Nada sedikit tersentak dengan ucapan Adrian. Pasalnya intonasi bicara pria itu penuh dengan penekanan dan juga sediki menuntut.“Om, bisakah volume suaranya sedikit dikecilkan? Telingaku rasanya sakit sekali,” sarkas Nada.Terdengar desahan dari ujung sana, “Cepat ke kantor! Aku harus bertemu denganmu dan meminta penjelasan darimu, Nada.” Adrian seolah tak mengindahkan ucapan Nada. Dia masih berbicara dengan intonasi yang menekan.“Tidak bisa. Kalau mau bicara di rumah saja. Om bisa pulang ke rumah,” tolak Nada dengan cepat.Bertemu dengan Adrian di kantornya? Ah, tentu itu akan menjadi mimpi buruk bagi Nada. Bisa-bisa ia bisa mengingat secara keseluruhan, tragedi yang terjadi di malam sial itu.“Aku tidak bisa ke rumah, Nada. Aku banyak pekerjaan. Jadi, mau tidak mau kamu yang harus datang ke sini. Lagi pula ini juga perusahaanmu sendiri. Kenapa kamu selalu tidak mau datang ke kantormu, hah?” sewot Adrian, kini nada bicara pria itu tidak terdengar santai.Nada berdecak kesal, dia tid
Adrian melirik ke arah ponselnya yang berdering. Kemudian dia langsung menekan sebuah tombol di sisi kiri ponsel. Seketika ponselnya itu memasuki mode getar, lalu Adrian membalikkan benda pintar itu. “Kenapa tidak diangkat?” tanya Nada yang langsung menatap Adrian. “Aku bisa menghubunginya kembali. Sekarang aku sedang ada urusan denganmu,” jawab Adrian dengan tegas. “Angkat saja, nanti dia pasti marah kalau Om mengabaikannya,” kata Nada, seraya dia meraih tas yang dia simpan di sampingnya, “lagi pula urusan kita sudah selesai. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.” Nada bangkit dari duduknya, menggantungkan tasnya pada pundak. “Kembali duduk, Nada!” perintah Adrian. Namun, perintah itu direspon dengan sebuah gelengan kepala oleh Nada, “Aku harus segera pulang. Anakku menunggu di rumah,” tandas Nada yang kemudian berlalu meninggalkan Adrian. “Nada!” seru Adrian, tapi seketika pria itu menundukan pandangannya. Ketika perhatian semua orang di tempat itu tertuju padanya. Percuma
Adrian baru saja tiba di kediaman sang ibunda. Kemudian dia melihat Deven yang sedang sarapan bersama dengan Eva. Mata Adrian mencoba memindai ke sekeliling, tapi dia tidak menemukan orang yang dia cari. “Nada ke mana, Ma?” tanya Adrian pada ibunya. Mendengar suara Adrian, Eva langsung mengangkat pandangannya, “Oh Adrian, kamu sudah datang,” sambut Eva, “Nada sedang ada dinas di luar kota,” terang sang ibu. Karena hari ini adalah jadwal Eva untuk cek up, Adrian selalu datang di pagi hari untuk menemani sang ibu ke rumah sakit. “Terus Deven nanti sekolah dengan siapa?” tanya Adrian lagi sambil melirik ke arah Deven. “Sama Mbak Ratna. Hari ini juga Mbak Ratna yang akan mengambil raport perdana Deven. Kalau sempat, katanya Nada menyusul ke sekolah,” papar Eva seraya melahap suapan terakhirnya. Mata Adrian menatap Deven, yang tersenyum padanya. Kemudian anak laki-laki itu kembali fokus pada menu sarapannya. “Ma, apa Mama bisa pergi ke rumah sakit dengan supir dan di temani oleh Mbak
