Pagi yang hangat menyambut Nayra ketika ia membuka mata, terbangun di dalam dekapan hangat yang terasa nyaman. Untuk kali pertama Nayra merasa aman ketika terbangun di samping Damian. Pelukan dari belakang, jemari yang mengusap perutnya dengan lembut. Nayra tak pernah berpikir ia bisa merasa seaman ini dalam dekapan pria itu. "Sudah bangun?" tegur Damian, suaranya terdengar ramah di telinga Nayra. "Ada yang sakit?" Damian kembali menegur setelah tak ada jawaban. "Ada yang beda," gumam Nayra dalam hati, ia menyoroti sikap Damian yang terasa lebih hangat dari biasanya. "Kamu harus segera mandi." Nayra menoleh dan sedikit terkejut saat Damian tiba-tiba mencium pipinya. "Kenapa dia tiba-tiba jadi kayak orang bener?" ujar batin Nayra. "Ada masalah?" "Kamu masalahnya," ujar Nayra, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya hari itu. "Saya?" "Kenapa tiba-tiba jadi perhatian?" "Bukan, saya menanyakan anak saya." Nayra membuang muka dan hendak bangkit, tapi Damian mena
Nadine keluar dari kamarnya, tampak sudah siap untuk pergi. Kala itu Bu Muti menghampiri Nadine."Bu, saya tinggal dulu. Nanti mungkin saya pulangnya agak malam.""Iya, Nyonya. Tapi itu ada tamu nyariin Nyonya.""Siapa, Bu?"Bu Muti menggeleng. "Saya nggak pernah lihat, Nyonya. Udah tua, pakai kursi roda. Katanya kenal sama Nyonya.""Ya udah, saya lihat dulu tamunya."Nadine bergegas ke depan. Ia menemukan seorang pria tua di kursi roda yang memunggunginya."Siapa ya, Pak?" tegur Nadine ketika sampai di hadapan pria itu.Pria itu mengangkat pandangannya, tersenyum ramah dan membuat Nadine terkejut."Bagaimana kabar kamu, Nadine?""Pak Raymond?"•••••Nayra menahan lengan Damian yang hendak memasuki aula pesta. Ia sedikit canggung, lebih tepatnya malu karena ketahuan tengah membual."Yang tadi itu... itu cuma omong kosong.""Tentang apa?""Semuanya."
Nayra membuka pintu ruang VIP di salah satu klub malam yang ia datangi dalam keadaan mabuk berat. Tubuhnya tersentak ke dalam seolah-olah ada seseorang yang mendorongnya dari luar. Jatuh tersungkur di lantai, seseorang di luar menutup pintu.Nayra lantas berdiri, sedikit limbung karena memang sedang mabuk berat. Pandangannya yang mengabur menemukan seorang pria dengan setelan jas duduk menyilangkan kaki."Ini orangnya?" gumam Nayra dalam hati.Nayra berjalan sedikit sempoyongan mendekati tempat pria itu. Tapi ketika sudah dekat, tubuhnya ambruk ke sofa dan kepalanya jatuh di atas pangkuan pria dengan wajah datar yang terheran-heran itu."Saya tidak butuh jasa kamu," ujar pria itu, terdengar sangat dingin.Sempat memejamkan matanya karena pusing, Nayra perlahan bangkit. Berusaha untuk membuka matanya lebar-lebar. Tapi bahkan kesadarannya tak sampai lima puluh persen."Maaf, Mas... boleh pinjem bibirnya Mas sebentar?" ujar Nayra, terdengar seperti tengah meracau.Nayra tiba-tiba meraih
Satu bulan kemudian."Hai, Tante." Evelyn, sepupu Nayra datang berkunjung."Hai, Lyn. Mau ketemu Nayra?" Ibu Nayra balik menegur.Evelyn mengangguk. "Nayra masih belum bangun, Tante?""Belum keluar dari kamar, sejak kemarin dia males-malesan di kamar.""Ya udah, kalau gitu aku susulin ke kamar dulu."Evelyn kemudian bergegas ke kamar Nayra. Saat masuk, Evelyn menemukan Nayra yang masih bergumul dengan selimut."Ya ampun," gumam Evelyn tak percaya."Nay, Nayra. Ini udah jam berapa? Kok belum bangun? Nayra!" Evelyn beberapa kali memukul kaki Nayra."Lyn? Ngapain ke sini?" tegur Nayra dengan malas."Jangan bilang kamu lupa. Gaun buat nikahan kamu udah selesai, kita udah janji mau ke sana hari ini.""Kamu aja yang lihatin. Lagian ukurannya udah pas juga, kan.""Acaranya itu bentar lagi. Masa kamu yang nikah tapi aku yang cobain gaun kamu. Buruan, kamu bangun sekarang. Aku tungguin. Apa perlu aku mandiin sekalian?"Nayra mengangguk kepala dan bangkit. Tapi ia justru meraih bantal dan memel
