"Apa yang beliau bicarakan?" tanyaku, aku ingin mendengar langsung darinya.Wina hanya menghembuskan napas kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sebelum mulai bicara."Ibu, memaksaku untuk pulang." Wina menatap kosong. Terlihat gurat kesedihan di sana, ibu tirinya memang jahat, hanya mementingkan egonya sendiri saja."Lalu?""Ibu tetap mau menikahkanku dengan juragan Dadang." Kali ini kedua netranya mulai berkaca-kaca, hatinya pasti begitu sedih, laki-laki tua itu benar-benar tak punya hati, sudah punya dua istri masih saja mengincar gadis, untuk dijadikan istri ketiganya.Aku hanya menggelengkan kepalaku mendengar penuturan Wina, bagaimanapun secara agama dia istriku, aku berkewajiban melindunginya."Bukankah ibumu sudah tau jika kita sudah menikah, bagaimana bisa juragan Dadang menikahi wanita yang masih bersuami," sungutku.Kembali terdengar hembusan napas berat dari gadis yang ada di depanku, gadis yang sudah menjadi istri tapi nyatanya hati dan jiwa kami masih belum bis
Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum."Terdengar suara ketukan halus di pintu, seketika membuatku dan Wina saling pandang, siapa yang datang?Aku langkahkan kaki ke arah pintu dan membukanya."Dimas?" Aku sedikit terkejut yang datang adalah Dimas. Dia membawa satu kantong plastik besar, yang tampak berisi sayur dan buah."Hehe iya Bro! Sorry Gue ganggu ya? Gue bawain sayur dan buah buat Wina, seminggu lalu gue udah isiin kulkasnya, mungkin sekarang udah kosong karena udah seminggu." Aku menepuk jidatku sendiri, memang sejak membawa Wina kesini, aku meminta bantuan Dimas untuk membelikan bahan makanan, sampai aku sendiri lupa itu udah seminggu yang lalu, Dimas benar mungkin sekarang sudah habis."Nggak ganggu kok, ini juga gue udah mau pulang, masuk dulu Bro." Aku menepuk punggung sahabatku ini.Kami pun masuk dan duduk di sofa."Makasih ya, Bro. Gue sendiri sampai lupa soal itu." Aku hanya nyengir, menggaruk kepalaku yang tak gatal."Baik kan Gue, Lu yang punya Bini, Gue yang beliin kebutu
Tapi hari ini aku membelikan baju untuknya, beberapa tahun bersama tentu aku juga tahu seleranya pakaian seperti apa yang dia suka, Alhamdulillah ia suka dengan baju itu, terlihat dari binar matanya begitu senang, menambah aura kecantikannya terpancar dari wajahnya.Ah, sungguh cantik, dan menggemaskan kamu, Sayang.Aku pun pamit untuk segera mandi dan melaksanakan ibadah wajib tiga rakaat, dan Yunita pun turun ke bawah membuatkan aku kopi.Usai salat aku curahkan semua pada sang kuasa, sungguh keadaan ini membuatku bingung. Namun baru saja aku mengakhiri doaku, aku menoleh dan betapa terkejutnya aku melihat Yunita yang sudah berdiri di sana. Sejak kapan? Apa tadi dia mendengar doaku? Aku sedikit pucat dan salah tingkah beberapa detik, namun sesegera mungkin aku tenangkan diri menguasai keadaan.Aku berusaha mengalihkan perhatiannya dengan menanyakan mana kopi yang tadi ia buat untukku, dan aku menggandeng tangannya hendak keluar kamar. "Dia siapa yang kamu sebut dalam doa barusan,
"Gimana sama teman-teman kamu, Ren? Mereka jadi ketemu saya hari ini kan?" tanyaku pada Rendi, salah seorang kepercayaanku yang aku percaya bisa menghandle rumah makan cabang. "Jadi, Pak. Nanti sekitar Tiga puluh menit lagi teman-teman saya akan datang, Pak.""Oke, semua berjalan lancar kan, selama saya tidak kemari?" "Alhamdulillah lancar, Pak. Semua yang saya laporkan sama Bapak," sahut laki-laki yang sudah bekerja denganku sejak tiga tahun lalu ini. Dulu Rendi bekerja di rumah makan utama, bahkan dia sahabat baik Iwan, melihat potensi kerja yang bagus, saat aku membuka rumah makan cabang ini, aku pilih dia yang menghandle semuanya di sini, Alhamdulillah dia selalu bisa di andalkan.Setelah menunggu akhirnya anak-anak band yang merupakan teman-teman Rendi itu pun datang, mereka ada lima personil.Setelah berbincang cukup lama akhirnya disepakati mereka akan mengisi acara di kafe ini, dengan honor sesuai kesepakatan, karena mereka merupakan band lokal yang belum begitu terkenal, ja
