“Pagi Mr. Hayden!” Seperti biasanya, setelah Darline resign, orang pertama yang menyapa Hayden di kantor, tepatnya di lantai tempat ruangannya berada, adalah Gael. “Pagi, Gael. Bagaimana dengan list kebutuhan sekolah putri saya? Sudah kamu siapkan semua?” “Sudah, Pak. Buku dan seragam semuanya sudah lengkap. Nanti sore saya kirimkan ke rumah.” “Good,” sahut Hayden sambil lalu. “Anda mau saya siapkan kopi sekarang?” “Oh, tidak perlu. Saya sudah minum kopi di rumah.” “Ah ... buatan istri tercinta tentu lebih nikmat.” Cukup lama durasi menjadi asisten pribadi Hayden membuat Gael sudah cukup dekat pada Pak Boss. Sesekali melempar candaan receh tidak akan membuatnya dihabisi Hayden. Dan seperti kali ini, candaannya itu membuat tubuh Hayden yang tadinya terus melangkah sambil bertanya, tiba-tiba berhenti dan berputar ke arahnya. Hayden memberikan Gael delikan kesal karena berani-beraninya bicara seperti itu. Tapi dia tidak sungguh-sungguh. Detik berikutnya dia tertawa. “Tentu saj
Tak lama kemudian, Hailley bersuara. “Ya, halo, Daddy! Aku menelpon dari nomorku.”Hailley terdiam sejenak, lalu bicara lagi sambil melirik sinis pada Darline.“Nggak ada apa-apa sih. Hanya mau mengecek benar nggak ini nomor Daddy. Karena bisa aja Tante Darline sengaja ngasih yang salah.”‘Astagaaa ...’ Darline mengurut dadanya meski hanya di dalam benaknya.“Iya, iya, ini mau ke salon. Ngomong-ngomong, yang aku bilang kamarku harus lengkap fasilitasnya, itu daddy masih kurang 3 hal.”Darline jadi penasaran. Dia diam dan semakin menyimak.“Dengar baik-baik, Daddy. Satu, aku mau netflix. Dua, aku mau wifi khusus untukku. Dan tiga, aku mau kunci kamarku sepesial. Yang artinya aku pegang sendiri dan nggak ada kunci cadangan.”Lalu gadis itu melirik ke arah Darline sembari berkata, “Aku nggak mau ada orang lain yang memasuki kamarku tanpa izin!”Darline merasa hatinya teriris. Tapi saat ini cukuplah menghela napas jauh-jauh agar segala sakit hatinya pun bisa terbuang jauh-jauh bersama hel
“Sudahlah, Mom. Tidak perlu terlalu berlebihan. Tidak perlu takut juga. Hayden pasti tahu apa yang harus dia lakukan.Jika memang Darline seperti yang mom katakan, dia pasti bisa menilai sendiri.Menurutku, harusnya Mom berdiam di rumah, merajut kaus kaki dan sarung tangan bayi agar bisa dipersembahkan untuk cucu mom yang akan segera lahir.Bukannya malah berpikiran buruk seperti ini dan merecoki rumah tangga putramu yang sudah 41 tahun melajang dan akhirnya menikah.Usianya tidak muda lagi. Jangan mencampuri urusan rumah tangganya, Mom!”Helaan napas terdengar dari bibir ibunya. Tapi lalu wajah itu mengeras penuh tekad.“Tidak bisa! Aku harus tetap memastikannya sendiri. Jika tidak, aku tidak akan bisa tidur dengan nyenyak setiap malamnya.”Heaven memijit pelipisnya merasa apa yang dilakukan ibunya kelewat batas.Beruntung bukan dia yang diperlakukan seperti itu.“Terserah padamu, Mom
Sepulang dari mall, ketika memasuki rumah, kedua mata Darline terpaku pada foto pengantin dirinya dan Hayden. Ingatannya kembali pada foto yang ada di ponsel Hailley. Foto gadis itu dengan kedua orang tuanya, Hayden dan Ashley. Jas yang dikenakan Hayden di foto yang ada di ponsel Hailley sama persis dengan jas yang ada di foto pengantinya ini. Secercah pikiran negatif menguasai Darline. Mungkinkah Hailley mengambil foto ini, lalu mengedit dna menggabungkannya dengan foto Ashley dan dirinya saat kecil? Jika benar seperti itu, maka Darline mengakui kemampuan mengedit Hailley sangat bagus. Foto itu terlihat tak bercacat cela seperti hasil ‘editan’. Sedang asyik berpikir, tiba-tiba suara Hailley menyapanya. Gadis itu sudah berdiri di sampingnya dan juga ikut menatap ke arah foto. “Seharusnya, wanita di samping daddy-ku adalah mommy-ku,” katanya ketus lalu berbalik badan sembari meninggalkan delikan sengit ke arah Darline. “Sudah kubilang sebelum ini kan, Hailley, aku dan papamu baru
