Aku membuatkan secangkir kopi untuk Mas Firman, dan meletakkannya di meja ruang tengah, kemudian kembali naik ke atas.Aku membuka pintu kamar yang memang tak tertutup sempurna, Terlihat Mas Firman tengah menengadahkan tangan, usai melaksanakan salat Maghrib, terdengar doa yang ia lantunkan, meski lirih tapi masih terdengar jelas di telingaku, posisinya yang duduk membelakangi pintu membuatnya tak sadar jika aku sudah berada di kamar ini."Ya Allah, sungguh aku mencintai istri hamba, semua keadaan ini terjadi di luar kendaliku, hamba tahu tak sepantasnya mengabaikan Dia yang di sana. Sungguh aku belum mampu membagi hati dengan Dia, beri hamba kekuatan untuk menjalani semua ini, ya Allah." Suara Mas Firman terdengar bergetar, dengan napas berat.Mendengar doa yang diucapkan, membuatku sedikit bingung, siapa yang di maksud, 'Dia' Mas Firman menyebut Dia, membagi hati? Dia siapa?Aku masih berdiri berusaha mencerna setiap kata yang Mas Firman ucapkan dalam doanya.Beberapa detik berlalu
"Apaan sih Kak, aku baru juga pulang, Kakak udah marah-marah." Suara Laras terdengar tidak terima dengan apa yang di katakan Mas Firman, aku sendiri juga kurang tahu apa yang baru saja Mas Firman katakan.Mereka masih di depan rumah belum masuk ke dalam."Kamu itu perempuan, nggak pantes kamu begitu dekat dengan laki-laki, terlebih laki-laki itu bukan suami kamu, kamu harusnya malu, Laras!" ucap Mas Firman dengan nada meninggi.Laras melengos masuk ke dalam rumah, melewatiku begitu saja."Laras! Dengerin kalau Kakak lagi ngomong! Siapa laki-laki itu? Kenapa kalian sampe pulang bareng berboncengan dengan begitu dekat, bahkan dia berani cium pipi kamu, Mas nggak suka! Kamu itu perempuan, harus punya harga diri donk, Laras!" pekiknya lagi. "Kak, aku itu udah gede, nggak perlu Kakak nasehatin aku kaya gitu, dia itu fotografer di tempat kerja aku, Kak. Dia juga baik kok," sahut Laras enteng seraya menjatuhkan bobotnya di sofa."Kamu udah gede tapi makin susah di atur! Kakak cuma nggak mau
Memang begitu adanya, jika sudah menyangkut soal anak, aku memang sensitif, itu yang membuatku terkadang dihantui rasa khawatir yang tak beralasan dengan suamiku, khawatir ia sudah tak sabar kemudian memilih wanita lain sebagai alasan, untuk bisa melahirkan keturunan untuknya."Sssstt, tak perlu kamu dengarkan apa kata mereka, jika perlu tutup telinga kamu dari suara-suara sumbang yang hanya membuat kita sakit hati, sakit telinga, kamu percaya dan yakin kan? Kalau kita bisa?" Mas Firman bangkit kemudian duduk di sampingku.Aku terdiam."Kalau kita yakin bisa, Insya Allah kita pasti bisa Sayang. Percayalah, saat ini Allah masih ingin memberi waktu untuk kita berpacaran, nanti saat waktunya tepat, Allah pasti akan menitipkan amanah itu untuk kita," terangnya lagi, meyakinkanku, begitu selalu, Mas Firman tak pernah jemu untuk selalu meyakinkan aku, bahwa waktu itu pasti akan tiba.***"Sayang, Hari ini Mas akan ke rumah makan cabang, kamu mau ikut?" tanya Mas Firman pagi ini, saat kami s
