"Jawab aku, Regina! Sudah berapa lama kamu bermain serong di belakangku? HA?" Ingatan tentang kejadian waktu itu berputar di kepala Adrian tanpa diminta.
Hari itu, Minggu, harusnya mereka menghabiskan waktu bersama setelah sibuk bekerja setiap hari. Namun, Regina beralasan tidak bisa pergi karena ingin bertemu dengan teman lama. Adrian percaya, tapi apa yang ia dapat? Sebuah foto dari wartawan swasta yang menampilkan Regina dengan seorang pria sedang check in di hotel, siang hari bolong.
Setelah menutup mulut wartawan tersebut dengan segepok uang merah, Adrian menggerebek Regina bersama selingkuhannya di kamar hotel.
"Berapa lama itu nggak penting, Ad. Yang lebih penting itu alasannya kenapa. Kamu nggak nanya alasan aku berselingkuh dari kamu, setelah beberapa tahun yang kita lalui bersama?"
Regina tak bisa mengontrol nafasnya
Naomi mendesah berat, memandang makanannya yang sudah dia buat susah payah, namun ditinggal pergi begitu saja oleh Adrian. Bahkan baru dicicip sedikit."Aku mendadak tak selera makan." Begitu kata Adrian tadi sebelum beranjak meninggalkan meja makan.Apa-apaan dia? Minta dimasakin makanan ala restoran mewah, giliran sudah dibuatkan malah nggak dimakan? Cicip dikit doang, itupun nggak bilang rasanya gimana. Argghhh!Bi Inah yang berada di sekitar meja makan juga keheranan dengan sikap tuannya yang tidak biasa. Dia memandangi Naomi yang terlihat kesal dan bingung sekaligus."Nyonya temui Tuan saja, mungkin dia lagi capek atau banyak kerjaan di kantor, makanya tidak nafsu makan."Dengan menghentakkan kakinya kuat ke lantai, Naomi menerima saran Bi Inah. Dia juga ingin tahu, kenapa Adrian begitu p
"Bos, ada yang harus anda lihat!" Tristan masuk ke ruangan Adrian setelah lebih dulu mengetuk pintu beberapa kali.Adrian yang sedang memeriksa berkas langsung menoleh. Tampak seperti ada sesuatu yang penting karena wajah Tristan sangat serius. Ah, bukannya wajah pria itu memang selalu serius?"Apa itu? Kau sudah ketemu orang yang mendadak jadi saksi saat kecelakaan itu?"Tristan menggeleng pelan kepalanya. "Kalau yang itu belum, Bos. Tapi, coba lihatlah ini."Adrian mengambil berkas di tangan Tristan dengan kening yang berkerut samar. "Berkas korban?"Tristan mengangguk dan Adrian pun langsung memeriksa berkas yang merupakan data identitas korban. Entah bagaimana cara Tristan menemukan data tersebut, tapi Adrian yakin asistennya itu tak pernah salah dalam pekerjaannya.&n
"Mama ngapain ke mari?" tanya Elang lagi, pada sang mama yang berdiri beberapa meter di depannya."Elang sayang, kamu udah pulang sekolah?" Air muka Regina berubah drastis begitu melihat putranya. Suaranya pun jadi melembut, layaknya seorang ibu yang senang putranya pulang dari sekolah karena ia sudah menyiapkan makan siang kesukaan.Kedua tangan Regina merentang siap menerima pelukan Elang, tapi putranya itu masih diam di tempat. Ragu menyelimutinya, apalagi Naomi ada di sana dan melihatnya. "Emangnya kamu nggak kangen sama mama? Mama kangen banget loh sama kamu. Kalau bisa mama pengen ketemu kamu setiap hari."Karena Elang tak kunjung bergerak mendekat, jadinya Regina yang menghampiri sang putra dan memeluknya erat. Bagaimanapun Regina di mata Adrian sebagai wanita selicik ular, dia tetaplah wanita dan seorang ibu bagi Elang. Dia juga memiliki rindu yang menggunung
