Nicko langsung pulang setelah berpamitan. Dia menolak ketika Nada menawarkan akan mengantarnya ke depan. “Nek, maksud Nenek apa tadi?” tanya Nada, sebelum neneknya itu pergi menuju kamar. Eva mengerutkan keningnya, “Maksud? Maksud apa?” Helaan napas kasar terdengar dari mulut Nada, “Maksud ucapan Nenek yang tentang menikah.” “Oh itu, Nenek hanya asal ucap saja, bercanda,” terang Eva, “tapi memang Nenek memiliki harapan kamu menikah dengan Nicko. Dia pria yang baik dan terlihat sangat menyayangimu.” “Ma, sudah jangan membahas itu!” Adrian langsung memotong. Mendengar ibunya terus mengungkit masalah pernikahan Nada dan Nicko membuat dirinya merasa mual. Di satu sisi, ada kecemburuan yang dirasakan Adrian. Bukan hanya merasa cemburu karena Nada bersama Nicko. Tapi merasa cemburu, karena Eva seolah memberikan restu dengan terang-terangan pada keponakannya. Sedangkan pada hubungan Adrian dan Sindy, ibu angkatnya itu bersikeras untuk tidak memberikan izin. “Aku pun tidak setuju jika
Ucapan yang baru saja keluar dari mulut Arman, membuat Nada merasa sedikit limbung. Namun, Nada mencoba untuk tetap tenang, dan tersenyum kaku.“Masa, sih, Pak? Rasanya tidak mungkin,” tampik Nada, “Om Adrian tidak terlalu suka makanan ini. Dia tidak terlalu suka dengan tekstur makanan yang seperti ini,” terangnya.Arman mengangguk. Sebagai seorang head chef dan sudah lama bekerja di tempat ini, tentu dirinya tahu selera dari setiap pimpinan perusahaan ini.“Saya serius, Nada. Setiap minggunya Pak Adrian selalu memesan kroket Belanda ini. Bahkan dia jarang memesan menu favoritnya,” imbuh Arman.Nada bingung harus menanggapi Arman seperti apa sekarang.“Ya bagaimana tidak rindu. Saat kamu masih di sini, setiap minggu—tepatnya hari Jumat, kamu selalu mampir ke sini bersama dengan Pak Adrian. Dan, beliau pun selalu datang di hari Jumat. Beliau memang terlihat sangat merindukan kebersamaan denganmu, selama enam tahun kamu tidak ada, Nada.” Arman menjelaskan serinci mungkin.Hal itu sukses
“Maaf kenapa Bapak bisa tahu?” tanya Nada dengan polosnya. Darell hanya tertawa kecil, “Nama belakangmu, Ibu Nada. Selain itu jangan ragukan kehebatan tim HR kami,” terangnya. Nada langsung melirik ke arah Nicko dan dibalas oleh sebuah senyuman manis dari laki-laki itu. Nada sekarang merasa tidak enak hati, ada perasaan khawatir yang ia rasakan sekarang. “Maaf, Pak, tapi jika memang keberadaan saya atas rekomendasi Bapak Nicko, mungkin saya tidak bisa melanjutkan interview ini. Mungkin Bapak tidak tahu kalau saya adalah teman dekat Pak Nicko. Saya tidak mau ada senti—” “Saya tahu, Nada. Ah, apakah boleh saya memanggilmu hanya dengan nama saja? Walau kamu ibu anak satu, tapi umurmu masih sangat muda,” sela Darell. Nada langsung membulatkan matanya. “Memang keberadaanmu atas rekomendasi dari Nicko. Itu pun terjadi secara kebetulan, karena kamu sendiri menulis keterangan open to work, di profil akun laman pencarian kerjamu. Dan, secara kompetensi kamu memang cocok dengan yang kami