Adrian berjalan, melangkah mendekati Nada. Wajah wanita itu terlihat kesal dan menatap sinis Adrian.“Kamu yang keterlaluan, Om! Deven itu anakku, jangan seenaknya melakukan sesuatu tanpa izin dariku!” sentak Nada, pipinya merah karena amarah.Adrian melirik ke arah Deven, yang tengah menunduk. Melihat sikap Deven yang seolah merasa bersalah, membuat hati Adrian terusik.“Dev, kamu segera masuk ke kamar!” perintah Adrian dengan lembut.Anak itu pun mengangguk, mematuhi perintah dari Adrian. Dia pun berpamitan pada sang ibu yang masih nampak kesal.“Kalau kamu mau marah, marah lah padaku. Jangan pada Deven,” kata Adrian setelah memastikan Deven memasuki kamarnya.Kedua bola mata Nada berputar, lalu dia mendengus kasar.“Sejak kapan Om jadi peduli seperti itu pada anakku?” tanya Nada sinis.“Mulai hari ini. Aku akan lebih memperhatikan anakmu, karena bagaimana pun dia termasuk dalam keluarga Hartanto,” terang Adrian.“Terima kasih banyak. Tapi aku tidak butuh perhatian Om.”“Kamu?” Adri
Nada baru saja memesan makanan untuk makan siang atasannya. Darell tadi mengiriminya pesan bahwa dia sedang ingin makan masakan padang. Setelah kurang lebih dua puluh menit menunggu pesanannya pun datang. Nada segera membawa makanan tersebut ke dalam ruangan atasannya. “Kamu tidak sekalian pesan?” tanya Darell. “Tidak, Pak. Saya niatnya ingin makan di kantin bawah,” jawab Nada. Darell mengangguk, lalu mempersilakan Nada untuk kembali dan segera istirahat makan siang. Baru juga Nada sampai di kursi kerjanya, telepon kantornya langsung berdering. Dengan cepat Nada mengangkat panggilan tersebut. “Halo, dengan Nada di sini. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Nada. “Mbak Nada ini saya dari bagian resepsionis. Ada tamu yang ingin bertemu dengan Mbak. Dia sekarang menunggu di lobby bawah,” jawab seorang wanita di seberang sana. Alis Nada mengkerut, “Siapa, Mbak? Boleh tolong tanyakan dulu?” Seingatnya, Nada tak memiliki janji dengan siapa pun. “Namanya Pak Adrian Pradipta, katanya dia
“Bagaimana, Pak? Apakah Bapak mengizinkan?” tanya Nada pada atasannya.Setelah kemarin Adrian meminta Nada untuk ikut dalam perjalanan dinas ke Kalimantan, Nada berpikir semalaman. Dia mencoba untuk meneguhkan hatinya. Akhirnya, Nada pun bertekad bulat, kali ini dia akan hadir dalam acara perusahaannya.Darell hanya menarik napas, lalu dia menarik gagang telepon di atas meja kerjanya. Jari telunjuk Darell langsung menekan tombol nomor 2 pada deretan angka pada telepon kantornya.“Nicko, bisakah kamu datang ke ruangan saya?” tanya Darell.Iris mata Nada masih menatap pada atasannya, terlihat Darell mengangguk dan langsung menutup panggilan tersebut. Suasana di sana hening untuk beberapa saat, sampai akhirnya Nicko datang ke ruang kerja Darell.“Permisi, ada apa, Pak?” tanya Nicko saat dirinya tiba di sana.“Nada meminta izin cuti hari Kamis dan Jumat. Apa kamu bisa mengurus pekerjaannya selama dia tidak ada?” Darell balik bertanya. Bisa dibilang Nicko adalah orang kepercayaan Darell.M
Nada tentu mengenal pria tua yang baru saja menyapanya. Dia adalah Calvin Winata salah satu komisaris di perusahaan Victory Grup. Selain itu beliau juga adalah junior dari kakeknya. Nada masih ingat cerita ayahnya, kalau Calvin ini—bisa dibilang orang kedua di Victory. Karena Calvin adalah orang yang membantu kakeknya ketika sedang merintis hotel pertama kali.Mendapat sapaan dari pria yang memiliki pengaruh atas perkembangan Victory, membuat Nada menarik kedua bibirnya ke atas.“Kabarku baik, Pak Calvin. Bagaimana dengan Anda?” tanya Nada.Calvin mengangguk seraya membalas senyuman Nada, “Kabarku juga baik.” Kemudian mata Calvin melirik ke arah anak laki-laki yang sedang memakai sepatunya, “itu siapa?” tanyanya.Tentu pertanyaan dari Calvin barusan membuat wajah Nada dan Adrian menegang. Nada melirik ke arah Deven, wajah polos anak itu membuat Nada tak tega untuk membuat beribu kebohongan pada orang lain.“Itu se—”“Anak saya, Pak!” Nada menyela ucapan Adrian. Dia sudah menduga Adria
