POV YunitaBagaikan tertimpa gada besar, Aku rasakan hancur, tulang dan persendian ini pun seakan lunglai saat aku memasuki apartemen ini, sebuah penampakan yang tak pernah kubayangkan, bahkan dalam mimpi sekalipun.Dengan degup jantung yang memburu, aku luapkan semua emosiku saat itu juga, aku berteriak dengan sedemikian kencang, bahkan aku tak peduli jika ini di sebuah apartemen yang notabene ditempati oleh orang-orang kelas atas, sekali lagi aku tak peduli.Duniaku seketika hancur mendapati suamiku tengah berdua di sebuah apartemen, entah itu apartemen milik perempuan itu, atau apartemen Mas Firman yang sengaja Ia beli untuk menyembunyikan wanita simpanannya itu.Sungguh yang kurasakan kini hatiku remuk redam, menerima kenyataan jika suamiku telah mendua.Dimana janji yang selalu kau ucapkan padaku susah senang kita sama-sama, mana janjimu untuk selalu membahagiakan aku hingga sepanjang waktu dan hanya maut yang mampu memisahkan kita, Mas? Saat aku pandangi wanita itu, ia berhijab
Aku sudah tak bisa berpikir jernih, sungguh hatiku serasa dicabik dengan kasarnya. Bagaikan bunga yang tengah mekar kemudian di terjang angin badai yang mampu meruntuhkan semua kelopak bunganya. Sakit? Sangat.Perih? Tentu.Aku luapkan emosi yang tiba-tiba memuncak ketika melihat pemandangan ini, dan Mas Firman terlihat begitu frustasi berusaha menenangkan aku, mungkin ia juga kaget kenapa aku bisa seperti ini ketika marah, karena memang aku jarang marah padanya. Hingga akhirnya aku memilih keluar dari gedung apartemen itu, berkali-kali aku menyeka bulir bening yang terus saja menetes tanpa permisi, hati ini rasanya begitu panas, begitu perih. Astaghfirullah... Allah, Allah,...Kenapa semua ini begitu tiba-tiba, rumah tangga yang kami jalani begitu harmonis seketika berantakan, seiring dengan remuknya hatiku, hati yang hancur berkeping melihat kenyataan ini."Yunita! sayang! Tunggu!" Aku masih mendengar jelas panggilan suara Mas Firman memanggil namaku ketika aku memasuki taksi di
Entah berapa lama mata ini terpejam, saat perlahan aku membuka mata, aku terbaring di sofa, dan Indra penciumanku mencium wangi khas minyak kayu putih."Alhamdulillah akhirnya kamu sadar Yun!" ucap Leni yang duduk di sampingku, dengan raut wajah khawatir, dan satu tangannya memegang botol minyak kayu putih.Aku berusaha bangkit untuk duduk, dan Leni membantuku, Ia juga menyodorkan segelas air padaku.Perlahan kuteguk air itu, tenggorokanku terasa sejuk usai minum."Kamu nggak apa-apa?" tanyanya, masih dengan raut cemas menatapku."Aku nggak apa-apa, Len. Makasih ya. Maaf kalau aku kemari hanya merepotkan kamu.""Sssttt, ngomong apaan sih, nggak repot kok, aku malah seneng kamu datang kemari, apalagi saat kondisi kamu seperti ini, itu artinya kamu masih menganggapku sahabatmu. Masih pusing nggak? Aku bikinin teh panas sebentar ya, biar kamu enakan."Leni pun melanggeng ke dapur, Dia memang tinggal sendiri di sini, Ayahnya sering dinas keluar kota untuk urusan pekerjaan, dan ibunya seri
