Hari terus berganti hingga tak terasa seminggu sudah sejak Aku mengetahui soal Wina. Ibu juga sudah kembali ke rumahnya, pun dengan Tania. Mas Firman sendiri secara terang-terangan menolak jika Tania kembali tinggal di rumah.Laras Alhamdulillah ia keterima kerja di sebuah perusahaan swasta, dan sesuai ucapan Ia hanya mengambil job sebagai model hanya untuk sambilan.Selama seminggu ini juga terkadang sepulang dari rumah makan aku meminta Mas Firman untuk mampir ke apartemen menengok Wina. Mas Firman juga sudah berkoordinasi dengan pihak pengelola apartemen jika ada seseorang yang mencurigakan agar di tindak lanjuti. Wina masih sama seperti sebelumnya, Mas Firman tidak mengizinkannya keluar apartemen, dan semua keperluannya akan di penuhi olehnya atau meminta tolong pada Dimas.Usai makan malam, Mas Firman sibuk di ruang kerjanya, dan aku sendiri merebahkan tubuhku di ranjang, sambil berselancar di aplikasi novel online.Tiba-tiba ponsel Mas Firman yang tergeletak di atas nakas berde
"Aku mengerti Win. Sekarang ini kedua orang itu sudah diamankan, kamu aman sekarang, dan sekarang Mas Firman dan Dimas sedang mengurus semuanya, kamu tenang ya!" Aku mencoba menenangkan gadis yang kini menjadi maduku. Hati ini pun ikut merasakan sedih, kasihan Dia, Dia pasti takut terlebih ini di Jakarta, tak banyak orang yang ia kenal, selain Mas Firman, Dimas dan Aku."Maafkan Aku ya, Mbak. Jika hadirku di sini hanya merepotkanmu dan Mas Firman." Ia terisak, sambil jarinya memainkan ujung hijab yang dikenakannya."Sssttt! Tidak ada yang merasa di repotkan, Win. Semua sudah ketentuan Allah. Aku mengerti sekali bagaimana posisimu sekarang. Kamu itu hebat, aku nggak tahu jika aku yang ada di posisimu, mungkin aku tak kan sekuat kamu."Ia mengusap linangan air mata yang menaganak di pipinya."Aku pun tak tahu, Mbak. Sampai kapan aku seperti ini. Aku tadi hanya sedikit merasa bosan dengan masakanku sendiri dan sekedar ke depan apartemen untuk membeli nasi goreng, tapi ternyata mereka ta
Pov FirmanAlhamdulillah istriku bisa diajak bicara, Ia sudah tenang sekarang, mungkin berkat penjelasan dari Dimas juga saat Ia menemui Dimas pagi itu. Namun tetap saja, Sikapnya sedikit berubah, Ia lebih sedikit bicara tidak seperti dulu, aku mencoba mengerti akan keadaan ini.Bagaimanapun juga ini memang salahku, Aku yang telah menggores luka di hatinya yang rapuh, maka aku pula yang harus terus menggenggam hati itu agar tetap utuh. Maafkan aku Sayang. Berbagai ucapan manis yang biasa aku katakan, Ia hanya tersenyum dan mengangguk. Aku tahu di dalam hatinya Ia pun sedang berusaha berdamai dengan keadaan sekarang, walaupun Dia tahu hanya dirinyalah yang ada di hatiku, tapi tetap saja perempuan adalah makhluk yang sensitif, berbagai macam kecurigaan dan ketakutan pasti bergelayut di hatinya.Bagai hujan di Padang pasir, itu yang aku rasakan saat Wanitaku mulai mau bicara dan mau kuajak pulang, karena sesungguhnya di hati ini diliputi ketakutan, aku takut karena kesalahanku ini, kemu