Mas Firman berjalan membuka gerbang kemudian masuk ke dalam mobil, dan berlalu hingga tak terlihat lagi. Setelah aku menutup kembali pagar rumahku, aku pun melenggang masuk ke dalam rumah."Huh, Sok mesra!" ucap Tania sinis saat aku baru saja melewati pintu depan. Sedikit terkejut ternyata Tania berdiri di balik pintu.Udah kaya demit aja nih orang, tiba-tiba menghilang, tiba-tiba nongol, gumamku."Iya, donk, memang harus mesra biar tetap nempel kayak perangko. Jadi nggak ada celah buat calon-calon pelakor untuk mencari kesempatan," desisku, tajam menatap matanya.Wajah cantiknya tiba-tiba berubah, mendengar perkataanku. Jangan harap aku akan diam saja melihat gelagatnya, Tania."Ingat ya, Kak. Kamu belum bisa kasih Kak Firman keturunan, sampai kapanpun Kak Firman akan tetap menanti itu, jika kamu tak mampu memberikan itu, apa kamu yakin Kak Firman tak mungkin berpaling?"Ck! Wanita ini benar-benar ingin memancing emosiku. Tenang Yunita, sabar Yunita, jangan terpancing emosi."Kamu ta
POV FirmanSemenjak membawa Wina ke Jakarta Aku memang belum sempat menemuinya, aku meminta bantuan Dimas untuk menghandle semuanya. Walaupun terkadang Dia banyak komen, tapi Dimas tetap membantuku.Dimas membawa Wina ke apartemen milikku, apartemen yang memang aku beli untuk Yunita sebagai hadiah anniversary pernikahan kami yang ke empat nanti beberapa bulan lagi.Maafkan aku Yunita, Maaf Sayang, aku justru menyimpan wanita lain di apartemen yang memang kubeli untukmu.Maaf aku belum siap mengatakan semuanya padamu, aku takut kamu kecewa padaku, aku takut kamu justru meninggalkanku, aku belum siap dengan kemarahan kamu, aku takut kamu pergi dari hidupku.Berbagai ketakutan, karena aku sangat mencintainya, aku selalu ingin dekat dengannya, aku selalu ingin bersama-sama dengannya, aku belum siap jika mendengar ini, Yunita akan marah dan memilih pergi, sampai kapanpun aku tak akan rela.Biarlah sementara waktu begini, hingga tiba waktu yang tepat aku akan menceritakan padamu, Yunita. Ak
"Apa yang beliau bicarakan?" tanyaku, aku ingin mendengar langsung darinya.Wina hanya menghembuskan napas kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sebelum mulai bicara."Ibu, memaksaku untuk pulang." Wina menatap kosong. Terlihat gurat kesedihan di sana, ibu tirinya memang jahat, hanya mementingkan egonya sendiri saja."Lalu?""Ibu tetap mau menikahkanku dengan juragan Dadang." Kali ini kedua netranya mulai berkaca-kaca, hatinya pasti begitu sedih, laki-laki tua itu benar-benar tak punya hati, sudah punya dua istri masih saja mengincar gadis, untuk dijadikan istri ketiganya.Aku hanya menggelengkan kepalaku mendengar penuturan Wina, bagaimanapun secara agama dia istriku, aku berkewajiban melindunginya."Bukankah ibumu sudah tau jika kita sudah menikah, bagaimana bisa juragan Dadang menikahi wanita yang masih bersuami," sungutku.Kembali terdengar hembusan napas berat dari gadis yang ada di depanku, gadis yang sudah menjadi istri tapi nyatanya hati dan jiwa kami masih belum bis
Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum."Terdengar suara ketukan halus di pintu, seketika membuatku dan Wina saling pandang, siapa yang datang?Aku langkahkan kaki ke arah pintu dan membukanya."Dimas?" Aku sedikit terkejut yang datang adalah Dimas. Dia membawa satu kantong plastik besar, yang tampak berisi sayur dan buah."Hehe iya Bro! Sorry Gue ganggu ya? Gue bawain sayur dan buah buat Wina, seminggu lalu gue udah isiin kulkasnya, mungkin sekarang udah kosong karena udah seminggu." Aku menepuk jidatku sendiri, memang sejak membawa Wina kesini, aku meminta bantuan Dimas untuk membelikan bahan makanan, sampai aku sendiri lupa itu udah seminggu yang lalu, Dimas benar mungkin sekarang sudah habis."Nggak ganggu kok, ini juga gue udah mau pulang, masuk dulu Bro." Aku menepuk punggung sahabatku ini.Kami pun masuk dan duduk di sofa."Makasih ya, Bro. Gue sendiri sampai lupa soal itu." Aku hanya nyengir, menggaruk kepalaku yang tak gatal."Baik kan Gue, Lu yang punya Bini, Gue yang beliin kebutu
