Aku yang masih duduk di kursi kemudi, belum turun dari mobil, memilih untuk menghubungi Dimas."Halo Bro, tadi Gue udah ketemu sama Bu Warsih," ucapku pada sahabatku di seberang sana."Terus bagaimana Bro?""Ternyata Dia itu terlilit hutang dengan itu laki-laki tua, dan dia tak bisa bayar, jadi sebagai gantinya Wina.""Apa?! Gila tuh Bu Warsih, udah kaya mau jual anak. Mentang-mentang Wina itu bukan anak kandungnya sendiri jadi dia seenaknya begitu," sungutnya.Terdengar hembusan napasnya, sepertinya Dimas juga merasa kesal pada Bu Warsih."Nah itu, Dia. Tadi Gue udah coba telpon Wina untuk jangan keluar kemana-mana, tapi ponselnya nggak aktif, tadi Bu Warsih bilang anak buah juragan Dadang itu, sudah di Jakarta mencari keberadaan Wina," ucapku."Lu tetap bantu Gue ya, ikut menjaga Wina, bagaimanapun Gue nggak bisa menghadapinya ini sendiri, Gue juga punya istri yang harus Gue jaga perasaannya," tambahku lagi."Iya, dari awal juga Gue selalu bantuin Lu, makanya saran Gue Lu jangan lam
Aku begitu terkejut Wina yang masih bersandar di bahuku pun sontak menarik diri dan menyeka kedua pipinya.Braaakkk!Pintu terbuka lebar. Aku terperanjat dan langsung bangkit, pandanganku mengarah ke pintu yang menampakkan sosok cantik istriku sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah memerah."Yunita!" ucapku lirih.Yunita masuk ke dalam, memandangku dan Wina secara bergantian dengan tatapan nyalang, matanya memerah. Jelas terlihat menahan amarah yang seakan siap meledak.Aku sungguh terkejut, jantungku berdegup dengan sangat kencang, jangan di tanya seperti apa sekarang wajahku, sudah pasti sangat pucat, melihat kehadiran istriku di sini. Kenapa Yunita bisa ke sini? Siapa yang membawanya kemari?"Kenapa?! Kaget? Kenapa aku bisa di sini?! Siapa Dia Mas? Siapa Dia!! Simpanan kamu? Iya?! Tega kamu ya Mas! Kamu tega!" Yunita meremas kuat jaket yang masih kukenakan dan mengoyaknya dengan kuat, hingga aku sedikit terhuyung, tangisnya pecah."Sa–Sayang—" Aku tercekat, rasanya tubuhku seak
Menunggu lift terbuka rasanya lama sekali, keburu aku kehilangan jejak Yunitaku. Aku menatap kesal pada pintu lift yang gagah itu, seakan mengejekku.Ting.Alhamdulillah, akhirnya terbuka, aku langsung masuk ke dalam lift, tak kuperdulikan nasib Wina di sana, ada Dimas di sana, semoga Dimas bisa sedikit menenangkan Wina.Yang ada dipikiranku sekarang hanya istriku, aku tak ingin Dia pergi jauh dalam kesedihan ini, aku tak ingin salah paham ini membuatku kehilangan dirinya, sungguh aku takut kehilangan Dia, aku takut ketika Dia merajuk. Jika orang bilang aku bucin padanya, memang itu adanya aku sangat mencintainya.Teringat tatapannya tadi saat di dalam apartemen, tatapan tajam dan nyalang yang baru aku lihat selama hidup dengannya, tak kutemukan tatapan teduh nan mendamba yang selalu ia tujukan padaku. Setelah pintu lift kembali terbuka, aku bergegas lari ke depan gedung apartemen ini, mengedarkan pandangan sejauh mungkin, mencari sosok yang selalu aku rindukan, sosok yang selalu men
POV YunitaBagaikan tertimpa gada besar, Aku rasakan hancur, tulang dan persendian ini pun seakan lunglai saat aku memasuki apartemen ini, sebuah penampakan yang tak pernah kubayangkan, bahkan dalam mimpi sekalipun.Dengan degup jantung yang memburu, aku luapkan semua emosiku saat itu juga, aku berteriak dengan sedemikian kencang, bahkan aku tak peduli jika ini di sebuah apartemen yang notabene ditempati oleh orang-orang kelas atas, sekali lagi aku tak peduli.Duniaku seketika hancur mendapati suamiku tengah berdua di sebuah apartemen, entah itu apartemen milik perempuan itu, atau apartemen Mas Firman yang sengaja Ia beli untuk menyembunyikan wanita simpanannya itu.Sungguh yang kurasakan kini hatiku remuk redam, menerima kenyataan jika suamiku telah mendua.Dimana janji yang selalu kau ucapkan padaku susah senang kita sama-sama, mana janjimu untuk selalu membahagiakan aku hingga sepanjang waktu dan hanya maut yang mampu memisahkan kita, Mas? Saat aku pandangi wanita itu, ia berhijab