"Gaun tadi buat kamu aja."Evelyn kaget. "Maksud, Mas Julian? Kan yang mau menikah sama Mas Julian itu Nayra. Kok gaunnya buat aku?""Nayra katanya nggak suka. Itu buat kamu aja, Nayra biar buat yang baru."Evelyn terperangah. Gaun itu adalah rancangan khusus yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tapi seorang Julian Wiratama membuang gaun berharga itu begitu saja hanya karena alasan yang menurut Evelyn cukup berlebihan meski pada nyatanya Nayra tidak mengatakan apapun tentang gaun itu. Itu hanya inisiatif Julian karena tidak ingin calon pengantinnya mengenakan gaun bekas orang lain.•••••Julian tiba di rumah Nayra. Ia menghampiri Nayra yang kala itu berada di ruang keluarga."Sayang, katanya kamu sakit?"Julian langsung duduk di samping Nayra. "Sekarang gimana keadaan kamu?""Aku nggak sakit kok, cuma agak kurang enak badan aja. Kerjaan kamu udah beres?"Julian mengangguk. "Soal yang di butik tadi, aku ngasih gaun itu ke Evelyn."Nayra yang mendengarnya kaget. Tentu saja ia tak
"Damian?"Semua orang serempak memandang pria yang baru saja tiba, tapi Nayra langsung memandang Julian dengan tatapan kaget."Damian?" gumam Nayra dalam hati. "Julian kenal orang ini?"Ayah dan ibu Julian pun langsung berdiri dengan tatapan kaget."Damian?" tegur Suganda. "Kamu ada di sini?"Laki-laki pincang bernama Damian itu berjalan mendekat dengan senyum tipisnya."Saya dengar keluarga Wiratama mengadakan makan malam di sini, saya hanya datang untuk menyapa. Bagaimana kabar, Papa?"Nayra dan keluarganya tampak kaget, Evelyn dan ibu Nayra pun ikut berdiri."Papa?" gumam Nayra tak percaya, ia kemudian bertemu pandang dengan Damian.Suganda terlihat bingung ketika melihat putra sulungnya tiba-tiba muncul di sana setelah bertahun-tahun tak ada kabar karena sejak kecil Damian tinggal di Australia bersama kakek dari pihak ibu dan sejak itu Suganda tak menerima kabar apapun dari putra sulungnya."Mas Suganda, Julian masih punya saudara?" tegur ibu Nayra."Benar, ini putra sulung saya,
"Lyn, kamu antar mama pulang ya," ujar Nayra setelah keluarga Julian pergi."Memangnya kamu mau ke mana?""Aku ada janji sama orang."Sebelah alis Evelyn terangkat. "Siapa?""Ada, kamu nggak kenal. Titip mama ya."Evelyn mengangguk meski ia cukup penasaran. "Ya udah, kamu hati-hati. Aku sama tante balik duluan."Setelah Evelyn dan ibunya pergi, Nayra menghela napas berat. Ia berbalik, kembali ke dalam hotel. Dari mobil yang belum jauh, Evelyn melihat Nayra memasuki hotel melalui spion mobilnya."Ngapain dia balik ke hotel?" tanya Evelyn dalam hati.Nayra sampai di lantai 21, ia berjalan di lorong depan kamar sembari mencari kamar yang ia tuju. Kamar 2079, Nayra menemukan kamar yang ia cari. Sedikit ragu, Nayra kemudian membuka kunci kamar menggunakan kartu yang sebelumnya diberikan oleh Damian.Kunci terbuka, Nayra mendorong pintu dan berjalan masuk. Kala itu Damian duduk menyilangkan kaki di tepi ranjang dengan tangan yang memegang gelas kaca berisi air berwarna gelap. Laki-laki itu
