lah." Dimas terlihat gugup dan salah tingkah, beberapa kali ia menggaruk kepalanya, yang aku yakin bukan karena gatal."Gue nggak enak aja sama Lo Bro. Maaf ya Bro." Ia terlihat tak enak hati padaku, mungkin benar kata Yunita, Dimas memendam rasa itu karena memang status Wina masih istriku.Aku menatap dalam ke arah sahabatku, sebenarnya terbersit rasa senang di hatiku, sudah sekian lama Dimas begitu sulit move on dari Mita, mantan pacarnya dulu, dan sekarang ada perempuan yang berhasil membuatnya jatuh cinta, meskipun perempuan itu adalah istriku.Aku mengangguk pelan, seraya tersenyum ke arah sahabatku ini.Ia menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan."Awalnya aku nggak tahu, jika perasaan ini semakin kuat, sejak pertama kamu memintaku untuk mem
Malam bertabur bintang, langit yang gelap dan tenang, rembulan berpijar terang, seolah menyambut bahagia di dada.Aku melihat senyum terukir di bibir manis istriku. Aku pun bahagia, semoga setelah ini tak ada lagi ujian berat yang menempa rumah tangga kami. "Mas, kamu yakin dengan keputusan yang kamu ambil ini?" tanya Yunita, saat kami sudah masuk mobil."Tentu. Kau meragukan keputusanku?""Bu–Bukan gitu, bagaimanapun pernikahan adalah suatu hal yang sakral, karena itu sebuah janji di terhadap Allah.""Justru karena itu, aku mengambil keputusan ini, jika pernikahan ini terus dilanjutkan, dan hanya akan menyakiti, Wina, menyakiti hatiku sendiri, bahkan menyakiti kamu, buat apa? Wina juga berhak bahagia. Yang terpenting sekarang posisinya sudah aman, aku sudah menjalankan amanah yang Pak Wiryo pinta." Aku menjawab pertanyaan istriku dengan tenang, tak ada keraguan sedikitpun. Yunita mengangguk, tersenyum."Oke kita jalan sekarang?""He'em."Aku mulai melajukan mobil keluar rumah, meni
Pov WinaAku memang berasal dari keluarga sederhana, Tinggal di Sebuah desa yang lumayan jauh dari kota membuatku biasa hidup dalam kesederhanaan.Kasih sayang Bapak yang sangat luar biasa, membuat aku kuat menjalani hari-hariku setelah kepergian Ibu, dan dua tahun setelah kepergian Ibu, Bapak memutuskan untuk menikah lagi dengan Bu Warsih, beliau menjadi Ibu sambungku. Bu Warsih selalu baik denganku saat di depan Bapak, namun jika tak ada Bapak, keadaannya sebaliknya. Namun sekali lagi, Aku bertahan demi Bapak, hanya Beliau satu-satunya alasan untukku bertahan di rumah itu.Kehidupan kami berkecukupan saat Bapak masih bekerja sebagai mandor di pabrik teh, Bu Warsih pun terlihat begitu menyayangi Bapak, Beliau juga sangat perhatian sama Bapak, aku merasa senang walau sikap Bu Warsih padaku kurang baik, bagiku yang penting Bapak ada yang menemani masa tuanya nanti.Namun keadaan seolah berbanding seratus delapan puluh derajat ketika Bapak mulai sakit, sakit asma, radang paru, juga darah
Pov WinaSemakin hari perhatian demi perhatian kecil yang Mas Dimas berikan padaku, semakin membuatku tersipu malu, bukan karena apa-apa mengingat status yang aku sandang yaitu istri orang, aku pun tak bisa bersikap atau menampakkan raut bahagia berlebih padanya.Aku tak ingin yg terlalu kelihatan mencolok di depannya.Meskipun Mas Dimas selalu bilang, Dia yang mengantarkan bahan makanan karena Mas Firman sibuk dengan istrinya. Mas Dimas pun begitu santun, tak pernah berbuat kurang ajar atau apa, Ia betul-betul bisa menjaga diri, menghormatiku sebagai seorang istri dari sahabatnya.Ah, kenapa yang menikah denganku tidak Mas Dimas aja, dengan begitu tentu keadaan tak serumit ini, aku tak bisa membayangkan jika suatu hari istrinya Mas Firman mengetahui tentang aku, bagaimana jadinya aku.***Sore ini Mas Firman datang, membawakan sebuah kartu SIM, sejak beberapa hari memang aku mematikan ponsel karena aku takut Ibu telpon lagi, tak sanggup aku mendengar semua cercaan dan umpatan karena