"Nggak Bu. Jujur Firman terganggu kalau Tania tinggal di sini, lagi pula Dia kan punya pekerjaan, Dia juga bisa bayar sewa kos untuk Dia tinggal. Tak perlu lah kita yang menampung Dia di sini. Firman nggak bisa Bu." Aku terus mencoba memberikan jawaban dengan tenang, agar Ibu tak tersinggung, bagaimanapun Ia adalah ibuku, tak ingin aku menyakitinya, tapi aku juga tak mau di paksa pada sesuatu yang bertentangan dengan hatiku."Yuni, kamu tak keberatan kan, jika Tania kembali tinggal di rumah ini, selain untuk teman Laras, Dia juga bisa bantu-bantu kamu di rumah ini, biar kamu nggak capek, dan bisa segera berhasil promil ya kan," tanya Ibu tiba-tiba ketika Yunita sudah berada di rumah tengah.Aku tersentak saat Ibu melempar pertanyaan itu padanya, aku mengerti maksud Ibu, jika Ia meminta padaku aku tak bisa memberikannya, Ia akan memintanya pada Yunita, Ibu seolah tahu kelemahan Yunita adalah tak mampu menolak permintaan Ibu, karena Yunita pasti tak kuasa untuk menolak. Aku menarik na
Kedua lelaki itu menunduk, tanpa perlawanan, wajahnya memang garang, tapi tak satupun dari mereka berani menatap wajah kami, keduanya tertunduk.Aku dan Dimas duduk di hadapannya terhalang oleh meja yang melintang."Siapa yang menyuruh Kalian?" tanyaku pada mereka.Tapi mereka hanya diam, tak ada yang menjawab satu pun."Ma–Maaf Pak. Kami hanya di suruh Pak," ucapnya lirih salah seorang dari mereka."Siapa yang menyuruh Kalian?!" tanyaku lagi dengan menambah satu oktaf tinggi suaraku mereka masih juga tak mau menjawab pertanyaan itu.Braakk!Dimas bangkit dan menggebrak meja membuat mereka terkejut, aku sendiri juga sebenarnya kaget, tapi aku berusaha biasa saja. Dimas mungkin gemas dengan dua orang ini."Kalian dengar tidak?! Siapa yang menyuruh Kalian?! Jawab? Atau aku telpon polisi sekarang juga!" ancam Dimas sambil satu tangannya mengeluarkan ponsel miliknya. Dua lelaki itu tampak panik, dan saling pandang satu sama lain. Sepertinya mereka cuma preman kampung, terlihat takut saat
Aku pun melenggang keluar ruangan itu dan memanggil dua orang sekuriti yang berdiri tak jauh dari ruangan ini, dan meminta tolong padanya untuk menjaga sebentar kedua preman itu. kemudian aku dan Dimas keluar ruangan itu, untuk bicara, kami menyusun rencana selanjutnya. Setelah semua sudah matang kami rencanakan, kami kembali masuk ke ruangan."Oke. Kali ini kalian tidak akan aku jebloskan ke polisi, karena saya masih punya hati, mengingat anakmu di rumah sedang sakit. Tapi kalian tidak bisa lepas dari pengawasanku!" ucap Dimas serius pada kedua preman kampung ini.Terlihat binar pada kedua mata lelaki itu."Eits jangan senang dulu, ada hal lain yang harus kalian lakukan jika kalian tak ingin mendekam di penjara, semua percakapan kita sudah saya rekam di dalam sini, ini bisa menjadi bukti kuat untuk kalian mendekam di penjara, tapi saya masih punya belas kasihan pada kelurga kalian, selama kalian ikuti perintahku, kalian akan aman!" Aku menunjuk ponsel yang ada dalam genggamanku, dan
"Mas tak cemburu? Istrimu di cintai oleh laki-laki lain?" tanyanya seolah mengejek."Jika yang ia cintai adalah kamu, tentu aku akan sangat cemburu, tapi Jika Ia mencintai Wina, aku justru akan senang, karena Dimas lelaki yang baik, Wina akan aman jika bersamanya." Sebuah lengkungan manis terbit si bibirnya."Sekarang kamu sudah benar-benar percaya kan, hanya kamu yang Mas cinta, saat ini nanti, dan selamanya," bisikku lembut sibuk menatap kedua matanya.Terlihat pipinya merona, menambah cantik wajahnya.Selesai sarapan, aku pun langsung berangkat ke Bogor, sekalian aku tengok kafe di sana, Yunita juga izin untuk ke rumah makan, untuk menggantikan posisiku, aku tak keberatan, dan sekalian berangkat ke Bogor aku, lebih dulu mengantarkan istriku ke rumah makan."Hati-hati ya, Sayang. Pokoknya apapun itu, kamu harus sering kabarin aku," ucap istriku saat kami telah sampai di depan rumah makan, dan aku hendak langsung jalan ke kampungnya Wina."Iya Sayang, aku janji akan kabarin kamu, k