Damian menghampiri Nayra dan langsung menarik tangan wanita itu."Sekali lagi, kamu yang datang ke tempat saya.""Saya calon adik ipar kamu.""Silakan kamu menikah dengan Julian, itu bukan urusan saya."Ingin rasanya Nayra melakukan sesuatu pada wajah Damian yang arogan itu. Tapi kini tangannya justru gemetar karena ketakutan."Apa mau kamu sebenarnya? Kita tidak pernah saling kenal sebelumnya.""Saya? Saya hanya ingin mengambil milik saya.""Saya bukan milik kamu!" tandas Nayra."Tapi tubuh kamu milik saya.""Psikopat gila!"Nayra menepis kasar tangan Damian. Tangan Damian kemudian merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang di hadapan Nayra. Nayra tak peduli, ia membuka pintu dengan kasar."Julian..."Pergerakan Nayra terhenti, ia menoleh ke tempat Damian."Ini saya..."Damian tersenyum tipis seolah tengah ingin mengejek Nayra. "Saya hanya ingin bilang—"Ucapan Damian terhenti ketika Nayra kembali menutup pintu dan mendekatinya. Damian kemudian mencondongkan
Nadine keluar dari kamarnya, tampak sudah siap untuk pergi. Kala itu Bu Muti menghampiri Nadine."Bu, saya tinggal dulu. Nanti mungkin saya pulangnya agak malam.""Iya, Nyonya. Tapi itu ada tamu nyariin Nyonya.""Siapa, Bu?"Bu Muti menggeleng. "Saya nggak pernah lihat, Nyonya. Udah tua, pakai kursi roda. Katanya kenal sama Nyonya.""Ya udah, saya lihat dulu tamunya."Nadine bergegas ke depan. Ia menemukan seorang pria tua di kursi roda yang memunggunginya."Siapa ya, Pak?" tegur Nadine ketika sampai di hadapan pria itu.Pria itu mengangkat pandangannya, tersenyum ramah dan membuat Nadine terkejut."Bagaimana kabar kamu, Nadine?""Pak Raymond?"•••••Nayra menahan lengan Damian yang hendak memasuki aula pesta. Ia sedikit canggung, lebih tepatnya malu karena ketahuan tengah membual."Yang tadi itu... itu cuma omong kosong.""Tentang apa?""Semuanya."
Pagi yang hangat menyambut Nayra ketika ia membuka mata, terbangun di dalam dekapan hangat yang terasa nyaman. Untuk kali pertama Nayra merasa aman ketika terbangun di samping Damian. Pelukan dari belakang, jemari yang mengusap perutnya dengan lembut. Nayra tak pernah berpikir ia bisa merasa seaman ini dalam dekapan pria itu. "Sudah bangun?" tegur Damian, suaranya terdengar ramah di telinga Nayra. "Ada yang sakit?" Damian kembali menegur setelah tak ada jawaban. "Ada yang beda," gumam Nayra dalam hati, ia menyoroti sikap Damian yang terasa lebih hangat dari biasanya. "Kamu harus segera mandi." Nayra menoleh dan sedikit terkejut saat Damian tiba-tiba mencium pipinya. "Kenapa dia tiba-tiba jadi kayak orang bener?" ujar batin Nayra. "Ada masalah?" "Kamu masalahnya," ujar Nayra, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya hari itu. "Saya?" "Kenapa tiba-tiba jadi perhatian?" "Bukan, saya menanyakan anak saya." Nayra membuang muka dan hendak bangkit, tapi Damian mena
Nayra kembali ke rumah orang tuanya. Tapi pada saat itu Nadine tidak berada di rumah. Nayra pun enggan untuk masuk dan memilih duduk di kursi taman bersama Bu Muti si ART di rumah itu. "Non Nayra gimana kabarnya?" "Baik, Bu. Mama gimana, Bu?" "Sibuk banget nyonya, Non. Jarang pulang. Pulang sebentar terus pergi lagi. Maaf ya, Non kalau saya lancang. Sebenarnya Non Nayra sama nyonya itu berantem karena apa sih, Non? Kok nyonya sampai ngusir Non Nayra? Apa karena nikahan Non Nayra yang dibatalin itu ya?" Nayra mengangguk. "Yang sabar aja ya, Non. Sebenarnya nyonya itu nggak serius ngusir Non Nayra. Saya sering lihat nyonya masuk ke kamar Non Nayra. Kayaknya nyonya kangen sama Non Nayra." Nayra tak berkomentar, tak ingin mengumbar masalah pribadinya yang sebenarnya sudah menjadi konsumsi publik. "Sebenarnya aku datang ke sini itu mau ketemu sama Bu Muti?" "Saya, Non?" Nayra mengangguk. "Ada yang mau aku tanyain, Bu." "Soal apa, Non?" "Waktu itu... apa ada orang yang
