Adrian baru saja merapikan barangnya, lalu segera mengganti pakaian dengan stelan pantai. Dia kini mengenakan kaos berwarna putih, lalu dia kembali memakai kemeja pantai berwarna cerah dan bercorak, sebagai outer. Tak lupa dengan celana selutut.Di luar sana, Adrian melihat sosok Nada yang sedang berada di pantai. Terlihat Deven melompat kegirangan dan itu membuat Adrian tersenyum simpul. Kemudian dia pun keluar dari kamarnya, dan segera menghampiri mereka.“Cantik sekali,” gumam Adrian.Mata hitamnya itu kini menangkap sebuah objek yang sudah lama tidak ia lihat. Wajah samping Nada yang terlihat sangat cantik dan dewasa. Selain itu Adrian mendapatkan sebuah momen langka, setelah enam tahun berlalu. Dia melihat Nada tertawa dan tersenyum lepas. Hal itu kembali membuat hatinya menghangat.“Nada, Deven!” seru Adrian, yang kemudian melangkah mendekat ke arah mereka berdua.Sontak sang pemilik nama langsung menoleh ke arah Adria
Telinga Adrian menangkap suara Nada yang terdengar meminta tolong. Dengan cepat, Adrian berbalik dan melihat kalau Nada sudah terhuyung dan hanyut terSERET ombak.“Nada!” seru Adrian, dia langsung berlari kembali pada Nada.“Mama!” Sang anak tak kalah khawatir, karena dengan jelas melihat ibunya hanyut. Dia pun ikut berlari.“Deven, kamu diam di sana!” perintah Adrian dengan tatapan yang tajam. Seketika Deven menghentikkan langkahnya. Air mata anak itu kini mulai menggenang dan lolos membasahi pipinya.Adrian berlari sekuat yang dia bisa. Kini jaraknya sudah dekat dengan Nada. Dia bisa melihat keponakannya yang tidak berdaya . Dengan secepat kilat Adrian meraih tangan Nada dan menarik dia kepelukannya.Ternyata Nada sudah tidak sadarkan diri. Maka dengan menahan rasa panik, Adrian mencoba menggendong Nada menuju ke tepian. Kemudian dia membaringkan Nada di sana.“Nada, bangun!” panggil Adrian sambil menepuk pipi keponakannya.Kini beberapa orang di pantai itu mendekat ke arah Nada dan
Adrian sudah merasa tidak nyaman. Walau katanya aroma dari bau buah durian di daerah ini tidak terlalu menyengat. Namun, bagi Adrian semua bau si raja buah sama saja. Dengan hanya menghirup aromanya saja reaksi alergi akan muncul, apalagi jika Adrian sampai memakannya.“Pak Levi, mohon maaf, sepertinya saya harus kembali ke kamar,” kata Adrian berpamitan. Kepalanya limbung dan beberapa bagian tubuhnya sudah terasa gatal.“Oh, silakan. Selamat beristirahat, Mas,” balas Levi.Adrian pun langsung bangkit dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Dia harus segera sampai ke kamar dan segera meminum obat agar alerginya tidak semakin parah. Ya, Adrian alergi dengan buah durian. Aroma dan rasanya yang menyengat, membuat tubuhnya tidak bisa mentoleransi hal tersebut.Saat Adrian berjalan di tengah pandangan yang mulai mengabur, Adrian bisa melihat dengan jelas sosok Nada yang berlari ke arahnya.“Nada,” ucap Adrian dengan suara yang sangat serak. Tenggorokannya kini terasa kering dan seolah terceki