Seketika Bu Warsih mengangkat wajahnya, terlihat pias, sangat pias. Aku berdiri bersilang dada melihat orang-orang ini bergemelut dengan masalah mereka."Ta–Tapi Juragan, dengan apa saya mengembalikan semuanya?" tanya Bu Warsih masih dengan wajah pias. "Saya nggak mau tahu!" bentak Juragan."Ini semua gara-gara kamu!" Bu Warsih menatap nyalang ke arahku, sambil menunjuk wajahku."Ini semua karena ulah Ibu sendiri! Bukan salahku apalagi salah Wina! Sudah sepantasnya Ibu bayar semuanya itu sendiri!" desisku tajam."Saya tak ada waktu, Pak! Bagaimana dengan tawaran Saya tadi? Iya atau tidak?!" Aku kembali melempar pertanyaan pada lelaki itu sembari aku melirik arloji di pergelangan tanganku.Kembali kulihat rahangnya mengeras, Ia tampak begitu gusar, akan keputusan apa yang akan diambilnya."Oke. Kalau anda memilih tidak menerima tawaran saya, Saya permisi! Dan bersiap lah untuk menyusul kedua anak buahmu di dalam penjara," ucapku serius. Aku mulai melangkah meninggalkan teras rumah in
Mengapa rasa sakit ini melebihi rasanya sakit hati ketika putus cinta? Aku seakan tengah berlayar di lautan tenang tiba-tiba di terjang badai ombak yang begitu dahsyat hingga kapal yang kukemudikan terombang-ambing.Aku melajukan mobilku menuju ke pemakaman dimana Bapak beristirahat dengan tenang, teringat saat aku masih anak-anak dulu, Aku pernah di ajak Bapak ke pemakaman, namun aku yang masih kecil pun tak bertanya itu makam siapa, dan Bapak juga tak bicara apapun soal makam itu. Aku yang sejak kecil tak pernah kekurangan kasih sayang dari orang tua pun tak sedikitpun aku mengira akan seperti ini kenyataannya.Terlihat sepele, aku ternyata bukanlah anak kandung Ibu, tapi Ibu menyayangiku seperti anak kandungnya, tapi tetap saja hati ini terkoyak, ada rasa sakit menelusup ke dalam sini. Air mataku luruh begitu saja, di sepanjang jalan aku mengemudi. Sakit. Aku mengetahui kenyataan ini di saat Bapak sudah tiada, andaikan saja mereka menceritakan ini jauh sebelum Bapak pergi, mungki
POV Firman"Ehm, Bu. Alhamdulillah tebakan Ibu benar!" ucapku sumringah pada Ibu yang sudah menatap kami penuh tanya."Alhamdulillah! Akhirnya. Ibu mau punya Cucu!" Ibu menghambur ke arah Yunita dan memeluknya erat."Selamat ya Yun, Ibu seneng banget dengernya akhirnya kamu bisa hamil dan kasih cucu untuk Ibu. Maafkan Ibu yang kemarin-kemarin begitu angkuh dan nyakitin kamu! Ibu minta maaf Nak!" ucap Ibu dengan suara parau, Punggungnya bergetar. Ibu menangis dalam pelukan istriku.Aku hanya menatap haru."Ini semua berkat Doa Ibu, Yunita yang harusnya bilang makasih sama Ibu, Ibu sudah bisa menerima Yunita yang banyak kekurangan ini." Lembut Yunita mengusap punggung Ibu."Nggak Sayang. Ibu yang banyak salah sama Yuni, Ibu minta maaf." Yunita mengangguk, seraya mengulum senyum."Sudah Bu. Kita lupakan semua yang sudah berlalu, kita buka lembaran baru menyambut anggota keluarga baru di rumah ini." Aku mengusap punggung Ibu."Iya, Man. Jaga baik-baik istrimu dan calon bayinya ya!""Iya,