"Tunggu, kamu ceritain dulu gimana kamu tahu Firman sudah menikah lagi, bisa jadi ini adalah salah paham, Yun!"Leni terus saja bicara seolah ini adalah salah paham, tentu Dia tak mudah percaya dengan apa yang aku katakan, pun sama denganku, yang tak bisa terima kenyataan ini.Aku pun menceritakan semua kejadian sore tadi yang telah aku lewati. Leni pun tercengang. Mendengar dengan seksama tanpa berkomentar apapun.Sebelumnya aku tak pernah menceritakan apapun masalah yang kami hadapi, bahkan saat kehadiran Tania di rumah, serta keinginan Ibu untuk Mas Firman menikahi Tania pun, aku tak menceritakan kepada siapapun, aku berusaha tenang menghadapi semua sendiri karena bagaimanapun masalah rumah tangga tak seharusnya di ceritakan pada orang lain.Namun kali ini, rasanya aku tak sanggup memendamnya sendiri, aku pun menceritakan pada Leni, aku juga percaya padanya, aku sudah mengenalnya sejak kami masih sama-sama di bangku kuliah, aku pikir sedikit membagi beban ini."Apapun nanti keputus
"Kamu tunggu sebentar di sini ya, di ujung sana ada toko kelontong kecil, aku akan membeli air mineral sebentar, aku haus," pamit Leni.Aku pun menunggunya dengan duduk di bangku taman, menikmati udara pagi ini, hingga aku rasakan sebuah lengan kokoh melingkar di leherku, memeluk erat punggung hingga kedua bahuku.Aku sedikit terkejut, namun saat aku hirup aroma ini, aku bagitu hafal wangi tubuh ini. Aroma yang selalu kurindukan, aroma yang selama ini menghangatkan aku, wangi parfum yang selalu membuatku merindu.Tapi mengapa kini aroma ini membuat dadaku sesak, mengapa ada kesedihan begitu mendalam saat aku merasakan sebuah sentuhan lembut ini, biasanya aku akan begitu berbunga menerima perlakuan ini, tapi sekarang ingin rasanya aku mengelak, tapi raga ini berkhianat, tak melakukan apa yang hati ini inginkan.Aku tetap menatap ke depan dengan pandangan kosong, perlahan pandangan ini terasa buram seiring dengan deru napasnya yang kurasakan tengah berada dekat dengan telingaku.Netra i
"Sudahlah Mas! Tak perlu kau melibatkan orang lain dalam masalah kita, aku kecewa sama kamu Mas!" Aku bangkit dan berlalu meninggalkannya.Aku berjalan cepat untuk kembali ke rumah Leni, entah di mana Dia sekarang, aku lebih memilih pulang ke rumah, dari pada di taman aku harus berdua dengan Mas Firman."Sayang! Tunggu! Yunita!" Mas Firman masih terus memanggil sambil berlari ke arahku. Aku tetap pada pendirianku. Akan aku cari tahu sendiri bagaimana kebenarannya, apakah Kamu masih bisa kupercaya atau tidak Mas!"Sayang! Tunggu kamu mau kemana kita pulang yah, kita selesaikan ini di rumah, aku janji akan buktikan semua ucapanku, aku akan ceritakan semuanya, sedatail-detailnya, Mas mohon, percayalah," ucap Mas Firman dengan raut putus asa. Dia berusaha meraih tanganku, namun dengan cepat aku menepisnya."Nanti kita bahas lagi Mas! Sekarang biarkan aku sendiri dulu, aku masih butuh waktu untuk sendiri!" sahutku singkat kemudian kembali berjalan menuju rumah Leni.Saat aku telah sampai
"Dimas, aku mau tahu bagaimana sebenarnya kejadiannya." Aku berusaha tenang, menata hati mendengarkan apa yang akan Dimas katakan, semoga memang benar semua hanya keterpaksaan.Dimas meneguk kopinya sebelum mulai bicara, kemudian menghirup napas panjang dan menghembuskanya perlahan."Aku akan menceritakan semuanya, aku harap penjelasanku ini bisa sedikit membantu penyelesaian masalah kalian, sungguh aku sendiri pun ikut merasa bersalah," ucap Dimas."Waktu kecelakaan terjadi, kondisi Pak Wiryo terluka parah, bahkan sempat kritis, di tambah lagi kondisi beliau yang memang mengidap asma, untuk napas aja sering tersengal. Saat Firman telpon, memintaku untuk datang ke rumah sakit, dan memintaku menyiapkan sebuah dokumen surat tertulis untuk pernikahan siri dengan Wina."Dimas berhenti sebentar dan meneguk kembali kopi di depannya."Awalnya aku kaget, sungguh kaget, bahkan aku anggap Firman itu brengsek karena sudah punya istri sebaik kamu, tapi malah akan menikah lagi. Tapi, setelah aku t