Tapi hari ini aku membelikan baju untuknya, beberapa tahun bersama tentu aku juga tahu seleranya pakaian seperti apa yang dia suka, Alhamdulillah ia suka dengan baju itu, terlihat dari binar matanya begitu senang, menambah aura kecantikannya terpancar dari wajahnya.Ah, sungguh cantik, dan menggemaskan kamu, Sayang.Aku pun pamit untuk segera mandi dan melaksanakan ibadah wajib tiga rakaat, dan Yunita pun turun ke bawah membuatkan aku kopi.Usai salat aku curahkan semua pada sang kuasa, sungguh keadaan ini membuatku bingung. Namun baru saja aku mengakhiri doaku, aku menoleh dan betapa terkejutnya aku melihat Yunita yang sudah berdiri di sana. Sejak kapan? Apa tadi dia mendengar doaku? Aku sedikit pucat dan salah tingkah beberapa detik, namun sesegera mungkin aku tenangkan diri menguasai keadaan.Aku berusaha mengalihkan perhatiannya dengan menanyakan mana kopi yang tadi ia buat untukku, dan aku menggandeng tangannya hendak keluar kamar. "Dia siapa yang kamu sebut dalam doa barusan,
Mengapa rasa sakit ini melebihi rasanya sakit hati ketika putus cinta? Aku seakan tengah berlayar di lautan tenang tiba-tiba di terjang badai ombak yang begitu dahsyat hingga kapal yang kukemudikan terombang-ambing.Aku melajukan mobilku menuju ke pemakaman dimana Bapak beristirahat dengan tenang, teringat saat aku masih anak-anak dulu, Aku pernah di ajak Bapak ke pemakaman, namun aku yang masih kecil pun tak bertanya itu makam siapa, dan Bapak juga tak bicara apapun soal makam itu. Aku yang sejak kecil tak pernah kekurangan kasih sayang dari orang tua pun tak sedikitpun aku mengira akan seperti ini kenyataannya.Terlihat sepele, aku ternyata bukanlah anak kandung Ibu, tapi Ibu menyayangiku seperti anak kandungnya, tapi tetap saja hati ini terkoyak, ada rasa sakit menelusup ke dalam sini. Air mataku luruh begitu saja, di sepanjang jalan aku mengemudi. Sakit. Aku mengetahui kenyataan ini di saat Bapak sudah tiada, andaikan saja mereka menceritakan ini jauh sebelum Bapak pergi, mungki
POV Firman"Ehm, Bu. Alhamdulillah tebakan Ibu benar!" ucapku sumringah pada Ibu yang sudah menatap kami penuh tanya."Alhamdulillah! Akhirnya. Ibu mau punya Cucu!" Ibu menghambur ke arah Yunita dan memeluknya erat."Selamat ya Yun, Ibu seneng banget dengernya akhirnya kamu bisa hamil dan kasih cucu untuk Ibu. Maafkan Ibu yang kemarin-kemarin begitu angkuh dan nyakitin kamu! Ibu minta maaf Nak!" ucap Ibu dengan suara parau, Punggungnya bergetar. Ibu menangis dalam pelukan istriku.Aku hanya menatap haru."Ini semua berkat Doa Ibu, Yunita yang harusnya bilang makasih sama Ibu, Ibu sudah bisa menerima Yunita yang banyak kekurangan ini." Lembut Yunita mengusap punggung Ibu."Nggak Sayang. Ibu yang banyak salah sama Yuni, Ibu minta maaf." Yunita mengangguk, seraya mengulum senyum."Sudah Bu. Kita lupakan semua yang sudah berlalu, kita buka lembaran baru menyambut anggota keluarga baru di rumah ini." Aku mengusap punggung Ibu."Iya, Man. Jaga baik-baik istrimu dan calon bayinya ya!""Iya,