Aku sudah tak bisa berpikir jernih, sungguh hatiku serasa dicabik dengan kasarnya. Bagaikan bunga yang tengah mekar kemudian di terjang angin badai yang mampu meruntuhkan semua kelopak bunganya. Sakit? Sangat.Perih? Tentu.Aku luapkan emosi yang tiba-tiba memuncak ketika melihat pemandangan ini, dan Mas Firman terlihat begitu frustasi berusaha menenangkan aku, mungkin ia juga kaget kenapa aku bisa seperti ini ketika marah, karena memang aku jarang marah padanya. Hingga akhirnya aku memilih keluar dari gedung apartemen itu, berkali-kali aku menyeka bulir bening yang terus saja menetes tanpa permisi, hati ini rasanya begitu panas, begitu perih. Astaghfirullah... Allah, Allah,...Kenapa semua ini begitu tiba-tiba, rumah tangga yang kami jalani begitu harmonis seketika berantakan, seiring dengan remuknya hatiku, hati yang hancur berkeping melihat kenyataan ini."Yunita! sayang! Tunggu!" Aku masih mendengar jelas panggilan suara Mas Firman memanggil namaku ketika aku memasuki taksi di
Entah berapa lama mata ini terpejam, saat perlahan aku membuka mata, aku terbaring di sofa, dan Indra penciumanku mencium wangi khas minyak kayu putih."Alhamdulillah akhirnya kamu sadar Yun!" ucap Leni yang duduk di sampingku, dengan raut wajah khawatir, dan satu tangannya memegang botol minyak kayu putih.Aku berusaha bangkit untuk duduk, dan Leni membantuku, Ia juga menyodorkan segelas air padaku.Perlahan kuteguk air itu, tenggorokanku terasa sejuk usai minum."Kamu nggak apa-apa?" tanyanya, masih dengan raut cemas menatapku."Aku nggak apa-apa, Len. Makasih ya. Maaf kalau aku kemari hanya merepotkan kamu.""Sssttt, ngomong apaan sih, nggak repot kok, aku malah seneng kamu datang kemari, apalagi saat kondisi kamu seperti ini, itu artinya kamu masih menganggapku sahabatmu. Masih pusing nggak? Aku bikinin teh panas sebentar ya, biar kamu enakan."Leni pun melanggeng ke dapur, Dia memang tinggal sendiri di sini, Ayahnya sering dinas keluar kota untuk urusan pekerjaan, dan ibunya seri
"Tunggu, kamu ceritain dulu gimana kamu tahu Firman sudah menikah lagi, bisa jadi ini adalah salah paham, Yun!"Leni terus saja bicara seolah ini adalah salah paham, tentu Dia tak mudah percaya dengan apa yang aku katakan, pun sama denganku, yang tak bisa terima kenyataan ini.Aku pun menceritakan semua kejadian sore tadi yang telah aku lewati. Leni pun tercengang. Mendengar dengan seksama tanpa berkomentar apapun.Sebelumnya aku tak pernah menceritakan apapun masalah yang kami hadapi, bahkan saat kehadiran Tania di rumah, serta keinginan Ibu untuk Mas Firman menikahi Tania pun, aku tak menceritakan kepada siapapun, aku berusaha tenang menghadapi semua sendiri karena bagaimanapun masalah rumah tangga tak seharusnya di ceritakan pada orang lain.Namun kali ini, rasanya aku tak sanggup memendamnya sendiri, aku pun menceritakan pada Leni, aku juga percaya padanya, aku sudah mengenalnya sejak kami masih sama-sama di bangku kuliah, aku pikir sedikit membagi beban ini."Apapun nanti keputus
"Kamu tunggu sebentar di sini ya, di ujung sana ada toko kelontong kecil, aku akan membeli air mineral sebentar, aku haus," pamit Leni.Aku pun menunggunya dengan duduk di bangku taman, menikmati udara pagi ini, hingga aku rasakan sebuah lengan kokoh melingkar di leherku, memeluk erat punggung hingga kedua bahuku.Aku sedikit terkejut, namun saat aku hirup aroma ini, aku bagitu hafal wangi tubuh ini. Aroma yang selalu kurindukan, aroma yang selama ini menghangatkan aku, wangi parfum yang selalu membuatku merindu.Tapi mengapa kini aroma ini membuat dadaku sesak, mengapa ada kesedihan begitu mendalam saat aku merasakan sebuah sentuhan lembut ini, biasanya aku akan begitu berbunga menerima perlakuan ini, tapi sekarang ingin rasanya aku mengelak, tapi raga ini berkhianat, tak melakukan apa yang hati ini inginkan.Aku tetap menatap ke depan dengan pandangan kosong, perlahan pandangan ini terasa buram seiring dengan deru napasnya yang kurasakan tengah berada dekat dengan telingaku.Netra i