“Oh, kok bisa licin, Sayang?” tanya Willson lagi seraya mendekati Laura Bella. Meski begitu, di benaknya Willson bertanya-tanya heran, kenapa Laura Bella malah bilang jatuh? Padahal jelas-jelas dia melihat wanita itu melempar undangan itu.“Ini, Will, tadi aku baru aja pakai handbody. Tadi nuangnya kebanyakan jadi belum meresap semua ke kulit tanganku ini. Makanya licin. Kamu nggak marah, kan?”Meski masih belum mengerti dengan yang sedang terjadi, Willson terpaksa menggeleng.“Nggak apa-apa, Bella. Itu cuman undangan aja.”“Iya, Will. Maaf ya. Undangannya itu bagus banget soalnya. Bisa dijadiin pajangan. Tapi eh, malah rusak gara-gara aku nggak becus megangnya. Maafin aku, Willson.”“Sudah, sudah, nggak pa-pa. Aku malah mau bahas dengan kamu, kapan kita bisa meresmikan pernikahan kita? Lalu kita adain syukuran kecil-kecilan dengan para tetangga sini aja.”Ditanya seperti itu, Laura Bella terdiam sejenak. Wajahnya pun terlihat risih.“Ter- terserah kamu deh, Willson. Kapan aja kamu se
Staff lain ikut memandangi Darline yang mendapatkan hardikan dari Bu Alma. Darlline tertunduk malu. Ah, kenapa rencana untuk membuat wanita itu terkejut saat pesta pernikahan malah membuatnya mendapatkan perlakuan seperti ini?“Maaf, Bu. Sebenarnya, saya hanya follow up orderan itu aja, Bu. Tapi yang mengorder isi dan kata-kata yang tertera di sana sudah dari Bapak sendiri. Saya hanya follow up sampe selesainya aja.”“Halaaah, alasan kamu! Pastilah kamu salah, kan? Sepanjang masa, baru kali ini ada undangan pernikahan tanpa nama pengantin wanita.Kamu itu memang nggak becus jadi sekretaris. Akan saya laporkan kelalaian kamu ini pada Bapak.Dan kalau saya jadi kamu, saya lebih baik resign daripada menodai nama saya sendiri sebagai sekretaris paling tak becus!”Mendengar itu, Darline yang jadi kesal pun menjawab Bu Alma, “Saya memang mau resign, Bu. Tepat satu hari sebelum Bapak menikah, saya resign, Bu.”
“Bell, kita ke dokter yuks!” ajak Willson yang sedari tadi merasa tak tenang. “Ngapain ke dokter? Kamu sakit?” tanya Laura Bella dengan mulut yang tidak terlalu bergerak karena masker wajahnya sedang terpasang. “Maksudku dokter kandungan. Periksa kandungan kamu. Waktu di Jakarta kan kita mau USG 4D nggak jadi. Hari ini aja, mumpung weekend.” Laura Bella mengedipkan dua matanya pertanda ‘iya.’ Lalu dia berkata lagi, “Tunggu aku selesai maskeran ya.” “Iya, Sayang.” Willson kembali memandangi foto dua rekannya yang berbadan dua di kantor dengan besarnya perut Bella. Memang perut Bella lebih mirip yang sedang hamil 8 bulan. ‘Tidak mungkin Bella berbohong. Selama ini kita selalu ke dokter kandungan rutin. Dan hasil USG pun menyatakan bahwa kehamilan Bella berusia 20 minggu.’ Willson menepis kecurigaannya itu. Kemudian dia merasa bersalah karena telah memikirkan hal seburuk itu terhadap Bella hanya karena wanita itu lebih mementingkan modal butik daripada pengesahan pernikahan mereka.