Sebelum Adrian masuk ke kamar."Kamu ngapain sih harus nyamperin ke rumah segala? Sengaja mau buat Naomi curiga dan cemburu, iya?"Adrian mendengkus kasar mendapati ada Regina di dalam rumahnya. Padahal dia ingin cepat-cepat menemui Naomi, membenamkan kepalanya di ceruk leher sang wanita demi melepas penat dan masalah yang menumpuk di kepala, menghirup aroma stroberi dari lotion yang digunakan Naomi di tubuhnya.Sekarang, alih-alih menenangkan, kepalanya semakin mau pecah. Bagaimana bisa Regina datang saat ia tak ada di rumah? Sengaja banget, kan?"Kenapa? Kok kamu kayak takut banget aku ketemu Naomi? Takut ketahuan ya, kalau selera kamu sudah berubah drastis? Dari aku yang seorang model jadi kayak dia, wanita biasa? Iya?"Adrian yang mau mengayun langkah meninggalkan ruangan itu, terpak
Pagi keesokan harinya.Naomi telah bangun, menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang, memperhatikan sang suami yang sedang kelimpungan mencari perlengkapan ke kantor. Begini nih, kalau mereka sedang tidak akur. Helaan nafas panjang beberapa kali keluar dari mulutnya.Cukup lama membiarkan Adrian seperti orang bodoh, Naomi memaksakan diri bangkit dari ranjang dan menghampiri lemari. Dibukanya laci dan tanpa perlu dibolak-balik dasi itu sudah kelihatan oleh kedua matanya. Bagaimana bisa Mas Adrian tak menemukannya? Dia mencari pakai mata apa pakai dengkul? Naomi merutuk dalam hati.Adrian sendiri tampak memamerkan senyum tahu istrinya akhirnya turun tangan membantunya. Itu berarti Naomi sudah tak marah lagi padanya, bukan?Saat tangan Naomi terampil memasangkan dasi ke kerah lehernya, Adrian sengaja sedikit membungkukkan bada
"Kenapa bisa kamu belum juga hamil? Kalian berdua subur, kan?"Mungkin kalau orang lain yang bertanya, Naomi agak sedikit kesal, karena pertanyaan itu menyinggung perasaannya. Tapi, ini Desy, sahabat yang ikut bahagia ketika dia menikah, bahkan Desy berkeinginan untuk mengikuti jejaknya yang menikah diusia muda.Perasaan Naomi jadi tak menentu. Kenapa ya? Apa aku tidak subur? Atau Mas Adrian yang tidak subur? Bagaimana mungkin? Dia bahkan pernah punya anak dengan wanita itu.Teringat pula olehnya ucapan Adrian beberapa waktu lalu yang menginginkan anak banyak darinya. Bagaimana kalau aku mengecewakannya karena tidak bisa memberinya anak? Argghhh!"Apa kalian sudah menemui dokter?"Alis Naomi berkerut. Belum hamil kenapa ke dokter?Melihat reaksi N
"Urusan penting apa sih? Perasaan kita tuh nggak akrab-akrab banget, jadi mana mungkin kamu punya urusan penting sama aku." Naomi memasang muka jengkel. Pria ini memang harus diginikan, biar tak seenaknya datang ke rumah orang.Alasan sepupu? Hei, Mas Adrian bisa mengamuk besar walau sepupunya yang datang ke rumah menengok istri tercintanya.Namun, bukannya sadar diri, cengiran Leo bertambah lebar di wajahnya. Ingin saja Naomi menggetok kepala itu."Nih buat kamu!"Naomi mengamati dengan seksama bingkisan yang sedari tadi Leo sembunyikan di belakangnya. Wajahnya menaruh curiga."Apalagi ini? Aku nggak nerima barang pemberian dari orang lain selain suami aku ya." Tolaknya."Kamu lupa kalau ya kalau aku ini orang suruhannya Tante Nawang? Ini dari di