Nada sedikit tersentak dengan ucapan Adrian. Pasalnya intonasi bicara pria itu penuh dengan penekanan dan juga sediki menuntut.“Om, bisakah volume suaranya sedikit dikecilkan? Telingaku rasanya sakit sekali,” sarkas Nada.Terdengar desahan dari ujung sana, “Cepat ke kantor! Aku harus bertemu denganmu dan meminta penjelasan darimu, Nada.” Adrian seolah tak mengindahkan ucapan Nada. Dia masih berbicara dengan intonasi yang menekan.“Tidak bisa. Kalau mau bicara di rumah saja. Om bisa pulang ke rumah,” tolak Nada dengan cepat.Bertemu dengan Adrian di kantornya? Ah, tentu itu akan menjadi mimpi buruk bagi Nada. Bisa-bisa ia bisa mengingat secara keseluruhan, tragedi yang terjadi di malam sial itu.“Aku tidak bisa ke rumah, Nada. Aku banyak pekerjaan. Jadi, mau tidak mau kamu yang harus datang ke sini. Lagi pula ini juga perusahaanmu sendiri. Kenapa kamu selalu tidak mau datang ke kantormu, hah?” sewot Adrian, kini nada bicara pria itu tidak terdengar santai.Nada berdecak kesal, dia tid
Adrian melirik ke arah ponselnya yang berdering. Kemudian dia langsung menekan sebuah tombol di sisi kiri ponsel. Seketika ponselnya itu memasuki mode getar, lalu Adrian membalikkan benda pintar itu. “Kenapa tidak diangkat?” tanya Nada yang langsung menatap Adrian. “Aku bisa menghubunginya kembali. Sekarang aku sedang ada urusan denganmu,” jawab Adrian dengan tegas. “Angkat saja, nanti dia pasti marah kalau Om mengabaikannya,” kata Nada, seraya dia meraih tas yang dia simpan di sampingnya, “lagi pula urusan kita sudah selesai. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.” Nada bangkit dari duduknya, menggantungkan tasnya pada pundak. “Kembali duduk, Nada!” perintah Adrian. Namun, perintah itu direspon dengan sebuah gelengan kepala oleh Nada, “Aku harus segera pulang. Anakku menunggu di rumah,” tandas Nada yang kemudian berlalu meninggalkan Adrian. “Nada!” seru Adrian, tapi seketika pria itu menundukan pandangannya. Ketika perhatian semua orang di tempat itu tertuju padanya. Percuma
Adrian baru saja tiba di kediaman sang ibunda. Kemudian dia melihat Deven yang sedang sarapan bersama dengan Eva. Mata Adrian mencoba memindai ke sekeliling, tapi dia tidak menemukan orang yang dia cari. “Nada ke mana, Ma?” tanya Adrian pada ibunya. Mendengar suara Adrian, Eva langsung mengangkat pandangannya, “Oh Adrian, kamu sudah datang,” sambut Eva, “Nada sedang ada dinas di luar kota,” terang sang ibu. Karena hari ini adalah jadwal Eva untuk cek up, Adrian selalu datang di pagi hari untuk menemani sang ibu ke rumah sakit. “Terus Deven nanti sekolah dengan siapa?” tanya Adrian lagi sambil melirik ke arah Deven. “Sama Mbak Ratna. Hari ini juga Mbak Ratna yang akan mengambil raport perdana Deven. Kalau sempat, katanya Nada menyusul ke sekolah,” papar Eva seraya melahap suapan terakhirnya. Mata Adrian menatap Deven, yang tersenyum padanya. Kemudian anak laki-laki itu kembali fokus pada menu sarapannya. “Ma, apa Mama bisa pergi ke rumah sakit dengan supir dan di temani oleh Mbak
Adrian berjalan, melangkah mendekati Nada. Wajah wanita itu terlihat kesal dan menatap sinis Adrian.“Kamu yang keterlaluan, Om! Deven itu anakku, jangan seenaknya melakukan sesuatu tanpa izin dariku!” sentak Nada, pipinya merah karena amarah.Adrian melirik ke arah Deven, yang tengah menunduk. Melihat sikap Deven yang seolah merasa bersalah, membuat hati Adrian terusik.“Dev, kamu segera masuk ke kamar!” perintah Adrian dengan lembut.Anak itu pun mengangguk, mematuhi perintah dari Adrian. Dia pun berpamitan pada sang ibu yang masih nampak kesal.“Kalau kamu mau marah, marah lah padaku. Jangan pada Deven,” kata Adrian setelah memastikan Deven memasuki kamarnya.Kedua bola mata Nada berputar, lalu dia mendengus kasar.“Sejak kapan Om jadi peduli seperti itu pada anakku?” tanya Nada sinis.“Mulai hari ini. Aku akan lebih memperhatikan anakmu, karena bagaimana pun dia termasuk dalam keluarga Hartanto,” terang Adrian.“Terima kasih banyak. Tapi aku tidak butuh perhatian Om.”“Kamu?” Adri