Darline baru saja selesai menyiapkan makan malam. Sehabis berendam tadi, dia tidak menengok ponselnya sama sekali, jadi Darline tidak tahu ada panggilan tak terjawab dari Hayden.Baru juga selesai menyiapkan tiga menu sederhana untuk makan malam mereka, terdengar bell pintu berbunyi.Tergopoh-gopoh Darline membukakan pintunya.Sungguh Darline terkejut karena benar-benar tak menyangka bahwa yang datang adalah ibu mertuanya.“Mom? Kok tiba-tiba datang?”“Kenapa kamu? Nggak senang melihat saya datang berkunjung?”“Bu- bukan begitu, Mom. Aku hanya terkejut saja. Karena tiba-tiba. Tapi, Mom datang ke sini dengan siapa? Naik apa?”“Halaaah, kalau masalah ke sini dari airport ya ada Gael yang menjemput. Sudah, nggak usah terkejut lagi. Toh saya nggak minta kamu menjemput. Ngomong-ngomong, saya boleh masuk nggak nih? Atau saya harus di sini terus?”“Eh? Iya, iya, mari masuk Mom. Silakan.”Dengan dagu terangkat, Jenni Lewis melangkah masuk. Ini kali pertama dia menginjakkan kaki di kediaman Ha
Rindu yang tadinya bergelora kini padam terguyur rasa kecewa di hati. Darline tak mampu merangkai kata lainnya, kecuali menjawab, “Iya, Mas. Nggak apa.” Bibir berkata iya, tapi hati Darline menelan rasa kecewanya. Tapi apa mau dikata, pekerjaan tetaplah pekerjaan. Tidak mungkin dia menuntut suaminya untuk tinggal di rumah selama yang dia inginkan. Lalu suara Darline terdengar lagi, “Tapi ... Mom akan tidur di mana, Mas?” “Nah itu dia. Biasanya dia kalau berkunjung ke sini, selalu di hotel. Tapi ini tadi, kata Gael Mom bilang mau nginap di rumah kita. Ya, kasihkan saja kamar tamu untuk ibuku pakai. Untuk makan malam, kalau kalian mau makan di luar, pergi keluar saja. Akan kusiapkan driver.” “Aku capek, Mas. Makan di rumah aja.” “Ya, sudah. Pesan delivery aja, ya?” “Err, nggak perlu, Mas. Aku sudah masak.” Darline tidak berniat untuk menutupi kepergian ibunya bersama Hailley. Tapi lidahnya juga terasa kelu untuk memberitahukan hal itu. Rasanya dia seperti mengadu jika dia membe
Darline sedikit terbangun di tengah malam ketika dia merasakan dua lengan kokoh melingkari pinggangnya, lalu punggungnya merasakan kehangatan pelukan yang dia tahu pasti itu pelukan Hayden.Kehangatan seperti ini di malam demi malam yang sangat disukai Darline. Kehangatan yang mampu menghapus segala rasa lelah dan mengembalikan semangat juangnya untuk menghadapi berbagai tantangan hidup.Darline tidak membuka matanya, tapi dia menarik lengan itu agar lebih erat memeluknya. Lalu terasa helaan napas Hayden di lehernya setelah sebelumnya pria itu merapikan rambutnya agar dia mendapatkan akses untuk ceruk leher Darline sebelah kiri.Ada aroma khas pasta gigi mereka di deru napas itu. Darline tersenyum bahagia meski tetap dengan mata terpejam.Lalu dia merasakan kecupan Hayden di pipinya. Setelah itu tubuh itu ikut diam dan hanya menyisakan kehangatan serta deru napas teratur bagi Darline.Bersamaan dengan itu, Darline pun kembali terhanyut pada tidurnya.Pagi hari, Darline bangun dengan s
Hayden sarapan dengan terburu-buru saat menyadari waktunya tinggal sedikit untuk mengejar pertemuannya dengan Mr. Nakigawa.Begitu selesai, dia gegas mengenakan sepatu lalu berpamitan pada Darline.Kecupan lembut di bibir Darline menjadi salam perpisahan untuk pagi yang sibuk itu."Jangan ragu menelponku. Sesibuk apapun aku, telepon darimu tidak menggangguku, mengerti?"DArline mengangguk penuh syukur. Lalu bibirnya kembali disesap sebelum akhirnya Hayden benar-benar pergi ke pertemuan dengan Mr. Nakigawa.Begitu punggun Hayden menghilang di balik pintu, Darline berbalik tubuh dan menuju dapur. Ibu mertua dan Hailley ternyata sudah di sana.“Pagi, Mom. Pagi, Hailley.” Darline menyapa ringan, seakan tidak ada hal menyesakkan yang sempat dia alami.Itu membuat ibu nya Hayden merasa kurang puas.“Apa saja kerjamu sebagai istri yang diam di rumah? Sekalipun ini masih pagi, seharusnya kau sudah menyiapkan sarapan untuk penghuni rumah? Jangan bilang kau membiarkan putraku pergi kerja dengan