Mas Firman bangkit dan berjalan ke arah mobil Leni, menungguku turun. Sekilas aku menatap Leni. Ia pun mengangguk seolah memberiku kekuatan untuk bertemu dan bicara dengan Mas Firman. Perlahan kubuka pintu mobil."Sayang!" Mas Firman menghambur dan memelukku dengan erat. Aku merasakan degup jantungnya, merasakan hangat pelukan dan aroma tubuhnya yang selama ini selalu menghiasi hari-hariku."Ehm, aku masuk dulu ya! Daripada nanti aku malah ganggu kalian," celetuk Leni, dan Mas Firman hanya mengangguk tersenyum kearahnya."Duduk di sini, Sayang! Kamu udah nggak marah lagi sama aku kan, Sayang?" tanya Mas Firman sambil menggandeng tanganku untuk duduk di bangku teras."Kalau kamu mau marah sam aku, kamu boleh pukul aku sekarang, kamu boleh tampar aku, kamu marahin aku sampai kamu puas, luapkan semuanya sekarang aku siap, Sayang! Asal setelah itu kamu dengerin penjelasan aku," ucap Mas Firman dengan wajah sendu. Satu tangannya menggenggam erat jemariku.Aku masih terdiam. Entah aku send
Mengapa rasa sakit ini melebihi rasanya sakit hati ketika putus cinta? Aku seakan tengah berlayar di lautan tenang tiba-tiba di terjang badai ombak yang begitu dahsyat hingga kapal yang kukemudikan terombang-ambing.Aku melajukan mobilku menuju ke pemakaman dimana Bapak beristirahat dengan tenang, teringat saat aku masih anak-anak dulu, Aku pernah di ajak Bapak ke pemakaman, namun aku yang masih kecil pun tak bertanya itu makam siapa, dan Bapak juga tak bicara apapun soal makam itu. Aku yang sejak kecil tak pernah kekurangan kasih sayang dari orang tua pun tak sedikitpun aku mengira akan seperti ini kenyataannya.Terlihat sepele, aku ternyata bukanlah anak kandung Ibu, tapi Ibu menyayangiku seperti anak kandungnya, tapi tetap saja hati ini terkoyak, ada rasa sakit menelusup ke dalam sini. Air mataku luruh begitu saja, di sepanjang jalan aku mengemudi. Sakit. Aku mengetahui kenyataan ini di saat Bapak sudah tiada, andaikan saja mereka menceritakan ini jauh sebelum Bapak pergi, mungki
POV Firman"Ehm, Bu. Alhamdulillah tebakan Ibu benar!" ucapku sumringah pada Ibu yang sudah menatap kami penuh tanya."Alhamdulillah! Akhirnya. Ibu mau punya Cucu!" Ibu menghambur ke arah Yunita dan memeluknya erat."Selamat ya Yun, Ibu seneng banget dengernya akhirnya kamu bisa hamil dan kasih cucu untuk Ibu. Maafkan Ibu yang kemarin-kemarin begitu angkuh dan nyakitin kamu! Ibu minta maaf Nak!" ucap Ibu dengan suara parau, Punggungnya bergetar. Ibu menangis dalam pelukan istriku.Aku hanya menatap haru."Ini semua berkat Doa Ibu, Yunita yang harusnya bilang makasih sama Ibu, Ibu sudah bisa menerima Yunita yang banyak kekurangan ini." Lembut Yunita mengusap punggung Ibu."Nggak Sayang. Ibu yang banyak salah sama Yuni, Ibu minta maaf." Yunita mengangguk, seraya mengulum senyum."Sudah Bu. Kita lupakan semua yang sudah berlalu, kita buka lembaran baru menyambut anggota keluarga baru di rumah ini." Aku mengusap punggung Ibu."Iya, Man. Jaga baik-baik istrimu dan calon bayinya ya!""Iya,