Hari berganti, bulan madu singkat mereka berakhir tanpa ada momen romantis. Nayra berpikir ia akan kembali ke mansion, tapi Damian sungguh di luar dugaan. Mereka justru langsung pergi ke bandara dan sekali lagi tanpa berpamitan."Saya belum berpamitan dengan Grandpa." Nayra terpaksa berbicara karena merasa tak enak hati jika harus pergi begitu saja."Kita akan bertemu lagi di Jakarta."Nayra menatap bingung. "Grandpa?""Saya terlalu sibuk untuk menjadi pengantin baru. Pernikahan ini hanya formalitas."Nayra memberikan tatapan sinis, ia bahkan tidak meminta untuk dinikahi. Hari itu mereka kembali ke Jakarta. Tapi Nayra justru merasa semakin hampa setelah pernikahan. Tak ada orang yang bisa menjadi sandarannya saat ini, bahkan ibunya sendiri tak mau menerimanya. Hidupnya benar-benar terpuruk karena skandal perselingkuhan ini.Perjalanan dari bandara membutuhkan waktu yang cukup panjang karena jalanan yang sangat padat. Menepi dari keramaian, mobil yang mereka tumpangi memasuki kawasan p
Dua minggu kemudian.Pernikahan Damian dan Nayra digelar hari itu, berikut juga dengan resepsi besar-besaran. Nayra tak menyangka, tanpa negosiasi ia akan akan melangsung resepsi yang diimpikan sebagian kecil perempuan.Bahkan secara khusus Damian menyediakan jet pribadi untuk menjemput keluarga Wiratama berserta keluarga Evelyn karena Evelyn dan Julian sudah resmi menikah. Pernikahan keduanya benar-benar tertutup dan diadakan tanpa resepsi.Tak cukup dengan jet pribadi, Damian juga menyediakan kendaraan dan juga hotel untuk tamu-tamunya yang pada akhirnya membuat Evelyn dan ibunya bertanya-tanya, seberapa kaya keluarga Damian di sana.Menjelang sore hari keluarga Wiratama diantarkan ke lokasi acara resepsi berlangsung. Tapi kebingungan terjadi karena alih-alih ke gedung, mereka justru diantar ke pelabuhan."Mas, ini bukannya pelabuhan?" tegur Evelyn, menggandeng lengan Julian. Menunjukkan keromantisan pengantin baru."Pa, nggak salah tempat, kan?" Julian menegur ayahnya."Kita dianta
"Dia Hamil."Semua orang terperangah dengan ucapan Damian. Bahkan Maria sampai menggunakan tangannya untuk menutup mulutnya. Suasana mendadak tegang, membuat Nayra berpikir bahwa mungkin saja sebentar lagi ia akan diusir."Orang gila!" cibir Nayra dalam hati."Hamil?" tegur Raymond."Yang Grandpa inginkan," sahut Damian.Raymond tersenyum tak percaya dan lebih tak bisa dipercaya lagi ketika pria tua itu tiba-tiba tertawa dan langsung mengusir suasana tegang yang sempat ada."Maria, kamu dengar itu?"Maria menyahut sembari tersenyum kecil, "iya, Tuan Besar. Akhirnya kita akan punya Tuan Muda kecil."Nayra tertegun, reaksi macam apa ini. Yang ada dalam bayangan Nayra tidak seperti ini. Mana bagian tersulit dalam drama hamil di luar nikah yang kerap ia saksikan? Tidak ada, semua orang justru terlihat bahagia."Kerja bagus, kamu langsung mengabulkan keinginan Grandpa. Akhirnya keluarga ini tetap memiliki penerus," ujar Raymond yang kemudian memandang hangat Nayra."Siapa nama kamu, Nak?"