Adrian baru saja merapikan barangnya, lalu segera mengganti pakaian dengan stelan pantai. Dia kini mengenakan kaos berwarna putih, lalu dia kembali memakai kemeja pantai berwarna cerah dan bercorak, sebagai outer. Tak lupa dengan celana selutut.Di luar sana, Adrian melihat sosok Nada yang sedang berada di pantai. Terlihat Deven melompat kegirangan dan itu membuat Adrian tersenyum simpul. Kemudian dia pun keluar dari kamarnya, dan segera menghampiri mereka.“Cantik sekali,” gumam Adrian.Mata hitamnya itu kini menangkap sebuah objek yang sudah lama tidak ia lihat. Wajah samping Nada yang terlihat sangat cantik dan dewasa. Selain itu Adrian mendapatkan sebuah momen langka, setelah enam tahun berlalu. Dia melihat Nada tertawa dan tersenyum lepas. Hal itu kembali membuat hatinya menghangat.“Nada, Deven!” seru Adrian, yang kemudian melangkah mendekat ke arah mereka berdua.Sontak sang pemilik nama langsung menoleh ke arah Adria
Sebelum masuk ke dalam ruang persalinan, Adrian diharuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah itu dia segera masuk dan mendapati istrinya sedang merintih kesakitan.“Sayang!” seru Adrian segera menghampiri sang istri.Peluh sudah membasahi wajah Nada. Bahkan rambutnya pun terlihat basah oleh keringat yang sudah membanjiri tubuhnya. Adrian langsung menggenggam tangan Nada, yang sebelumnya ditemani oleh seorang perwat.Matanya menatap Nada yang nampak sedang berjuang menahan rasa sakit. Hatinya merasa tak tega, melihat istrinya begitu berjuang dengan susah payah untuk melahirkan nyawa baru yang akan menjadi warna tersendiri dalam kehidupan mereka.“Sayang, kamu bisa. Aku ada di sini,” bisik Adrian.Mendapatkan motivasi seperti itu, Nada merasa senang. Namun, dia tidak bisa menunjukkan dengan ekspresi wajahnya.“Ibu, sedikit lagi. Ini kepalanya sudah keluar,” kata sang dokter.Adrian melihat ke arah sang dokter yang membimbing persalinan istrinya.“Ayok, Bu. Sepertinya keda
Nada sudah diizinkan untuk pulang. Kondisi kehamilannya sangat amat baik, janinnya pun terlihat sehat dan sudah diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja Nada masih merahasiakan hal ini pada suaminya.“Sudah semua, Mbak?” tanya Nada.“Sudah.” Ratna baru saja mengunci pintu apartemen yang menjadi tempat singgah mereka selama di negara ini.“Baik, ayo kita berangkat. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Deven,” kata Nada.Ratna mengangguk, lalu tersenyum. Hari ini mereka akan pulang ke Indonesia. Sayangnya Adrian tidak bisa menjemputnya, karena ada agenda bisnis yang tidak bisa dia hindari.Selama beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka pulang dan disambut hangat oleh Deven dan Eva yang sudah menunggu mereka. Terlihat nenek dari Nada itu sudah menanti kedatangan cucunya.“Kamu sehat, Nada?” tanya Eva, yang masih terlihat segar, walau kondisinya harus selalu duduk di kursi roda. Usianya yang sudah senja, membuat kesehatannya menurun.“Sehat, Nek. Nenek bagiamana?” tanya Nada sambil m