POV FirmanDi sebuah ruangan dimana ada Laras berdiri di sana, bersama seorang temannya, dan Tania terbaring di ranjang rumah sakit, terlihat tengah menangis tersedu-sedu. Kenapa Dia?"Laras!" panggilku. Laras tengah berdiri di sisi ranjang, sepertinya sedang menenangkan Tania. Laras sepertinya tidak mendengar Aku memanggilnya.Belum juga Laras menoleh ke arahku, aku sudah dibuat terkejut oleh pertanyaan seorang perawat yang sudah berdiri di belakangku."Maaf Apa Bapak suaminya Ibu Tania?" Degh!"Oh bukan Sus. Saya mau jemput adik saya Laras," tegasku seraya mengibaskan tangan pada perawat itu.Seketika Laras menoleh ke arahku, mungkin karena mendengar namanya kusebut."Kak Firman!""Ayo pulang!" ajakku."Oh saya kira, suaminya pasien. Maaf ya Pak!""Iya gak apa-apa, Sus. Saya permisi!"Aku mendekati Laras dan menggandeng tangannya. Aku bahkan tak melirik sedikit pun ke arah Tania."Kak Firman!" panggil Tania lirih, namun masih jelas terdengar olehku."Ehm Tania, Gue pamit pulang dul
POV FirmanAku dan Yunita pun saling pandang, mendengar percakapan Laras di telepon, terdengar kata kalau Tania pingsan. Pingsan kenapa Dia, kenapa pula menghubunginya pada Laras, kenapa tidak langsung di bawa ke rumah sakit, berbagai pertanyaan muncul dalam benakku."Udah Yuk, Sayang kita ke klinik sekarang!" ajakku pada Yunita, aku juga tak ingin di pusingkan dengan urusan Tania yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kami."Ya udah Ayo!" Yunita pun mengamit lenganku dan bergelayut manja menuju ke luar rumah."Wah ini motornya, Sayang." Yunita menyentuh dan mengitari motor itu ketika kami sampai di teras rumah."Iya, bagus ya, Sayang. Pilihan kamu memang tak pernah salah." Aku memujinya, karena motor itu memang Dia yang memilih.Beberapa saat Yunita memperhatikan motor itu."Udah Yuk, Sayang. Nanti keburu malam, jadi makin ngantri di klinik." Aku mengingatkan, karena jika semakin malam juga khawatir kliniknya tutup. Malam ini juga malam Minggu, tentu di jalan juga
POV FirmanSetelah menyelesaikan semuanya. Aku pun pamit pulang. Karena sebentar lagi pasti pihak dealer akan mengantarkan motor yang aku beli siang tadi. "Pulang sekarang, Yuk Sayang.""Ayo!"Kami pun berjalan bersisian menuju ke mobil yang terparkir di parkiran Rumah makan."Kira-kira udah diantar belum ya Mas, motornya?" tanya Yunita"Kayaknya sih belum, Laras juga nggak ada telpon Mas. Kalo udah datang pasti Dia kaget dan bingung, kan pasti telpon Mas.""Iya juga Ya." Yunita terlihat begitu bersemangat, meski wajahnya masih terlihat pucat, tapi tidak menutupi rona bahagia yang terpancarkan."Sayang, kamu beneran nggak apa-apa. Wajah kamu pucat lho." "Nggak apa-apa, Mas. Cuma sedikit pusing sih. Nanti aku sampai rumah langsung istirahat aja. Mas nggak usah khawatir, ya!" Meskipun Yunita bicara dengan tenang dan seakan Ia benar-benar baik-baik saja. Tapi tetap saja aku mengkhawatirkannya. Tak biasanya Dia seperti ini.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota
Pov FirmanTak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Ibu dan adikku bisa akur dengan istriku. Itu adalah harapan yang selalu aku langitkan di setiap sujudku. Akhirnya Allah menjawab semuanya sekarang. Ibuku sudah kembali seperti dulu, wanita cinta pertamaku sudah kembali lembut dan hangat padaku.Meskipun beberapa tahun belakangan ini, Ibu lebih menunjukkan rasa tak sukanya pada Yunita, istriku. Tapi itu sama artinya juga untukku. Karena istriku adalah cerminan diriku. Jika ada yang mencela atau tidak menyukainya, itu sama saja mencelaku. Aku hanya mampu membesarkan hati Yunita, menghiburnya, dan meminta maaf padanya atas nama Ibu. Hanya itu yang bisa kulakukan, meski dalam hatiku juga merasakan sakit yang sama.Alhamdulillah setelah acara makan malam di restoran itu sikap Ibu banyak berubah. Entah apa yang melatarbelakangi perubahan sikap Ibu pada kami, terutama padaku dan Yunita. Ibu menjadi begitu baik dan tidak lagi memintaku menikahi Tania.Sungguh sebuah keajaiban yang beg