Jantung Naomi sepertinya mau rubuh saat itu juga, ketika mobil Adrian yang masuk dan berhenti di depan rumah.Astaga. Bagaimana ini? Apa yang akan aku jawab pada Mas Adrian? Naomi jadi gelagapan sendiri, memandang Leo dan Desy bergantian. Leo paham situasi ini, dia tampak gugup dan entahlah, mungkin merasa bersalah, tapi Desy? Gadis itu malah kesenangan karena suami tampan dari sahabatnya pulang. Dengan begitu, dia bisa menyaksikan dua pria tampan sekaligus.Sama sekali tak menemukan alasan, Naomi berlari ke luar menjemput kepulangan dengan senyum yang dipaksakan."Ma—mas. Kok pulangnya cepat?" Dengan gagap Naomi bertanya, padahal dia hanya berbasa-basi untuk mengulur waktu.Ya, waktu untuk dia menerima amukan dari suaminya itu. Ah, Naomi pantas menerimanya."Katanya Desy dat
Hidup itu memang tak bisa ditebak ya. Naomi yang berencana bekerja membantu keluarga setelah kuliah, malah terpaksa menikah dengan pria duda anak satu. Banyak hal yang dilalui, mulai dari putra sambung yang tak merestui pernikahan papanya, sikap anak sambung yang jutek dengannya, lalu suami yang menikahinya bukan karena cinta. Banyak deh masalah yang datang. Padahal secara batin Naomi belum saatnya menghadapi itu semua, tapi takdir membuatnya melewatinya. Berapa banyak air mata yang keluar, sebaliknya banyak juga tawa yang hadir. Sekarang, ia sudah berbahagia dengan kehidupan yang dia punya. Lalu, Korea adalah tempat yang ingin Naomi kunjungi sebagai lokasi babymoon. Dan Adrian menyetujuinya, membawa keluarga besar sekaligus. "Mas, terima kasih ya. Kamu adalah hadiah terindah yang Tuhan kirimkan untukku.""Kamu juga, sayang. Kamu adalah jawaban atas segala keresahanku. Bersamamu aku merasa hidup itu lebih bermakna. Sejak ada kamu, duniaku yang semula buram, jadi lebih berwarna. Ter
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa 4 bulan telah terlewati. Adrian masih ke kantor walaupun tidak setiap hari, saat ada pertemuan penting saja, selebihnya dia mempercayakan pada Tristan. Seperti hari ini, dia tidak berangkat, tapi entah kenapa Naomi malah membangunkannya. Masih enak-enakan tidur juga. "Mas, kita jadi ke Korea, kan? Usia kandungan aku sekarang udah 7 bulan loh, udah waktunya babymoon. Sekalian ketemu sama Nam Joo Hyuk. Kamu udah janji loh." Adrian belum sepenuhnya sadar dan Naomi sudah menagih janji ke Korea. Tentu saja hal itu membuat Adrian gemas. Bisa tidak jangan menagih ke Korea dulu? Ada yang lebih penting sekarang. "Sayang, bisa tidak jangan minta bertemu dengan pria pucat itu, siapa namanya? Nam...""Nam Joo Hyuk!""Nah itu, aku tidak mau anak kita jadi seperti dia. Kulit terlalu putih, bibir merah bagai pakai lipstik, jenis kelamin pria tapi terlalu cantik," keluh Adrian sambil menahan sesuatu di bawah sana yang mulai membengkak."Kamu udah janji loh,
