Darline terpana mendengar betapa lugas serangan Bu Alma kali ini. Dia terang-terangan melarang Darline hadir. Ada apa gerangan?Entah mengapa, Darline curiga wanita satu ini menyukai Hayden.Namun, berhubung Bu Alma menunggu jawabannya, Darline pun mengangguk mengiyakan.“Baik, Bu, jam 5 teng saya akan absen pulang. Terima kasih karena hari ini saya tidak perlu lembur.” Darline sengaja menekankan kalimat terakhirnya agar Bu Alma semakin geram padanya.Untuk perintah Bu Alma dan Hayden yang saling bertentangan, yang satu meminta dia jangan hadir tapi satunya menyuruhnya harus hadir mendampingi ... ah biar saja lah ... tak perlu dipikirkan. ***Selepas menghampiri Darline, Bu Alma masih merasa geram ketika melangkah kembali ke ruangannya.Dengan langkah mengentak-ngentak, Bu Alma berpapasan dengan Fenny di depan ruangan HRD.Saat itulah dia menarik Fenny ke dekat tembok.“Ada apa ya, Bu?” Fenny kebingungan. Baru kali ini mendapat perlakuan seperti ini.“Itu ... Darline s
Darline tertawa kikuk sambil otaknya berpikir keras jawaban apa yang harus dia berikan pada Fenny.“Bener apa nggak, Darline? Hayoo ... kamu ada affair apa sama pak boss?”Darline tersadar dan dengan cepat menggeleng.“Aku nggak ada fair apa-apa sama Pak Boss. Tadi itu dia memang mau ngomong ‘saya’ kok, bukan ‘sayang’. Kamu jangan bikin aku GR ya. Masa iya pak boss mau ngomong sayang. Aneh-aneh aja!”“Ih, perasaan aku sih mau ngomong ‘sayang’. Soalnya, dia sebutnya ‘say’ trus berenti sih. Kalau memang mau ngomong ‘saya’ harusnya kan langsung sebut ‘saya’.”Mendapati Fenny cukup ngotot, Darline pun tertawa untuk mengimbanginya. “Nggak lah! Kamu terlalu menerka. Ya, sudah, Fen, aku harus siap-siap nih untuk temani pak boss nyari jas.”Fenny yang masih tak puas dengan percakapan mereka pun mendelik Darline meskipun dia akhirnya beranjak dari kursi untuk meninggalkan Darline dengan berat hati.“Ya, sudah. Aku balik ke ruangan dulu. Hati-hati ya, berduaan sama Pak Boss, jangan sampai terja
“Ayo!”Darline mendengar suara Hayden lalu pandangannya terfokus pada tatapan teduh Hayden. Kemudian, ketika pandangannya sedikit turun, dia melihat uluran tangan pria itu mengarah padanya.“Tidak usah dipikirkan tentang Bu Alma, toh cepat atau lambat, dia harus tahu.”Darline mengiyakan, tapi ternyata itu hanya di dalam hatinya saja.Pria itu masih mengulurkan tangan dan Darline masih menatap resah.“Ayo dong!”Hayden melihat tidak ada pergerakan sama sekali dari Darline, seperti terpaku di lantai, seolah membeku di tempatnya. Dia pun beranjak dan kembali ke titik berdiri Darline.Karena Darline tidak meraih uluran tangannya, Hayden pun meraih pinggang Darline dengan sedikit menyentak, lalu merapatkannya.Darline tersadar dari lamunannya.“Sore-sore melamun di parkiran basement pula, nanti kesambet baru tahu rasa!” bisik Hayden menahan geramnya pada Darline.Entah kenapa wanita itu selalu merisaukan hal-hal kecil. Kalau Bu Alma mengetahui tentang mereka, sekalipun dengan cara yang pa
“Halo semua, semoga saya belum terlambat.” “Halo juga, Pak Lim. Belum terlambat kok. Kita aja yang kecepetan.” Siske menjawabnya karena Bu Alma yang biasanya sudah seperti humasnya 3L Empires Motor kini terlihat diam. Namun, Siske tidak mengetahui jika Bu Alma seperti tercenung melihat Darline yang datang bersama Hayden. Memang benar, Bu Alma sangat terkejut melihat kedatangan Darline yang bersama Hayden. Darline bahkan memapah Robert Lim ketika memasuki ruangan. ‘Darline ini ... tidak tahu diri atau bagaimana ya? Padahal tidak punya kepentingan untuk hadir di jamuan makan ini. Ataukah dia memang tidak punya malu sehingga ikut datang ke jamuan seperti in?’ ‘Mungkin Pak Hayden yang mengajaknya sebagai sekretaris.’ Sebuah suara menjawab di dalam benak Bu Alma. Dia bermonolog sendiri di dalam kepalanya. ‘Cih! Walaupun diajak Pak Boss, apa harus datangnya bareng Pak Boss? Fix, ini pastilah Darline sedang mencuri perhatian Pak Boss. Aku harus caritahu info tentang suaminya. Akan kulap
Bu Alma semakin menjadi. Sejak Pak Boss diketahui akan menikah, dia patah hati, sekaligus menjadi satpam terhadap Darline. Wanita itu tidak bosan-bosannya datang dengan tatapan menyelidik, lalu memperingatkan Darline, “Ingat, Darline, Pak Boss akan segera menikah. Kamu jangan caper lagi pada Bapak. Itu akan melukai hati calon istrinya!” Darline ingin tertawa mendengarnya. Di sisi lain, dia tak senang disebut Bu Alma ‘caper’. Dari mana dia bisa dibilang caper? “Maaf, Bu, sejak kapan saya caper sama bapak?” “Hah! Kamu masih pake tanya! Kalau wanita sudah menikah itu nggak seperti itu, Darline! Jaga martabat, jaga jarak, jaga tutur kata, jaga tatapan mata, tidak seperti kamu! Bapak ke mana kamu ikut. Bapak dijamu makan oleh klien, kamu ikut. Padahal waktu itu kamu nggak perlu. Dan ternyata, Bapak ke London pun kamu ikut. Tidak tahu malu?” “Ke London itu, Bapak yang ngajakin, Bu. Katanya sekalian ada yang mau disuruhnya saya urus sesuatu di sana.” “Urus sesuatu di sana? Urus apa?”