Pov Laras"Bu, Laras seneng deh, sekarang Ibu bisa akur sama Kak Yunita, ternyata Dia baik ya Bu." Aku mulai membuka percakapan malam ini. Aku merebahkan tubuhku di samping Ibu, sudah cukup lama juga aku tidak tidur dengan Ibu. Aroma wangi tubuhnya yang selalu menenangkan. Hangat dan nyaman yang selalu aku rasakan jika berada di dekatnya.Malam ini aku begitu senang bisa bersembunyi di dekat ketiaknya."Iya, Ibu yang salah. Ibu terlalu egois, hanya karena termakan omongan teman-teman Ibu, secara tak sadar Ibu telah menyiksa batin menantu Ibu. Ibu sangat merasa bersalah, Ras."Ibu menatap langit-langit kamar ini, berucap tanpa menoleh menatapku. Ibu sudah menyadari kesalahannya. Sejenak terdiam."Ibu lihat juga kamu banyak berubah, Ras. Nggak ada lagi Laras yang manja yang selalu memaksa untuk dipenuhi semua keinginannya. Sekarang Ibu lihat anak gadis Ibu ini jauh lebih dewasa, lebih sopan, dan ramah, terutama pada Kakak iparnya," sindir Ibu."Bukankah setiap orang itu memiliki hak untu
Pov LarasAku pun memilih tak menanggapinya lagi, dan melangkah cepat untuk pulang. Tania masih berdiri di tempatnya.Setelah tiba di ujung gang tempat kos Tania, aku menunggu sebentar ojek online yang tadi kupesan.Kemudian aku langsung pulang ke rumah karena siang tadi Kak Firman mengabarkan, jika Ibu sudah di ijinkan pulang hari ini, jadi sekarang ini kemungkinan Ibu sudah ada di rumah Kak Firman. Kami sepakat untuk sementara Ibu tinggal di rumah Kak Firman, sampai kondisi Ibu benar-benar membaik.Dengan tinggal di rumah Kak Firman, di saat aku ke kantor dan Kak Firman sibuk di rumah makannya, ada Kak Yunita yang dengan telaten merawat Ibu. Aku bersyukur di saat aku sudah mulai dekat dengan Kak Yunita, Ibu mulai menyadari kesalahannya. Semoga hubungan baik diantara kami ini bisa terus seperti ini. Aku yang paling merasa bersalah pada Kakak iparku itu. Aku yang terlambat menyadari semuanya. Kini aku sadar pilihan Kak Firman memang yang terbaik, wajar saja jika Dia begitu bucin deng
Pov Laras.Hari terus bergulir, hingga hari ini, aku mendapatkan pesan dari Ibu, kalau hari ini beliau meminta kami. Aku, Kak Firman dan juga Kak Yunita untuk makan malam disebuah restoran. Aku sedikit heran karena tak biasa Ibu mengajak kami makan di luar, Padahal biasanya, jika Aku atau Kak Firman mengajak Ibu makan keluar, Ibu sering menolak, beliau lebih suka makan di rumah, lebih leluasa katanya.Walaupun dalam hati ini meragu karena ternyata Ibu juga mengajak serta Tania, aku pun menyanggupinya untuk datang, sepulang dari kantor aku langsung menuju ke restoran yang sudah ditentukan Ibu. Dalam hati ini juga ada rasa was-was. Takut Ibu akan membahas rencananya yaitu menjodohkan Kak Firman dengan Tania.Jika benar itu yang akan Ibu katakan, aku akan langsung bersuara. Tidak setuju. Bahkan saat itu juga aku akan langsung bongkar tabiat asli Tania itu seperti apa. Agar Ibu tidak terus menerus harus menekan Kak Firman lagi.Aku berusaha untuk menyelesaikan pekerjaanku agar lebih cepat