Adrian lagi-lagi menghela nafas berat. Ia sudah terlanjur mengaku, ia tak bisa mundur. Yang harus dilakukan hanyalah memberi penjelasan dan mengkambing hitamkan Tristan. Memang benar ini terjadi atas saran pria itu, kan? "Tris, jelaskan yang sebenarnya pada Naomi! Katakan kalau ini ide mu!" Perintah Adrian dengan wajah merah. Tristan memandang Adrian lalu Naomi bergantian. Apa sudah ketahuan? Secepat ini? Kok bisa? "Cepatlah Tristan, aku tidak tahan berlama-lama di rumah sakit ini. Aku tidak terlalu pandai berpura-pura, itu juga menyiksaku karena harus berbohong dengan istriku sendiri."Giliran Naomi yang memandang bergiliran Adrian lalu Tristan, keningnya berkerut, tak sabar mendengar penjelasan, walau ia sudah bisa menebak soal apa itu. "Jadi Nyonya sudah tahu? Maaf, ini semua memang ideku, tapi atas permintaan bos sendiri kok. Bos sudah seperti orang gila karena ditinggal istrinya, aku juga prihatin melihatnya. Dia mungkin salah karena berbohong, tapi itu untuk kepentingan kali
"Dokter, bagaimana kondisi suami saya sekarang?" Naomi sangat tidak sabaran. Belum sempat sang dokter pria paruh baya itu menjelaskan, dia sudah lebih dulu bertanya. "Mas-nya sudah membaik, sepertinya banyak yang mendoakan dan dikelilingi orang-orang yang mencintainya, makanya bisa cepat sembuh." "Apa saya perlu menginap di sini untuk semalam lagi, dok? Katanya sudah membaik?" tanya Adrian dengan kening bergerak-gerak seolah dia sedang berbicara bahasa isyarat dengan sang dokter. Apa kebetulan mereka saling mengenal? Pak dokter menanggapi dengan senyum, membuat Adrian yakin kalau ia pasti akan pulang hari ini. Tristan pasti berhasil melobi dokter ini untuk mempercepat kepulangannya. Yes, akhirnya! Adrian tersenyum penuh kemenangan. "Maaf Mas, tetap harus menginap semalam lagi, kami harus memastikan Mas-nya beneran pulih, baru boleh pulang ke rumah."What? Sialan! Tristan, apa saja yang telah kau lakukan? Wajah Adrian yang mengembangkan senyum beberapa menit tadi berubah drastis,
"Tuan... Nyonya... Astaga—" Cuaca malam yang mulai dingin membuat Bi Inah khawatir dengan kedua majikannya itu. Makanya beliau pergi ke luar untuk memanggil mereka kembali ke kamar. Tapi apa yang Bi Inah lihat? Wanita itu sontak memalingkan wajahnya ke samping. Begitu pula dengan Naomi dan Adrian, ketika saja mendengar suara Bi Inah, keduanya langsung menjauhkan bibir masing-masing. Ampun deh. Ketahuan. Malu-maluin. Kesekian kalinya, Naomi rasa pipinya memanas hari ini. "Ya udah yuk, kita masuk. Aku mulai kedinginan deh kayaknya." Naomi memeluk tubuhnya sendiri yang hanya dibaluti dress tipis.Adrian menurut dengan mengangguk, sekilas dapat dilihat wajahnya kecut, mungkin karena Bi Inah mengganggu kesenangannya. Padahal lagi enak-enaknya ciuman di bawah sinar rembulan, romantis gitu, tapi semuanya ambyar karena kedatangan pembantu rumah tangganya. Dengan sedikit perasaan bersalah, Bi Inah berjalan di belakang Naomi yang mendorong kursi roda. Dia lalu menyenggol siku Naomi, menatap
ARGGHHH! Naomi yang sudah selesai dari kamar kecil seketika melajukan langkah karena mendengar suara teriakan dari arah kamar inap suaminya. Suara teriakan itu mirip suara Mas Adrian. Kenapa Mas Adrian teriak-teriak ya? Apa terjadi sesuatu? "Mas, kamu kenapa?" tanya Naomi setelah saja kepalanya muncul di balik pintu. Ia begitu khawatir sesuatu yang buruk terjadi, mungkin suaminya kaget mendapati sekujur badannya dibaluti perban, dan berpikiran yang tidak-tidak tentang kondisinya. Aiuuuh. Namun, yang terjadi selanjutnya, kening Naomi juga berkerut-kerut sama seperti Bi Inah. Bagaimana bisa sekarang Mas Adrian duduk dengan nyaman tanpa bantuan dari Elang yang berdiri di dekatnya? Mas Adrian tidak terlihat seperti orang kesakitan atau paling tidak menahan sakit. Lalu, kenapa dia teriak ya? Bi Inah juga kelihatannya aneh. Seperti orang kebingungan dan lebih banyak diam. "Tris, kenapa barusan aku dengar Mas Adrian