“Selama kami tinggal di Amerika, Mama sibuk bekerja. Terkadang aku selalu merasa kesepian, karena setiap hari harus menghabiskan waktu dengan Mbak Ratna. Namun begitu, Mama selalu menyempatkan waktunya di akhir pekan untuk bersamaku.”Deven mulai menceritakan bagaimana ibunya. Sedangkan Adrian mendengarkan dengan saksama.“Aku tahu kalau Mama itu sangat sayang padaku. Walau dia sibuk bekerja, tapi Mama selalu menomorsatukan aku. Mama juga sebenarnya tidak pernah marah. Mama sering marah itu ketika di sini, Om,” terang Deven.“Mamamu memang orang yang baik, Dev. Lembut dan penuh perhatian.” Adrian pun menimpal, “biasanya kalau mamamu sedang marah, hal itu tidak akan berlangsung lama,” imbuhnya.Deven mengangguk, “Tapi terkadang aku kasihan pada mama. Aku tahu mama selalu menyembunyikan rasa sedihnya. Mungkin mama tidak ingin aku melihatnya menangis.”“Memangnya mamamu sering menangis?” tanya Adrian lagi.“Terkadang mama menangis setiap malam. Apalagi saat berada di sini, aku merasa mam
Sudah beberapa hari ini Nicko berusaha menghindar dari Nada. Percakapan antara Nada dan Elaine masih membekas di dalam pikirannya. Apakah Nicko masih memiliki cinta sepihak, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu?Lamunannya buyar, ketika seseorang tiba-tiba datang menghampiri meja kerjanya. Seketika Nicko tersentak saat mengetahui bahwa Nada lah yang kini ada di hadapannta“Pak Nicko. Ini berkas yang tadi,” kata Nada sembari meyodorkan sebuah dokumen pada Nicko.“Oh, iya.”Nicko langsung menerima dokumen tersebut, lalu dia kembali fokus pada layar komputer. Akan tetapi, sesuatu mengusik pikirannya, karena Nada tidak kunjung pergi dari hadapannya.“Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya Nicko pada Nada.“Tidak, tapi aku hanya ingin bertanya. Apa nanti malam kamu senggang? Aku ingin mengajakmu makan malam,” jawab Nada.Biasanya Nicko akan merasa senang jika Nada mengajaknya jalan. Hany
Adrian sedang membaca laporan dari masing-masing departemen di perusahaannya. Sebelum nantinya dia akan melakukan rapat dengan para staff.Di saat Adrian sedang fokus dengan hal itu. Tiba-tiba saja pintu ruangannya di ketuk dua kali. Adrian mendengar, tapi dia tak ingin diganggu terlebih dahulu. Sampai pada akhirnya orang di balik pintu itu tak sabar dan memaksa masuk.“Mas, kenapa lama sekali, sih? Apa kamu tidak mendengar kalau sekretarismu itu mengetuk pintu berkali-kali?” ucap seorang perempuan yang ternyata itu adalah Sindy.Mendengar suara khas milik kekasihnya, Adrian sontak menoleh. Dia melihat Vivian berdiri di ambang pintu, sedangkan Sindy sudah masuk dan duduk di sofa ruang kerjanya.“Maaf, Pak, saya permisi,” kata Vivian, terlihat perempuan itu merasa tidak enak hati. Adrian hanya mengangguk, dan mempersilakan Vivian pergi.“Kamu sedang apa? Sesibuk itu, kah? Dua kali aku telepon dan selalu kamu abaikan. Terus sekarang, aku sudah ada di sini pun kamu masih mengabaikanku?”
