“Terima saja, Mas. Aku nggak pa-pa.”Hayden seperti tak percaya mendengar ucapan Darline. Dipandanginya kedua mata Darline yang begitu jernih. Namun sorot mata Darline tampak tulus. Ada keikhlasan di sana.“Apa kamu yakin? Ini akan memakan waktu lama, Sayang. Bisa sampai satu tahun lebih.”“Iya, Mas. Aku yakin. Dia anakmu, darah dagingmu. Sama seperti anak yang kukandung ini. Darah dagingmu. Tidak mungkin aku tega merenggut hak mereka mendapatkan kasih sayangmu.Lagipula, anak seusia itu kalau tidak diterima, kasihan hatinya. Dia akan merasa ditolak, lalu akan makin membenci ayahnya.Aku tak mau kamu dibenci putrimu sendiri.”Hayden terenyuh. Dia kehilangan kata-katanya dan hanya mampu memeluk Darline sangat erat.“Terima kasih, Sayang. Hatimu benar-benar seluas samudra.”Darline mereguk kehangatan suaminya itu. Tapi dia menggeleng, “Nggak, Mas. Hatiku nggak seluas samudera. Aku hanya tidak ingin hati gadis itu terpatahkan. Kasihan dia. Sudah 14 tahun tidak mengenal ayahnya, masa seka
Bhamp!Hailley membanting pintu kamarnya setelah dia meneriaki semua kemarahan hatinya. Dia bahkan sempat mengusir DARline sebelum dia membanting pintu begitu berhasil membuat Darline melangkah keluar.Darline terkesiap di tempatnya. Gejolak darahnya seakan ingin meraung dan membalas. Apalagi Hailley menuduhkan hal yang tidak tepat padanya.Sebelum ini, Darline sudah berusaha menjelaskan pada gadis itu. Tapi Hailley sepertinya memang tidak ingin mendengarkan apa-apa, terutama dari dirinya, wanita yang dianggap telah merebut ayahnya dari mommynya.“Hailley, kamu salah paham, Sayang! Aku dan ayahmu baru saja-” Itu kata Darline ketika Hailley meneriakinya semua tuduhan tadi.Tapi belum selesai Darline bicara, telunjuk Hailley sudah mengarah ke pintu.“Ini sekarang adalah kamarku. Keluar kau sekarang juga! Keluar!”Darline saat itu masih tertegun di tempatnya dan dia jadi didorong Hailley hingga tubuhnya oleng.Lalu suara kerasnya kembali bergema, “KELUAR!”Terpaksa Darline keluar dari sa
“Hailley ...” Sapaan Darline selembut sutra. Tapi di telinga gadis itu setajam kawat berduri. Gadis itu menoleh dengan tatapan setajam sengat. “Hailley kan memang anak papa. Pasti papa beliin. Hanya saja, alangka baiknya kalau Hailley minta yang lembut. Sebenernya, tanpa Hailley minta pun, pasti papa akan gantiin kok. Iya kan, Pa?” Untuk pertama kalinya, Darline memanggil Hayden dengan sebutan papa. Yang tadinya Hayden sudah terkesiap mendengar cara Darline menegur Hailley, kini jadi semakin terkesima. Rasanya panggilan itu begitu merdu, terlebih lagi Darline yang memanggilnya. Hayden jadi merasa seperti terbang melayang dan mendarat di awan yang empuk. Tapi ucapan lembut Darline itu tetap terasa menusuk bagi telinga Hailley. “Apaan sih? Apa aku ada meminta pendapatmu?” “Hailley ...” Hayden yang kali ini bersuara. Rendah dan menenangkan. Tapi Hailley sudah terlanjur marah. Dia bangkit dari duduknya dengan kasar sambil meneriaki Darline, “Nggak usah ikut campur deh!” Lalu ga
Seperti yang telah direncanakan, mereka mendaftarkan Hailley ke sekolah menengah pertama. Tidak banyak kendala di sana karena sosok Hayden memberikan kehormatan tersendiri dari pihak sekolah. Hanya saja, Hailley diminta menghilangkan highlight di rambutnya serta mengembalikan warna rambut aslinya.“Tentu saja. Rambutnya akan kembali ke warna asli.” Hayden menyanggupi. Lalu administrasi pun berlangsung.Selesai mendaftar dan mengurus administrasi sekolah, Hayden mengantar Hailley dan Darline ke mall, sedangkan dia sendiri menuju kantor.“Beritahu aku saat mau pulang nanti, biar kusuruh driver menjemput. Jangan naik taxi, Sayang.”“Iya, Mas. Kamu hati-hati juga.”“Iya, Darline. Hailley, hati-hati ya. Jaga mama jangan kecapean. Mama sedang hamil muda.”Hailley diam, tidak menyahut. Hanya ada anggukan kecil. Tapi kedua matanya membelalak cukup lebar. ***“Kita pilih pakaian dulu aja, ya? Tante nggak pandai memilih gadget.”Darline mengira Hailley sudah ada perubahan sediki