Adrian bergegas ke rumah sakit, mengerahkan seluruh pikiran dan uangnya untuk melobi pihak terkait agar mau bekerjasama dengannya. Tentu saja untuk membuat Naomi percaya kalau dia memang sedang dirawat karena mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah semuanya siap, kini giliran Adrian yang menyiapkan dirinya untuk berakting, terbaring lemah di bangsal rumah sakit, dengan segala perban di kepala, tangan juga kaki. Lama ia menunggu, hingga akhirnya langkah kaki terdengar mendekati kamar. Buru-buru Adrian memejam matanya, mulai berakting. Ceklek. Pintu dibuka dari luar. "Tuan, astaghfirullah, apa yang telah terjadi?" Rupanya Bi Inah yang datang. Adrian sampai menghela nafas, sedikit kecewa karena bukan Naomi. Ke mana sih Naomi? Kenapa lama sekali datangnya?Bi Inah yang datang bersama Elang tampak kasak kusuk, mau melakukan sesuatu untuk meringankan beban tuannya, tapi tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Sementara Elang duduk tertunduk di samping sang papa."Den Elang, bagaimana ini?
Ah, uh, oh, euh, serta bermacam lagi suara erangan dan desahan kenikmatan yang keluar dari mulut keduanya. Tubuh bersimbah peluh menambahkan kesan seksi, padahal percintaan dilakukan di ruangan ber-AC. Bagaimana tidak? Hampir seminggu juga Adrian tidak mendapatkan jatah malamnya, sekalinya dapat, ia memiliki tenaga yang cukup banyak untuk menggagahi Naomi. Hanya saja, Adrian masih punya hati dan memikirkan anaknya yang berada dalam kandungan Naomi. Ia tak boleh menghentak terlalu kuat, dan terlalu dalam, khawatir mengganggu ketenangan bayinya. "Ahhh, Mas, aku nggak tahan lagi, aku mau keluar," desahnya dengan nafas yang kian tersengal. Seperti ada gunung berapi yang akan meledakkan lahar panas di dalam sana. "Aku juga, sayang. Ayo kita ke luar bersama." Detik berikutnya, tubuh polos keduanya mengejang, seolah berlomba-lomba menyemprotkan cairan cinta masing-masing. Cairan yang menghasilkan benih yang ada dalam perut Naomi saat ini. Beberapa saat, dengan posisi Adrian yang masih men
"Naomi, Mas Adrian, makasih ya makan siangnya, kenyang banget. Makasih udah nganterin sampai rumah. Makasih untuk buketnya juga." Desy berterima kasih atas apa yang dia dapat hari ini dari Naomi dan Adrian sebagai hadiah. Kalau tidak ada Naomi dan suaminya, pasti hari kelulusan Desy akan terlewati biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. "Iya Des, sama-sama. Kami senang kok kalau kamu senang."Seharusnya aku yang terima kasih sama kamu Des, gara-gara kamu minta aku datang, aku jadi bisa bertemu Naomi hari ini. Adrian hanya mengucapnya dalam hati seraya memandang lekat istrinya. Setelah ini apa ya? Naomi masih melambaikan tangan ke arah Desy ketika mobil yang dikendarai Adrian sudah jauh meninggalkan pekarangan rumah sahabatnya. Entahlah, rasanya agak canggung saja setelah tinggal berdua dengan Adrian. Tidak ada juga topik yang hendak dibicarakan. "Sayang, kamu mau ke mana lagi? Mumpung kamu ke luar, mungkin