Nada baru saja memesan makanan untuk makan siang atasannya. Darell tadi mengiriminya pesan bahwa dia sedang ingin makan masakan padang. Setelah kurang lebih dua puluh menit menunggu pesanannya pun datang. Nada segera membawa makanan tersebut ke dalam ruangan atasannya. “Kamu tidak sekalian pesan?” tanya Darell. “Tidak, Pak. Saya niatnya ingin makan di kantin bawah,” jawab Nada. Darell mengangguk, lalu mempersilakan Nada untuk kembali dan segera istirahat makan siang. Baru juga Nada sampai di kursi kerjanya, telepon kantornya langsung berdering. Dengan cepat Nada mengangkat panggilan tersebut. “Halo, dengan Nada di sini. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Nada. “Mbak Nada ini saya dari bagian resepsionis. Ada tamu yang ingin bertemu dengan Mbak. Dia sekarang menunggu di lobby bawah,” jawab seorang wanita di seberang sana. Alis Nada mengkerut, “Siapa, Mbak? Boleh tolong tanyakan dulu?” Seingatnya, Nada tak memiliki janji dengan siapa pun. “Namanya Pak Adrian Pradipta, katanya dia
Sebelum masuk ke dalam ruang persalinan, Adrian diharuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah itu dia segera masuk dan mendapati istrinya sedang merintih kesakitan.“Sayang!” seru Adrian segera menghampiri sang istri.Peluh sudah membasahi wajah Nada. Bahkan rambutnya pun terlihat basah oleh keringat yang sudah membanjiri tubuhnya. Adrian langsung menggenggam tangan Nada, yang sebelumnya ditemani oleh seorang perwat.Matanya menatap Nada yang nampak sedang berjuang menahan rasa sakit. Hatinya merasa tak tega, melihat istrinya begitu berjuang dengan susah payah untuk melahirkan nyawa baru yang akan menjadi warna tersendiri dalam kehidupan mereka.“Sayang, kamu bisa. Aku ada di sini,” bisik Adrian.Mendapatkan motivasi seperti itu, Nada merasa senang. Namun, dia tidak bisa menunjukkan dengan ekspresi wajahnya.“Ibu, sedikit lagi. Ini kepalanya sudah keluar,” kata sang dokter.Adrian melihat ke arah sang dokter yang membimbing persalinan istrinya.“Ayok, Bu. Sepertinya keda
Nada sudah diizinkan untuk pulang. Kondisi kehamilannya sangat amat baik, janinnya pun terlihat sehat dan sudah diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja Nada masih merahasiakan hal ini pada suaminya.“Sudah semua, Mbak?” tanya Nada.“Sudah.” Ratna baru saja mengunci pintu apartemen yang menjadi tempat singgah mereka selama di negara ini.“Baik, ayo kita berangkat. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Deven,” kata Nada.Ratna mengangguk, lalu tersenyum. Hari ini mereka akan pulang ke Indonesia. Sayangnya Adrian tidak bisa menjemputnya, karena ada agenda bisnis yang tidak bisa dia hindari.Selama beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka pulang dan disambut hangat oleh Deven dan Eva yang sudah menunggu mereka. Terlihat nenek dari Nada itu sudah menanti kedatangan cucunya.“Kamu sehat, Nada?” tanya Eva, yang masih terlihat segar, walau kondisinya harus selalu duduk di kursi roda. Usianya yang sudah senja, membuat kesehatannya menurun.“Sehat, Nek. Nenek bagiamana?” tanya Nada sambil m