Pada akhirnya Hailley memilih sebuah restoran Jepang.Seperti sebelumnya, Hailley memesan banyak sekali. Apa yang dipesannya adalah porsi yang cukup untuk tiga orang.Setidaknya itulah yang diperkirakan Darline. Apa benar Hailley sanggup menghabiskan semua itu?Namun Darline teringat saat di Singapura, Hailley mampu menghabiskan pesanannya yang banyak itu. Dia bahkan terlihat lahap sekali memakannya.Mungkin memang seperti itulah porsi makan anak remaja yang masih dalam proses pertumbuhan.Darline pun membiarkan dan dia memesan sendiri.Sepanjang menunggu makanan tiba, mereka tidak bicara.Darline duduk diam, mengamati Hailley diam-diam sembari mengamati sekeliling.Sedangkan Hailley sibuk dengan ponselnya.Tiba-tiba saja dia meletakkan ponselnya di meja dengan gerakan mendadak, lalu melipat tangannya di atas meja dan menatap sinis pada Darline.“Cih!” Gadis itu memilih awal yang tidak sopan.“Ada apa lagi?” tanya Darline mengangkat sebelah alisnya. Heran kenapa gadis ini seperti tida
“Apakah aku egois jika menyetujui hal seperti itu, Mas?” Bagi Darline tawaran Hayden terasa menggoda. Dia berhak menikmati kehidupan pernikahannya tanpa gangguan. Tanpa tamu. “Tidak, Sayang. Itu tidak egois. Karena jika memaksamu hidup berdampingan dengan Hailley, aku yang menjadi suami egois untukmu. Ya, begitu saja ya? Kenapa aku tidak terpikirkan hal ini, ya? Itu berarti kita harus ke Singapura lagi dan membawanya tinggal dengan ibuku.” “Nah, itulah, Mas. Belum tentu Hailley mau. Juga ibumu belum tentu setuju.” “Mereka pasti setuju. Hailley juga darah daging mereka.” Lagi-lagi pikiran Darline tertuju pada betapa belia-nya Hailley. Jika anak seusia itu harus merasakan diusir secara halus oleh ayahnya sendiri, hati gadis itu pastilah retak. Bahkan mungkin pecah berantakan dan takkan mungkin dipersatukan lagi. Ujung-ujungnya Hayden juga yang akan menerima akibatnya. Tidak, tidak! Darline merasa dia tidak boleh membuat suaminya merusak hubungan dengan putrinya sendiri. Bagaimana
“Pagi Mr. Hayden!” Seperti biasanya, setelah Darline resign, orang pertama yang menyapa Hayden di kantor, tepatnya di lantai tempat ruangannya berada, adalah Gael. “Pagi, Gael. Bagaimana dengan list kebutuhan sekolah putri saya? Sudah kamu siapkan semua?” “Sudah, Pak. Buku dan seragam semuanya sudah lengkap. Nanti sore saya kirimkan ke rumah.” “Good,” sahut Hayden sambil lalu. “Anda mau saya siapkan kopi sekarang?” “Oh, tidak perlu. Saya sudah minum kopi di rumah.” “Ah ... buatan istri tercinta tentu lebih nikmat.” Cukup lama durasi menjadi asisten pribadi Hayden membuat Gael sudah cukup dekat pada Pak Boss. Sesekali melempar candaan receh tidak akan membuatnya dihabisi Hayden. Dan seperti kali ini, candaannya itu membuat tubuh Hayden yang tadinya terus melangkah sambil bertanya, tiba-tiba berhenti dan berputar ke arahnya. Hayden memberikan Gael delikan kesal karena berani-beraninya bicara seperti itu. Tapi dia tidak sungguh-sungguh. Detik berikutnya dia tertawa. “Tentu saj
Tak lama kemudian, Hailley bersuara. “Ya, halo, Daddy! Aku menelpon dari nomorku.”Hailley terdiam sejenak, lalu bicara lagi sambil melirik sinis pada Darline.“Nggak ada apa-apa sih. Hanya mau mengecek benar nggak ini nomor Daddy. Karena bisa aja Tante Darline sengaja ngasih yang salah.”‘Astagaaa ...’ Darline mengurut dadanya meski hanya di dalam benaknya.“Iya, iya, ini mau ke salon. Ngomong-ngomong, yang aku bilang kamarku harus lengkap fasilitasnya, itu daddy masih kurang 3 hal.”Darline jadi penasaran. Dia diam dan semakin menyimak.“Dengar baik-baik, Daddy. Satu, aku mau netflix. Dua, aku mau wifi khusus untukku. Dan tiga, aku mau kunci kamarku sepesial. Yang artinya aku pegang sendiri dan nggak ada kunci cadangan.”Lalu gadis itu melirik ke arah Darline sembari berkata, “Aku nggak mau ada orang lain yang memasuki kamarku tanpa izin!”Darline merasa hatinya teriris. Tapi saat ini cukuplah menghela napas jauh-jauh agar segala sakit hatinya pun bisa terbuang jauh-jauh bersama hel