POV FirmanDi sebuah ruangan dimana ada Laras berdiri di sana, bersama seorang temannya, dan Tania terbaring di ranjang rumah sakit, terlihat tengah menangis tersedu-sedu. Kenapa Dia?"Laras!" panggilku. Laras tengah berdiri di sisi ranjang, sepertinya sedang menenangkan Tania. Laras sepertinya tidak mendengar Aku memanggilnya.Belum juga Laras menoleh ke arahku, aku sudah dibuat terkejut oleh pertanyaan seorang perawat yang sudah berdiri di belakangku."Maaf Apa Bapak suaminya Ibu Tania?" Degh!"Oh bukan Sus. Saya mau jemput adik saya Laras," tegasku seraya mengibaskan tangan pada perawat itu.Seketika Laras menoleh ke arahku, mungkin karena mendengar namanya kusebut."Kak Firman!""Ayo pulang!" ajakku."Oh saya kira, suaminya pasien. Maaf ya Pak!""Iya gak apa-apa, Sus. Saya permisi!"Aku mendekati Laras dan menggandeng tangannya. Aku bahkan tak melirik sedikit pun ke arah Tania."Kak Firman!" panggil Tania lirih, namun masih jelas terdengar olehku."Ehm Tania, Gue pamit pulang dul
POV FirmanAku dan Yunita pun saling pandang, mendengar percakapan Laras di telepon, terdengar kata kalau Tania pingsan. Pingsan kenapa Dia, kenapa pula menghubunginya pada Laras, kenapa tidak langsung di bawa ke rumah sakit, berbagai pertanyaan muncul dalam benakku."Udah Yuk, Sayang kita ke klinik sekarang!" ajakku pada Yunita, aku juga tak ingin di pusingkan dengan urusan Tania yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kami."Ya udah Ayo!" Yunita pun mengamit lenganku dan bergelayut manja menuju ke luar rumah."Wah ini motornya, Sayang." Yunita menyentuh dan mengitari motor itu ketika kami sampai di teras rumah."Iya, bagus ya, Sayang. Pilihan kamu memang tak pernah salah." Aku memujinya, karena motor itu memang Dia yang memilih.Beberapa saat Yunita memperhatikan motor itu."Udah Yuk, Sayang. Nanti keburu malam, jadi makin ngantri di klinik." Aku mengingatkan, karena jika semakin malam juga khawatir kliniknya tutup. Malam ini juga malam Minggu, tentu di jalan juga
POV FirmanSetelah menyelesaikan semuanya. Aku pun pamit pulang. Karena sebentar lagi pasti pihak dealer akan mengantarkan motor yang aku beli siang tadi. "Pulang sekarang, Yuk Sayang.""Ayo!"Kami pun berjalan bersisian menuju ke mobil yang terparkir di parkiran Rumah makan."Kira-kira udah diantar belum ya Mas, motornya?" tanya Yunita"Kayaknya sih belum, Laras juga nggak ada telpon Mas. Kalo udah datang pasti Dia kaget dan bingung, kan pasti telpon Mas.""Iya juga Ya." Yunita terlihat begitu bersemangat, meski wajahnya masih terlihat pucat, tapi tidak menutupi rona bahagia yang terpancarkan."Sayang, kamu beneran nggak apa-apa. Wajah kamu pucat lho." "Nggak apa-apa, Mas. Cuma sedikit pusing sih. Nanti aku sampai rumah langsung istirahat aja. Mas nggak usah khawatir, ya!" Meskipun Yunita bicara dengan tenang dan seakan Ia benar-benar baik-baik saja. Tapi tetap saja aku mengkhawatirkannya. Tak biasanya Dia seperti ini.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota
Pov FirmanTak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Ibu dan adikku bisa akur dengan istriku. Itu adalah harapan yang selalu aku langitkan di setiap sujudku. Akhirnya Allah menjawab semuanya sekarang. Ibuku sudah kembali seperti dulu, wanita cinta pertamaku sudah kembali lembut dan hangat padaku.Meskipun beberapa tahun belakangan ini, Ibu lebih menunjukkan rasa tak sukanya pada Yunita, istriku. Tapi itu sama artinya juga untukku. Karena istriku adalah cerminan diriku. Jika ada yang mencela atau tidak menyukainya, itu sama saja mencelaku. Aku hanya mampu membesarkan hati Yunita, menghiburnya, dan meminta maaf padanya atas nama Ibu. Hanya itu yang bisa kulakukan, meski dalam hatiku juga merasakan sakit yang sama.Alhamdulillah setelah acara makan malam di restoran itu sikap Ibu banyak berubah. Entah apa yang melatarbelakangi perubahan sikap Ibu pada kami, terutama padaku dan Yunita. Ibu menjadi begitu baik dan tidak lagi memintaku menikahi Tania.Sungguh sebuah keajaiban yang beg