Sekarang mereka sedang berada disebuah restoran mewah. Mereka hendak makan malam bersama, menikmati makanan khas dari negeri gingseng. Namun, belum juga makanan tiba, Nada sudah izin untuk ke toilet.“Mamamu kenapa, Dev? Apa dia sakit?” tanya Adrian.Deven menggeleng, “Tidak tahu, Pa. Padahal biasanya tidak apa-apa.”Adrian menyipitkan matanya, tiba-tiba saja dia merasa sedikit ada yang janggal dengan istrinya. Sampai akhirnya Nada kembali dari toilet, dan Adrian tak lepas memandang Mitha. Bahkan saat makanan tiba dan mereka makan malam pun, Adrian terus memandang Nada.“Sudah selesai?” tanya Adrian, saat makana di hadapan mereka sudah habis.Nada dan Deven mengangguk. Adrian pun mengangkat tangannya, tak lama kemudian seorang pelayan perempuan mendatangi Adrian. Dia pun meminta tagihan atas makannya.“Silakan, Pak,” kata pelayan itu dengan bahasa Korea.Adrian menerima sebuah bill holder berwarna hitam. Namun, ada yang aneh dari barang itu, karena terlihat ada yang mengganjal. Hanya
“Mama! Sepatu boots aku di mana?” teriak Deven pada sang ibunda.“Sudah Mama masukkan ke dalam koper, Sayang. Kamu pakai sepatu cats aja, ya,” timpal Nada, yang sedang menarik kopernya keluar dari kamarnya.Adrian terlihat mengekor Nada dari belakang, “Ini jaket tebal dan syal tidak sekalian masuk ke koper, Ma?” tanya Adrian, yang menenteng sebuah tas kecil yang berisi barang yang dikatakannya.“Tidak usah. Sampai Korea pasti kita butuh pakaian hangat. Di sana sedang musim dingin,” jawab Nada.Ya, keluarga bahagia ini hendak menuju negeri gingseng. Semenjak menikah, mereka belum sempat berbulan madu. Karena Adrian masih disibukkan dengan urusan pekerjaan.Di akhir tahun ini, Adrian memang sudah merencanakan untuk berlibur ke negara Korea Selatan bersama dengan orang yang dicintainya.“Nada, sudah tidak ada yang tertinggal, bukan?” Eva muncul dengan kursi rodanya. Mengingatkan pada Nada tentang barang yang dia bawa.Nada menoleh dan langsung tersenyum pada neneknya, “Tidak ada, Nek sem
Wajah Adrian dan Nada kini merah seperti kepiting rebus. Bagaimana bisa, mereka sedang bermesraan dan ketahuan oleh anak yang masih di bawah umur.“Ah … itu,” ucap Nada gelagapan. Dia melirik ke arah Adrian, memberikan isyarat untuk menjelaskan apa yang barusan kita lakukan tadi.“Mama jangan malu begitu. Ini bukan pertama kali aku melihat kalian seperti itu, kok,” aku Deven.Anak itu berjalan menghampiri ayah dan ibunya, yang sebentar lagi akan menikah secara sah.Mendengar pengakuan Deven, tentu membuat mata Nada membulat maksimal. Rasa malu kini mulai menjalar di sekujur tubuhnya.“Bukan pertama kali? Berarti sebelumnya pernah?” tanya Nada.Deven mengangguk, lalu masing-masing tangannya memegang tangan Nada dan Adrian.“Aku senang kalian bisa menikah. Aku senang, karena nanti aku punya papa asli!” ucapnya dengan wajah yang berbinar. Menatap Nada dan Adrian secara bergantian.“Akhirnya Mama tidak sendiri lagi nanti. Mama dan Papa akan sama-sama membesarkan aku. Walau kemarin aku sem
Nada membelalakan mata, tatkala Adrian berkata demikian di depan publik. Dia ingat, kalau Adrian memang berniat untuk menikahinya. Namun, Nada tidak berekspektasi akan secepat ini. Apalagi ditambah cara dia melamar Nada di depan banyak orang. Tentu saja respon para audiens terlihat senang. Mata mereka nampak berbinar, lampu flash pada kamera juga tak henti-hentinya menyala. Tangan mereka sibuk dengan papan ketik pada keyboard-nya masing-masing. “Bagaimana, Nada?” tanya Adrian, yang menunggu jawaban dari wanita yang saat ini ada di hadapannya, “mau kah kamu menikah denganku?” Sekali lagi, Adrian memperjelas ucapannya. Khawatir Nada lupa dengan apa yang dikatakannya. Karena hampir lima menit Nada melongo, menatap Adrian. Seketika Nada mengerejap, lalu dia melirik ke arah audiens. Nampaknya mereka sama penasaran seperti Adrian. Bibir Nada mendadak terasa kering, dia pun menjilatnya. Irama detak jantungnya pun sudah mulai cepat. Seperti musik dengan irama cepat dan menggambarkan musik