Penolakan dan ancaman Eva barusan sudah merupakan ultimatum yang tidak dapat diganggu gugat. Sindy sudah memohon, bahkan sambil bersimpuh, tapi restu tak kunjung didapat. Malas dengan situasi ini, Sindy meminta Adrian untuk segera meninggalkan tempat tersebut. “Om tunggu!” seru Nada pada pamannya yang hendak pergi, “ada yang perlu kita bicarakan sebentar!” Namun, Sindy langsung melingkarkan tangan pada lengan Adrian.“Aku mohon, sebentar saja. Aku janji tidak akan lama.” Melihat Sindy seolah menahan Adrian untuk tidak berbicara dengannya, Nada pun meminta dengan cara memohon. “Sebentar, Sin, aku harus berbicara dengan Nada.” Adrian melepaskan tangan Sindy.“Oh, jadi kamu lebih memilih Nada?” sentak Sindy yang mendadak kesal. Adrian mendesah, ketika mendapatkan tuduhan seperti itu, “Apa lagi, Sin? Nada hanya ingin bicara sebentar.” Mata Sindy memicing menatap Adrian, “Tidak aku izinkan. Aku tahu pasti keponakanmu itu akan menghasutmu. Dia pasti ada di kubu ibumu!”“Sindy, jangan
Tekad Adrian sudah bulat, dia benar-benar meninggalkan Sindy. Semua hal yang sudah dipesan untuk acara pernikahannya, kini Adrian batalkan. Tak hanya itu Adrian pun menghubungi Titan dan meminta maaf pada pria tua itu. Dan, tentu saja Adrian mendapat hujatan dan makian dari ayah Sindy.“Masalah dengan Sindy selesai. Dan sekarang aku tinggal fokus dengan pekerjaanku!” gumam Adrian.Saat Adrian sedang fokus dengan dokumen yang sudah menumpuk di mejanya. Tiba-tiba saja pintu ruangannya di ketuk dua kali.“Masuk!” perintah Adrian.Tak lama kemudian Vivian pun masuk dengan sebuah dokumen—baru—di tangannya.“Pak, kita mendapatkan surat balasan dari pihak PH dan management Mbak Sindy,” kata Vivian memberikan dokumen tersebut pada Adrian.Adrian menerima dan langsung membacanya.“Apa-apaan orang gila ini!” pekik Adrian yang terkejut dengan surat balasan dari pihak Sindy.Vivian yang sudah membaca surat tersebut gelagapan. Dia juga tidak menyangka kalau pihak Sindy meminta ganti rugi sebanyak
Sebelum masuk ke dalam ruang persalinan, Adrian diharuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah itu dia segera masuk dan mendapati istrinya sedang merintih kesakitan.“Sayang!” seru Adrian segera menghampiri sang istri.Peluh sudah membasahi wajah Nada. Bahkan rambutnya pun terlihat basah oleh keringat yang sudah membanjiri tubuhnya. Adrian langsung menggenggam tangan Nada, yang sebelumnya ditemani oleh seorang perwat.Matanya menatap Nada yang nampak sedang berjuang menahan rasa sakit. Hatinya merasa tak tega, melihat istrinya begitu berjuang dengan susah payah untuk melahirkan nyawa baru yang akan menjadi warna tersendiri dalam kehidupan mereka.“Sayang, kamu bisa. Aku ada di sini,” bisik Adrian.Mendapatkan motivasi seperti itu, Nada merasa senang. Namun, dia tidak bisa menunjukkan dengan ekspresi wajahnya.“Ibu, sedikit lagi. Ini kepalanya sudah keluar,” kata sang dokter.Adrian melihat ke arah sang dokter yang membimbing persalinan istrinya.“Ayok, Bu. Sepertinya keda
Nada sudah diizinkan untuk pulang. Kondisi kehamilannya sangat amat baik, janinnya pun terlihat sehat dan sudah diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja Nada masih merahasiakan hal ini pada suaminya.“Sudah semua, Mbak?” tanya Nada.“Sudah.” Ratna baru saja mengunci pintu apartemen yang menjadi tempat singgah mereka selama di negara ini.“Baik, ayo kita berangkat. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Deven,” kata Nada.Ratna mengangguk, lalu tersenyum. Hari ini mereka akan pulang ke Indonesia. Sayangnya Adrian tidak bisa menjemputnya, karena ada agenda bisnis yang tidak bisa dia hindari.Selama beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka pulang dan disambut hangat oleh Deven dan Eva yang sudah menunggu mereka. Terlihat nenek dari Nada itu sudah menanti kedatangan cucunya.“Kamu sehat, Nada?” tanya Eva, yang masih terlihat segar, walau kondisinya harus selalu duduk di kursi roda. Usianya yang sudah senja, membuat kesehatannya menurun.“Sehat, Nek. Nenek bagiamana?” tanya Nada sambil m