POV FirmanDi sebuah ruangan dimana ada Laras berdiri di sana, bersama seorang temannya, dan Tania terbaring di ranjang rumah sakit, terlihat tengah menangis tersedu-sedu. Kenapa Dia?"Laras!" panggilku. Laras tengah berdiri di sisi ranjang, sepertinya sedang menenangkan Tania. Laras sepertinya tidak mendengar Aku memanggilnya.Belum juga Laras menoleh ke arahku, aku sudah dibuat terkejut oleh pertanyaan seorang perawat yang sudah berdiri di belakangku."Maaf Apa Bapak suaminya Ibu Tania?" Degh!"Oh bukan Sus. Saya mau jemput adik saya Laras," tegasku seraya mengibaskan tangan pada perawat itu.Seketika Laras menoleh ke arahku, mungkin karena mendengar namanya kusebut."Kak Firman!""Ayo pulang!" ajakku."Oh saya kira, suaminya pasien. Maaf ya Pak!""Iya gak apa-apa, Sus. Saya permisi!"Aku mendekati Laras dan menggandeng tangannya. Aku bahkan tak melirik sedikit pun ke arah Tania."Kak Firman!" panggil Tania lirih, namun masih jelas terdengar olehku."Ehm Tania, Gue pamit pulang dul
POV FirmanAku dan Yunita pun saling pandang, mendengar percakapan Laras di telepon, terdengar kata kalau Tania pingsan. Pingsan kenapa Dia, kenapa pula menghubunginya pada Laras, kenapa tidak langsung di bawa ke rumah sakit, berbagai pertanyaan muncul dalam benakku."Udah Yuk, Sayang kita ke klinik sekarang!" ajakku pada Yunita, aku juga tak ingin di pusingkan dengan urusan Tania yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kami."Ya udah Ayo!" Yunita pun mengamit lenganku dan bergelayut manja menuju ke luar rumah."Wah ini motornya, Sayang." Yunita menyentuh dan mengitari motor itu ketika kami sampai di teras rumah."Iya, bagus ya, Sayang. Pilihan kamu memang tak pernah salah." Aku memujinya, karena motor itu memang Dia yang memilih.Beberapa saat Yunita memperhatikan motor itu."Udah Yuk, Sayang. Nanti keburu malam, jadi makin ngantri di klinik." Aku mengingatkan, karena jika semakin malam juga khawatir kliniknya tutup. Malam ini juga malam Minggu, tentu di jalan juga
POV FirmanSetelah menyelesaikan semuanya. Aku pun pamit pulang. Karena sebentar lagi pasti pihak dealer akan mengantarkan motor yang aku beli siang tadi. "Pulang sekarang, Yuk Sayang.""Ayo!"Kami pun berjalan bersisian menuju ke mobil yang terparkir di parkiran Rumah makan."Kira-kira udah diantar belum ya Mas, motornya?" tanya Yunita"Kayaknya sih belum, Laras juga nggak ada telpon Mas. Kalo udah datang pasti Dia kaget dan bingung, kan pasti telpon Mas.""Iya juga Ya." Yunita terlihat begitu bersemangat, meski wajahnya masih terlihat pucat, tapi tidak menutupi rona bahagia yang terpancarkan."Sayang, kamu beneran nggak apa-apa. Wajah kamu pucat lho." "Nggak apa-apa, Mas. Cuma sedikit pusing sih. Nanti aku sampai rumah langsung istirahat aja. Mas nggak usah khawatir, ya!" Meskipun Yunita bicara dengan tenang dan seakan Ia benar-benar baik-baik saja. Tapi tetap saja aku mengkhawatirkannya. Tak biasanya Dia seperti ini.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota
Pov FirmanTak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Ibu dan adikku bisa akur dengan istriku. Itu adalah harapan yang selalu aku langitkan di setiap sujudku. Akhirnya Allah menjawab semuanya sekarang. Ibuku sudah kembali seperti dulu, wanita cinta pertamaku sudah kembali lembut dan hangat padaku.Meskipun beberapa tahun belakangan ini, Ibu lebih menunjukkan rasa tak sukanya pada Yunita, istriku. Tapi itu sama artinya juga untukku. Karena istriku adalah cerminan diriku. Jika ada yang mencela atau tidak menyukainya, itu sama saja mencelaku. Aku hanya mampu membesarkan hati Yunita, menghiburnya, dan meminta maaf padanya atas nama Ibu. Hanya itu yang bisa kulakukan, meski dalam hatiku juga merasakan sakit yang sama.Alhamdulillah setelah acara makan malam di restoran itu sikap Ibu banyak berubah. Entah apa yang melatarbelakangi perubahan sikap Ibu pada kami, terutama padaku dan Yunita. Ibu menjadi begitu baik dan tidak lagi memintaku menikahi Tania.Sungguh sebuah keajaiban yang beg
