Naomi mendesah berat, memandang makanannya yang sudah dia buat susah payah, namun ditinggal pergi begitu saja oleh Adrian. Bahkan baru dicicip sedikit.
"Aku mendadak tak selera makan." Begitu kata Adrian tadi sebelum beranjak meninggalkan meja makan.
Apa-apaan dia? Minta dimasakin makanan ala restoran mewah, giliran sudah dibuatkan malah nggak dimakan? Cicip dikit doang, itupun nggak bilang rasanya gimana. Argghhh!
Bi Inah yang berada di sekitar meja makan juga keheranan dengan sikap tuannya yang tidak biasa. Dia memandangi Naomi yang terlihat kesal dan bingung sekaligus.
"Nyonya temui Tuan saja, mungkin dia lagi capek atau banyak kerjaan di kantor, makanya tidak nafsu makan."
Dengan menghentakkan kakinya kuat ke lantai, Naomi menerima saran Bi Inah. Dia juga ingin tahu, kenapa Adrian begitu p
"Bos, ada yang harus anda lihat!" Tristan masuk ke ruangan Adrian setelah lebih dulu mengetuk pintu beberapa kali.Adrian yang sedang memeriksa berkas langsung menoleh. Tampak seperti ada sesuatu yang penting karena wajah Tristan sangat serius. Ah, bukannya wajah pria itu memang selalu serius?"Apa itu? Kau sudah ketemu orang yang mendadak jadi saksi saat kecelakaan itu?"Tristan menggeleng pelan kepalanya. "Kalau yang itu belum, Bos. Tapi, coba lihatlah ini."Adrian mengambil berkas di tangan Tristan dengan kening yang berkerut samar. "Berkas korban?"Tristan mengangguk dan Adrian pun langsung memeriksa berkas yang merupakan data identitas korban. Entah bagaimana cara Tristan menemukan data tersebut, tapi Adrian yakin asistennya itu tak pernah salah dalam pekerjaannya.&n
"Mama ngapain ke mari?" tanya Elang lagi, pada sang mama yang berdiri beberapa meter di depannya."Elang sayang, kamu udah pulang sekolah?" Air muka Regina berubah drastis begitu melihat putranya. Suaranya pun jadi melembut, layaknya seorang ibu yang senang putranya pulang dari sekolah karena ia sudah menyiapkan makan siang kesukaan.Kedua tangan Regina merentang siap menerima pelukan Elang, tapi putranya itu masih diam di tempat. Ragu menyelimutinya, apalagi Naomi ada di sana dan melihatnya. "Emangnya kamu nggak kangen sama mama? Mama kangen banget loh sama kamu. Kalau bisa mama pengen ketemu kamu setiap hari."Karena Elang tak kunjung bergerak mendekat, jadinya Regina yang menghampiri sang putra dan memeluknya erat. Bagaimanapun Regina di mata Adrian sebagai wanita selicik ular, dia tetaplah wanita dan seorang ibu bagi Elang. Dia juga memiliki rindu yang menggunung
Sebelum Adrian masuk ke kamar."Kamu ngapain sih harus nyamperin ke rumah segala? Sengaja mau buat Naomi curiga dan cemburu, iya?"Adrian mendengkus kasar mendapati ada Regina di dalam rumahnya. Padahal dia ingin cepat-cepat menemui Naomi, membenamkan kepalanya di ceruk leher sang wanita demi melepas penat dan masalah yang menumpuk di kepala, menghirup aroma stroberi dari lotion yang digunakan Naomi di tubuhnya.Sekarang, alih-alih menenangkan, kepalanya semakin mau pecah. Bagaimana bisa Regina datang saat ia tak ada di rumah? Sengaja banget, kan?"Kenapa? Kok kamu kayak takut banget aku ketemu Naomi? Takut ketahuan ya, kalau selera kamu sudah berubah drastis? Dari aku yang seorang model jadi kayak dia, wanita biasa? Iya?"Adrian yang mau mengayun langkah meninggalkan ruangan itu, terpak