Sekarang mereka sedang berada disebuah restoran mewah. Mereka hendak makan malam bersama, menikmati makanan khas dari negeri gingseng. Namun, belum juga makanan tiba, Nada sudah izin untuk ke toilet.“Mamamu kenapa, Dev? Apa dia sakit?” tanya Adrian.Deven menggeleng, “Tidak tahu, Pa. Padahal biasanya tidak apa-apa.”Adrian menyipitkan matanya, tiba-tiba saja dia merasa sedikit ada yang janggal dengan istrinya. Sampai akhirnya Nada kembali dari toilet, dan Adrian tak lepas memandang Mitha. Bahkan saat makanan tiba dan mereka makan malam pun, Adrian terus memandang Nada.“Sudah selesai?” tanya Adrian, saat makana di hadapan mereka sudah habis.Nada dan Deven mengangguk. Adrian pun mengangkat tangannya, tak lama kemudian seorang pelayan perempuan mendatangi Adrian. Dia pun meminta tagihan atas makannya.“Silakan, Pak,” kata pelayan itu dengan bahasa Korea.Adrian menerima sebuah bill holder berwarna hitam. Namun, ada yang aneh dari barang itu, karena terlihat ada yang mengganjal. Hanya
“Mama! Sepatu boots aku di mana?” teriak Deven pada sang ibunda.“Sudah Mama masukkan ke dalam koper, Sayang. Kamu pakai sepatu cats aja, ya,” timpal Nada, yang sedang menarik kopernya keluar dari kamarnya.Adrian terlihat mengekor Nada dari belakang, “Ini jaket tebal dan syal tidak sekalian masuk ke koper, Ma?” tanya Adrian, yang menenteng sebuah tas kecil yang berisi barang yang dikatakannya.“Tidak usah. Sampai Korea pasti kita butuh pakaian hangat. Di sana sedang musim dingin,” jawab Nada.Ya, keluarga bahagia ini hendak menuju negeri gingseng. Semenjak menikah, mereka belum sempat berbulan madu. Karena Adrian masih disibukkan dengan urusan pekerjaan.Di akhir tahun ini, Adrian memang sudah merencanakan untuk berlibur ke negara Korea Selatan bersama dengan orang yang dicintainya.“Nada, sudah tidak ada yang tertinggal, bukan?” Eva muncul dengan kursi rodanya. Mengingatkan pada Nada tentang barang yang dia bawa.Nada menoleh dan langsung tersenyum pada neneknya, “Tidak ada, Nek sem
Wajah Adrian dan Nada kini merah seperti kepiting rebus. Bagaimana bisa, mereka sedang bermesraan dan ketahuan oleh anak yang masih di bawah umur.“Ah … itu,” ucap Nada gelagapan. Dia melirik ke arah Adrian, memberikan isyarat untuk menjelaskan apa yang barusan kita lakukan tadi.“Mama jangan malu begitu. Ini bukan pertama kali aku melihat kalian seperti itu, kok,” aku Deven.Anak itu berjalan menghampiri ayah dan ibunya, yang sebentar lagi akan menikah secara sah.Mendengar pengakuan Deven, tentu membuat mata Nada membulat maksimal. Rasa malu kini mulai menjalar di sekujur tubuhnya.“Bukan pertama kali? Berarti sebelumnya pernah?” tanya Nada.Deven mengangguk, lalu masing-masing tangannya memegang tangan Nada dan Adrian.“Aku senang kalian bisa menikah. Aku senang, karena nanti aku punya papa asli!” ucapnya dengan wajah yang berbinar. Menatap Nada dan Adrian secara bergantian.“Akhirnya Mama tidak sendiri lagi nanti. Mama dan Papa akan sama-sama membesarkan aku. Walau kemarin aku sem