Nayra hanya bisa terperangah ketika kini ia sudah menginjakkan kaki di Australia. Tanpa persiapan dan tanpa membawa barang apapun, keduanya kini sudah berpindah ke negeri orang. Lebih tepatnya wilayah kekuasaan Damian karena sepertinya hanya Nayra lah orang baru di sana.Sebuah mobil berhenti di depan mereka. Seorang pria dengan setelan formal keluar, sekilas menundukkan kepala lalu membukakan pintu mobil. Tanpa berbicara apapun Damian masuk ke mobil dan Nayra pun juga langsung bergegas, tak ingin ditinggalkan di negeri orang tanpa modal apapun.Selama perjalanan tak ada satu pun yang berbicara. Nayra lebih memilih untuk menyimak jalanan dibandingkan dengan penasaran ke mana mereka akan pergi. Dan setelah perjalanan yang panjang, mobil yang ditumpangi keduanya memasuki sebuah pagar yang cukup tinggi.Nayra sedikit terperangah menemukan halaman rumput hijau yang sangat luas dan jauh di depan sana sebuah mansion berdiri dengan kokoh."Ini rumahnya orang ini di sini?" batin Nayra.Karena
Julian dan Evelyn meninggalkan restoran, tapi pada saat itu mereka melihat Nayra berdiri di luar mobil. Evelyn kemudiam berinisiatif mendatangi Nayra karena berpikir jika Nayra tengah menunggunya."Sebentar, Mas."Evelyn datang dengan senyum tanpa dosa."Apa maksud kamu, Lyn?" tegur Nayra ketika Evelyn berdiri di depannya.Evelyn mengendikkan bahunya. "Aku nggak ngerti maksud kamu.""Kamu dan Julian, sejak kapan?"Evelyn tersenyum simpul. "Kamu nggak berpikir kalau Mas Julian selingkuh sama aku, kan? Kamu jangan melimpahkan kesalahan ke Mas Julian. Di sini yang selingkuh itu kamu. Aku dan Mas Julian baru mulai setelah kamu pergi.""Itu semakin nggak masuk akal, semudah itu?" Nayra tak terima, tapi ia tetap berbicara dengan lembut."Ya kamu coba pikirkan sendiri gimana sakitnya Mas Julian waktu kamu permalukan seperti itu. Kalau kamu ada di posisinya Mas Julian—""Ini rencana kamu dari awal?" celetuk Nayra, menghentikan ucapan Evelyn.Evelyn tersenyum tak percaya. "Sekarang kamu mau ca
Damian memasuki kamar hotel dengan membawa sebuah paper bag. Berjalan mendekati Nayra yang berbaring dalam posisi di miring di ranjang, Damian menaruh paper bag tersebut di tepi ranjang."Kamu pakai ini sekarang, kita pergi setelah kamu siap."Tak mengatakan apapun, Nayra bangkit. Menyambar paper bag tersebut dan pergi ke kamar mandi. Di sana Nayra memeriksa baju yang dibawakan oleh Damian saat ini. Sebuah dress yang terlihat sedikit formal seolah-olah Damian ingin mengajaknya ke acara resmi."Dia mau ngajak aku ke mana sekarang?" gumam Nayra bertanya-tanya.Nayra bergegas mengganti pakaiannya. Memahami situasi, setelah keluar dari kamar mandi Nayra langsung duduk di depan meja rias untuk memperbaiki penampilannya. Agar terlihat lebih elegan, Nayra sengaja menggulung rambut panjangnya. Dan selama proses itu Damian yang duduk bersandar di sofa memperhatikan setiap gerak-gerik Nayra bahkan hal kecil sekalipun.Setelah selesai, Nayra mengambil flat shoes yang cocok dengan pakaiannya. Sel