Pengajuan kredit atas nama Meysia akhirnya diloloskan kantor Willson.Ketika dia pulang ke rumah, hatinya sudah berdendang riang.Tapi Bu Mira sudah menunggunya di dekat tangga lantai dua bersama Lisaa yang kebetulan sedang pulang ke rumah karena jenuh mengerjakan skripsinya.“Kak Willson, kemari dulu deh,” panggil Lissa sembari menarik tangan Willson untuk duduk di sofa depan TV. Di sana sudah ada ibunya, Bu Mira. “Ada apa sih Lis? Bu?” tanyanya dengan hati yang masih penuh semangat untuk mengabarkan kabar gembira dari kantornya pada Laura Bella.Tapi berhubung tingkah Lissa seperti ini, Willson pun jadi penasaran.“Ini, lihat!” Lissa merebut sebuah kotak pipih seukuran buku dari tangan ibunya lalu memberikannya ke tangan Willson.Kotak itu tampak begitu estetik, dengan hiasan bunga-bunga sakura pink keperakan lalu ada gambar sepasang pengantin yang saling menatap dan bergenggaman tangan.“Apa ini?” tanya Willson yang sudah mulai merasakan firasat tidak menyenangkan.Di sampingnya,
“Oh, kok bisa licin, Sayang?” tanya Willson lagi seraya mendekati Laura Bella. Meski begitu, di benaknya Willson bertanya-tanya heran, kenapa Laura Bella malah bilang jatuh? Padahal jelas-jelas dia melihat wanita itu melempar undangan itu.“Ini, Will, tadi aku baru aja pakai handbody. Tadi nuangnya kebanyakan jadi belum meresap semua ke kulit tanganku ini. Makanya licin. Kamu nggak marah, kan?”Meski masih belum mengerti dengan yang sedang terjadi, Willson terpaksa menggeleng.“Nggak apa-apa, Bella. Itu cuman undangan aja.”“Iya, Will. Maaf ya. Undangannya itu bagus banget soalnya. Bisa dijadiin pajangan. Tapi eh, malah rusak gara-gara aku nggak becus megangnya. Maafin aku, Willson.”“Sudah, sudah, nggak pa-pa. Aku malah mau bahas dengan kamu, kapan kita bisa meresmikan pernikahan kita? Lalu kita adain syukuran kecil-kecilan dengan para tetangga sini aja.”Ditanya seperti itu, Laura Bella terdiam sejenak. Wajahnya pun terlihat risih.“Ter- terserah kamu deh, Willson. Kapan aja kamu se
Staff lain ikut memandangi Darline yang mendapatkan hardikan dari Bu Alma. Darlline tertunduk malu. Ah, kenapa rencana untuk membuat wanita itu terkejut saat pesta pernikahan malah membuatnya mendapatkan perlakuan seperti ini?“Maaf, Bu. Sebenarnya, saya hanya follow up orderan itu aja, Bu. Tapi yang mengorder isi dan kata-kata yang tertera di sana sudah dari Bapak sendiri. Saya hanya follow up sampe selesainya aja.”“Halaaah, alasan kamu! Pastilah kamu salah, kan? Sepanjang masa, baru kali ini ada undangan pernikahan tanpa nama pengantin wanita.Kamu itu memang nggak becus jadi sekretaris. Akan saya laporkan kelalaian kamu ini pada Bapak.Dan kalau saya jadi kamu, saya lebih baik resign daripada menodai nama saya sendiri sebagai sekretaris paling tak becus!”Mendengar itu, Darline yang jadi kesal pun menjawab Bu Alma, “Saya memang mau resign, Bu. Tepat satu hari sebelum Bapak menikah, saya resign, Bu.”