Nada membelalakan mata, tatkala Adrian berkata demikian di depan publik. Dia ingat, kalau Adrian memang berniat untuk menikahinya. Namun, Nada tidak berekspektasi akan secepat ini. Apalagi ditambah cara dia melamar Nada di depan banyak orang. Tentu saja respon para audiens terlihat senang. Mata mereka nampak berbinar, lampu flash pada kamera juga tak henti-hentinya menyala. Tangan mereka sibuk dengan papan ketik pada keyboard-nya masing-masing. “Bagaimana, Nada?” tanya Adrian, yang menunggu jawaban dari wanita yang saat ini ada di hadapannya, “mau kah kamu menikah denganku?” Sekali lagi, Adrian memperjelas ucapannya. Khawatir Nada lupa dengan apa yang dikatakannya. Karena hampir lima menit Nada melongo, menatap Adrian. Seketika Nada mengerejap, lalu dia melirik ke arah audiens. Nampaknya mereka sama penasaran seperti Adrian. Bibir Nada mendadak terasa kering, dia pun menjilatnya. Irama detak jantungnya pun sudah mulai cepat. Seperti musik dengan irama cepat dan menggambarkan musik
Calvin dibawa ke rumah sakit. Kondisinya tidak sadarkan diri. Di sana keluarga Calvin juga ikut menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Kemudian dokter keluar dari ruang periksa, dan segera mendatangi pihak keluarga. Ada raut kesedihan dan perasaan berat yang terlihat dari wajah sang dokter.“Dok, bagaimana dengan keadaan Papa saya?” tanya seorang wanita, dia Yuvia—anak bungsu dari Calvin.Dokter itu terdengar menghela napas dalam. Wajah Yuvi nampak gusar melihat respon sang dokter. “Dok?” Yuvi kembali memanggil sang dokter. “Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Pak Calvin Winata mengalami serangan jantung, dan nyawanya tidak bisa kami tolong,” ucap sang dokter.Siapa pun yang mendengar kalimat yang baru saja diucapkan dokter, pasti akan langsung terhenyak. Pasalnya tadi Calvin terlihat biasa saja, walau sedikit lesu. Namun, kali ini siapa sangka, rencana Tuhan tidak ada yang tahu. “Tidak mungkin, Dok!” seru Yuvi, dengan mata yang sudah mulai berkaca. Wanita itu kemudian dirangku
Nada dan Adrian sontak menoleh. Kemudian mereka melihat sosok perempuan dengan mengenakan setelan jas berwarna peach. Adrian yang tahu siapa wanita itu, langsung bangkit dari kursi. “Bu Sarah,” ucap Adrian.Wanita itu adalah Sarah, salah satu anggota dewan komisaris perusahaan Victory. Entah ada niat apa dia sampai datang jauh-jauh kemarin.“Halo, Adrian. Sudah lama kita tidak bertemu,” sapa Sarah. Adrian hanya mengangguk, memberikan salam penghormatan. Nada, yang tadi sempat dipanggil, seraya menghampiri Sarah.“Ya, Bu? Ada apa Ibu repot-repot sampai datang ke mari?” tanya Nada.“Aku tidak merasa direpotkan, Nada. Aku datang kemarin karena ini membicarakan sesuatu perihal perusahaan. Bisakah kita bicara sebentar? Bersama Adrian pun tidak masalah,” terangnya. Akhirnya mereka menyanggupi permintaan Sarah. Karena masih harus menunggu Eva, yang sedang diinterogasi oleh pihak berwajib. Mereka pun hanya berbincang di dalam mobil milik Sarah. “Keadaan perushaan sedang collaps. Saham ki
Berita hari ini seolah serentak menyiarkan kabar tentang Victory Airlines dan Victory Hotel. Pihak berwajib sudah mendapatkan bukti tentang keberadaan obat terlarang di pesawat kargo milik Victory Airlines dan juga arah distribusi barang tersebut. Dari puluhan cabang Victory hotel, barang terlarang itu hanya ditemukan di VKK. Namun begitu, nama Victory benar-benar menjadi buruk di mata publik.“Ini semua fitnah!” seru Calvin, yang dengan secara tiba-tiba diangkut paksa oleh tim dari Bareskrim Polri.“Tidak mungkin Victory Hotel dan Airlines mendistribusikan obat terlarang seperti ini!” raungnya.Jelas sekali, Calvin tidak ingin diamankan oleh pihak yang berwajib.“Siapa yang memerintah kalian, hah? Bawa aku pada Pak Fredy!” Calvin nampaknya menolak untuk bersikap kooperatif pada pihak berwajib. “Sudah jelas di surat penangkapan, kami langsung ditugaskan oleh Pak Kapolri!” tegas seorang polisi bernama Bisma. Ya, perintah penangkapan Calvin memang langsung dikeluarkan oleh petinggi p