“Baiklah, mari kita lihat jenis kelaminnya.” Dokter Nirmala kembali berkutat dengan layar komputer dan mengutak atik sudut pandang USG nya. Tak lama kemudian, dia menunjukkan di layarnya. “Bayinya perempuan, Bu.” “Wah, bagus, Dok. Terima kasih.” Laura Bella tersenyum dan langsung bergerak bangun. Padahal gel di perutnya belum dibersihkan. Cepat-cepat suster membersihkan permukaan perutnya. Setelah itu, Laura Bella langsung turun. Sikapnya sangat terburu-buru. “Apa sudah begini saja, Bu?” tanya dokter Nirmala sebelum benar-benar meninggalkan tempatnya di dekat mesin USG. “Iya, Dok. Begini saja cukup. Suami saya ini hanya ingin melihat foto USG 4D janin ini saja, Dokter.” “Oh, baiklah.” Dokter Nirmala tidak memperpanjang lagi sekalipun sikap Laura Bella masih terasa janggal. Mungkin itu semua ada kaitannya dengan catatan khusus di data Laura Bella yang ditandai dokter Dinda. Entah mengapa dokter Dinda memberikan tanda spesial di data Laura Bella. Tapi, dokter Nirmala jelas bi
Dua minggu berlalu dengan cepat dan super sibuk.Darline mempersiapkan pengunduran dirinya sementara Bu Alma mempersiapkan sekretaris pengganti Darline.Hanya Hayden yang masih seperti biasanya. Dia menyerahkan semuanya pada pihak WO dan Darline yang mengurusnya.Ketika semua tampak sudah berjalan sebagaimana mestinya, pria itu meminta Darline mengundurkan diri lebih cepat.“Kenapa, Mas? Aku sebenarnya masih sangat ingin membantumu. Lagipula, sekretaris baru perlu diajar terlebih dahulu.” Darline berkilah, tapi sesungguhnya itu hanyalah alasannya belaka.Semakin mendekati hari pengunduran dirinya, rasa hatinya semakin berat, bahkan ada rasa tak rela menggelanyut di sana.Tapi Hayden tidak membiarkannya. “Kamu sudah banyak membantuku, Sayang. Lagipula, kita sudah membicarakan ini. Dengan kamu terus menjadi sekretarisku, statusmu terhadapku jadi saling bentrok. Aku tidak menginginkan itu.Yang aku inginkan adalah bisa membawamu berjalan di sampingmu, memperkenalkanmu kepada semua orang
“Kenapa denganmu? Are you okay?”Suara Hayden menyapanya di telinga. Tanpa Darline sadari pria itu sudah berada di sampingnya dan memeluk mesra pinggangnya.Ingin menjawab baik, lidah Darline kelu.Hatinya kembali perih apalagi ketika dia membayangkan wanita seperti Leana yang menemani Hayden nantinya.Tidak mungkin dia rela!“Hei, kenapa denganmu? Kenapa juga hanya ada kopiku? Mana jeruk hangatmu?”Dengan terpaksa Darline harus menjawab. “Aku sedang tidak mood mau minum. Mas minum sendiri saja.”Suaranya kering dan kaku. Dia juga langsung membalik tubuh sambil memeluk nampannya untuk kembali ke ruangannya.Tapi tangan Hayden menahan.“Darline, kenapa denganmu? Ada masalah?”“Nggak! Nggak ada apa-apa.”Lagi-lagi, suara Darline terdengar ketus.“Kalau nggak ada apa-apa, kenapa tidak mau minum bersama?”Darline terpaksa berbalik dan menjawabnya, “Bukan nggak mau minum bersama. Tapi aku sedang nggak ingin minum. Sudah ya, Mas. Aku masih ada kerjaan.”Darline cepat-cepat kembali ke mejany
Sepanjang perjalanan pulang, mereka melewatinya dalam diam.Darline mogok bicara. Ini pertama kalinya dia merajuk. Seperti anak kecil.Darline menyadarinya, tapi dia pun sedang tidak ingin menjadi cuek di luar tapi ternyata sebal di dalam.Darline ingin melihat seberapa peka Hayden pada dirinya.Tapi yang terjadi, pria itu tampak tidak mengerti. Hayden menyetir tanpa memedulikan dirinya yang sedang diam. Padahal biasanya mereka selalu berbincang hangat.“Mau makan apa?” tanya Hayden pada akhirnya.Darline sempat mengira mereka akan turun di apartemen tanpa bicara sepatah katapun. Jika itu yang terjadi, dia akan membanting pintu di depan muka Hayden.Tapi ternyata, pria itu menanyakannya juga.Meski lapar, Darline cukup gengsi. Dia sedang merajuk, masa mengiyakan ajakan makannya begitu saja.Karena itulah, akhirnya jawaban andalan kaum wanita yang keluar. “Terserah.”“Hm, kalau begitu bagaimana kalau ... makanan Jepang?” tanya Hayden yang langsung mendapat pelototan dari Darline.“Oh,
“Kalau bukan wanita yang dibawa Bu Alma itu, lalu siapa?”Darline merasa teramat malu saat itu. Dia seperti tertangkap basah akan pikiran buruknya.Tapi hatinya masih enggan mengakui. Lagipula, sepertinya Hayden hanya menebak-nebak saja alasan dari rajukannya ini. Karena itulah, dia masih berkilah.“Apa maksud Mas bra merah? Apa juga maksudmu sekretaris baru bukan yang Bu Alma bawa tadi? memangnya aku ada mengatakan sesuatu tentang bra merah dan sekretaris baru itu?”“Tadi kan kamu menyuruhku pulang agar istirahat, mumpung sekretaris baru belum aktif bekerja. Siapa tahu saat sekretaris baru sudah bekerja malah-”“Ya, tapi kan aku tidak mengait-ngaitkan dengan bra merah. Apa coba maksudnya singgung bra merah. Terpesona ya dengan bra merah milik wanita tadi? Atau dengan apa yang dibaliknya?”Pluk!Tangan Hayden tiba-tiba menepuk pucuk kepala Darline. Lalu dia memelototi Darline.“Pikiranmu yang kotor. Padahal kalau tidak mendengarmu sebut-sebut bra merah, aku tidak sadar ada bra merah y