Pagi keesokan harinya.Naomi telah bangun, menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang, memperhatikan sang suami yang sedang kelimpungan mencari perlengkapan ke kantor. Begini nih, kalau mereka sedang tidak akur. Helaan nafas panjang beberapa kali keluar dari mulutnya.Cukup lama membiarkan Adrian seperti orang bodoh, Naomi memaksakan diri bangkit dari ranjang dan menghampiri lemari. Dibukanya laci dan tanpa perlu dibolak-balik dasi itu sudah kelihatan oleh kedua matanya. Bagaimana bisa Mas Adrian tak menemukannya? Dia mencari pakai mata apa pakai dengkul? Naomi merutuk dalam hati.Adrian sendiri tampak memamerkan senyum tahu istrinya akhirnya turun tangan membantunya. Itu berarti Naomi sudah tak marah lagi padanya, bukan?Saat tangan Naomi terampil memasangkan dasi ke kerah lehernya, Adrian sengaja sedikit membungkukkan bada
"Kenapa bisa kamu belum juga hamil? Kalian berdua subur, kan?"Mungkin kalau orang lain yang bertanya, Naomi agak sedikit kesal, karena pertanyaan itu menyinggung perasaannya. Tapi, ini Desy, sahabat yang ikut bahagia ketika dia menikah, bahkan Desy berkeinginan untuk mengikuti jejaknya yang menikah diusia muda.Perasaan Naomi jadi tak menentu. Kenapa ya? Apa aku tidak subur? Atau Mas Adrian yang tidak subur? Bagaimana mungkin? Dia bahkan pernah punya anak dengan wanita itu.Teringat pula olehnya ucapan Adrian beberapa waktu lalu yang menginginkan anak banyak darinya. Bagaimana kalau aku mengecewakannya karena tidak bisa memberinya anak? Argghhh!"Apa kalian sudah menemui dokter?"Alis Naomi berkerut. Belum hamil kenapa ke dokter?Melihat reaksi N
"Urusan penting apa sih? Perasaan kita tuh nggak akrab-akrab banget, jadi mana mungkin kamu punya urusan penting sama aku." Naomi memasang muka jengkel. Pria ini memang harus diginikan, biar tak seenaknya datang ke rumah orang.Alasan sepupu? Hei, Mas Adrian bisa mengamuk besar walau sepupunya yang datang ke rumah menengok istri tercintanya.Namun, bukannya sadar diri, cengiran Leo bertambah lebar di wajahnya. Ingin saja Naomi menggetok kepala itu."Nih buat kamu!"Naomi mengamati dengan seksama bingkisan yang sedari tadi Leo sembunyikan di belakangnya. Wajahnya menaruh curiga."Apalagi ini? Aku nggak nerima barang pemberian dari orang lain selain suami aku ya." Tolaknya."Kamu lupa kalau ya kalau aku ini orang suruhannya Tante Nawang? Ini dari di
Jantung Naomi sepertinya mau rubuh saat itu juga, ketika mobil Adrian yang masuk dan berhenti di depan rumah.Astaga. Bagaimana ini? Apa yang akan aku jawab pada Mas Adrian? Naomi jadi gelagapan sendiri, memandang Leo dan Desy bergantian. Leo paham situasi ini, dia tampak gugup dan entahlah, mungkin merasa bersalah, tapi Desy? Gadis itu malah kesenangan karena suami tampan dari sahabatnya pulang. Dengan begitu, dia bisa menyaksikan dua pria tampan sekaligus.Sama sekali tak menemukan alasan, Naomi berlari ke luar menjemput kepulangan dengan senyum yang dipaksakan."Ma—mas. Kok pulangnya cepat?" Dengan gagap Naomi bertanya, padahal dia hanya berbasa-basi untuk mengulur waktu.Ya, waktu untuk dia menerima amukan dari suaminya itu. Ah, Naomi pantas menerimanya."Katanya Desy dat
Naomi semakin meracau saat ledakan kenikmatan itu semakin menuju puncaknya. Begitu pula Adrian yang berada di bawah merasakan miliknya berkedut dan siap menyemburkan lahar panas ke dalam rahim sang istri. Bunyi kecipak air dalam buth up menjadi saksi bisu betapa nikmat dan menggairah menyatuan keduanya."Eughhh... Mas. Ini nikmat sekali," desah Naomi keenakan tepat di telinga Adrian, membuat suaminya tertawa geli."Namanya juga surga dunia, sayang.""Aku lelah, Mas. Tapi, aku menginginkannya lagi," ujarnya malu-malu seraya menyembunyikan rona merah pipinya di balik rambut basahnya yang terurai.Adrian menyibak rambut itu dan tertawa melihat wajah istrinya yang bersemu merah. Menggemaskan sekali. Baiklah, jika itu yang Naomi inginkan, Adrian akan menurutinya. Memenuhi keinginan istri akan mendapatkan ganjaran pahala yang besar p