Aku yang masih duduk di kursi kemudi, belum turun dari mobil, memilih untuk menghubungi Dimas."Halo Bro, tadi Gue udah ketemu sama Bu Warsih," ucapku pada sahabatku di seberang sana."Terus bagaimana Bro?""Ternyata Dia itu terlilit hutang dengan itu laki-laki tua, dan dia tak bisa bayar, jadi sebagai gantinya Wina.""Apa?! Gila tuh Bu Warsih, udah kaya mau jual anak. Mentang-mentang Wina itu bukan anak kandungnya sendiri jadi dia seenaknya begitu," sungutnya.Terdengar hembusan napasnya, sepertinya Dimas juga merasa kesal pada Bu Warsih."Nah itu, Dia. Tadi Gue udah coba telpon Wina untuk jangan keluar kemana-mana, tapi ponselnya nggak aktif, tadi Bu Warsih bilang anak buah juragan Dadang itu, sudah di Jakarta mencari keberadaan Wina," ucapku."Lu tetap bantu Gue ya, ikut menjaga Wina, bagaimanapun Gue nggak bisa menghadapinya ini sendiri, Gue juga punya istri yang harus Gue jaga perasaannya," tambahku lagi."Iya, dari awal juga Gue selalu bantuin Lu, makanya saran Gue Lu jangan lam
Aku begitu terkejut Wina yang masih bersandar di bahuku pun sontak menarik diri dan menyeka kedua pipinya.Braaakkk!Pintu terbuka lebar. Aku terperanjat dan langsung bangkit, pandanganku mengarah ke pintu yang menampakkan sosok cantik istriku sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah memerah."Yunita!" ucapku lirih.Yunita masuk ke dalam, memandangku dan Wina secara bergantian dengan tatapan nyalang, matanya memerah. Jelas terlihat menahan amarah yang seakan siap meledak.Aku sungguh terkejut, jantungku berdegup dengan sangat kencang, jangan di tanya seperti apa sekarang wajahku, sudah pasti sangat pucat, melihat kehadiran istriku di sini. Kenapa Yunita bisa ke sini? Siapa yang membawanya kemari?"Kenapa?! Kaget? Kenapa aku bisa di sini?! Siapa Dia Mas? Siapa Dia!! Simpanan kamu? Iya?! Tega kamu ya Mas! Kamu tega!" Yunita meremas kuat jaket yang masih kukenakan dan mengoyaknya dengan kuat, hingga aku sedikit terhuyung, tangisnya pecah."Sa–Sayang—" Aku tercekat, rasanya tubuhku seak
Menunggu lift terbuka rasanya lama sekali, keburu aku kehilangan jejak Yunitaku. Aku menatap kesal pada pintu lift yang gagah itu, seakan mengejekku.Ting.Alhamdulillah, akhirnya terbuka, aku langsung masuk ke dalam lift, tak kuperdulikan nasib Wina di sana, ada Dimas di sana, semoga Dimas bisa sedikit menenangkan Wina.Yang ada dipikiranku sekarang hanya istriku, aku tak ingin Dia pergi jauh dalam kesedihan ini, aku tak ingin salah paham ini membuatku kehilangan dirinya, sungguh aku takut kehilangan Dia, aku takut ketika Dia merajuk. Jika orang bilang aku bucin padanya, memang itu adanya aku sangat mencintainya.Teringat tatapannya tadi saat di dalam apartemen, tatapan tajam dan nyalang yang baru aku lihat selama hidup dengannya, tak kutemukan tatapan teduh nan mendamba yang selalu ia tujukan padaku. Setelah pintu lift kembali terbuka, aku bergegas lari ke depan gedung apartemen ini, mengedarkan pandangan sejauh mungkin, mencari sosok yang selalu aku rindukan, sosok yang selalu men
POV YunitaBagaikan tertimpa gada besar, Aku rasakan hancur, tulang dan persendian ini pun seakan lunglai saat aku memasuki apartemen ini, sebuah penampakan yang tak pernah kubayangkan, bahkan dalam mimpi sekalipun.Dengan degup jantung yang memburu, aku luapkan semua emosiku saat itu juga, aku berteriak dengan sedemikian kencang, bahkan aku tak peduli jika ini di sebuah apartemen yang notabene ditempati oleh orang-orang kelas atas, sekali lagi aku tak peduli.Duniaku seketika hancur mendapati suamiku tengah berdua di sebuah apartemen, entah itu apartemen milik perempuan itu, atau apartemen Mas Firman yang sengaja Ia beli untuk menyembunyikan wanita simpanannya itu.Sungguh yang kurasakan kini hatiku remuk redam, menerima kenyataan jika suamiku telah mendua.Dimana janji yang selalu kau ucapkan padaku susah senang kita sama-sama, mana janjimu untuk selalu membahagiakan aku hingga sepanjang waktu dan hanya maut yang mampu memisahkan kita, Mas? Saat aku pandangi wanita itu, ia berhijab