Calvin dibawa ke rumah sakit. Kondisinya tidak sadarkan diri. Di sana keluarga Calvin juga ikut menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Kemudian dokter keluar dari ruang periksa, dan segera mendatangi pihak keluarga. Ada raut kesedihan dan perasaan berat yang terlihat dari wajah sang dokter.“Dok, bagaimana dengan keadaan Papa saya?” tanya seorang wanita, dia Yuvia—anak bungsu dari Calvin.Dokter itu terdengar menghela napas dalam. Wajah Yuvi nampak gusar melihat respon sang dokter. “Dok?” Yuvi kembali memanggil sang dokter. “Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Pak Calvin Winata mengalami serangan jantung, dan nyawanya tidak bisa kami tolong,” ucap sang dokter.Siapa pun yang mendengar kalimat yang baru saja diucapkan dokter, pasti akan langsung terhenyak. Pasalnya tadi Calvin terlihat biasa saja, walau sedikit lesu. Namun, kali ini siapa sangka, rencana Tuhan tidak ada yang tahu. “Tidak mungkin, Dok!” seru Yuvi, dengan mata yang sudah mulai berkaca. Wanita itu kemudian dirangku
Nada dan Adrian sontak menoleh. Kemudian mereka melihat sosok perempuan dengan mengenakan setelan jas berwarna peach. Adrian yang tahu siapa wanita itu, langsung bangkit dari kursi. “Bu Sarah,” ucap Adrian.Wanita itu adalah Sarah, salah satu anggota dewan komisaris perusahaan Victory. Entah ada niat apa dia sampai datang jauh-jauh kemarin.“Halo, Adrian. Sudah lama kita tidak bertemu,” sapa Sarah. Adrian hanya mengangguk, memberikan salam penghormatan. Nada, yang tadi sempat dipanggil, seraya menghampiri Sarah.“Ya, Bu? Ada apa Ibu repot-repot sampai datang ke mari?” tanya Nada.“Aku tidak merasa direpotkan, Nada. Aku datang kemarin karena ini membicarakan sesuatu perihal perusahaan. Bisakah kita bicara sebentar? Bersama Adrian pun tidak masalah,” terangnya. Akhirnya mereka menyanggupi permintaan Sarah. Karena masih harus menunggu Eva, yang sedang diinterogasi oleh pihak berwajib. Mereka pun hanya berbincang di dalam mobil milik Sarah. “Keadaan perushaan sedang collaps. Saham ki
Berita hari ini seolah serentak menyiarkan kabar tentang Victory Airlines dan Victory Hotel. Pihak berwajib sudah mendapatkan bukti tentang keberadaan obat terlarang di pesawat kargo milik Victory Airlines dan juga arah distribusi barang tersebut. Dari puluhan cabang Victory hotel, barang terlarang itu hanya ditemukan di VKK. Namun begitu, nama Victory benar-benar menjadi buruk di mata publik.“Ini semua fitnah!” seru Calvin, yang dengan secara tiba-tiba diangkut paksa oleh tim dari Bareskrim Polri.“Tidak mungkin Victory Hotel dan Airlines mendistribusikan obat terlarang seperti ini!” raungnya.Jelas sekali, Calvin tidak ingin diamankan oleh pihak yang berwajib.“Siapa yang memerintah kalian, hah? Bawa aku pada Pak Fredy!” Calvin nampaknya menolak untuk bersikap kooperatif pada pihak berwajib. “Sudah jelas di surat penangkapan, kami langsung ditugaskan oleh Pak Kapolri!” tegas seorang polisi bernama Bisma. Ya, perintah penangkapan Calvin memang langsung dikeluarkan oleh petinggi p