Sekarang mereka sedang berada disebuah restoran mewah. Mereka hendak makan malam bersama, menikmati makanan khas dari negeri gingseng. Namun, belum juga makanan tiba, Nada sudah izin untuk ke toilet.“Mamamu kenapa, Dev? Apa dia sakit?” tanya Adrian.Deven menggeleng, “Tidak tahu, Pa. Padahal biasanya tidak apa-apa.”Adrian menyipitkan matanya, tiba-tiba saja dia merasa sedikit ada yang janggal dengan istrinya. Sampai akhirnya Nada kembali dari toilet, dan Adrian tak lepas memandang Mitha. Bahkan saat makanan tiba dan mereka makan malam pun, Adrian terus memandang Nada.“Sudah selesai?” tanya Adrian, saat makana di hadapan mereka sudah habis.Nada dan Deven mengangguk. Adrian pun mengangkat tangannya, tak lama kemudian seorang pelayan perempuan mendatangi Adrian. Dia pun meminta tagihan atas makannya.“Silakan, Pak,” kata pelayan itu dengan bahasa Korea.Adrian menerima sebuah bill holder berwarna hitam. Namun, ada yang aneh dari barang itu, karena terlihat ada yang mengganjal. Hanya
“Mama! Sepatu boots aku di mana?” teriak Deven pada sang ibunda.“Sudah Mama masukkan ke dalam koper, Sayang. Kamu pakai sepatu cats aja, ya,” timpal Nada, yang sedang menarik kopernya keluar dari kamarnya.Adrian terlihat mengekor Nada dari belakang, “Ini jaket tebal dan syal tidak sekalian masuk ke koper, Ma?” tanya Adrian, yang menenteng sebuah tas kecil yang berisi barang yang dikatakannya.“Tidak usah. Sampai Korea pasti kita butuh pakaian hangat. Di sana sedang musim dingin,” jawab Nada.Ya, keluarga bahagia ini hendak menuju negeri gingseng. Semenjak menikah, mereka belum sempat berbulan madu. Karena Adrian masih disibukkan dengan urusan pekerjaan.Di akhir tahun ini, Adrian memang sudah merencanakan untuk berlibur ke negara Korea Selatan bersama dengan orang yang dicintainya.“Nada, sudah tidak ada yang tertinggal, bukan?” Eva muncul dengan kursi rodanya. Mengingatkan pada Nada tentang barang yang dia bawa.Nada menoleh dan langsung tersenyum pada neneknya, “Tidak ada, Nek sem
Wajah Adrian dan Nada kini merah seperti kepiting rebus. Bagaimana bisa, mereka sedang bermesraan dan ketahuan oleh anak yang masih di bawah umur.“Ah … itu,” ucap Nada gelagapan. Dia melirik ke arah Adrian, memberikan isyarat untuk menjelaskan apa yang barusan kita lakukan tadi.“Mama jangan malu begitu. Ini bukan pertama kali aku melihat kalian seperti itu, kok,” aku Deven.Anak itu berjalan menghampiri ayah dan ibunya, yang sebentar lagi akan menikah secara sah.Mendengar pengakuan Deven, tentu membuat mata Nada membulat maksimal. Rasa malu kini mulai menjalar di sekujur tubuhnya.“Bukan pertama kali? Berarti sebelumnya pernah?” tanya Nada.Deven mengangguk, lalu masing-masing tangannya memegang tangan Nada dan Adrian.“Aku senang kalian bisa menikah. Aku senang, karena nanti aku punya papa asli!” ucapnya dengan wajah yang berbinar. Menatap Nada dan Adrian secara bergantian.“Akhirnya Mama tidak sendiri lagi nanti. Mama dan Papa akan sama-sama membesarkan aku. Walau kemarin aku sem
Nada membelalakan mata, tatkala Adrian berkata demikian di depan publik. Dia ingat, kalau Adrian memang berniat untuk menikahinya. Namun, Nada tidak berekspektasi akan secepat ini. Apalagi ditambah cara dia melamar Nada di depan banyak orang. Tentu saja respon para audiens terlihat senang. Mata mereka nampak berbinar, lampu flash pada kamera juga tak henti-hentinya menyala. Tangan mereka sibuk dengan papan ketik pada keyboard-nya masing-masing. “Bagaimana, Nada?” tanya Adrian, yang menunggu jawaban dari wanita yang saat ini ada di hadapannya, “mau kah kamu menikah denganku?” Sekali lagi, Adrian memperjelas ucapannya. Khawatir Nada lupa dengan apa yang dikatakannya. Karena hampir lima menit Nada melongo, menatap Adrian. Seketika Nada mengerejap, lalu dia melirik ke arah audiens. Nampaknya mereka sama penasaran seperti Adrian. Bibir Nada mendadak terasa kering, dia pun menjilatnya. Irama detak jantungnya pun sudah mulai cepat. Seperti musik dengan irama cepat dan menggambarkan musik