Pov Laras"Bu, Laras seneng deh, sekarang Ibu bisa akur sama Kak Yunita, ternyata Dia baik ya Bu." Aku mulai membuka percakapan malam ini. Aku merebahkan tubuhku di samping Ibu, sudah cukup lama juga aku tidak tidur dengan Ibu. Aroma wangi tubuhnya yang selalu menenangkan. Hangat dan nyaman yang selalu aku rasakan jika berada di dekatnya.Malam ini aku begitu senang bisa bersembunyi di dekat ketiaknya."Iya, Ibu yang salah. Ibu terlalu egois, hanya karena termakan omongan teman-teman Ibu, secara tak sadar Ibu telah menyiksa batin menantu Ibu. Ibu sangat merasa bersalah, Ras."Ibu menatap langit-langit kamar ini, berucap tanpa menoleh menatapku. Ibu sudah menyadari kesalahannya. Sejenak terdiam."Ibu lihat juga kamu banyak berubah, Ras. Nggak ada lagi Laras yang manja yang selalu memaksa untuk dipenuhi semua keinginannya. Sekarang Ibu lihat anak gadis Ibu ini jauh lebih dewasa, lebih sopan, dan ramah, terutama pada Kakak iparnya," sindir Ibu."Bukankah setiap orang itu memiliki hak untu
Pov LarasAku pun memilih tak menanggapinya lagi, dan melangkah cepat untuk pulang. Tania masih berdiri di tempatnya.Setelah tiba di ujung gang tempat kos Tania, aku menunggu sebentar ojek online yang tadi kupesan.Kemudian aku langsung pulang ke rumah karena siang tadi Kak Firman mengabarkan, jika Ibu sudah di ijinkan pulang hari ini, jadi sekarang ini kemungkinan Ibu sudah ada di rumah Kak Firman. Kami sepakat untuk sementara Ibu tinggal di rumah Kak Firman, sampai kondisi Ibu benar-benar membaik.Dengan tinggal di rumah Kak Firman, di saat aku ke kantor dan Kak Firman sibuk di rumah makannya, ada Kak Yunita yang dengan telaten merawat Ibu. Aku bersyukur di saat aku sudah mulai dekat dengan Kak Yunita, Ibu mulai menyadari kesalahannya. Semoga hubungan baik diantara kami ini bisa terus seperti ini. Aku yang paling merasa bersalah pada Kakak iparku itu. Aku yang terlambat menyadari semuanya. Kini aku sadar pilihan Kak Firman memang yang terbaik, wajar saja jika Dia begitu bucin deng
Pov Laras.Hari terus bergulir, hingga hari ini, aku mendapatkan pesan dari Ibu, kalau hari ini beliau meminta kami. Aku, Kak Firman dan juga Kak Yunita untuk makan malam disebuah restoran. Aku sedikit heran karena tak biasa Ibu mengajak kami makan di luar, Padahal biasanya, jika Aku atau Kak Firman mengajak Ibu makan keluar, Ibu sering menolak, beliau lebih suka makan di rumah, lebih leluasa katanya.Walaupun dalam hati ini meragu karena ternyata Ibu juga mengajak serta Tania, aku pun menyanggupinya untuk datang, sepulang dari kantor aku langsung menuju ke restoran yang sudah ditentukan Ibu. Dalam hati ini juga ada rasa was-was. Takut Ibu akan membahas rencananya yaitu menjodohkan Kak Firman dengan Tania.Jika benar itu yang akan Ibu katakan, aku akan langsung bersuara. Tidak setuju. Bahkan saat itu juga aku akan langsung bongkar tabiat asli Tania itu seperti apa. Agar Ibu tidak terus menerus harus menekan Kak Firman lagi.Aku berusaha untuk menyelesaikan pekerjaanku agar lebih cepat