Pov Laras"Bu, Laras seneng deh, sekarang Ibu bisa akur sama Kak Yunita, ternyata Dia baik ya Bu." Aku mulai membuka percakapan malam ini. Aku merebahkan tubuhku di samping Ibu, sudah cukup lama juga aku tidak tidur dengan Ibu. Aroma wangi tubuhnya yang selalu menenangkan. Hangat dan nyaman yang selalu aku rasakan jika berada di dekatnya.Malam ini aku begitu senang bisa bersembunyi di dekat ketiaknya."Iya, Ibu yang salah. Ibu terlalu egois, hanya karena termakan omongan teman-teman Ibu, secara tak sadar Ibu telah menyiksa batin menantu Ibu. Ibu sangat merasa bersalah, Ras."Ibu menatap langit-langit kamar ini, berucap tanpa menoleh menatapku. Ibu sudah menyadari kesalahannya. Sejenak terdiam."Ibu lihat juga kamu banyak berubah, Ras. Nggak ada lagi Laras yang manja yang selalu memaksa untuk dipenuhi semua keinginannya. Sekarang Ibu lihat anak gadis Ibu ini jauh lebih dewasa, lebih sopan, dan ramah, terutama pada Kakak iparnya," sindir Ibu."Bukankah setiap orang itu memiliki hak untu
Pov LarasAku pun memilih tak menanggapinya lagi, dan melangkah cepat untuk pulang. Tania masih berdiri di tempatnya.Setelah tiba di ujung gang tempat kos Tania, aku menunggu sebentar ojek online yang tadi kupesan.Kemudian aku langsung pulang ke rumah karena siang tadi Kak Firman mengabarkan, jika Ibu sudah di ijinkan pulang hari ini, jadi sekarang ini kemungkinan Ibu sudah ada di rumah Kak Firman. Kami sepakat untuk sementara Ibu tinggal di rumah Kak Firman, sampai kondisi Ibu benar-benar membaik.Dengan tinggal di rumah Kak Firman, di saat aku ke kantor dan Kak Firman sibuk di rumah makannya, ada Kak Yunita yang dengan telaten merawat Ibu. Aku bersyukur di saat aku sudah mulai dekat dengan Kak Yunita, Ibu mulai menyadari kesalahannya. Semoga hubungan baik diantara kami ini bisa terus seperti ini. Aku yang paling merasa bersalah pada Kakak iparku itu. Aku yang terlambat menyadari semuanya. Kini aku sadar pilihan Kak Firman memang yang terbaik, wajar saja jika Dia begitu bucin deng
Pov Laras.Hari terus bergulir, hingga hari ini, aku mendapatkan pesan dari Ibu, kalau hari ini beliau meminta kami. Aku, Kak Firman dan juga Kak Yunita untuk makan malam disebuah restoran. Aku sedikit heran karena tak biasa Ibu mengajak kami makan di luar, Padahal biasanya, jika Aku atau Kak Firman mengajak Ibu makan keluar, Ibu sering menolak, beliau lebih suka makan di rumah, lebih leluasa katanya.Walaupun dalam hati ini meragu karena ternyata Ibu juga mengajak serta Tania, aku pun menyanggupinya untuk datang, sepulang dari kantor aku langsung menuju ke restoran yang sudah ditentukan Ibu. Dalam hati ini juga ada rasa was-was. Takut Ibu akan membahas rencananya yaitu menjodohkan Kak Firman dengan Tania.Jika benar itu yang akan Ibu katakan, aku akan langsung bersuara. Tidak setuju. Bahkan saat itu juga aku akan langsung bongkar tabiat asli Tania itu seperti apa. Agar Ibu tidak terus menerus harus menekan Kak Firman lagi.Aku berusaha untuk menyelesaikan pekerjaanku agar lebih cepat