Calvin dibawa ke rumah sakit. Kondisinya tidak sadarkan diri. Di sana keluarga Calvin juga ikut menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Kemudian dokter keluar dari ruang periksa, dan segera mendatangi pihak keluarga. Ada raut kesedihan dan perasaan berat yang terlihat dari wajah sang dokter.“Dok, bagaimana dengan keadaan Papa saya?” tanya seorang wanita, dia Yuvia—anak bungsu dari Calvin.Dokter itu terdengar menghela napas dalam. Wajah Yuvi nampak gusar melihat respon sang dokter. “Dok?” Yuvi kembali memanggil sang dokter. “Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Pak Calvin Winata mengalami serangan jantung, dan nyawanya tidak bisa kami tolong,” ucap sang dokter.Siapa pun yang mendengar kalimat yang baru saja diucapkan dokter, pasti akan langsung terhenyak. Pasalnya tadi Calvin terlihat biasa saja, walau sedikit lesu. Namun, kali ini siapa sangka, rencana Tuhan tidak ada yang tahu. “Tidak mungkin, Dok!” seru Yuvi, dengan mata yang sudah mulai berkaca. Wanita itu kemudian dirangku
Nada dan Adrian sontak menoleh. Kemudian mereka melihat sosok perempuan dengan mengenakan setelan jas berwarna peach. Adrian yang tahu siapa wanita itu, langsung bangkit dari kursi. “Bu Sarah,” ucap Adrian.Wanita itu adalah Sarah, salah satu anggota dewan komisaris perusahaan Victory. Entah ada niat apa dia sampai datang jauh-jauh kemarin.“Halo, Adrian. Sudah lama kita tidak bertemu,” sapa Sarah. Adrian hanya mengangguk, memberikan salam penghormatan. Nada, yang tadi sempat dipanggil, seraya menghampiri Sarah.“Ya, Bu? Ada apa Ibu repot-repot sampai datang ke mari?” tanya Nada.“Aku tidak merasa direpotkan, Nada. Aku datang kemarin karena ini membicarakan sesuatu perihal perusahaan. Bisakah kita bicara sebentar? Bersama Adrian pun tidak masalah,” terangnya. Akhirnya mereka menyanggupi permintaan Sarah. Karena masih harus menunggu Eva, yang sedang diinterogasi oleh pihak berwajib. Mereka pun hanya berbincang di dalam mobil milik Sarah. “Keadaan perushaan sedang collaps. Saham ki
Berita hari ini seolah serentak menyiarkan kabar tentang Victory Airlines dan Victory Hotel. Pihak berwajib sudah mendapatkan bukti tentang keberadaan obat terlarang di pesawat kargo milik Victory Airlines dan juga arah distribusi barang tersebut. Dari puluhan cabang Victory hotel, barang terlarang itu hanya ditemukan di VKK. Namun begitu, nama Victory benar-benar menjadi buruk di mata publik.“Ini semua fitnah!” seru Calvin, yang dengan secara tiba-tiba diangkut paksa oleh tim dari Bareskrim Polri.“Tidak mungkin Victory Hotel dan Airlines mendistribusikan obat terlarang seperti ini!” raungnya.Jelas sekali, Calvin tidak ingin diamankan oleh pihak yang berwajib.“Siapa yang memerintah kalian, hah? Bawa aku pada Pak Fredy!” Calvin nampaknya menolak untuk bersikap kooperatif pada pihak berwajib. “Sudah jelas di surat penangkapan, kami langsung ditugaskan oleh Pak Kapolri!” tegas seorang polisi bernama Bisma. Ya, perintah penangkapan Calvin memang langsung dikeluarkan oleh petinggi p